Hutang Puasa
KEWAJIBAN MENG-QODHO’ HUTANG PUASA
Banyak sekali dalil yang menunjukkan kewajiban meng-qodo’(membayar utang) puasa ramadhan bagi orang yang berhutang puasa, diantaranya adalah firman Allah ta’ala :
Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur” (QS. Al Baqarah: 185)
Ibnu Katsir berkata : barang siapa yang tertimpa sakit pada badannya sehingga menyebabkan berat dalam melaksanakan puasa atau orang yang sedang bepergian, maka dibolehkan baginya untuk berbuka (tidak berpuasa). Dan jika dia berbuka tatkala itu maka wajib baginya mengganti puasa tersebut sejumlah hari yang ia tinggalkan. (Tafsir Ibnu Katsir 1/222)
SIAPA SAJA YANG WAJIB MENGQODO’
- Mereka adalah orang yang sakit dan orang yang safar (perjalanan) :
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.”(QS. Al Baqarah: 185)
- Wanita yang haid dan nifas
Apabila seorang wanita mengalami haid atau nifas pada waktu bulan ramadhan maka ia tidak boleh berpuasa tatkala itu dan wajib baginya mengqodo’ puasa yang ia tinggalkan. Berdasarkan hadits
عَنْ مُعَاذَةَ قَالَتْ سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِى الصَّوْمَ وَلاَ تَقْضِى الصَّلاَةَ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ قُلْتُ لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ وَلَكِنِّى أَسْأَلُ. قَالَتْ كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ.
Dari Mu’adzah, aku bertanya kepada Aisyah, “Mengapa wanita haid itu mengqadha puasa namun tidak mengqadha shalat (yang ditinggalkan selama haid,)?”.Aisyah mengatakan, “Apakah engkau adalah wanita Khawarij?”.Kukatakan, “Aku bukan wanita Khawarij namun aku sekedar bertanya”. Aisyah berkata, “Dulu (di zaman Nabi) kami mengalami hal tersebut lantas kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat” (HR Muslim no 789).
BAGAIMANA DENGAN WANITA HAMIL DAN MENYUSUI ?
Adapun wanita hamil dan menyusui apabila mereka tidak berpuasa maka pendapat yang benar mereka hanya mengeluarkan fidyah saja tidak usah mengqodo’ puasa yang mereka tinggalkan. Hal ini berdasarkan atsar dari ibnu Abbas bahwa beliau dulu pernah menyuruh budak wanitanya yang sedang hamil untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan dan Beliau mengatakan :
أَنْتِ بِمَنْزِلَةِ الْكَبِيْرِ لاَ يُطِيْقُ الصِّياَمَ ، فَأَفْطِرِيْ وَأَطْعِمِيْ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ نِصْفَ صَاعٍ مِن حِنْطَة
“Engkau seperti orang tua yang tidak mampu berpuasa, maka berbukalah dan berilah makan kepada orang miskin setengah sho’ gandum untuk setiap hari yang ditinggalkan.”( Diriwayatkan oleh ‘Abdur Razaq dengan sanad yang shahih)
Begitu pula hal yang sama dilakukan oleh Ibnu ‘Umar. Dari Nafi’, dia berkata,
“Putri Ibnu Umar yang menikah dengan orang Quraisy sedang hamil. Ketika berpuasa di bulan Ramadhan, dia merasa kehausan. Kemudian Ibnu ‘Umar memerintahkan putrinya tersebut untuk berbuka dan memberi makan orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.”
( Lihat Irwa’ul Gholil, 4/20. Sanadnya shahih). Allahu a’lam
APAKAH ORANG YANG MENINGGALKAN PUASA TANPA UDZUR JUGA MENGQODO’ ?
