Qawa’id Fiqhiyyah: Niat Memiliki Pengaruh dalam Akad

A. Makna Kaidah

Kaidah ini menjelaskan bahwa niat pelaku akad memiliki pengaruh dalam penetapan hukum akad tersebut. Apabila niat dari pelaku akad itu rusak, dan hal itu diketahui, maka akad itu secara lahiriah dihukumi rusak juga. Namun jika niat yang rusak tersebut tidak diketahui maka akad tersebut rusak secara batiniah, yaitu antara seseorang dengan Rabbnya سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى.

Kaidah ini diperselisihkan oleh para ulama’, yaitu apakah yang dijadikan ukuran dalam akad tersebut niat dari pelaku akad ataukah apa yang nampak secara lahiriah. Oleh kerena itu sebagian ulama’ menyebutkan kaidah ini dalam bentuk pertanyaan, “Apakah niat itu memberikan pengaruh dalam akad?”

Adapun pendapat yang lebih kuat bahwa niat memiliki pengaruh dalam akad, baik ditinjau dari sisi boleh atau tidaknya akad tersebut, dan dari sisi keabsahannya. [1]Sebagai ilustrasi dari penerapan kaidah ini -meskipun bukan dalam pembahasan jual beli- berkaitan dengan nikah tahlil, yaitu apabila seorang laki-laki mentalaq isterinya sebanyak tiga kali maka tidak … Continue reading

B. Dalil Kaidah Ini

Kaidah ini masuk dalam keumuman sabda Nabi berkaitan dengan eksistensi niat, di mana beliau bersabda :

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Sesungguhnya setiap amalan tergantung dengan niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai apa yang ia niatkan.[2]HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907

Sisi pendalilan dari hadits ini : Nabi menjadikan niat sebagai ukuran dalam amalan, baik perbuatan ataupun perkataan, dan seseorang mendapatkan sesuai apa yang ia niatkan.”

C. Contoh Penerapan Kaidah

1. Tidak sahnya jual beli secara hazil (senda gurau).

Misalnya sia A dan si B sedang bersenda gurau, dan si A berkata, “Aku jual mobilku kepadamu dengan harga Rp. 5.000.000.” Sedangkan harga mobil itu sebenarnya senilai Rp. 100.000.000. Lalu si B menjawab, “Saya terima jual belinya.” Lalu si B meninggalkan sebentar tempat itu lalu kembali lagi seraya berkata kepada si A, “Telah sah ijab dan qobul jual belinya, maka serahkan kepadaku mobilmu, dan ini saya serahkan kepadamu uang Rp. 5.000.000.” Lalu si A menjawab, “Demi Allah, aku sekedar bercanda, aku tidak ada niat menjualnya, engkau pun tahu kita sekedar bercanda.” Dan si B menjawab, “Tidak, akad jual belinya sudah sah, dan kita telah berpisah dari majelis, maka jual belinya mengikat.”

Dalam kasus ini, jika dari qarinah (ciri-ciri yang ada) kita ketahui bahwa si A tidak bermaksud menjual mobilnya, bahkan hanya sekedar senda gurau, maka jual beli tersebut tidak sah menurut pendapat yang lebih kuat. Hal ini berdasarkan sabda Nabi :

ثَلاَثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ النِّكَاحُ وَالطَّلاَقُ وَالرَّجْعَةُ

Tiga perkara yang serius dan bercandanya sama-sama dianggap serius : nikah, talaq, dan ruju’.[3]HR. Abu Daud no. 2194, At Tirmidzi no. 1184 dan Ibnu Majah no. 2039. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam Irwa’ Al-Ghalil no. 1826.

Dalam hadits tersebut disebutkan tiga perkara yang serius atau bercandanya tetap dianggap serius, yaitu nikah, talaq, dan ruju’, hal itu menunjukkan bahwa selain dari tiga perkara tersebut hukumnya berbeda, yaitu bercandanya tidak dianggap serius. Maka, senda gurau dalam jual beli jika telah tetap maka tidak dianggap serius, sehingga niat itu berpengaruh dalam keabsahan akad.

2. Tidak sahnya jual beli karena talji’ah (terdesak).

Misalnya, apabila si A memiliki sebuah rumah, dan si B hendak melakukan kezaliman dengan merampas rumah itu. Maka si A pergi menemui si C, ia adalah seorang yang berkuasa, memiliki pengaruh dan kekuatan, maka si A berkata kepadanya, “Saya adalah seorang yang lemah sedangkan si B akan merampas rumahku, maka saya ingin menampakkan kepada si B bahwa saya telah menjual rumahku kepadamu sekedar supaya ia tidak merampas rumahku.”  Maka dengan sepengetahuan si B keduanya bersepakat untuk mengadakan rekayasa akad jual beli rumah dengan tujuan supaya si A terlepas dari kezaliman si B. 

Jual beli yang dilakukan oleh si A dan si C tersebut di kalangan fuqaha’ disebut dengan jual beli secara talji’ah, dan menurut jumhur ulama’ jual beli seperti ini tidak sah, karena keduanya tidak benar-benar bermaksud mengadakan akad jual beli.

3. Diperbolehkan membeli barang secara kredit dengan tujuan supaya mendapatkan uang.

Misalnya apabila seseorang  membutuhkan uang,  lalu ia membeli suatu barang secara kredit, tidak untuk dimanfaatkan sendiri, namun niatnya untuk dijual kembali supaya mendapatkan uang, maka tujuan utamanya adalah supaya mendapatkan uang bukan untuk memanfaatkan barang yang dibeli itu. Menurut jumhur ulama’ jual beli seperti itu diperbolehkan, karena niat si pembeli bukanlah niat yang buruk, bahkan itu adalah niat yang mubah, di mana ia berniat untuk mendapatkan uang, bukan dalam rangka hilah (tipu daya) untuk melakukan praktek riba.

(Diangkat dari Kitab Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah Al-Muta’alliqoh bi Al-Buyu’, karya Syaikh Sulaiman bin Salimillah Ar-Ruhailiy, terbitan Dar Al Mirots An-Nabawiy, Cetakan Pertama, Tahun 1436 H, hal. 101-111, dengan beberapa penyesuaian dan tambahan)

Disusun oleh:
Abu Muslim Nurwan Darmawan, B.A.

Artikel Alukhuwah.Com

Referensi

Referensi
1 Sebagai ilustrasi dari penerapan kaidah ini -meskipun bukan dalam pembahasan jual beli- berkaitan dengan nikah tahlil, yaitu apabila seorang laki-laki mentalaq isterinya sebanyak tiga kali maka tidak boleh baginya menikahinya kembali sehingga mantan isterinya tersebut menikah dengan laki-laki lain. Jika ada laki-laki lain yang menikahi wanita itu namun dengan niatan supaya si wanita bisa kembali menikah dengan suaminya yang pertama, maka akad pernikahan tersebut tidak sah, dan tidak menyebabkan halalnya suami pertama untuk kembali menikahi wanita tersebut. Oleh karena itu para ulama’ mengatakan, “Dipersyaratkan laki-laki itu menikahinya memang karena senang dengan wanita itu, dan ia menceraikannya karena memang sudah tidak suka dengannya.” Ketika itu diperbolehkan bagi si suami pertama untuk menikahi wanita itu lagi. Dari sini dapat diketahui bahwa niat itu memiliki pengaruh dalam akad.
2 HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907
3 HR. Abu Daud no. 2194, At Tirmidzi no. 1184 dan Ibnu Majah no. 2039. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam Irwa’ Al-Ghalil no. 1826.
Back to top button