Akhlaq: Menyantuni Anak Yatim (Bagian Keempat)
Jangan makan harta anak yatim
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: لَمَّا نَزَلَ قَوْلُهُ تَعَالَى (وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أحسن) وَقَوْلُهُ تَعَالَى: (إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا) الْآيَةَ انْطَلَقَ مَنْ كَانَ عِنْدَهُ يَتِيمٌ فَعَزَلَ طَعَامه من طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ مِنْ شَرَابِهِ فَإِذَا فَضَلَ مِنْ طَعَامِ الْيَتِيمِ وَشَرَابِهِ شَيْءٌ حُبِسَ لَهُ حَتَّى يَأْكُلَهُ أَوْ يَفْسُدَ فَاشْتَدَّ ذَلِكَ عَلَيْهِمْ فَذَكَرُوا ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى: (وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْيَتَامَى قُلْ: إصْلَاح لَهُم خير وَإِن تخالطوهم فإخوانكم) فَخَلَطُوا طَعَامَهُمْ بِطَعَامِهِمْ وَشَرَابَهُمْ بِشَرَابِهِمْ. رَوَاهُ أَبُو دَاوُد وَالنَّسَائِيّ
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma beliau berkata : Ketika firman Allah ta’ala turun, “Jangan dekati harta anak yatim kecuali untuk memperbaikinya,” (Al An’am:152) dan “Orang-orang yang memakan harta anak yatim secara tidak adil/dholim…”. (An-Nisa’ :10). Orang-orang yang mengurus anak yatim pergi dan memisahkan makanan dan minuman mereka dari miliknya, dan jika ada makanan atau minuman anak yatim yang tersisa, mereka menyimpannya untuknya sampai dia memakannya atau itu menjadi buruk. Karena merasa beban itu, mereka menyebutkan hal itu kepada Rasul Allah, dan Allah ta’ala menurunkan, “Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim. Katakanlah, memperbaiki mereka adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, mereka adalah saudaramu”. (Al Baqarah : 220). Mereka kemudian mencampur makanan dan minuman mereka dengan milik mereka”. (HR. Abu Dawud no. 2871)[1]HR. Abu Dawud no. 2871
Allah menjelaskan kepada mereka bahwa maksud dari membersihkan harta anak yatim adalah dengan menjaganya dan merawatnya. Adapun jika tercampur dengan makanan atau selainnya maka hukumnya boleh selama tidak memberikan mudharat kepada si Yatim, karena mereka adalah saudara-saudara mereka juga dan itu semua kembali kepada niatnya.
Barangsiapa yang Allah tahu niatnya bahwa ini bermaslahat bagi yatim dan tidak tamak terhadap hartanya maka seandainya masuk harta itu tanpa ada unsur kesengajaan maka tidak mengapa. Dan barangsiapa yang Allah tahu bahwa maksud dirinya adalah ingin mencampur hartanya dengan harta yatim, ingin menguasai dan memakannya maka inilah yang berdosa dan masuk dalam larangan dan ancaman.
