Khuthbah Idul Adha: Pelajaran Kisah Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam

KHUTBAH IDUL ADHA 1438 HIJRIYAH

بسم الله الرحمن الرحيم

السلام عليكم و رحمة الله و بركاته

 الله أكبر3 … الله أكبر3 … الله أكبر3…

الحمد لله رب العالمين رب الأرضين والسماوات…الحمد لله الذي بنعمته تتم الصالحات…وبعفوه تغفر الذنوب والسيئات…وبكرمه تقبل العطايا والقربات…وبلطفه تستر العيوب والزلات..

الحمد لله الذي أمات وأحيا…ومنع وأعطى…وأرشد وهدى…وأضحك وأبكى…وقل الحمد لله الذي ولدا…ولم يكن له شريك في الملك…ولم يكن له ولي من الذل…وكبره تكبيرا…

الله أكبر…عدد ما ذكر الله ذاكر وكبر…الله أكبر…عدد ما حمد الله حامد وشكر…الله أكبر…عدد ما تاب تائب واسلتغفر…الله أكبر…ما أعد علينا من عوائد فضله وجوده ما يعود في كل عيد ويظهر…

وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له…شهادة أدخرها ليوم شره مستطيرا…سبحان من لم يزل عليا كبيرا…سميعا بصيرا…لطيفا خبيرا…عفوا غفورا…وأشهد أن نبينا وحبيبنا محمدا عبد الله ورسوله…بعثه بالهدى ودين الحق…بشيرا ونذيرا…وداعيا إلى الله بإذنه وسراجا منيرا…

اللهم صلى على عبدك ورسولك وخليلك محمد بن عبد الله…وعلى آله وصحبه ومن اقتفى أثره إلى يوم القيامة…أما بعد

Jama’ah sholat idul adha yang dimuliakan Allah, di pagi yang penuh berkah ini, dibalik hati yang cerah ceria, kita kembali mengundangkan takbir berulang-ulang, sebagai pernyataan yang tulus dan ikhlas akan kebesaran dan keagungan Allah Subhanahu wa Ta’ala sekaligus sebagai pengakuan bahwa kita adalah sebagai hamba yang teramat kecil, sangat lemah dan penuh keterbatasan kita memuja dan memuji kepada-Ny, sebagai bentuk rasa syukur atas limpahan segala nikmat, dan rahmat-Nya yang tidak terhingga.

Alhamdulillah kita kembali merasakan kegembiraan, dan kebahagiaan dalam suasana idul adha pada hari ini, Bukan untuk berpesta pora! Akan tetapi untuk melakukan instropeksi dan mengambil pelajaraan dari perintah berkurban dan beribadah haji.

Juga untuk mengenang kembali peristiwa bersejarah, yang dilakonkan oleh Nabiyullah Ibrahim ‘alaihis salam bersama istrinya Hajar dan anaknya Ismail ‘alaihis sallam.

Kehidupan Ibrahim ‘alaihis sallam benar-benar sarat dengan keteladanan, yang patut untuk kita ikuti, untuk mendapatkan kehidupan yang bersih dan penuh dengan makna.

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ

“Sungguh telah ada suri teladan yang baik bagi kalian pada Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya “. (Al Quran Surat Al Mumtahanah ayat 4).

Jama’ah sholat idul adha أعزكم الله .

Sekurang-kurangnya ada 4 pelajaran yang bisa kita petik dari kisah Nabi Ibrahim ‘alaihis sallam dan keluarganya.

Pelajaran yang pertama

Adalah berusaha untuk berbaik sangka atau ber-huznudhan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Dikisahkan…

Pada suatu hari Nabi Ibrahim ‘alaihis sallam terbangun dari tidurnya, tiba-tiba beliau memerintahkan istrinya Hajar, untuk mempersiap perjalanan dengan membawa bayinya, perempuan itu segera berkemas untuk melakukan perjalanan panjang, padahal saat itu Nabi Ismail masih bayi dan belum di sapih.

