Tafsir: Surat Fushshilat ayat 30 Istiqamah Adalah Anugerah

Ketika melihat seorang muslim yang sejak masa muda hingga masa tuanya taat menjalankan kewajiban-kewajiban agama, tidak jarang kita berkomentar, “Dia adalah orang yang istiqamah, insyaallah”. Meskipun di saat yang sama kita belum mengetahui seperti apa sebenarnya makna istiqamah.

Salah satu ayat Al-Qur’an yang membahas istiqomah adalah surat Fushshilat ayat 30. Allah berfirman :

إِنَّ الَّذِينَ قالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلائِكَةُ أَلَاّ تَخافُوا وَلا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang berkata, “Tuhan kami adalah Allah,” kemudian mereka ‘tetap’ (dalam pendirian mereka), akan turun malaikat-malaikat kepada mereka (seraya berkata), “Janganlah kamu takut dan bersedih hati serta bergembiralah dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu.”

Di dalam ayat ini ada kalimat ( اسْتَقامُوا ), yang diterjemahkan “mereka tetap” (dalam pendirian mereka). Terjemah berbeda dengan tafsir. Terjemah sekedar memberikan gambaran secara garis besar terhadap suatu makna kata atau kalimat.

Imam Ibnu Juzai, di dalam kitab tafsirnya mengutip pendapat Abu Bakar dan ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma mengenai makna istiqamah yang disebut di dalam surat Fushshilat ayat 30. Yang menarik adalah komentar Imam Ibnu Juzai terhadap pendapat dua khalifah tersebut.

Menurut Abu Bakar As-Shiddiq, istiqamah di dalam ayat tersebut adalah :

استقاموا على قولهم: ربنا الله، فصح إيمانهم ودام توحيدهم

“Istiqamah di atas pernyataan mereka, “Tuhan kami adalah Allah”. Sehingga keimanan mereka benar dan tauhid mereka senantiasa ada.”

Seolah Abu Bakar As-Shiddiq berpendapat, istiqamah adalah ketika seorang muslim bisa mempertahankan keimanannya sampai mati.

Sedangkan pendapat ‘Umar bin Khatthab adalah :

استقاموا على الطاعة وترك المعاصي

“Istiqamah di atas ketaatan dan istiqamah dalam meninggalkan maksiat-maksiat.”

Sekilas kita pahami pendapat ‘Umar tentang istiqamah lebih ‘ketat’ dibandingkan dengan pendapat Abu Bakar, radhiyallahu ‘anhuma.

Kemudian mari kita perhatikan komentar Imam Ibnu Juzai yang mengutip dua pendapat di atas :

وقول عمر أكمل وأحوط وقول أبي بكر أرجح

“Pendapat Umar lebih sempurna dan lebih hati-hati, sedangkan pendapat Abu Bakar lebih tepat …”

Ternyata Imam Ibnu Juzai juga memahami bahwa pendapat Umar tentang istiqomah ‘lebih ketat’, yang oleh Imam Ibnu Juzai dibahasakan dengan kalimat “akmal wa ahwath”.

Apakah dua pendapat ini betentangan ?

Menurut hemat kami kedua pendapat tersebut tidak bertentangan. Kita cukup mengatakan seperti ini :

Batas minimal istiqamah adalah meninggal dalam keadaan muslim, seperti yang dinyatakan Abu Bakar dan dianggap ‘rajih’ oleh Imam Ibnu Juzai. Sedangkan tingkatan istiqamah yang lebih tinggi adalah senantiasa dalam ketaatan dan menjauhi maksiat hingga akhir hayat. Termasuk dalam cakupan ‘menjauhi maksiat’ adalah selalu bertaubat ketika terjerumus dalam dosa.

Buah Istiqamah

Selain itu di dalam ayat tersebut ada penyebutan tentang keistimewaan yang sangat besar untuk orang yang istiqamah. Keistimewaan ini ada pada kalimat :

“… akan turun malaikat-malaikat kepada mereka (seraya berkata), “Janganlah kamu takut dan bersedih hati serta bergembiralah dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu …”

Yang menjadi pertanyaan adalah kapan malaikat turun mendatangi orang-orang yang istiqamah dan memberi kabar gembira tersebut ? Apakah ketika di alam akhirat atau di alam dunia ? 

Para ahli tafsir dari berbeda pendapat mengenai hal tersebut. Ada yang berpendapat hal itu terjadi sesaat sebelum orang tersebut meninggal. Ini adalah pendapat Imam Mujahid.

Ada juga yang berpendapat hal itu terjadi di alam akhirat, tepatnya ketika manusia dihidupkan kembali dari alam kubur mereka. Ini adalah pendapat Imam Qatadah. 

Bahkan ada yang berpendapat hal itu terjadi di tiga tempat ; sesaat sebelum meninggal, di alam kubur, dan ketika manusia dibangkitkan dari alam kubur. Ini adalah pendapat Imam Waki’.

Semua pendapat ini dicantumkan Imam Qurthubi di dalam kitab tafsirnya tanpa ditentukan pendapat mana yang lebih tepat. Berbeda dengan Imam Ibnu Katsir, beliau menilai pendapat terakhir ini lebih tepat.

Imam Ibnu Katsir mengutip pendapat Zaid bin Aslam, yang mengatakan bahwa malaikat tersebut datang dan memberi kabar gembira kepada orang yang istiqamah di tiga waktu ; ketika sakaratul maut, di alam kubur, dan setelah dibangkitkan dari alam kubur.

