Mazhab Jumhur Ulama Tentang Beberapa Fiqih Puasa
Di dalam Fiqih Islam ada istilah Jumhur. Maksudnya adalah ‘mayoritas ulama’. Sehingga ketika dikatakan, bahwa hukum masalah ini disepakati oleh jumhur ulama, maksudnya adalah mayoritas ulama sepakat tentang hukum masalah tersebut.
Sehingga istilah “jumhur ulama sepakat” bukan berarti “semua ulama sepakat”. Meskipun demikian, mengikuti pendapat mayoritas ulama adalah salah satu cara dalam memilih pendapat dari suatu masalah yang sulit ditentukan mana yang kuat kebenarannya.
Kita dapati para ulama kontemporer ketika menentukan pilihan pendapat yang dianggap kuat, mereka memilih untuk mengikuti pendapat jumhur ulama.
1. Waktu Niat Puasa
Mayoritas ulama berpendapat bahwa niat puasa Ramadhan wajib dilaksanakan di malam hari. Yang berbeda dengan jumhur dalam masalah ini adalah Imam Abu Hanifah, karena menurut beliau, niat tidak harus di malam hari, bahkan niat sah seandainya dilakukan sebelum masuk waktu salat Zuhur.
Salah satu dalil jumhur ulama adalah hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Nasa’i, dari Hafshah radhiyallahu ‘anha, Nabi bersabda,
مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ
“Siapa yang tidak berniat puasa di malam hari, sebelum terbitnya fajar, maka puasanya tidak sah.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, bahwa Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban membenarkan bahwa hadits ini adalah hadits marfu’.
2. Niat Puasa Ramadhan Setiap Malam
Mayoritas ulama berpendapat, wajib niat puasa Ramadhan di setiap malam, tidak cukup hanya niat berpuasa satu kali untuk satu bulan. Ulama yang berbeda pendapat dengan jumhur dalam masalah ini adalah Imam Malik. Beliau berpendapat boleh niat satu kali untuk satu bulan.
3. Puasa dalam Keadaan Junub
Gambaran dari masalah ini adalah demikian: suami istri di malam hari melakukan jima’, kemudian tidak sempat mandi kecuali setelah melewati waktu shalat Subuh. Atau wanita yang haid, suci di malam hari, dan baru mandi wajib setelah lewat waktu shalat Subuh.
Untuk masalah ini jumhur ulama berpendapat puasanya sah. Dalil pendapat jumhur adalah hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata,
أَنَّ النَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ, ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَيَصُومُ
“Nabi pernah di pagi hari dalam keadaan junub yang disebabkan jima’, kemudian mandi, dan puasa.” (Muttafaq ‘alaihi)
Ummu Salamah menambahkan keterangan bahwa ketika itu, Nabi juga tidak mengqada puasanya. Dua hadits ini disebutkan Al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam kitab Bulughul Maram.
Meskipun demikian, jika suami istri tersebut bisa mengusahakan mandi wajib sebelum masuk waktu salat Subuh, maka hal itu lebih baik. Dan dalam mazhab Syafi’i, mandi wajib sebelum Subuh termasuk amalan yang dianjurkan ketika puasa. Disebutkan di dalam kitab Fathul Mu’in,
“Dan disunnahkan mandi wajib semisal karena junub sebelum terbitnya fajar shadiq.”
4. Musafir yang Kuat Puasa
Jumhur berpendapat, jika musafir kuat puasa, dan akhirnya memilih untuk puasa, maka hal ini lebih baik. Di antara contoh Imam mazhab yang berbeda dengan jumhur ulama adalah Imam Ahmad. Beliau berpendapat dalam kondisi seperti ini, musafir lebih baik tidak puasa.
Dalam masalah ini madzhab Syafi’i mirip pendapat jumhur ulama. Disebutkan di dalam kitab ‘Umdatus Salik,
“Untuk musafir, jika puasanya membahayakan dirinya, maka tidak puasa lebih utama. Adapun jika puasanya tidak membahayakan dirinya, maka puasa lebih utama baginya.”
5. Fidyah untuk Orang Tua Renta yang Tidak Sanggup Puasa
Menurut jumhur ulama, orang tua renta yang tidak sanggup puasa sama sekali, kewajibannya adalah membayar fidyah. Jumhur ulama hanya berbeda pendapat dalam menentukan kadar fidyahnya.
Ukuran Fidyah
Ada yang berpendapat fidyah adalah satu mud, sekitar 600 gram. Dan ini adalah pendapat mazhab Syafi’i. Dan ada juga yang berpendapat setengah sho’, yaitu sekitar 1,5 liter. Fidyah berupa makanan pokok, misalnya beras. Dan diberikan kepada orang miskin.
Syaikh Wahbah Az-Zuhaili, di dalam kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu menyebutkan bahwa mayoritas ulama tidak mengharuskan jumlah orang miskin yang diberi fidyah sebanyak 30 orang. Boleh kurang dari jumlah itu.
Misalkan orang tua renta yang tidak mungkin puasa, maka fidyahnya adalah 30 (hari) dikalikan 600 gram beras. Sehingga totalnya adalah 18 kilogram. Beras sejumlah 18 kilogram ini tidak harus diberikan kepada 30 orang miskin. Jumlah orang miskin yang diberi fidyah bisa kurang dari itu, menurut jumhur ulama.