Ibarahim ‘alaihis sallam menyusuri bumi yang penuh pepohonan dan rerumputan sampai akhirnya tiba padang sahara, beliau terus berjalan hingga mencapai pegunungan kemudian masuk ke daerah Jazirah Arab.

Ibrahim menuju ke sebuah lembah yang tidak ditumbuhi tanaman, tidak ada buah – buahan, tidak ada pepohonan, tidak ada makanan dan tidak ada minuman, kondisi yang menandakan bahwa tempat itu tidak ada kehidupan di dalamnya.

Di lembah tersebut beliau turun dari punggung hewan tunggangannya kemudian menurunkan istri dan anaknya, setelah itu tanpa berkata – kata Nabi Ibrahim meninggalkan istri dan anak-anaknya disana, mereka berdua hanya dibekali sekantong makanan dan sedikit air, yang tidak cukup untuk dua hari, setelah melihat kiri dan kanan Nabi Ibrahim meninggalkan tempat tersebut.

Tentu saja Hajar terperangah diperlakukan demikian. Dia membuntuti suaminya dari belakang sembari bertanya :

“Ya Ibrahim Aina Tadzhab ?” Wahai Ibrahim hendak kemana engkau pergi!”

وتتركنا بواد الذي ليس فيه أنيس ولا شيء

“Apakah engkau tinggalkan kami tanpa teman di lembah yang tidak ada sesuatu apapun ini ?”

Mendengar pertanyaan istrinya Hajar , Nabi Ibrahim tidak menjawab pertanyaan istrinya sedikitpun.

Beliau terus saja berjalan, Hajar kembali mengulangi pertanyaannya, akan tetapi Nabi Ibrahim tetap membisu, akhirnya Hajar paham bahwa suaminya pergi bukan karena kemaunnya sendiri.

Dia mengerti bahwa Allah memeritahkan suaminya untuk pergi, maka kemudian ia pun bertanya :

آلله أمرك بهاذا 

“Wahai suamiku, Apakah Allah yang memerintahkanmu untuk pergi meninggalkan kami ?”

Maka Nabi Ibrahim ‘alaihis sallam menjawab: “Benar” kata beliau.

Begitu mendengar jawaban dari Nabi Ibrahim ‘alaihis sallam, langsung istri yang sholihah dan beriman itu berkata :

إذا لا يضيّنا الله

“Kalau memang demikian, maka tidak mungkin Allah akan menelantarkan kami.”

الله أكبر…الله أكبر…الله أكبر…ولله الحمد

Jama’ah sholat Idul Adha rahimakumullah

Lihatlah! Lihatlah bagaimana Nabi Ibrahim ‘alaihis sallam dan Hajar mampu berprasangka baik kepada Allah Ta’ala.

Mereka amat yakin bahwa selagi bersama Allah, maka tidak mungkin mereka terlantar, tidak yang dapat mencelakainya ataupun melukainya.

Bila kita lihat, banyaknya manusia yang frustasi dalam kehidupan ini, atau banyaknya manusia yang sengsara, ternyata bukan karena sedikitnya nikmat yang Allah berikan kepada mereka, akan tetapi karena sedikitnya Huznudzhan, sedikitnya baik sangka mereka kepada Allah, padahal nikmat yang Allah berikan jauh lebih banyak dibandingkan siksaannya.

Oleh karena itu, kita harus berbaik sangka kepada Allah, karena Allah menjelaskan dalam sebuah hadist qudsi: “Bahwa dia sesuai dengan prasangka hambanya“

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال : قال النبي صلى الله عليه وسلم :

“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

يقول الله تعالى : أنا عند ظن عبدي بي

Kata Allah Subhanahu wa a’ala : “Aku tergantung bagaimana hamba-Ku berprasangaka kepada-Ku“. (Hadits Riwayat Bukhari dan muslim ).

