Akhlaq: Hak-Hak Tetangga (Bagian Keempat)

Diantara Sebab Binasa dan Kerugian Seseorang adalah karena Mengganggu Tetangganya

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ‏:‏ قَالَ رَجُلٌ‏:‏ يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ لِي جَارًا يُؤْذِينِي، فَقَالَ‏:‏ انْطَلِقْ فَأَخْرِجْ مَتَاعَكَ إِلَى الطَّرِيقِ، فَانْطَلَقَ فَأَخْرِجَ مَتَاعَهُ، فَاجْتَمَعَ النَّاسُ عَلَيْهِ، فَقَالُوا‏:‏ مَا شَأْنُكَ‏؟‏ قَالَ‏:‏ لِي جَارٌ يُؤْذِينِي، فَذَكَرْتُ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، فَقَالَ‏:‏ انْطَلِقْ فَأَخْرِجْ مَتَاعَكَ إِلَى الطَّرِيقِ، فَجَعَلُوا يَقُولُونَ‏:‏ اللَّهُمَّ الْعَنْهُ، اللَّهُمَّ أَخْزِهِ‏.‏ فَبَلَغَهُ، فَأَتَاهُ فَقَالَ‏:‏ ارْجِعْ إِلَى مَنْزِلِكَ، فَوَاللَّهِ لاَ أُؤْذِيكَ‏.‏

Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Seorang berkata pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam : “Wahai Rasulullah saya punya tetangga yang menggangguku.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  lalu berkata padanya : “Pulanglah dan keluarkanlah barang milikmu ke jalan.” Orang itu lalu pulang dan mengeluarkan barang miliknya ke jalan. Maka orang-orang berkumpul padanya dan bertanya. “Apa yang terjadi padamu?” Orang itu menjawab : “Tetanggaku mengganggu, lalu kuceritakan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau berkata : “Pulanglah dan keluarkanlah barang milikmu.”

Orang-orang lalu berkata : “Ya Allah laknat dan hinakanlah dia”.

Rupanya hal itu terdengar oleh tetangganya. Maka berangkatlah ia untuk menemuinya dan berkata : “Kembalilah ke rumahmu, demi Allah saya tidak akan mengganggumu lagi.” (Hasan Shahih riwayat Bukhori di kitab Adabul Mufrad no. 124. Lihat juga At Ta’liq Ar Raghib 3/235, Abu Dawud : 40-Kitab Al Adab, 123-Bab Fii Haqqil Jaar 93/125)

Terkadang gangguan tetangga itu melebih batas sehingga tetangga yang diganggu sampai tidak kuat menahannya sampai-sampai terpaksa dia melaporkan perbuatan tetangganya kepada pemimpin sehingga berhentilah gangguan itu. Lihatlah laki-laki ini, dia berkata kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam : “Wahai Rasulullah saya punya tetangga yang menggangguku.” Apa yang harus diperbuat?

Maka Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Pulanglah dan keluarkanlah barang milikmu ke jalan”. Laki-laki ini pun pulang dan mengeluarkan seluruh barang miliknya. Tujuannya adalah untuk menampakkan jeleknya perbuatan tetangganya dan keterlaluannya gangguan si tetangga. Sehingga orang-orang pun mendoakan laknat bagi tetangga yang jelek itu lalu mendatangi tetangga yang diganggu dan memintanya agar pulang dan tidak akan mengganggunya lagi. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan arahan kepada sesuatu yang dapat melepaskan si tetangga yang terdholimi ini dari gangguan tetangganya yang jahat. Yaitu dengan memperlihatkan perlakuan tetangga kepada orang-orang agar dia berhenti mengganggu.

عَنْ أَبِيْ عَامِرٍ الحِمْصِي قَالَ : كَانَ ثَوْبَانُ يَقُوْلُ : مَا مِنْ رَجُلَيْنِ يَتَصَارَمَانِ فَوْقَ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فَيَهْلَكُ أَحَدُهُمَا فَمَاتَا وَهُمَا عَلَى ذٰلِكَ مِنَ الصَّرَامَةِ إِلَّا هَلَكَا جَمِيْعًا وَمَا مِنْ جَارٍ يَظْلِمُ جَارَهُ وَيَقْهَرُهُ حَتَّى يَحْمِلَهُ ذٰلِكَ عَلَى أَنْ يَخْرُجَ مِنْ مَنْزِلِهِ إِلَّا هَلَكَ

