Halal Haram di Bulan Muharram

Kebenaran adalah apa yang datang dari Allah dan ia ada dua, yaitu Al Qur-an dan As Sunnah. Maka, apa yang dikatakan Allah dalam Al Qur-an tentang bulan Muharram begitu juga yang dikatakan Rasulullah melalui sabda-sabdanya itulah kebenaran.

Apa yang ditambah-tambahkan berkaitan dengan Bulan Muharram, berupa keyakinan maupun perbuatan yang tidak sesuai dengan kebenaran, maka itu adalah kebathilan yang wajib dijauhi.

Allah Ta’ala berfirman:

الْحَقُ مِن رَّبِّكَ فَلاَ تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ

“Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.” [QS. Al Baqarah: 147]

Allah Ta’ala juga berfirman:

وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَى {1} مَاضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَاغَوَى {2} وَمَايَنطِقُ عَنِ الْهَوَى {3} إِنْ هُوَ إِلاَّوَحْيٌ يُوحَى {4}

“Demi bintang ketika terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” [QS. An Najm: 1-4]

 Bulan Muharram Bulan yang Mulia

Sudah menjadi ketentuan Allah yang berlaku hingga akhir masa, bahwa satu tahun itu terdiri dari dua belas bulan, yaitu: Bulan Muharram, Shafar, Rabi’ul Awwal, Rabi’ul Akhir, Jumadal Awwal, Jumadal Akhir, Rajab, Sya’ban, Ramadhan, Syawal, Dzul-Qa’dah dan Dzul-Hijjah.

Empat diantaranya adalah Bulan-bulan Haram’, yaitu: Bulan Muharram, Rajab, Dzul-Qa’dah dan Dzul-Hijjah. Disebut Bulan Haram, karena diharamkan peperangan di dalamnya dan juga karena Allah telah mensucikan empat bulan tersebut.

Ini semua berdasarkan firman Allah Ta’ala:

“Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah adalah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya ada empat bulan haram. Itulah ketetapan agama yang lurus, maka janganlah kamu menzhalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu…! [QS. At Taubah: 36]

 Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu menyatakan, bahwa larangan menzhalimi diri tersebut berlaku untuk semua bulan. Kemudian dari dua belas bulan tersebut Allah istimewakan empat bulan dan Dia jadikan empat bulan tersebut haram (suci), sehingga nilai dosa yang dilakukan pada bulan tersebut lebih besar dibandingkan bulan-bulan selainnya. Begitu juga sebaliknya, amal shalih yang dilakukan pada bulan haram tersebut nilainya lebih besar dibandingkan dengan bulan-bulan selainnya.

Imam Qatadah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya kezhaliman (yang dilakukan) di Bulan Haram jauh lebih besar pelanggaran dan dosanya dibandingkan dengan kezhaliman (yang dilakukan) di bulan-bulan selainnya. Meskipun yang namanya kezhaliman di setiap keadaan adalah suatu (dosa) yang besar. Akan tetapi, Allah menjadikan lebih besar apa yang Dia kehendaki dari (sebagian) ketetapan Nya.”[Tafsir Ibnu Katsir]

 Tidak diragukan lagi, bahwa Bulan Muharram termasuk diantara empat bulan yang Allah sucikan dari dua belas bulan yang ada. Jika demikian, maka salah satu keutamaan Bulan Muharram secara umum adalah dilipatgandakannya pahala amal shalih, sebagaimana tafsiran Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu.

Keutamaan Khusus Bulan Muharram

 Adapun amalan khusus Bulan Muharram adalah: (1) Dianjurkannya Puasa ‘Asyura (10 Muharram) yang keutamaannya bisa menghapuskan dosa-dosa kecil setahun yang lalu; (2) Disunnahkan juga berpuasa pada tanggal 9 Muharram untuk menyelisihi Ahli Kitab berdasarkan hadits riwayat Muslim.