Manusia wajib berprasangka baik kepada Allah, apapun keadaannya.

Karena Allah akan menyikapi hambanya, sesuai dengan prasangka tersebut.

Jika itu berprasangka baik, maka Allah akan memberikan keputusan yang baik untuknya, sebaliknya apabila hamba berburuk sangka, maka dia berarti telah menghendaki keputusan yang buruk dari Allah untuknya.

Allah tidak akan menyia-nyiakan harapan-harapan hambanya yang senantiasa berbaik sangka kepada-Nya.

Seorang hamba, yang bijak, adalah yang senantiasa berbaik sangka kepada Allah disetiap keadaan, jika dia diberi kenikmatan dia merasa bahwa hal ini adalah karunia dari Allah, ia tidak besar kepala dengan kenikmatan duniawi tersebut.

Sebaliknya apabila dia didera dengan penderitaan atau kekurangan harta, maka dia merasa bahwa Allah subhanahu wa ta’ala sedang mengujinya agar dapat meraih tempat yang mulia, dia tidak berburuk sangka kepada Allah, dengan menganggap bahwa Allah ini tidak adil atau Allah telah menghinakannya.

Kita harus belajar dari Hajar. Kita harus belajar dari Hajar!

Seorang wanita yang baru mempunyai anak bayi, kemudian ditinggalkan suaminya di padang pasir yang gersang.

Akan tetapi dia yakin , jika ini adalah perintah Allah, maka Allah tidak mungkin menelantarkannya.

Allah pasti akan membantunya, kisah ini bukan hanya untuk Hajar saja, dan kisah ini bukan hanya untuk zaman itu saja, namun kisah ini akan terus berulang pada setiap zaman dan masa.

Bahwa Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya yang senantiasa berbaik sangka kepada Allah di dalam setiap kondisi.

Yakinlah! bahwa orang-orang yang tekun beribadah kepada Allah, beraqidah benar, menegakkan sholat, berpuasa, menunaikan zakat, dan menjalankan perintah agama lainnya, pasti mereka tidak akan pernah ditelantarkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala.

الله أكبر…الله أكبر…ولله الحمد

Itulah pelajaran yang pertama : “berbaik sangka kepada Allah subhanahu wa ta’ala“.

Adapun pelajaran yang kedua

Adalah “bersemangat di dalam mencari rizki yang halal, bersemangat di dalam mencari rizki yang halal”.

Setelah Ibarahim meninggalkan istri dan anaknya untuk kembali meneruskan perjuangan dakwah di jalan Allah, Hajar menyusui Ismail sementara dia sendiri mulai kehausan, panas terik matahari pada hari itu sangat menyengat, hingga terasa begitu mengeringkan kerongkongan.

Setelah dua hari air yang dibawa habis, air susunya pun mulai kering, Hajar dan Ismail mulai kehausan, pada waktu yang bersamaan makanan pun habis, kegelisahan dan kekhawatiran menghantui Hajar.

Sang bayi Ismail mulai menangis karena kehausan, sang ibu pun meninggalkan sendirian untuk mencari air, dengan berlari-lari kecil dia sampai ke bukit Shofa, kemudian mendaki bukit itu, diletakkannya kedua telapak tangan di kening, untuk melindungi pandangannya dari terik matahari yang sangat menyilaukan, dia menengok kesana kemari, mencari sumur, mencari manusia, mencari kafilah atau berita, namun tidak ada sesuatu pun yang tertangkap pandangan matanya.

Dia bergegas turun dari bukit Shofa, dan berlari – lari kecil sampai dibukit Marwa.

Kemudian dia naik ke atas bukit tersebut, barangkali dari sana dia melihat seseorang, akan tetapi ternyata tidak membuahkan hasil.