Dari Abu Amir Al Himshi beliau berkata : Dahulu Tsauban pernah mengatakan : “Tidaklah dua orang yang sedang bertengkar melebihi tiga hari sehingga salah satunya binasa, maka ketika keduanya meninggal dan keduanya masih dalam pertengkaran itu, kecuali kedua-duanya akan binasa semua. Tidaklah seorang tetangga mendholimi tetangga lainnya, menaklukkannya (menguasainya) sampai perkara itu menjadikan tetangganya keluar dari rumahnya, kecuali tetangga yang dholim ini pasti binasa”. (HR. Bukhari di kitab Adabul Mufrad no. 127 dan di dishahihkan oleh Syaikh Al Albani rahimahullahu ta’ala)

Maksudnya adalah bahwa diantara sebab binasa dan kerugiannya seseorang adalah karena mengganggu tetangganya. Dimana sang tetangga ini keluar dari rumahnya dalam keadaan terzalimi atau terkuasai, sehingga dia sampai mencari tempat tinggal lainnya untuk melindunginya dari gangguan tetangganya atau gangguan orang lain.

Besarnya Hak Tetangga

Maka dari itu, syariat Islam datang dengan menekankan hak tetangga dan dosanya berbuat jahat dan melampaui batas terhadap tetangga. Selain itu syariat Islam juga berwasiat agar berbuat baik, memuliakan dan menghormati tetangga. Semakin dekat jarak rumah dengan tetangga maka semakin besar dan semakin kuat pula hak tetangga tersebut.

عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ المُؤْمِنِيْنَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا ، قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللَّهِ، إِنَّ لِيْ جَارَيْنِ فَإِلَى أَيِّهِمَا أُهْدِي؟ قَالَ: إِلَى أَقْرَبِهِمَا مِنْكِ بَابًا.

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, aku berkata : Ya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, aku memiliki dua tetangga, kepada siapakah aku memberikan hadiah?? Beliau bersabda : “Kepada tetangga yang dari keduanya lebih dekat dengan pintu rumahmu”. (HR. Bukhari no. 6020 dan 2259)

Maksudnya adalah jika haidah itu tidak cukup kecuali hanya diberikan kepada satu orang. Adapun jika hadiah itu mencukupi seluruhnya, maka diberikan kepada seluruhnya agar dapat membahagiakan mereka. Atau jika bisa diberikan kepada lebih dari satu orang maka dibagikan kepada tetangga yang mudah bagi dirinya untuk memberikan hadiah tersebut.

عَنْ عَلْقَمَةَ بْنَ بَجَالَةِ بْنِ زَيْدٍ قَالَ : سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ : وَ لَا يُبْدَأُ بِجَارِهِ الأَقْصَى قَبْلَ الأَدْنَى ، وَلٰكِنْ يُبْدَأُ بِالأَدْنَى قَبْلَ الأَقْصَى

Dari Alqomah bin Bajalah bin Zaid, beliau berkata : Aku mendengar Abu Hurairah berkata :  “Janganlah memulai (dalam hal memberi) dengan tetangga yang lebih jauh sebelum yang lebih dekat. Melainkan mulailah dengan tetangga terdekat sebelum yang paling jauh.” (HR. Bukhari di kitab Adabul Mufrad no. 110)

Apabila seseorang memiliki hadiah lalu tidak cukup kecuali diberikan kepada satu tetangga, maka hendaknya dia tidak memberikan kepada tetangga yang jauh lalu membiarkan tetangga yang dekat. Hendaknya dia memberikan kepada tetangga yang paling terdekat, yang paling dekat, yang dekat dan seterusnya dan dimulai dari yang terdekat pintunya dengan rumah.

Siapakah Tetangga Kita ?

عَنِ الْوَلِيدِ بْنِ دِينَارٍ، عَنِ الْحَسَنِ، أَنَّهُ سُئِلَ عَنِ الْجَارِ، فَقَالَ‏:‏ أَرْبَعِينَ دَارًا أَمَامَهُ، وَأَرْبَعِينَ خَلْفَهُ، وَأَرْبَعِينَ عَنْ يَمِينِهِ، وَأَرْبَعِينَ عَنْ يَسَارِهِ‏‏

Dari Walid bin Dinar, dari Al Hasan, bahwasanya beliau pernah ditanya tentang siapa tetangga itu? Beliau menjawab : “Istilah ‘tetangga’ itu meliputi empat puluh rumah di depan seseorang, empat puluh rumah di belakangnya, empat puluh rumah di sebelah kanannya dan empat puluh rumah di sebelah kirinya.” (HR. Bukhari di kitab Adabul Mufrad no.109 dan diHasankan oleh Syaikh Al Albani rahimahullahu ta’ala)

Maksudnya adalah bahwa tetangga itu meliputi 40 rumah dari empat arah ; depan, belakang, kanan dan kiri. Jika mereka semua itu teranggap sebagai tetangga, maka terkadang seseorang tidak mampu berbuat baik atau memberikan manfaat kepada mereka semua. Sehingga caranya adalah dengan memberikan manfaat itu kepada yang paling dekat dan seterusnya.