 Ketika ditanya tentang pahala Puasa ‘Asyura, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,

فَقَالَ: يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ

“Menghapuskan (dosa-dosa kecil) setahun yang lalu.” [HR. Muslim, Riyadhush Shalihin no. 1252]

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam puasa pada Hari ‘Asyura (10 Muharram) dan memerintahkan puasa tersebut.” [Muttafaqun ‘Alaihi, Riyadhush Shalihin no. 1251)

 Dan juga disunnahkan untuk berpuasa pada tanggal 9 Muharram, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika aku masih tetap (hidup) sampai tahun depan, sungguh aku pasti puasa pada tanggal 9 (Muharram)-nya.” [HR. Muslim]

Kebatilan, atau Kesesatan yang Terjadi di Bulan Muharram

  1. Menjadikan Hari ‘Asyura Sebagai Hari Berkabung Atas Wafatnya Al Husain bin ‘Ali radhiyallahuanhuma

Pada Bulan Muharram ini ada satu hari yang mulia yang disebut dengan ‘Asyura, yaitu hari ke-10 dari Bulan Muharram. Yang benar adalah hari ini dianjurkan melaksanakan puasa, sedangkan yang salah, bahkan dikatakan ulama sebagai kesesatan adalah menjadikan hari ini sebagai hari berkabung atas wafatnya Al Husain bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhuma.

Imam Abu Bakr Muhammad bin Al Walid Ath Thurthusy (wafat tahun 530 H) berkata:

“Adapun berkumpul-kumpul dalam rangka berkabung atas kematian seseorang haram hukumnya berdasarkan kesepakatan para ulama….” [Al Bida’ wal Hawadits, halaman 175, tahqiq Syaikh Ali Hasan Al Halaby, cet. Daar Ibnul Jauzy, KSA]

Imam Ibnu Rajab rahimahullah (wafat pada tahun 795 H) berkata tentang kesesatan Syi’ah di Hari ‘Asyura:

“Adapun menjadikan Hari ‘Asyura sebagai momen berkabung, sebagaimana dilakukan oleh Rafidhah (Syi’ah) karena wafatnya Al Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahuanhu pada hari itu, maka hal itu adalah perbuatan orang yang sia-sia amalnya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan dia mengira melakukan sesuatu yang paling baik. Allah Ta’ala dan juga Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memerintahkan untuk menjadikan hari-hari terjadinya musibah kepada para nabi dan wafatnya mereka sebagai hari berkabung, maka bagaimana dengan orang yang di bawah mereka (yaitu, orang yang derajatnya di bawah para nabi)?!” [Kitab Lathaif Al Ma’arif, Halaman 103, cet. Al Maktab Al Islamy]

Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz At Tuwaijiry berkata:

“Di hari ke-10 dari Bulan Muharram, yaitu hari yang dikenal dengan (nama) ‘Asyura, Allah memuliakan Al Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhuma dengan ke-syahidan, pada tahun 61 Hijriyah. Dan syahid-nya Al Husain bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhu merupakan sesuatu yang dengannya Allah mengangkat kedudukan Al Husain bin ‘Ali, serta meninggikan derajat beliau, karena sesungguhnya beliau (Al Husain) dan saudaranya (yaitu) Al Hasan adalah penghulunya para pemuda penduduk Surga. Sedangkan kedudukan yang tinggi tidaklah diperoleh, kecuali dengan bala’ (ujian yang sangat keras).

Sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahualaihi wasallam ketika ditanya: “Manusia manakah yang paling keras ujiannya?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab:

“Para nabi, kemudian orang-orang shalih, kemudian yang paling serupa dengan mereka; seseorang akan diuji sesuai dengan kadar agamanya, jika dia kuat agamanya ditambah ujiannya, jika dia lemah agamanya ujiannya diringankan untuknya. Dan ujian senantiasa menimpa orang yang beriman hingga dia berjalan di atas muka bumi tidak ada kesalahan pada dirinya.” [HR. Ahmad, At Tirmidzy, Ibnu Majah, dinilai hasan shahih oleh Imam At Tirmidzy]

Beliau, Syaikh ‘Abdullah At Tuwaijiry, juga berkata:

“Maka hal ini (wafatnya Al Husain) mengakibatkan keburukan diantara manusia, hingga muncul kelompok sesat, lagi jahil. Adakalanya kelompok munafik, lagi menyimpang dan adakalanya kelompok sesat, lagi bodoh: menampakkan loyalitasnya kepada Al Husain dan keturunannya, menjadikan Hari ‘Asyura sebagai Hari Berkabung, bersedih dan meratapi kematian. Di hari itu mereka menampakkan lambang-lambang jahiliyah seperti menampar pipi, mengoyak pakaian dan berbangga dengan kebanggaan jahiliyah.”