Hajar turun dari bukit marwa untuk menengok bayinya, dia mendapati Ismail terus menangis, tampaknya sang bayi benar – benar kehausan, melihat anaknya seperti itu, dengan bingung dia kembali ke bukit Shofa dan mendaki ke atasnya, kemudian ke bukit Marwa dan naik ke atasnya, hajar bolak balik antara dua bukit, Shofa dan Marwa sebanyak tujuh kali.

الله أكبر…الله أكبر…الله أكبر…ولله الحمد

Hadirin dan hadirat yang kami hormati.

Ada sebuah pelajaran penting yang jarang dikupas dari peristiwa ini, yaitu kesungguhan Hajar di dalam mencari air.

Dia kerahkan segala tenaganya, bolak – balik dari Shofa dan Marwa, dia terus berusaha, walaupun akhirnya air itu berda di dekat anaknya sendiri.

Ini memberikan pelajaran bagi kita, untuk bersungguh-sungguh di dalam menjemput rizki, dengan mengerahkan segenap kemampuan yang kita miliki, karena sejatinya kita diperintahkan bukan hanya untuk melihat hasil, akan tetapi kita diperintahkan untuk memaksimalkan usaha dan tenaga.

Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam sangat mengahargai orang – orang yang bekerja keras, beliau bersabda:

لأن يحتطب أحدكم خزمة على ظهره خير من أن يسأل أحدا فيعطيه أو يمنعه

“Seorang yang mencari seikat kayu bakar kemudian mengusungnya dan meminggulnya, di atas pundaknya, orang seperti ini jauh lebih mulia di bandingkan orang – orang yang meminta-minta kepada orang lain entah dia diberi atau tidak“. (Hadits Riwayat Bukhari)

Beliau juga menjelaskan :

ما أكل أحد طعاما قط خير من أن يأكل من عمل يده

“Tidak ada makanan yang lebih baik dari pada apa yang dimakan oleh seseorang dari hasil jerih payahnya sendiri“. (Hadits Riwayat Bukhari)

Namun, walaupun kita dituntut untuk berusaha dan bekerja secara maksimal, bukan bererti kita diperbolehkan untuk berbuat sebebas-bebasnya, sehingga tidak lagi memperhatikan batasan halal dan haram.

Berhati-hatilah! berhati-hatilah terhadap barang haram yang yang masuk ke dalam tubuh kita, karena tubuh yang tumbuh dari harta yang haram tidak ada tempat kembali untuknya melainkan neraka Jahannam.

Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan :

لا يدخل الجنة لحم نبت من سخت أبدا,  االنار أولى به

“Tidak akan masuk surga selamanya daging yang tumbuh dari harta yang haram, neraka lah yang pantas untuk menjadi tempat tinggalnya.” ( Hadist riwayat Tirmidzi dan dinilai shohih oleh Imam Adz-dzahabi  dan Syaikh Al-Albani ).

Makanan haram bukan hanya daging babi, akan tetapi daging sapi pun bisa berubah menjadi haram, apabila dibeli dengan hasil korupsi, minuman haram bukan hanya wiski, namun wedang kopi pun bisa berubah menjadi haram, apabila dibeli dengan uang hasil kolusi. Maka waspadalah!

Hadirin yang dirohmati oleh Allah, berikutnya adalah

Pelajaran yang ketiga

Yakni “Berkorban! Berkorban untuk Allah subhanahu wa ta’ala”.

Ketika Ismail bertambah besar, Hati Nabi Ibrahim tertambat kuat kepada putranya, tidak mengheran, karena Ismail hadir dikala usia Nabi Ibrahim semakin senja.

Di dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Nabi Ibrahim berdoa kepada Allah supaya dikaruniai anak, beliau berdo’a selama 80 tahun, sampai dikabul oleh Allah subhanahu wa Ta’ala, itulah sebabnya mengapa Ibrahim begitu sayang dan cinta kepada putranya, akan tetapi Allah berkehendak untuk menguji Nabi-Nya, dengan ujian yang sangat berat.