Dari ibnu Umar, ia berkata,

لَقَدْ أَتَى عَلَيْنَا زَمَانٌ – أَوْ قَالَ : حِيْنٌ- وَمَا أَحَدٌ أَحَقُّ بِدِيْنَارِهِ وَدِرْهَمِهِ مِنْ أَخِيْهِ الْمُسْلِمِ، ثُمَّ الآنَ الدِّيْنَارُ وَالدِّرْهَمُ أَحَبُّ إِلىَ أَحَدِنَا مِنْ أَخِيْهِ الْمُسْلِمِ

“Telah datang kepada kami (para sahabat) suatu zaman di mana seorang itu (merasa) saudaranya sesama muslim lebih berhak untuk memiliki dirham dan dinar yang ia miliki. Namun sekarang, dinar dan dirham lebih dicintai oleh salah seorang di antara kita daripada saudaranya sesama muslim.

Saya telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

كَمْ مِنْ جَارٍ مُتَعَلِّقٍ بِجَارِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، يَقُوْلُ، يَا رَبِّ! هَذَا أَغْلَقَ بَابَهُ دُوْنِي، فَمَنَعَ مَعْرُوْفَهُ!

“Berapa banyak tetangga yang akan memegang tangan tetangganya di hari kiamat sambil berkata, ”Wahai Rabb-ku orang ini menutup pintunya dariku dan dia enggan memberi apa yang ia miliki.” (Hasan Lighairihi, yakni hasan dilihat dari jalur yang lain. Lihat Ash Shahihah 2616 dan juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad no.111)

Maksudnya adalah menutup pintu. Yaitu dalam keadaan tetangga ini membutuhkan bantuan dan tetangganya memiliki kelebihan simpanan harta namun dia melarangnya dan menutup pintunya. Lalu dia nanti di akhirat akan mengadu kepada Allah karena tetangganya telah mencegah kebaikan dalam keadaan tetangga membutuhkan dan tetangga yang dimintai bantuan berkecukupan.

Dari Abdullah bin Al Musawwir, Aku mendengar Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma memberikan kabar kepada Ibnu Zubair, beliau berkata : Aku mendengar bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda bersabda :

لَيْسَ الْمُؤْمِنُ الَّذِي يَشْبَعُ وَجَارُهُ جَائِعٌ

“Bukanlah mukmin sejati, orang yang kenyang, sementara tetangga di sampingnya kelaparan.” (HR. Bukhari di kitab Adabul Mufrad no. 112 dan Abu Ya’la dalam Musnadnya, dan sanadnya dinilai hasan oleh Husain Salim Asad)

Tidak boleh bagi seseorang untuk tidur dalam keadaan kenyang, dia memiliki kelebihan simpanan harta atau makanan lalu membiarkan tetangganya kelaparan padahal dia tahu hal itu dan membiarkannya begitu saja.

Penafian disini adalah penafian keimanan yang wajib, karena tidak boleh menafikan iman kecuali disebabkan karena meninggalkan perkara wajib. Di dalam hadits ini terdapat penjelasan bahwa diantara bentuk keharaman adalah seseorang tidur dalam keadaan kenyang dan memiliki persediaan kecukupan sedangkan tetangganya tidur dalam keadaan kelaparan. Namun jika dia tidak memiliki barang kecuali hanya dapat mencukupi dan mengenyangkan dirinya dan anaknya maka hal ini tidaklah berdosa.

Tidak Boleh Meremehkan Pemberian Tetangga

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا نِسَاءَ المُسْلِمَاتِ، لاَ تَحْقِرَنَّ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا، وَلَوْ فِرْسِنَ شَاةٍ

“Wahai para wanita muslimah, janganlah satu tetangga meremehkan pemberian tetangga yang lainnya, meskipun hanya kikil yang tak berdaging.” (HR. Bukhari 2566 dan Muslim 1030).

Maksudnya adalah seorang tetangga tidak boleh meremehkan pemberian tetangga lainnya baik dari hadiah, pemberian atau yang lainnya sekalipun jumlahnya sedikit. Sekalipun pemberian itu berupa barang yang sepele yang kebanyakan manusia tidak menganggapnya perkara besar.

Referensi :

Kitab Ahaditsul Akhlaq karya Syaikh Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin Al Badr hafidzahullahu ta’ala halaman 108-111.

Diterjemahkan oleh Ahmad Imron Al Fanghony

Back to top button