Pelajaran dari Ibadah Haji

Tidak diragukan lagi, bahwa haji memiliki keutamaan yang begitu besar. Bagaimana tidak, ibadah yang harus dilakukan di Kota Mekah ini merupakan salah satu dari lima Rukun Islam dan sekaligus syi’ar agama kita. Setiap tahun berjuta-juta Kaum Muslimin berkumpul di Masjidil Haram, kendati mereka berasal dari negeri yang berbeda-beda, namun semuanya datang memenuhi panggilan Allah Rabb semesta Alam. Mereka melantunkann kalimah talbiyah,

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ

“Aku menjawab panggilan-Mu, ya Allah; aku menjawab panggilan-Mu, aku menjawab panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu, aku menjawab panggilan-Mu. Sesungguhnya segala pujian, kenikmatan dan kekuasaan hanya milik-Mu, tiada sekutu bagi-Mu.”

Tidak heran, bila banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari ibadah yang satu ini. Maka, pada sajian kali ini, dengan izin Allah, kita akan berusaha mengumpulkan beberapa pelajaran berharga tersebut, selamat membaca..

Pelajaran dari Kalimat Talbiyah

1. Talbiyah Menunjukkan Tauhid

Pada Masa Jahiliyah, ketika seorang memulai haji, mereka biasa ber-talbiyah dengan talbiyah yang sarat dengan unsur kesyirikan, mereka mengucapkan:

لَبَّيْكَ لا شَرِيكَ لَكَ إِلا شَرِيكا هُوَ لَكَ تَمْلِكُهُ وَمَا مَلَكَ

“Aku menjawab panggilan-Mu, ya Allah; tiada sekutu bagi-Mu, kecuali sekutu yang menjadi milik-Mu; Engkau menguasainya dan ia tidak berkuasa.”

Jelas sekali, mereka menjadikan tandingan selain Allah, mereka menyetarakan Allah dengan selain-Nya, na’udzu billaah. Tentu saja, Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam mengingkari tindakan mereka ini, shahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma menceritakan:

كَانَ الْمُشْرِكُونَ يَقُولُونَ لَبَّيْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ – قَالَ – فَيَقُولُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « وَيْلَكُمْ قَدْ قَدْ ». فَيَقُولُونَ إِلاَّ شَرِيكًا هُوَ لَكَ تَمْلِكُهُ وَمَا مَلَكَ. يَقُولُونَ هَذَا وَهُمْ يَطُوفُونَ بِالْبَيْتِ

“Dulu orang-orang musyrik mengatakan: ‘Labbaika laa syariika laka… (Aku memenuhi panggilan-Mu, wahai Dzat; yang tiada sekutu bagi-Mu…). Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Celakalah kalian, cukuplah ucapan itu dan jangan diteruskan!’ Tapi, mereka meneruskan ucapan mereka: ‘Illaa syariikan huwa laka tamlikuhu wamaa malaka… (Kecuali, sekutu bagi-Mu yang memang Engkau kuasai dan ia tidak menguasai).’ Mereka mengatakan ini, sedang mereka berthawaf di Baitullah.” [HR. Muslim no. 1185]

Lihatlah pengingkaran yang dilakukan Rasulallah shallallaahu ‘alaihi wasallam di atas! Berbeda dengan seorang muslim, ia memulai hajinya dengan talbiyah:

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ

“Aku menjawab panggilan-Mu, ya Allah; aku menjawab panggilan-Mu, aku menjawab panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu, aku menjawab panggilan-Mu. Sesungguhnya segala pujian, kenikmatan dan kekuasaan hanya milik-Mu, tiada sekutu bagi-Mu.”

Kalimat talbiyah ini adalah kalimat tauhid, dimana ketika seorang muslim mengucapkannya sembari merenungi, serta mengikrarkan makna yang terkandung di dalamnya, maka berarti ia telah mentauhidkan Allah dengan ucapannya tadi. Ia telah mengikrarkan, bahwa tiada sekutu bagi Allah dalam semua kekhususan-Nya.