Oleh karena itu Imam Ath-thawus ketika ditanya tentang sesuatu dari harta anak yatim, beliau pasti menjawab dengan membaca firman Allah ; Al-Baqarah ayat 220:
فِى ٱلدُّنْيَا وَٱلْآخِرَةِ ۗ وَيَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلْيَتَٰمَىٰ ۖ قُلْ إِصْلَاحٌ لَّهُمْ خَيْرٌ ۖ وَإِن تُخَالِطُوهُمْ فَإِخْوَٰنُكُمْ ۚ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ ٱلْمُفْسِدَ مِنَ ٱلْمُصْلِحِ ۚ وَلَوْ شَآءَ ٱللَّهُ لَأَعْنَتَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Tentang dunia dan akhirat. Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakanlah: “Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, maka mereka adalah saudaramu; dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (HR. Bukhari no. 2767)[2]HR. Bukhari no. 2767
Dahulu perkara yang paling dicintai oleh Ibnu Sirin terkait harta anak yatim adalah beliau mengumpulkan penasihat-penasihatnya, penolong-penolongnya lalu mereka memutuskan perkara terbaik bagi si yatim”. (HR. Bukhari no. 2767)[3]HR. Bukhari no. 2767
Memakan harta anak Yatim adalah kebinasaan
Dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah menganggap bahwa memakan harta anak yatim termasuk perkara yang membinasakan.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ : اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ ، وَمَا هُنَّ قَالَ : الشِّرْكُ بِاللَّهِ ، وَالسِّحْرُ ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِى حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ ، وَأَكْلُ الرِّبَا ، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ ، وَالتَّوَلِّى يَوْمَ الزَّحْفِ ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Jauhilah tujuh dosa yang membinasakan (al-muubiqaat).” Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, apa saja dosa yang membinasakan tersebut?” Beliau bersabda, “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang haram untuk dibunuh kecuali jika lewat jalan yang benar, makan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, qadzaf (menuduh wanita mukminah yang baik-baik dengan tuduhan zina).” (HR. Bukhari, no. 2766 dan Muslim, no. 89)[4]HR. Bukhari, no. 2766 dan Muslim, no. 89
Sabda Nabi : “… makan riba..”. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutnya dengan makan. Karena ini lebih umum dari sisi kemanfaatan (kebanyakan harta anak yatim itu di makan) dan bukan maksudnya khusus makan saja bahkan seluruh pemanfaatan harta anak yatim harom kecuali di dalamnya ada maslahat (kebaikan) yang kembali kepada si yatim. Oleh karena itu, Allah berfirman tentang orang-orang Yahudi :
وَأَخْذِهِمُ ٱلرِّبَوٰا۟ وَقَدْ نُهُوا۟ عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَٰلَ ٱلنَّاسِ بِٱلْبَٰطِلِ ۚ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَٰفِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
“ Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih”. (An-Nisa : 161)[5]An-Nisa : 161
Dalam ayat ini Allah tidak mengatakan makan tetapi mengambil karena kata mengambil lebih umum dibandingkan sekedar makan. Dan memakan riba maknanya adalah mengambilnya baik digunakan untuk makan, pembangunan, tempat tinggal dan lain sebagainya”.
Mengurusi harta anak yatim dan menyerahkannya jika sudah dewasa
Maka kewajibannya adalah berbuat baik dan berlemah-lembut kepada anak yatim, karena dia telah kehilangan ayahnya. Wajib bagi kaum Muslimin untuk menempati posisi orang tuanya dengan berbuat baik kepadanya, memperhatikannya dan jika dia memiliki harta maka dia mengurusi hartanya hingga dia dewasa. Lalu menyerahkan seluruh hartanya. Sebagaimana Allah berfirman :
وَٱبْتَلُوا۟ ٱلْيَتَٰمَىٰ حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغُوا۟ ٱلنِّكَاحَ فَإِنْ ءَانَسْتُم مِّنْهُمْ رُشْدًا فَٱدْفَعُوٓا۟ إِلَيْهِمْ أَمْوَٰلَهُمْ ۖ وَلَا تَأْكُلُوهَآ إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَن يَكْبَرُوا۟ ۚ…
“ Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu memakan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa…”. (An-Nisa : 6)[6]An-Nisa : 6
Hingga firman Allah :
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَىٰ ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا ۖ وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dhalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala ; neraka”. (An-Nisa : 10)[7]An-Nisa : 10
Anak yatim itu lemah
Hal itu dikarenakan anak yatim yang belum dewasa adalah lemah. Dia belum bisa membelanjakan hartanya dan jika dia dikuasai oleh orang yang dholim lalu memakan hartanya maka ini adalah sebuah dosa kedhaliman yang besar.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda :
اللَّهُمَّ إِنِّي أُحَرِّجُ حَقَّ الضَّعِيفَيْنِ الْيَتِيمِ وَالْمَرْأَةِ
“Aku menganggap fatal (berdosa) pelalaian hak terhadap dua orang yang lemah yaitu: Anak yatim, dan Wanita.” (HR. Ibnu Majah no. 3678, Ahmad no. 9664, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no. 1015)[8]HR. Ibnu Majah no. 3678, Ahmad no. 9664, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no. 1015
Oleh karena itu, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam melarang orang yang lemah untuk mengurusi anak yatim.
