Qawa’id Fiqhiyyah: Kebiasaan Berubah Menjadi Ibadah dengan Niat yang Baik

Makna Kaidah

Kaidah ini menjelaskan tentang keberadaan amalan dan aktivitas yang termasuk kategori adat yang hukum asalnya mubah akan bernilai ibadah apabila diiringi dengan niat yang shalih. Untuk merealisasikan hal itu seseorang dituntut untuk memunculkan perasaan ta’abbud (peribadahan) di dalam hatinya setiap kali hendak mengerjakan perkara yang mubah tersebut, dan juga ketika mengerjakannya. 

Jika hal itu dilakukan maka perkara adat dan kebiasaan tersebut akan berubah dari keberadaanya sebagai perkara yang mubah menjadi ibadah dan menjadi bagian amal kebaikan baginya. Maka setiap aktivitas adat kebiasan yang kita niatkan dengan kebaikan maka akan berubah menjadi ibadah. Sebagaimanan perkara adat juga bisa berubah menjadi kemaksiatan jika disertai dengan niat yang jelek.

Dalil yang Mendasarinya

Kaidah ini adalah salah satu cabang dari kaidah yang termasuk lima kaidah besar dalam pembahasan fiqih yaitu kaidah اْلأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا  “amal perbuatan tergantung dengan niatnya”. Adapun dalil dari kaidah ini di antaranya adalah hadits ‘Umar bin Khatthab yang telah disepakati akan keshahihannya di mana Rasulullah ﷺ bersabda :

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Sesungguhnya semua amalan itu dikerjakan dengan niat, dan setiap orang mendapatkan apa yang ia niatkan.” (HR. al-Bukhori no. 1 dan Muslim no. 1907.) [1]HR. al-Bukhori no. 1 dan Muslim no. 1907.

Demikian pula disebutkan dalam hadits Abu Dzar, di mana Rasulullah ﷺ bersabda :

وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ؟ قَالَ: أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ، فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلَالِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ“

Dan seseorang mencampuri istrinya pun termasuk sedekah. Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah salah seorang di antara kami menyalurkan syahwatnya, dia akan mendapatkan pahala?” Beliau bersabda, “Bagaimana pendapat kalian seandainya dia menyalurkannya di jalan yang haram, bukankah baginya dosa? Demikianlah halnya jika dia menyalurkannya pada jalan yang halal, maka dia mendapatkan pahala.” (HR. Muslim no. 1006.) [2]HR. Muslim no. 1006.

Imam Ibnu Daqiqil ‘Id ketika menjelaskan hadits ini mengatakan, “Telah berlalu pembahasan bahwa perkara-perkara mubah akan menjadi ketaatan dikarenakan niat. Maka mencampuri isteri akan menjadi ibadah jika seseorang meniatkannya untuk memenuhi hak isteri dan mempergauliya dengan ma’ruf, atau berniat supaya mendapatkan keturunan yang sholih, atau menjaga kehormatan dirinya dan isterinya, atau selainnya dari maksud-maksud yang baik.” [3]Lihat Syarh al-Arba’in an-Nawawiyyah fi al-Ahadits as-Shahihah an-Nabawiyyah, Majmu’ah min al-‘Ulama’ (I’tana bihi : Mahmud bin al-Jamil Abu ‘Abdillah), Cet. I, Tahun 1426 H, Dar … Continue reading

Contoh Penerapan Kaidah

Di antara contoh penerapan kaidah yang mulia ini adalah sebagai berikut :

  1. Makan dan minum asalnya adalah rutinitas dan kebiasaan keseharian yang mubah. Seseorang tidak mendapatkan pahala ataupun dosa ketika mengerjakannya. Namun aktivitas tersebut bisa berubah dari keberadaannya sebagai sesuatu yang mubah menjadi suatu amalan yang bernilai ibadah dengan mengimplementasikan kaidah ini.

    Yaitu sebelum seseorang meletakkan tangannya untuk mengambil makanan dan sebelum mengangkat minuman ke mulutnya, maka ia munculkan niat untuk menguatkan badannya dalam rangka beribadah dengan sarana makan dan minum itu. Hal ini dikarenakan badan tidaklah mampu untuk melaksanakan ibadah kecuali jika mempunyai kekuatan, dan itu akan didapatkan dengan makan dan minum.

    Maka hendaklah seseorang memunculkan niat yang mulia ini ketika makan dan minum, disertai dengan menerapkan adab-adab syar’i di dalamnya, seperti mengawali dengan menyebut nama Allah ﷻ, makan dengan tangan kanan, mulai mengambil makanan dari yang terdekat, dan semisalnya dari adab-adab makan secara syar’i.

    Jika hal itu dilakukan maka waktu yang dihabiskan untuk makan dan minum itu akan bernilai  ibadah dan termasuk bentuk taqarrub yang diberikan pahala atasnya.
  2. Memakai jam tangan hukum asalnya adalah mubah, akan tetapi jika seseorang  memakainya dengan niat untuk menjaga waktu-waktu shalat, atau menjadikan sarana untuk menunaikan janji-janji yang telah dibuatnya, demikian pula sebagai wasilah untuk mengatur waktunya supaya senantiasa di dalam ketaatan, dan semisalnya dari niat-niat yang baik, maka hal itu akan merubahnya dari kategori adat kebiasaan menjadi ibadah.