2. Talbiyah Berkonsekuensi Menjauhi Syirik

Tatkala seorang muslim dalam talbiyahnya mengucapkan:
لاَ شَرِيكَ لَكَ
“Tiada sekutu bagi-Mu..”

Maka, ia wajib mengetahui hakekat kesyirikan dan bahayanya, serta waspada agar tidak terjatuh ke dalamnya. Karena, syirik merupakan maksiat terbesar yang pernah ada, ia sangat berbahaya karena dosanya tidak terampuni. Allah Ta’ala berfirman:

“Sesungguhnya Allah tidak akanmengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” [QS. An Nisaa: 48]

Tentu kita semua mengenal sosok Bapak Para Nabi, yaitu Nabi Ibrahim ‘alaihissalaam. Ternyata, meskipun beliau sebagai kekasih Allah, beliau tetap berdo’a agar dijauhkan dari kesyirikan, Nabi Ibrahim ‘alaihissalaam berdo’a:

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata, ‘Ya Rabbku, jadikanlah negeri ini (Mekah) negeri yang aman dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.” [QS. Ibrahim: 35]

Maka, sudah menjadi kewajiban seorang muslim untuk senantiasa waspada dari kesyirikan dan sudah selayaknya kita memperbanyak do’a yang diajarkan Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan menyekutukan-Mu, sedang aku mengetahui. Dan aku memohon ampun kepada-Mu terhadap apa yang tidak kuketahui (sadari).” [Shahihul Jami’, no. 3731]

Pelajaran dari Thawaf

Thawaf adalah salah satu rukun haji, ketika seorang melakukannya, berarti ia telah merealisasikan firman Allah:

“Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” [QS. Al Hajj: 29]

Namun, yang harus di garis bawahi: thawaf hanya boleh dilakukan pada Ka’bah saja tidak dan diperkenankan thawaf pada selain Ka’bah.

Syaikhul Islam rahimahullah berkata, “Kaum muslimin telah sepakat, bahwasannya thawaf hanya disyariatkan di Baitul Ma’mur (Ka’bah), maka tidak boleh thawaf mengelilingi Kubah Shahrah di Baitul Maqdis, atau di makam nabi, atau kubah di Bukit Arafah dan tidak pula di tempat lainnya.” [Majmu’ Fatawa 4/521 –Syamilah-]

Mencium Hajar Aswad

Ada ritual menarik ketika seorang muslim melakukan thawaf mengelilingi Ka’bah, dia disunnahkan untuk mencium batu dari Surga, Hajar Aswad. Ibadah Ini bersifat tauqifiyah (mencontoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam), tidak boleh kita qiyas-kan kepada benda lainnya, seperti mencium makam, batu, atau yang lainnya dengan niat mencari berkah, atau niat ibadah lainnya. Oleh karena itu, tatkala Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu mencium Hajar Aswad, beliau berkata:

إِنِّي أَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لاَ تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ وَلَوْ لاَ أَنِّي رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ

“Sesungguhnya aku tahu, bahwasannya engkau hanyalah sebuah batu yang tidak memberikan kemudharatan dan tidak pula manfaat. Seandainya aku tidak melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam menciummu, aku tidak sudi menciummu.” [HR. Al Bukhari, no. 1597]

Beginilah potret seorang shahabat yang hanya beribadah dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Berbeda dengan realita umat saat ini, banyak diantara mereka dengan keyakinan yang salah malah mengusap, atau bahkan mencium benda-benda yang tidak di syari’atkan untuk diusap, atau di cium, Allahul musta’an..