Abu Dzar berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
يَا أَبَا ذَرٍّ إِنِّى أَرَاكَ ضَعِيفًا وَإِنِّى أُحِبُّ لَكَ مَا أُحِبُّ لِنَفْسِى لاَ تَأَمَّرَنَّ عَلَى اثْنَيْنِ وَلاَ تَوَلَّيَنَّ مَالَ يَتِيمٍ
“Wahai Abu Dzar, sesungguhnya aku melihatmu adalah orang yang lemah dan aku sangat senang memberikanmu apa yang aku senangi untuk diriku sendiri. Janganlah engkau menjadi pemimpin atas dua orang dan janganlah pula engkau mengurusi harta anak yatim.” (HR. Muslim no. 1826).[9]HR. Muslim no. 1826
Nabi melarang Abu Dzarr semata-mata karena beliau melihat pada dirinya ada kelemahan dan Nabi menyukai hal ini untuk semua yang lemah. Hal itu agar tidak ada kejadian merugikan dan menyia-nyiakan harta anak yatim.
Demikianlah tidak ada paksaan atas seseorang untuk lahir dalam keadaan yatim dan tumbuh dalam keadaan yatim. Bahkan terkadang seseorang terlahir yatim dan ketika besar dia menjadi orang besar. Sehingga dia pun menjadi orang yang paling utama dan bertaqwa serta menjadi sebaik-baiknya orang yang taat kepada Allah ta’ala.
Dan bukti nyata dalam hal ini adalah Sayyidnya anak cucu Adam ‘alaihis salam, imamnya orang-orang bertaqwa, suri tauladan hamba-hamba Allah, terlahir dalam keadaan yatim. Telah meninggal ayahnya sedangkan beliau masih dalam kandungan lalu diasuh oleh kakeknya Abdul Muththalib hingga umur 8 tahun. Setelah itu kakeknya meninggal dan diasuh oleh pamannya Abu Thalib dan beliau tumbuh dewasa dalam keadaan yatim. Allah berfirman :
أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيمًا فَـَٔاوَىٰ
“ Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu? (Ad-Dhuha : 6)[10]Ad-Dhuha : 6
Dan bisa jadi diantara hikmah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam lahir dalam keadaan yatim adalah agar beliau mengetahui keadaan anak yatim, menunaikan hak-hak anak yatim dan memperbaiki kehidupan mereka. Terkadang status yatim di mata orang adalah sebuah kekurangan dan aib, namun ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam membuktikannya dengan beliau diangkat menjadi Nabi dan Rasul, maka pemahaman yang salah itu hilang dan terjawab.
Hal ini juga sebagai penekanan kepada orang-orang yang mau mengurus keperluan anak-anak yatim dan memperbaiki pendidikan mereka. Karena bisa jadi suatu saat nanti mereka tumbuh menjadi salah seorang imam dari imam kaum Muslimin atau menjadi sebaik-baiknya orang bertaqwa atau menjadi seutama-utamanya hamba Allah. Sehingga dia mendapatkan pahala yang besar karena pendidikan yang telah diberikan demikian pula perhatian serta adab yang diajarkan.
Diantara para ulama yang tumbuh dalam keadaan yatim
Maka lihatlah bagaimana Al Imam Ahmad, Al Imam Asy-syafi’i, Al Imam Al Auza’i dan Al Imam Bukhari rahimahullah serta para imam yang lainnya yang masih banyak yang mereka tumbuh dalam keadaan yatim. Namun status mereka itu tidak menjadikan rusaknya kehidupan apalagi akibat akhir perkara dan urusan mereka.