    Karena adat akan berubah menjadi ibadah dengan niat yang shalih. Dan perlu kita perhatikan bahwa niat tersebut hanyalah sekedar tekad yang ada di dalam hati, dan tidak perlu diucapkan, tidak pula diawali dengan berwudhu, atau semisalnya. Sesungguhnya niat adalah amalan hati yang sederhana dan mudah tanpa adanya kesulitan di sana.
  3. Berangkat menuju ke tempat kerja, hukum asalnya termasuk kebiasaan yang mubah Seseorang tidak diberi pahala ataupun mendapatkan dosa atasnya. Sebagaimana dimaklumi bahwa seseorang menghabiskan banyak waktu dalam pekerjaannya.

    Maka bagi seorang yang berakal semestinya berusaha untuk menjadikan aktivitas tersebut menjadi bagian amal shalihnya. Dan hal itu bisa didapatkan dengan memunculkan niat yang sholih.

    Di antaranya dengan niatan untuk mencari harta yang halal sehingga tidak meminta-minta kepada orang lain, dan menjadi sarana baginya untuk menunaikan kewajiban memberi nafkah kepada orang-orang yang ditanggungnya, baik istri ataupun anaknya.

    Hal ini sebagaimana sabda Nabi ﷺ dalam hadits Sa’ad bin Abi Waqqosh :

    إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فِي امْرَأَتِكَ

    “Sesungguhnya engkau tidaklah memberikan nafkah yang dengannya engkau mengharapkan wajah Allah kecuali pasti diberi pahala atasnya, sampai makanan yang engkau suapkan ke mulut isterimu.” (HR. al-Bukhari no. 56.) [4]HR. al-Bukhari no. 56.
  4. Tidur termasuk kategori kebiasaan yang mubah, seseorang asalnya tidak mendapatkan pahala ataupun dosa karena melakukannya. Sebagaimana dimaklumi bahwa seseorang menghabiskan banyak waktu untuk tidurnya.

    Maka bagaimanakah kiat supaya kebiasaan tersebut bernilai ibadah? Jawabannya: Tidur akan bernilai ibadah jika seseorang meniatkannya dengan kebaikan. Seperti berniat untuk mengembalikan kekuatan badannya dalam rangka mengerjakan amal ketaatan kepada Allah ﷻ.

    Yang demikian itu dikarenakan banyaknya aktivitas sehari-hari akan menyebabkan hilang nya kekuatan badan jika tidak diimbangi dengan istirahat. Oleh karena itu, seseorang yang sering begadang akan merasakan badannya tidak mampu mengerjakan aktivitas sebagaimana biasa, bahkan bisa terganggu pikirannya sehingga kadangkala melihat sesuatu berbeda dengan realitanya.

    Oleh karena itu, setiap orang membutuhkan tidur, bahkan itu termasuk kebutuhan badan yang utama. Karena seseorang tidak mungkin terlepas dari tidur, dan banyak waktu yang tersita untuk itu, maka tidak sepantasnya kita menyia-nyiakan waktu tidur tanpa ada faedah yang kita dapatkan.

    Kita hendaknya berupaya supaya aktivitas tersebut menjadi bagian timbangan amal kebaikan kita. Hal itu akan didapatkan dengan meniatkannya dalam rangka beribadah kepada Allah ﷻ dan mengharapkan pahala darinya. Disertai dengan memperhatikan adab-adab ketika tidur secara syar’i, seperti berwudhu terlebih dahulu sebelumnya, mengucapkan dzikir-dzikir yang disunnahkan, dan tidur dengan sisi badan sebelah kanan.

    Jika seseorang melakukannya disertai dengan niat yang shalih maka tidurnya akan berubah dari adat menjadi ibadah, karena adat berubah menjadi ibadah dengan niat yang shalih.

Ini adalah sebagian contoh penerapan kaidah ini, dan secara ringkas kita katakan bahwa adat kebiasaan jika dilakukan dengan niat yang baik maka menjadi amal ketaatan, dan jika dilakukan dengan niat yang jelek maka akan menjadi perkara dosa dan kemaksiatan. [5]Diangkat dari  Risalah fi Tahqiq Qawa’id an-Niyyah, Syaikh Walid bin Rasyid as-Sa’idan, Kaidah Kedua.

Wallahu a’lam bisshowab.

Disusun oleh Ustadz Abu Muslim Nurwan Darmawan, B.A., حفظه الله تعالى

Artikel Ilmiyah AlUkhuwah.Com

Referensi

Referensi
1 HR. al-Bukhori no. 1 dan Muslim no. 1907.
2 HR. Muslim no. 1006.
3 Lihat Syarh al-Arba’in an-Nawawiyyah fi al-Ahadits as-Shahihah an-Nabawiyyah, Majmu’ah min al-‘Ulama’ (I’tana bihi : Mahmud bin al-Jamil Abu ‘Abdillah), Cet. I, Tahun 1426 H, Dar al-Mustaqbal, Kairo, Hlm. 287.
4 HR. al-Bukhari no. 56.
5 Diangkat dari  Risalah fi Tahqiq Qawa’id an-Niyyah, Syaikh Walid bin Rasyid as-Sa’idan, Kaidah Kedua.
Back to top button