Pelajaran dari Hari Arafah

Pada Hari Arafah, jama’ah haji dituntut untuk melakukan salah satu rukun haji, yaitu wukuf di Arafah. Kemuliaan, hari ini tidak khusus hanya dirasakan oleh jama’ah haji saja, namun Kaum Muslimin secara umum juga merasakannya, karena mereka disunnahkan untuk melaksanakan Puasa Arafah yang keutamaannya bisa menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang. Bahkan, pada hari itu turun sebuah ayat yang membuat iri orang-orang Yahudi. Diriwayatkan dalam Shahih Al Bukhari, dari Jalur Thariq bin Syihab, bahwa pernah ada orang Yahudi yang datang menemui Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu dan mengatakan:

“Wahai Amirul mukminin, ada satu ayat dalam kitab yang kalian baca, andaikan ayat ini turun kepada kami, Kaum Yahudi, tentu akan kami jadikan hari turunnya ayat itu sebagai hari raya.”
Umar bertanya: “Ayat apa itu?”
Jawab Yahudi: “Firman Allah:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي

“Pada hari dimana Aku sempurnakan agama kalian untuk kalian dan aku penuhi nikmat-Ku (nikmat hidayah) untuk kalian…” [QS. Al Maa-idah: 3]

Selanjutnya, Khalifah Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sungguh saya tahu hari dimana ayat ini turun kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ayat ini turun, ketika Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berapa di Arafah, pada Hari Jumat.” [HR. Al Bukhari, no. 45]

Maka, bersyukur dan berbanggalah menjadi seorang muslim, karena agama kita telah menjadi agama yang telah sempurna dan paripurna, tidak butuh penambahan, atau pengurangan!

Pelajaran dari Hari Nahr (Menyembelih Kurban)

Diantara hari yang mulia pada Bulan Haji adalah Hari Nahr, hari ke-sepuluh Bulan Dzulhijjah. Dinamakan dengan Hari An Nahr (menyembelih), karena Kaum Muslimin yang tidak melaksanakan haji mendekatkan diri kepada Allah dengan menyembelih kurban, sedangkan jama’ah haji dengan menyembelih Hadyu. Namun, jangan hanya berorientasi pada ukuran hewan kurban, atau hadyu saja, yang harus lebih difokus adalah keikhlasan dalam mengorbankan sembelihan tersebut. Jangan sampai harta yang keluar terbuang sia-sia karena disusupi riya’ (pamer), atau sum’ah (ingin didengar orang lain), sehingga Allah tidak memberikan pahala-Nya. Allah berfirman:

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” [QS. Al Hajj: 32]

Syaikh As Sa’di rahimahullah berkata, “Di dalamnya terdapat dorongan untuk berbuat ikhlash dalam menyembelih kurban dan hendaknya menjadikan tujuannya adalah mencari wajah Allah semata, bukan kesombongan, atau riya’, atau sum’ah, atau hanya sekedar adat kebiasaan saja. Demikian juga semua ibadah, jika ia tidak dibarengi keikhlasan dan takwa kepada Allah, ibarat kulit tak berisi dan jasad yang tak memiliki ruh.” [Taisir Karimir Rahman fie Tafsiril Kalaamil Mannan, Syaikh As Sa’di]

Penutup

Sebenarnya masih banyak sekali pelajaran yang bisa kita ambil dari Ibadah Haji, namun secara ringkas pelajaran dari Ibadah Haji dapat kita simpulkan dalam beberapa point, yaitu:

1. Ibadah haji (dan juga ibadah lainnya) berporos pada tauhid dan menjauhi syirik;
2. Sifat suatu ibadah adalah tauqifiyah (harus ada contoh dari syari’at) dan tidak boleh mengada-ada;
3. Pelaksanaan Ibadah Haji harus di Kota Makkah tidak boleh dilaksanakan di daerah lain;
4. Agama Islam adalah agama yang telah sempurna, tidak boleh ditambahi ajarannya, atau dikurangi;
5. Ikhlas dalam melaksanakan ibadah adalah salah satu syarat diterimanya amal.

Allahu a’lam bish-shawwab

Back to top button