Pemalsuan Hadits dan Sikap Para Ulama Terhadapnya
A. Pemalsuan Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
Hadits merupakan sumber ajaran islam kedua setelah al-Qu’an sekaligus sebagai penjelas isi yang terkandung di dalamnya, yang merupakan pedoman dan tuntutan bagi umat islam dalam melaksanakan seluruh aktivitasnya, baik masalah ibadah, budi pekerti, sosialisasi dalam kehidupan masyarakat dan lain sebagainya dalam menggapai kebahagiaan dan keridhoan di sisi Allah Ta’ala.
Menurut ulama hadits, hadits adalah semua yang disandarkan kepada Nabi Muhammad baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan maupun sifat. Sedangkan hadits maudhu’ adalah hadits yang didustakan atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dahulu para sahabat menerima penukilan hadits tanpa mengecek keadaan yang menyampaikannya, karena mereka sudah paham bahwa yang menyampaikan hadits tersebut adalah orang-orang yang terpercaya dan kebiasaan berbohong belum merajalela pada masa itu. Sampai kemudian muncullah fitnah, mereka mulai mempertanyakan asal hadits yang disampaikan oleh seseorang. Dalam Mukadimah Shahih Muslim, terdapat riwayat dari Ibnu Sirin yang berkata, “Dahulu mereka (para sahabat) tidak pernah menanyakan tentang sanad, akan tetapi ketika terjadi fitnah, mereka berkata, ‘Sebutkan kepada kami dari siapa kalian mengambil riwayat hadits’, lalu mereka mengambil hadits-hadits dari ahlussunnah dan meninggalkan hadits-hadits ahlulbid’ah”. [1]Muqaddimah Shahih Muslim, 10
Permulaan munculnya pemalsuan hadits adalah di akhir masa kekhalifahan Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu kemudian fitnah ini terus bertambah dan menyebar setelah beliau wafat.
Dengan bergantinya zaman, fitnah terus muncul dan menyebar di kalangan umat islam, musuh-musuh islam senantiasa berusaha untuk menghancurkan islam dengan menyebarkan fitnah, keraguan, serta syubhat di kalangan umat islam. Diantara usaha mereka dalam menghancurkan agama ini yaitu dengan melemparkan fitnah-fitnah serta syubhat-syubhat terhadap hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan orang-orang yang meriwayatkannya, seperti menolak hadits dengan akal mereka, menuduh bahwa perawi-perawi tersebut mengikuti hawa nafsu, memalsukan hadits, dan lain sebagainya.
Pemalsuan hadits dalam sejarah umat islam merupakan kenyataan yang tak terelakkan, bahkan terus bertambah dan berkembang dengan berbagai sebab yang melatarbelakangi hal tersebut, Imam Ibnu Hajar al Asqalani berkata, “Dan pemalsu hadits melakukan pemalsuan hadits karena tidak memiliki pemahaman agama yang benar seperti orang-orang zindiq (orang-orang yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafiran), kebodohan seperti muta’abbidin (ahli ibadah yang hanya fokus pada amalan tanpa memperhatikan ilmu), kefanatikan seperti muqallidin (orang-orang yang mengambil pendapat orang lain tanpa dalil), mengikuti hawa nafsu para pemimpin, atau mencari ketenaran dengan melakukan sesuatu yang asing…”
Akan tetapi Allah ta’ala senantiasa menjaga hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah ta’ala berfirman,
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُوْنَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Qs. al Hijr: 9)
Ayat yang mulia ini adalah nash penjagaan al-Qur`an dan juga terkandung penjagaan terhadap hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka Allah menyiapkan para ulama yang akan menjaga sunnah, mengerahkan semangat mereka dalam memerangi pemalsuan hadits, meneliti sanad-sanad dan matan-matan hadits, membedakan yang diterima dan ditolak serta meletakkan kaidah-kaidah secara detail agar tidak ada yang masuk ke dalam hadis apa apa yang bukan darinya. Mereka juga menulis tentang hadits-hadits maudhu’ (palsu) untuk memperingati kaum muslimin darinya serta menulis biografi para pemalsu hadits agar manusia menjauhi mereka dan tidak mengambil riwayat mereka.