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَابُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى

Tatkala anak itu sudah dewasa, Ibrahim berkata: “Wahai anakku sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu, maka apa pendapatmu tentang mimpi itu ?”

قَالَ يَاأَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ (102)

“Maka anak tersebut mengatakan wahai ayahku lakukanla! Lakukanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu, Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang – orang yang sabar”. ( Al Quran Surat As-Shaffat Ayat 102 ).

Renungkanlah, Renungkanlah bentuk ujian yang telah Allah berikan kepada beliau.

Bagaimana kira – kira perasaan Ibrahim ‘alaihis sallam pada saat itu. Pergulatan seperti apa yang berkecamuk di dalam batinnya, saat itu Ibrahim berpikir tentang putranya, apa yang harus beliau katakan, ketika beliau hendak membaringkannya di atas tanah untuk disembelih.

Ibrahim mengambil jalan yang paling baik, yaitu berkata dengan jujur dan lemah lembut kepada putranya ketimbang menyembelihnya secara paksa.

Lihatlah! Lihatlah kepasrahan dan pengorbanan Ismail beserta dengan ayahnya Ibrahim, mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan cinta Allah dan kasih sayang-Nya, walaupun dengan mengorbankan anak tersayang.

الله أكبر…الله أكبر…ولله الحمد

Kaum muslimin dan muslimat yang dimuliakan Allah.

Sadarkah kita! Sadarkah kita bahwa kita saat ini sedang diajari oleh seorang anak dan ayahnya, tentang makna pengorbanan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dalam segala hal di kehidupan ini.

Kata qurban dalam Bahasa arab berarti mendekatkan diri, di dalam fiqih islam dikenal dengan udhiyah, sebagian ulama mengistilahkannya dengan An-Nahr, sebagaimana yang dimaksud Al Qur’an surat Al kautsar ayat 2 :

فصل لربك وانحر

“Sholatlah untuk Allah dan berkurbanlah“

Akan tetapi, pengertian kurban, bukan sekedar menyembelih binatang kurban, lalu menyedekahkan dagingnya kepada fakir miskin, akan tetapi secara umum, makna kurban itu meliputi aspek yang lebih luas.

Didalam kontek sejarah dimana umat islam mengalami berbagai cobaan, makna pengorbanan sangat luas dan mendalam.

Sejarah para Nabi, Misalnya Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, yang berjuang menegakkan Islam di muka bumi ini, memerlukan pengorbanan.

Sikap Nabi dan para sahabat itu ternyata, harus dibayar dengan pengorbanan yang teramat berat, yang diderita oleh umat islam saat itu, mereka disiksa, mereka ditindas, dan sederet tindakan keji lainnya dari kaum kafir Quraisy.

Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam pernah di lempari dengan batu oleh penduduk Thoif.

Abu lahab dan Abu jahal memperlakukan beliau dengan kasar dan kejam.

Para sahabat seperti bilal ditindih batu yang besar yang panas, ditengah sengatan terik matahari siang.

Yasir dibantai, dan seorang ibu yang bernama Sumayyah ditusuk kemaluannya dengan sebatang tombak.

Tidak hanya itu umat islam di Mekkah juga diboikot, untuk tidak mengadakan transaksi dagang, akibatnya betapa lapar dan menderitanya keluarga Rasululllah shollallahu ‘alaihi wa sallam saat itu, hingga beliau sekeluarga terpaksa memakan kulit kayu, memakan daun-daun kering, bahkan memakan kulit-kulit sepatu bekas.

Begitulah potret pengorbanan untuk membela agama. Lantas! Apakah yang sudah kita korbankan untuk membela Aqidah dan Sunnah Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam.

الله أكبر…الله أكبر…الله أكبر…ولله الحمد

Jama’ah sholat Idul Adha rahimakumullah

Pelajaran yang terakhir adalah pelajaran yang keempat:

Yaitu “Urgensi pentingnya mendidik keluarga, pentingnya mendidik keluarga!”.