Kemudian Imam Ibnu Katsir berkomentar :

وَهَذَا الْقَوْلُ يَجْمَعُ الْأَقْوَالَ كُلَّهَا، وَهُوَ حَسَنٌ جِدًّا، وَهُوَ الْوَاقِعُ

“Pendapat ini menghimpun seluruh pendapat dan sangat bagus. Seperti itulah kenyataannya.”

Jika kita perhatikan pendapat ulama kontemporer, akan kita jumpai mereka tidak sepakat menentukan salah satu pendapat.

Sebagai contoh syaikh As-Sa’di ketika menafsirkan ayat tersebut, tepatnya ketika membahas ayat tentang turunnya malaikat, syaikh berkata :

يتكرر نزولهم عليهم، مبشرين لهم عند الاحتضار

“Turunnya malaikat kepada mereka berulang-ulang. Mereka memberi kabar gembira, yaitu ketika sakaratul maut.”

Contoh berikutnya syaikh Abu Bakr Al-Jazairi, di dalam kitab tafsirnya “Aisarut Tafasir” memilih pendapat ; hal itu terjadi ketika sakaratul maut dan ketika manusia dibangkitkan dari alam kubur mereka.

Contoh yang terakhir Dr. Wahbah Az-Zuhaili, di dalam kitab tafsirnya “At-tafsir” Al-Munir” mengikuti pendapat Imam Waki’ yang menyatakan hal itu terjadi di tiga waktu.

Kapanpun itu terjadi, yang pasti istiqamah adalah anugerah. Sangat beruntung hamba Allah yang dianugerahi istiqamah. Apakah istiqamah dalam arti meninggal dalam keadaan muslim atau lebih dari itu, yaitu istiqamah dalam arti menjadi hamba Allah yang taat sejak awal perjalan hidup menjadi seorang hamba Allah hingga akhir hayatnya.

Perlu Doa dan Usaha Untuk Istiqomah

Imam Qurthubi di dalam kitab tafsirnya ketika membahas ayat ke 30 dari surat Fushshilat mengutip doa salah seorang salaf seperti berikut ini :

اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبُّنَا فَارْزُقْنَا الِاسْتِقَامَةَ

“Ya Allah Engkau adalah Tuhan Kami, berilah kami rezeki berupa istiqamah.”

Di dalam doa ini istiqamah digambarkan sebagai ‘rezeki’. Hal ini tidak berlebihan karena memang demikian adanya. Dan ketika disebut sebagai ‘rezeki’ itu artinya menuntut adanya usaha dari kita. Sebagaimana harta juga disebut dengan ‘rezeki’, dan kita mencari harta dengan doa serta usaha, maka seperti itulah hendaknya dalam menyikapi ‘istiqamah’.

Oleh karena itu ada beberapa hadits yang mengisyaratkan adanya keterkaitan antara istiqamah dengan beberapa amalan. Salah satunya adalah menjaga shalat lima waktu.

Al-Hafizh Ibnu Rajab di dalam kitabnya Jami’ Al-‘Ulum Wa Al-Hikam ketika membahas istiqamah, menyantumkan hadits riwayat Imam Ahmad dan Ibnu Majah :

اسْتَقِيمُوا ‌وَلَنْ ‌تُحْصُوا، وَاعْلَمُوا أَنَّ خَيْرَ أَعْمَالِكُمُ الصَّلَاةُ، وَلَا يُحَافِظُ عَلَى الْوُضُوءِ إِلَّا مُؤْمِنٌ

“Istiqamah-lah, walaupun kalian tidak sanggup melakukan seluruhnya, dan ketahuilah sesungguhnya amal terbaik kalian adalah shalat. Tidak ada yang sanggup menjaga wudhu kecuali orang yang sempurna imannya.”

Selain menjaga shalat, menjaga lisan juga merupakan salah satu wasilah menuju istiqamah. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Majah dan Tirmidzi, suatu ketika Nabi pernah diminta memberikan nasehat. Saat itu Nabi memberi nasehat agar menguatkan iman dan istiqamah. Kemudian orang itu bertanya lagi tentang sesuatu yang paling beliau khawatirkan terhadap dirinya. Nabi lantas memegang lisannya dan berkata : “Ini”.

Hadits ini memberikan isyarat adanya keterkaitan erat antara menjaga lisan dan istiqamah. Menjaga lisan dalam arti menahannya dari ucapan-ucapan yang mengandung dosa serta maksiat. Mengurangi ucapan-ucapan yang tidak berfaedah. Dan memperbanyak ucapan-ucapan yang bernilai kebaikan.

Wallahu a’lam

Disusun oleh Fajri Nur Setyawan, Lc, M.H.

Artikel Alukhuwah.Com

Sumber :

  • Al-Qurthubi, Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an, (Beirut : Muassasah Ar-Risalah, 2006)
  • As-Sa’di, Taisirul Karimir Rahman Fi Tafsiri Kalamil Mannan, (Kuwait : Jam’iyyatu Ihya’ At-Turats, 2003)
  • Ibnu Juzai, At-Tashil Li ‘Ulumit Tanzil, Kairo : Dar Ibn Al-Jauzi, 2018
  • Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, (Beirut : Dar Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1998)
  • Ibnu Rajab, Jami’ Al-‘Ulum Wa Al-Hikam, (Beirut : Muassasah Ar-Risalah, 1997)
  • Wahbah Az-Zuhaili, At-Tafsir Al-Munir, (Damaskus : Darul Fikr, 2009)
Back to top button