Mayoritas ahli ilmu berpendapat orang yang sengaja meninggalkan puasa tanpa udzur selain ia mendapatkan dosa ia juga terkena kewajiban mengqodo’ puasanya. (badai’ sonai’ 2/94). Hal ini diqiyaskan dengan kewajiban orang yang muntah dengan sengaja untuk mengqodo’ puasanya, nabi bersabda
مَنْ ذَرَعَهُ اَلْقَيْءُ فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ, وَمَنْ اسْتَقَاءَ فَعَلَيْهِ اَلْقَضَاءُ
“Barangsiapa yang didesak oleh muntah maka tidak ada kewajiban qadha` atasnya. Dan barangsiapa yang sengaja membuat dirinya muntah maka wajib qadha` atasnya.” (HR. Abu Dawud no. 2380, disohihkan Al-Albani dalam Shohih Jami’ no.6243)
Syekh Ibnu Utsaimin berkata :
“Sengaja berbuka pada bulan ramadhan tanpa ada udzur termasuk dosa besar yang paling besar, dan dengannya seorang bisa menjadi fasik, wajib baginya untuk bertaubat kepada Allah dan mengganti hari yang ia tinggalkan tadi”.(Fiqh ‘Ibadat hal 171)
APAKAH HARUS SEGERA ?
Mengganti puasa Ramadhan tidak diharuskan untuk segera dilaksanakan jika terdapat keperluan lainnya, hal ini berdasarkan hadits ‘aisyah :
كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَ إِلَّا فِي شَعْبَانَ
“Saya pernah memiliki hutang puasa Ramadhan. Dan saya tidak mampu melunasinya kecuali di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 198)
Namun disunahkan untuk segera melunasi hutang puasa, berdasarkan ayat :
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ
“Bersegeralah menuju ampunan Rabb kalian dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.”(Qs. Ali Imron: 133)
HUTANG PUASA BELUM DILUNASI
Jika telah masuk Ramadhan berikutnya sedangkan ia belum melunasi puasanya, maka hendaknya ia bertaubat kemudian apabila telah masuk bulan syawal hendaknya ia segera melunasi hutang-hutangnya tadi. Nabi kita bersabda :
فَدَيْنُ اللهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى
“Hutang kepada Allah lebih berhak untuk dilunasi”. (HR. Bukhori no. 1953)
APAKAH HARUS BERURUTAN
Dalam melunasi hutang puasa maka tidak disyaratkan dalam pelaksanaannya harus berurutan. Hal ini berdasarkan keumuman ayat :
فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.(QS. Al Baqarah: 185)
juga berdasarkan atsar ibnu Abbas beliau berkata :
لاَ بَأْسَ أَن يُفَرَّقَ
“Tidak apa-apa (mengqadla’ puasa) secara terpisah” (Mukhtashar Shahih Bukhari 1/569).
MENINGGAL DUNIA MASIH MEMILIKI HUTANG PUASA
Orang yang meninggal dan masih punya hutang puasa yang belum Ia tunaikan maka pada keadaan seperti ini bisa dibagi menjadi 3 Keadaan – 2 keadaan pada puasa ramadhan dan 1 pada puasa nazar – (Lihat Sohih Fiqh Sunnah 2/133)
- Dia memiliki udzur sehingga tidak melunasi hutangnya (misalnya sakit kemudian meninggal setelah hari id, sehingga ia tidak bisa melunasi hutangnya) maka tidak mengapa dan tidak ada kewajiban bagi ahli warisnya untuk membayar puasanya
- Dia tidak memiliki udzur untuk tidak membayar hutang tatkala masih hidup, maka yang seperti ini ahli warisnya harus berpuasa untuk membayar hutangnya, berdasarkan hadits ‘Aisyah, rosululloh bersabda :
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
“Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki kewajiban puasa, maka ahli warisnya yang nanti akan mempuasakannya (HR. Bukhori no. 1952)
- Jika yang belum dibayar adalah puasa nadzar maka wajib bagi ahli warisnya untuk mempuasakannya, berdasarkan hadits ibnu Abbas :
“Ada seseorang yang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian dia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, dan dia memiliki utang puasa selama sebulan [dalam riwayat lain dikatakan: puasa tersebut adalah puasa nadzar], apakah aku harus mempuasakannya?” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iya. Utang pada Allah lebih pantas engkau tunaikan.” (HR. Bukhori no. 1953)
Allahu a’lam bisshowwab
Referensi : shohih fiq sunnah, makalah qodo’ ramadhan wa ifthor oleh lajnah daimah