Nabi Ismail ‘alaihis sallam tidak akan menjadi anak yang penyabar, jika tidak mendapatkan taufik Allah subhanahu wa ta’ala, kemudian pendidikan dari ibunya.

Dan Hajar tidak akan menjadi wanita yang penyabar, bila tidak beri petunjuk oleh Allah lalu dididik oleh Nabiyullah Ibrahim ‘alahis sallam.

Sedangkan Nabi Ibrahim ‘alahis sallam tidak akan pula menjadi seorang yang sabar apabila tidak ditempa oleh Allah subhanahu wa ta’ala melalui wahyu-Nya.

Keberhasilan Nabi Ibrahim di dalam mendidik anaknya bukanlah pekerjaan yang ringan, yang bisa di dapatkan dalam waktu yang singkat, hal itu merupakan pekerjaan berat, yang membutuhkan waktu yang panjang.

Nabi Ibrahim secara terus – menerus memberikan contoh peragaan ketaatan seorang hamba kepada Allah dalam segala hal, peragaan seperti inilah yang selalu ditangkap dan dihayati putranya Ismail dan istrinya Hajar, sehingga terpatri di dalam jiwanya.

Sekarang, sekarang! Mari kita tanya diri kita,

Sudahkah kita memberikan keteladanan yang baik kepada putra dan putri kita ?

Sudahkah kita mendoakan mereka di dalam sujud-sujud kita, agar merka menjadi anak yang sholeh dan sholihah?

Sudahkah kita menyelamatkan anak – anak kita dari lingkungan yang rusak ?

Memang untuk mendapatkan generasi yang ideal, memerlukan perhatian dan pengorbanan yang sangat besar, bahkan harus diiringi dengan kesabaran dan keikhlasan yang sangat tinggi.

Maka, sangat aneh! sangat aneh!

Jika kita merindukan lahirnya generasi pejuang, sementara perhatiaan dan pengorbanan yang diberikan untuk itu masih sangat kurang.

Atau mungkin pengorbanan dan perhatian sudah cukup besar, akan tetapi belum proposional.

Perhatian dan pengorbanan yang diberikan lebih banyak kepada hal-hal yang bersifat materi, bukan pada spirit dan rohaninya.

Anak – anak kita perlu mendapatkan perhatian yang serius, dari kita para orang tua, dan juga guru dan pemerintah, jangan sampai hanya aspek intelektualnya yang diperhatikan, akan tetapi mental dan spiritualnya memprihatinkan.

Jangan kita bangga! Jangan kita bangga dengan pendidikan yang hanya memacu kecerdasan otak, akan tetapi semakin hari akhlaknya semakin rusak, dan perilakunya semakin jauh dari agama, kita sangat mendambakan generasi yang bertauhid, dan berkarakter, berakhlak mulia dan tekun beribadah, dan juga anak yang patuh dan hormat kepada kedua orang tuanya.

Kita mengharapkan generasi yang selalu siap pakai, siap mengahadapi benturan dan tantangan hidup, memiliki etos kerja yang tinggi, bekerja dengan penuh dedikasi, memiliki banyak inisiatif, serta siap untuk berkurban, sebagaimana contoh yang telah diperagakan oleh sosok Nabi Ibrahim ‘alaihis sallam dan keluarganya Hajar dan Ismail ‘alaihis sallam.

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala berkenan untuk merealisasikan cita-cita mulia tersebut, untuk itu marilah kita berdoa.

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

….اللهم الغفر

رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ-

 رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

….اللهم أرنا الحق

سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ, وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ , وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ…

والسلام عليكم و رحمة الله و بركاته

Sumber: Rekaman Khutbah Idul Adha , Ustadz Abdullah Zaen, Hafidzahullah

Artikel Alukhuwah.Com

Back to top button