B. Sikap Para Ulama terhadap Pemalsuan Hadits
Para Ulama ahli hadits berusaha keras dalam memerangi pemalsuan hadits ini, diantaranya dengan memeriksa sanad-sanad dan matan-matan hadits palsu satu persatu serta membongkar kepalsuan hadits-hadits palsu tersebut.
Diantara usaha para ulama dalam memerangi pemalsuan hadits ini adalah apa yang dilakukan khalifah Harun ar Rasyid yang memerintahkan untuk membunuh seorang zindiq, orang zindiq tersebut berkata kepadanya, “Apa yang bisa kau lakukan terhadap 4000 hadits yang telah kupalsukan, aku haramkan di dalamnya apa-apa yang halal serta aku halalkan apa-apa yang haram, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah mengucapkannya satu huruf pun”. Harun ar Rasyid pun menjawab, “Apakah kau tidak tahu wahai zindiq tentang keahlian Abdullah bin al Mubarak dan Abu Ishaq al-Fazari? Mereka akan menelitinya dan menilainya huruf per huruf. [2]Tadzkiratul Huffaz, 273
Berikut usaha-usaha para ulama ahli hadits dalam menjaga hadits dari pemalsuan dan perubahan:
1. Mensyaratkan adanya sanad dalam periwayatan
Sesungguhnya sanad adalah kekhususan umat islam, sehingga para ulama ahli hadits mensyaratkan adanya sanad dalam periwayatan suatu hadits. Sanad ini dimulai sejak terjadinya fitnah, Ibnu Sirin berkata, “Dahulu mereka (para sahabat) tidak pernah menanyakan tentang sanad, akan tetapi ketika terjadi fitnah, mereka berkata, ‘Sebutkan kepada kami dari siapa kalian mengambil riwayat hadits’, lalu mereka mengambil hadits-hadits dari ahlussunnah dan meninggalkan hadits-hadits ahlul bid’ah” [3]Muqaddimah Shahih Muslim, 10
Berkata Abdullah bin al Mubarak, “Isnad itu bagian dari agama. Kalau sekiranya tidak ada isnad, niscaya siapa saja dapat mengatakan apa saja yang ia mau katakan.” [4]Muqaddimah Shahih Muslim, 10
2. Menggunakan ilmu tarikh untuk mengetahui para pendusta
Ulama ahli hadits menyempurnakan ilmu sejarah perawi hadits dengan menentukan tahun kelahiran mereka, tahun wafat mereka, perjalanan mereka dalam menuntut ilmu, negara-negara yang mereka masuki, dan lain sebagainya. Hal tersebut memiliki pengaruh yang besar dalam mengungkap pendusta-pendusta dan kedustaan mereka.
Berkata Sufyan ats Tsauri, “Tatkala para perawi melakukan kedustaan maka kami meneliti sejarah mereka.” [5]Al Kifayah, 119
3. Mengawasi para pendusta dan memperingatkan mereka
Para ulama sangat bersemangat dalam membongkar para pendusta dan mengumumkan kedustaan mereka kepada manusia, Yahya bin Sa’id berkata, “Aku bertanya kepada Syu’bah, Sufyan ats Tsauri, Malik bin Anas, serta Sufyan bin Uyainah tentang seorang laki-laki yang tertuduh berdusta dalam hadits, mereka berkata, ‘Jelaskan tentangnya kepada manusia’”. [6]Al Kifayah, 43
Dahulu para ulama memperingatkan manusia dari majelis-majelis pendusta dan menyuruh mereka agar mendatangi majelis-majelis orang-orang tsiqah (terpercaya), diantara contohnya adalah tatkala Ja’far bin az Zubair seorang pendusta dan Imran bin Judair seorang yang tsiqah sedang bermajelis di satu masjid yang sama, dan orang-orang lebih banyak yang mendatangi majelis Ja’far (sebelum mengetahui tentang kedustaannya), kemudian Syu’bah bin al Hajjaj melewati mereka dan berkata seraya mengeraskan suaranya, “Sungguh mengherankan!! Kalian berkumpul dengan pendusta dan meninggalkan orang yang paling jujur!”. Akhirnya orang-orang pun meninggalkan majelis Ja’far dan mendatangi majelis Imran. [7]Tahdzibut Tahdzib, 618