Beliau, Syaikh ‘Abdullah At Tuwaijiry, juga berkata:

“Ini menyelisihi syari’at Allah, karena yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam di saat musibah, jika musibah itu baru terjadi, hanyalah sabar, istirja’ (mengucapkan: innaalillaahi wa-innaa ilaihi raaji’uun), serta ihtisab (mengharap pahala dengan musibah yang terjadi), sebagaimana firman Allah: ‘… Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu) orang-orang yang, apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: ‘Inna lillaahi wa-innaa ilaihi raaji’uun. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.’ [QS. Al Baqarah: 155-157]

Di dalam Kitab Shahih (Al Bukhary), dari Nabi Muhammad shallallahualaihi wasallam bersabda:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ ضَرَبَ الْخُدُوْدَ، وَشَقَّ الْجُيُوْبَ، وَدَعَا بَدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ

“Bukan termasuk golongan kami: (1) Orang yang menampar pipinya; (2) Mengoyak pakaiannya; dan (3) Menyeru dengan seruan jahiliyah.” [HR. Al Bukhary, bagian Kitab Al Jana-iz, (1294)]

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Aku berlepas diri dari ash shaliqah (yaitu, orang yang berteriak-teriak saat musibah) dan al haliqah (yaitu, orang yang memotong rambutnya saat musibah) dan asy syaqqah (yaitu, orang yang mengoyak pakaiannya saat musibah).” [HR. Muslim, Kitabul Iman (104)]

[Dinukil dari Kitab Al Bida’ Al Hauliyyah, Syaikh ‘Abdullah At Tuwaijiry, Cet. Daar Al Fadhilah lin Nasyr wat-Tauzi,’ Riyadh]
  1. Menjadikan Bulan Muharram Sebagai Bulan Sial

Termasuk kebathilan yang ada pada Bulan Muharram, yaitu keyakinan, bahwa jika diadakan suatu hajat yang besar, seperti pernikahan, membangun rumah, khitan, atau hajat-hajat besar yang lainnya, maka akan ada musibah menimpa. Tidak diragukan lagi, ini adalah keyakinan yang salah, karena menganggap bulan ini sebagai Bulan Sial. Sebagaimana anggapan Orang Arab di zaman dahulu, bahwa Bulan Shafar (bulan setelah Muharram) sebagai Bulan Sial.

Yang seperti ini diharamkan, karena merupakan keyakinan orang-orang musyrik, yang mana mereka menganggap Nabi Musa ‘alaihissalaam sebagai Pembawa Sial.

Allah berfirman, “Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang bersamanya.” [QS. Al A’raf: 131]

 Lalu, Allah membatalkan dan menyalahkan keyakinan ini dengan firman Nya, “Ketahuilah: ‘Sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.’!” [QS. Al A’raf: 131]

  1. Merayakan Tahun Baru Hijriyah

Bulan Muharram merupakan bulan yang pertama dalam Penanggalan Hijriyah, sehingga tatkala Bulan Muharram tiba itu pertanda, bahwa tahun telah berganti. Akan tetapi, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat radhiyallaahu ‘anhum tidak pernah merayakan pergantian tahun, layaknya hari raya.

Karena, hari raya tahunan yang diakui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanya ada dua, yaitu: ‘Iedul Fithri dan ‘Iedul Adha. Maka dari itu, bukanlah suatu kebenaran merayakan Pergantian Tahun Baru Hijriyah.

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata:

“Setelah Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam datang ke Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari (raya) yang mereka (merayakannya dengan) bermain-main pada hari tersebut. Lalu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada mereka: ‘Dua hari ini (hari) apa?’ Mereka menjawab: ‘Kami biasa bermain-main pada dua hari tersebut di masa jahiliyah.’ Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya, Allah telah memberi kalian ganti untuk kedua hari tersebut dengan dua hari yang lebih baik, (yaitu): ‘IEdul Adhaa dan ‘Iedul Fithri.” [HR. Abu Dawud, Syaikhul Islam mengatakan, bahwa sanad hadits ini sesuai dengan syarat Imam Muslim]

 Wallahu A’lam

Back to top button