Bijak Menyikapi Harta

Bijak Menyikapi Harta

 

Ibnu Al Jauzi berkata : Abu Bakar selalu mengadakan perjalanan untuk berdagang dan meninggalkan Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, namun tak pernah Rasulullah shalallahu alaihi wasallam melarangnya. Para sahabat banyak yang berdagang. Dari pembesar para tabiin kita melihat ada Said bin al-Musayyab, tatkala wafat ia meninggalkan banyak harta. Demikianlah para salaf bersikap terhadap dunia. Jika kemudian seorang sakit,sedangkan ia tidak mencari nafkah pada saat itu, pasti ia akan menjual diri, harga diri dan agamanya, jika ia tidak berbekal harta sejak dini.

Tatkala seseorang memiliki harta benda, ia akan memiliki kekuatan jasmani. Badannya segar dan sehat. Dalam pandangan para dokter ia adalah obat terbaik. Inilah hikmah yang diciptakan oleh Sang Pencipta. Akan tetapi ada orang yang bergagah-gagahan namun hakekatnya mereka malas. Mereka kemudian mengaku-ngaku orang yang paling tawakkal. Mereka berkata,”Lihatlah kami! Kami tak memegang apa-apa di tangan kami. Kami tak pernah membekali diri dalam perjalanan karena rezeki itu tak usah dicari pun pasti akan datang sendiri.”

Demikianlah perkataan mereka yang sangat bertentangan dengan syariat dan hukum Allah Ta’ala. Bukankah Rasulullah shalallahu alaihi wasallam melarang manusia membuang-buang harta dan kekayaan? Bukankah tatkala Musa alahi wasallam berkelanan mencari Khidir dia membawa bekal? Tidakkah Rasul tatkala berhijrah juga mebawa bekal? Lebih dari itu semua, bukankan Allah Ta’ala berfirman, “Berbekallah kamu sekalian, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (Al-Baqarah:197).

Orang yang berpura-pura sufi berkoar-koar bahwa mereka anti dunia. Mereka tidak paham apa sebenarnya yang harus dibenci. Bagi mereka, mencari nafkah adalah bentuk ketamakan dan kecenderungan yang keterlaluan pada dunia. Singkat cerita, mereka telah membuat cara beragama baru dengan jalan pikiran mereka sendiri, yaitu suatu cara beragama yang cenderung kepada bentuk rahbaniyyah (kependetaan). itu pun jika mereka benar dalam niatnya. Jika tidak, justru sebaliknya, mereka adalah kaum penghisap darah yang berbaju zuhud namun mengeruk harta orang lain dengan cara menerima semua pemberian kepada mereka, sedangkan mereka hanya duduk-duduk saja lalu menganggap bahwa semua itu sebagai pemberian gratis dari Allah Ta’ala.

Islam Agama Kebersihan

 

Beliau Ibnu Al Jauzi juga berkata : Dari sudut pandang agama, orang yang beriman telah diperintahkan untuk mandi dan membersihkan badannya setiap Jumat, karena ia akan berkumpul dengan sejumlah besar manusia. Islam juga melarang seseorang untuk masuk masjid setelah makan bawang putih. Syariat juga memerintahkan kita untuk membersihkan sela-sela jemari kaki dan tangan, memotong kuku, bersiwak, memotong rambut kemaluan, serta memerintahkan tentang berbagai adab kebersihan yang lain.

Jika semua itu ditinggalkan berarti orang mukmin telah meninggalkan sunnah-sunnah agama yang bisa saja dapat merusak makna dan nilai ibadahnya. Contohnya, tatkala kuku begitu panjang dan di dalamnya tersimpan kotoran, hal itu dapat mencegah air untuk sampai ke permukaan kulit.

Jika seseorang melalaikan kebersihan biasanya ia akan menjadi pemalas dan sering lalai. Kelalaian itu dapat menyebabkan lahirnya bencana bagi dirinya sendiri dan mengakibatkan mereka terjangkit penyakit. Contohnya jika ia ingin membisikkan sesuatu kepada temannya, maka saat itu akan merebaklah bau busuk dari mulutnya. Contoh lainnya, kebiasaan seseorang untuk membersihkan gigi dengan jarinya. Hal itu adalah sesuatu yang dibenci khususnya bagi kaum wanita. Kebiasaan itu mungkin saja dapat menghalangi niatnya untuk menikahi seorang gadis, karena si gadis merasa risih dengan kebiasaan buruknya yang kotor itu.

Rasulullah merupakan pribadi yang paling bersih dan paling harum. Beliau tidak pernah meninggalkan siwak, juga tidak senang jika tercium bau tidak sedap dari badannya.

( Diringkas dari kitab Shoidul Khotir, Karya Ibnu Al Jauzi )

( Pesantren ”Al Ukhuwah”  Joho Sukoharjo, Jawa Tengah.
Kamis,  14 Desember 2016 M ).

Back to top button