4. Menjelaskan keadaan para perawi
Para ulama meneliti keadaan-keadaan para perawi, mengumpulkan keadaan-keadaan mereka serta memberikan ta’dil (pujian) dan jarh (celaan), mengumpulkan nama-nama syeikh dan murid mereka, dan membedakan siapa saja yang banyak hafalannya dan yang lebih banyak hafalannya, yang kuat hafalannya dan yang lebih kuat hafalannya, serta mengetahui siapa saja yang hafalannya buruk, seorang mudallis, banyak salah nya, yang tertuduh berdusta, yang pendusta dan lain lainnya. Para ulama mempelajari hal tersebut dengan detail, kemudian mengajarkannya kepada murid-muridnya, serta menuliskan keadaan-keadaan perawi ke dalam satu kitab yang disebut dengan ilmu rijal (ilmu-ilmu yang membahas keadaan para perawi hadits). Sebagian mereka ada yang menuliskan kitab tsiqat (yang membahas para perawi tsiqah), kitab dhu’afa’ (yang membahas para perawi dha’if), dan kitab wadhdha’in (yang membahas para perawi pendusta atau yang suka memalsukan hadits), disertai dengan lafazh-lafazh jarh dan ta’dil yang dengannya dapat diketahui kedudukan para perawi.
Dahulu para ulama mengkhususkan satu hari untuk menjelaskan keadaan-keadaan perawi di majelis-majelis mereka, Abu Zaid al Anshari berkata, “Suatu hari kami mendatangi Syu’bah, kemudian ia berkata, ‘Hari ini bukan untuk mempelajari hadits, namun hari untuk ghibah (menceritakan keadaan perawi), mari kita bicarakan keadaan para pendusta’”. [8]Al kifayah, 45
Para ulama pun tidak segan segan untuk mengomentari keluarga mereka, Zaid bin Abi Unaisah berkata, “Jangan meriwayatkan hadits dari saudaraku”.
5. Membagi hadits ke dalam beberapa tingkatan
Ulama ahli hadits membagi hadits ke beberapa tingkatan sesuai dengan kaidah mereka dalam mengomentari suatu hadits baik sanadnya atau pun matannya. Hadits Mutawatir adalah hadits yang paling tinggi tingkatannya, kemudian hadits shahih, hasan, dan setelahnya hadits dha’if dan ia memiliki lebih dari 50 macam, kemudian hadits maudhu’. Tingkatan tersebut berdasarkan terpenuhi atau tidaknya 6 syarat diterimanya suatu hadits, yaitu: bersambungnya sanad, keadilan perawinya, kekuatan hafalan perawinya, tanpa adanya kerancuan, serta sebab-sebab yang merusak suatu hadits, serta adanya penguat apabila dibutuhkan.
6. Penulisan kitab hadits maudhu’ (hadits palsu)
7. Menentukan tanda-tanda hadits maudhu’ (hadits palsu).
Sumber
- Muqaddimah Shahih Muslim, Imam Muslim
- Nuzhatun Nadzar, Ibnu Hajar al Asqalani
- Tadwin as Sunnah an Nabawiyah Nasyatuhu wa Tathawwaruhu min al Qarni al Awwal ila al Qarni at Tasi’ al Hijri, Muhammad Matar az Zahrani
- Taisir Musthalah al Hadits, Mahmud at Tahhan
- Al Wadh’u fil Hadits, Umar bin Hasan Falatah
- Al Manarul Munif fis Shahih wa Dha’if, Ibnul Qayyim
- Al-kifayah fi `ilm al-riwayah. Abu Bakr Aḥmad bin Ali Khaṭib al-Baghdadi
Disusun Oleh:
Aisyah binti Kholid Syamhudi