Al Imam Ibnul Jauzi rahimahullahu ta’ala telah menyebutkan dalam kitab Manaqib Al Imam Ahmad Dari Abu Siraj bin Khuzaimah – dan dia adalah diantara orang yang aktif menulis bersama Imam Ahmad – bahwasanya ayahnya yakni Khuzaimah sangat takjub dengan sikap dan akhlak serta adab dan bagusnya thoriqoh Imam Ahmad. Seraya berkata : “Aku telah banyak membiayai anakku dan membawa mereka kepada orang-orang yang bisa mengajarkan adab kepadanya, namun tidaklah aku melihat mereka mampu sukses melakukan itu. Padahal lihatlah ini Ahmad bin Hambal seorang anak yatim bagaimana dia bisa keluar ;menjadi orang yang berada?? Dan dia terus dibuat takjub dengan adab imam Ahmad bin Hambal. (Manaqib Al Imam Ahmad Libnil Jauzi 1/23)[11]Manaqib Al Imam Ahmad Libnil Jauzi 1/23
Berkata Al Humaidi rahimahullahu ta’ala: Aku mendengar Asy-syafi’i rahimahullahu ta’ala berkata :
كُنْتُ يَتِيْمًا فِي حِجْرِ أُمِّي، وَلَمْ يَكُنْ لَهَا مَا تُعْطِيْهِ لِلْمُعَلِّمِ، وَكَانَ الْمُعَلِّمُ قَدْ رَضِيَ مِنِّي أَنْ أُخْلِفَهُ إِذَا قَامَ، وَأُخَفِّفَ عَنْهُ.
“Aku dahulu adalah anak yatim yang dalam asuhan ibuku. Dan ibuku tidak memiliki apapun yang bisa diberikan kepada para pengajar (guru ; sebagai imbalan). Namun guru itu telah ridho jika dia pergi aku yang menggantikannya dan aku dapat keringanan darinya”. (Aadabu Asy-syafi’i wa manaqibuhu lii Abi Hatim 1/20) [12]Aadabu Asy-syafi’i wa manaqibuhu lii Abi Hatim 1/20
Berkata Al Muzani rahimahullah ta’ala : Aku mendengar Asy-syafi’i rahimahullahu ta’ala berkata :
حَفظتُ القُرْآنَ وَأَنَا ابْنُ سَبْعِ سِنِيْنَ، وحَفظتُ المُوَطَّأَ وَأَنَا ابْنُ عَشْرَ سِنِيْنَ”.
“Aku telah menghafal Al Qur’an sedangkan ketika itu usiaku baru 7 tahun. Dan aku telah hafal kitab Muwaththa’ (milik imam Malik) sedangkan ketika itu usiaku 10 tahun”. (Siyar A’lamin Nubala’ 10/11).[13]Siyar A’lamin Nubala’ 10/11
Dan lihatlah pula Al Imam Al Jalil Ibnu Baz rahimahullahu ta’ala, beliau tumbuh sebagai seorang yatim dan kehilangan penglihatan di usia belum genap 10 tahun, namun siapa tidak kenal beliau, beliau adalah orang yang memiliki kedudukan dalam hal imamah (ilmu) dan keutamaan.
Referensi :
Kitab Ahaditsul Akhlaq karya Syaikh Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin Al Badr hafidzahullahu ta’ala, halaman 123-127.
Diterjemahkan oleh Ahmad Imron Al Fanghony
Referensi
1 | HR. Abu Dawud no. 2871 |
---|---|
2, 3 | HR. Bukhari no. 2767 |
4 | HR. Bukhari, no. 2766 dan Muslim, no. 89 |
5 | An-Nisa : 161 |
6 | An-Nisa : 6 |
7 | An-Nisa : 10 |
8 | HR. Ibnu Majah no. 3678, Ahmad no. 9664, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no. 1015 |
9 | HR. Muslim no. 1826 |
10 | Ad-Dhuha : 6 |
11 | Manaqib Al Imam Ahmad Libnil Jauzi 1/23 |
12 | Aadabu Asy-syafi’i wa manaqibuhu lii Abi Hatim 1/20 |
13 | Siyar A’lamin Nubala’ 10/11 |