Atau mengikuti pendapat yang lain, yaitu ukuran fidyah adalah sekitar 1,5 liter. Maka totalnya untuk 30 hari adalah 45 liter.
Dalam menentukan pilihan ukuran fidyah ini, barangkali sebaiknya masing-masing melihat kemampuan. Jika mampu membayar fidyah sesuai pendapat yang lebih banyak, tentu itu lebih baik, insyaallah.
6. Adzan Subuh dalam Keadaan di Mulutnya Ada Makanan
Gambaran dari masalah ini adalah orang yang sahur ketika mendekati masuknya waktu salat Subuh. Kemudian di pertengahan makan, adzan Subuh berkumandang, sebagai tanda masuknya shalat Subuh.
Menurut jumhur ulama, orang tersebut wajib mengeluarkan makanannya dari mulut dan tidak boleh menelannya. Hal ini sesuai dengan mazhab Syafi’i. Disebutkan di dalam kitab Fathul Mu’in,
“Seandainya fajar shadiq telah muncul dan di mulutnya ada makanan, lalu dia mengeluarkannya dari mulut sebelum ada sebagian dari makanan yang masuk ke lambungnya maka puasanya sah.”
7. Menelan Sesuatu yang Bukan Makanan dengan Sengaja
Menurut mayoritas ulama, orang puasa yang menelan sesuatu, apapun bentuknya, walaupun bukan makanan, tapi jika dilakukan dengan sengaja, maka puasanya batal.
8. Bekam Ketika Puasa
Menurut jumhur ulama, bekam tidak membatalkan puasa. Di antara contoh dalilnya adalah hadits riwayat Imam Bukhari, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berbekam dalam keadaan puasa.
Masalah bekam ketika puasa, termasuk masalah yang cukup rumit, karena dalil-dalil yang ada sekilas terlihat saling bertentangan.
Di dalam kitab Bidayatul Mujtahid disebutkan, bahwa dalam masalah ini ada tiga pendapat:
Pertama, berbekam membatalkan puasa.
Kedua, berbekam hukumnya boleh dan tidak membatalkan puasa.
Ketiga, berbekam hukumnya makruh, akan tetapi tidak membatalkan puasa.
9. Orang yang Meninggal dan Mempunyai Utang Puasa
Di dalam kitab Kifayatul Akhyar ada penjelasan bahwa orang yang mempunyai utang puasa, dan sebetulnya mampu untuk melunasinya, kemudian meninggal dunia, maka orang seperti ini dianggap mempunyai utang puasa.
Ulama berbeda pendapat tentang bagaimana cara melunasinya. Menurut jumhur ulama, cara melunasinya adalah dengan dibayarkan fidyah sesuai dengan jumlah utang puasanya.
Besarnya fidyah adalah satu mud untuk satu hari utang puasanya. Satu mud sekitar 600 gram beras. Dan biaya fidyah ini diambil dari harta orang yang meninggal sebelum dibagikan kepada ahli waris.
10. Orang Kafir yang Masuk Islam Ketika Bulan Ramadhan
Contoh gambaran masalah ini adalah ketika ada orang yang masuk Islam di hari ke 21 Ramadhan, apakah dia dianggap mempunyai utang puasa sebanyak 20 hari?
Menurut mayoritas ulama, orang tersebut tidak dianggap mempunyai utang puasa.
Referensi:
- Kitab Bulughul Maram, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar.[1]Kitab Bulughul Maram, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar.
- Kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, karya Al-Qadhi Ibnu Rusyd.[2]Kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, karya Al-Qadhi Ibnu Rusyd.
- Kitab Fathul Mu’in bi Syarhi Qurratil ‘Ain bi Muhimmatid Din, karya Syaikh Al-‘Allamah Al-Mallibari.[3]Kitab Fathul Mu’in bi Syarhi Qurratil ‘Ain bi Muhimmatid Din, karya Syaikh Al-‘Allamah Al-Mallibari.
- Kitab ‘Umdatus Salik wa ‘Uddatun Nasik, karya Syihabuddin Ahmad bin An-Naqib Al-Mishri.[4]Kitab ‘Umdatus Salik wa ‘Uddatun Nasik, karya Syihabuddin Ahmad bin An-Naqib Al-Mishri.
- Kitab Mausu’ah Masa-il Al-Jumhur, karya Dr. Muhammad Na’im Muhammad Hani Sa’i.[5]Kitab Mausu’ah Masa-il Al-Jumhur, karya Dr. Muhammad Na’im Muhammad Hani Sa’i
Fajri Nur Setyawan, Lc
Artikel Alukhuwah.Com
Referensi
1 | Kitab Bulughul Maram, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar. |
---|---|
2 | Kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, karya Al-Qadhi Ibnu Rusyd. |
3 | Kitab Fathul Mu’in bi Syarhi Qurratil ‘Ain bi Muhimmatid Din, karya Syaikh Al-‘Allamah Al-Mallibari. |
4 | Kitab ‘Umdatus Salik wa ‘Uddatun Nasik, karya Syihabuddin Ahmad bin An-Naqib Al-Mishri. |
5 | Kitab Mausu’ah Masa-il Al-Jumhur, karya Dr. Muhammad Na’im Muhammad Hani Sa’i |