Bila Langit Terbelah

Tafsir Surat Al Insyiqaq

( Ayat 1 – 15 )

 

إِذَا السَّمَاءُ انْشَقَّتْ (1) وَأَذِنَتْ لِرَبِّهَا وَحُقَّتْ (2) وَإِذَا الْأَرْضُ مُدَّتْ (3) وَأَلْقَتْ مَا فِيهَا وَتَخَلَّتْ (4) وَأَذِنَتْ لِرَبِّهَا وَحُقَّتْ (5) يَا أَيُّهَا الْإِنْسَانُ إِنَّكَ كَادِحٌ إِلَى رَبِّكَ كَدْحًا فَمُلَاقِيهِ (6) فَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ (7) فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَابًا يَسِيرًا (8) وَيَنْقَلِبُ إِلَى أَهْلِهِ مَسْرُورًا (9) وَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ وَرَاءَ ظَهْرِهِ (10) فَسَوْفَ يَدْعُو ثُبُورًا (11) وَيَصْلَى سَعِيرًا (12) إِنَّهُ كَانَ فِي أَهْلِهِ مَسْرُورًا (13) إِنَّهُ ظَنَّ أَنْ لَنْ يَحُورَ (14) بَلَى إِنَّ رَبَّهُ كَانَ بِهِ بَصِيرًا (15) فَلَا أُقْسِمُ بِالشَّفَقِ (16) وَاللَّيْلِ وَمَا وَسَقَ (17) وَالْقَمَرِ إِذَا اتَّسَقَ (18) لَتَرْكَبُنَّ طَبَقًا عَنْ طَبَقٍ (19) فَمَا لَهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ (20) وَإِذَا قُرِئَ عَلَيْهِمُ الْقُرْآنُ لَا يَسْجُدُونَ (21) بَلِ الَّذِينَ كَفَرُوا يُكَذِّبُونَ (22) وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يُوعُونَ (23) فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ (24) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ (25)

.

 

 

 

Tafsir Ayat 1 :

{إِذَا السَّمَاءُ انْشَقَّتْ}

Apabila langit terbelah. (Al-Insyiqaq: 1) . Yang demikian itu terjadi pada hari kiamat.

 

Tafsir ayat ke 2 :

{وَأَذِنَتْ لِرَبِّهَا}

dan patuh kepada Tuhannya. (Al-Insyiqaq: 2)

Yakni tunduk dan patuh kepada perintah Tuhannya yang memerintahkan kepadanya untuk terbelah.

{وَحُقَّتْ}

dan sudah semestinya langit itu patuh. (Al-Insyiqaq: 2)

Sudah seharusnya langit patuh kepada perintah-Nya, karena Dia Mahabesar, tidak dapat dicegah dan tidak dapat dihalangi apa yang dikehendaki-Nya, bahkan  Dia mengalahkan segala sesuatu, dan segala sesuatu tunduk patuh kepada-Nya.

 

Tafsir ayat ke 3 :

{وَإِذَا الأرْضُ مُدَّتْ}

dan apabila bumi diratakan. (Al-Insyiqaq: 3) Yakni digelarkan, dihamparkan, dan diluaskan.

 

Tafsir ayat ke 4 :

 

{وَأَلْقَتْ مَا فِيهَا وَتَخَلَّتْ}

dan memuntahkan apa yang ada di dalamnya dan menjadi kosong. (Al-Insyiqaq: 4)

Bumi mengeluarkan semua mayat yang ada di dalam perutnya sehingga bumi kosong dari mereka, ini menurut Mujahid, Sa’id, dan Qatadah.

 

Tafsir ayat ke 5 :

{وَأَذِنَتْ لِرَبِّهَا وَحُقَّتْ}

dan patuh kepada Tuhannya, dan sudah semestinya bumi itu patuh. (Al-Insyiqaq: 5)

 

Tafsir ayat ke 6 :

{يَا أَيُّهَا الإنْسَانُ إِنَّكَ كَادِحٌ إِلَى رَبِّكَ كَدْحًا فَمُلَاقِيهِ }

Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemuinya. (Al-Insyiqaq: 6)

 

Yaitu sesungguhnya kamu telah berupaya dan beramal untuk menuju Tuhanmu dengan sebenar-benarnya, kemudian sesungguhnya kamu bakal menjumpai balasannya—apakah baik atau buruk— sesuai dengan amal perbuatanmu.

 

Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud At-Tayalisi, dari Al-Hasan ibnu Abu Ja’far, dari Abuz Zubair, dari Jabir yang mengatakan bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam pernah bersabda:

قَالَ جِبْرِيلُ: يَا مُحَمَّدُ، عِشْ مَا شِئْتَ فَإِنَّكَ مَيِّتٌ، وَأَحَبِبْ مَا شِئْتَ فَإِنَّكَ مُفَارِقُهُ، وَاعْمَلْ مَا شِئْتَ فَإِنَّكَ مُلَاقِيهِ”

Jibril berkata, “Hai Muhammad, hiduplah kamu sesukamu, maka sesungguhnya kamu bakal mati. Dan sukailah apa yang engkau inginkan, maka sesungguhnya engkau akan meninggalkannya. Dan beramallah sesukamu, maka sesungguhnya kamu akan menjumpai (balasan)nya.”

 

Di antara ulama ada yang mengembalikan dhamir yang terdapat pada firman-Nya, “Famulaqiyah” kepada Rabbika, yang artinya: maka kamu akan menjumpai Tuhanmu, lalu Dia akan membalas semua amal perbuatanmu dan memberimu imbalan atas jerih payahmu. Dengan demikian, berarti kedua pendapat saling berkaitan.

Sesungguhnya jerih payahmu, hai anak Adam, benar-benar lemah. Maka barang siapa yang menginginkan jerih payahnya dicurahkan untuk ketaatan kepada Allah, hendaklah ia melakukannya, dan tiada kekuatan baginya untuk mengerjakan ketaatan kecuali dengan pertolongan Allah.

 

Tafsir ayat ke 7 & 8 :

{فَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَابًا يَسِيرًا}

Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah. (Al-Insyiqaq: 7-8)

Yaitu perhitungan yang mudah, tiada kesulitan. Dengan kata lain, tidak dilakukan secara detail semua amal perbuatannya, karena sesungguhnya orang yang diperiksa dengan pemeriksaan yang teliti dan ketat pasti akan binasa.

 

Dari Aisyah radhiyallahu anha bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam pernah bersabda: Barang siapa yang diperiksa dengan teliti dalam hisab, berarti ia disiksa. ( HR. Ahmad ).

Dan sesungguhnya pemeriksaan yang ringan itu tiada lain hanyalah dihadapkan kepada Allah dan Allah berhadap-hadapan dengan mereka.

 

Dari Aisyah yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam dalam salah satu salatnya mengucapkan doa berikut : Ya Allah, hisablah diriku dengan hisab yang mudah. Setelah beliau selesai dari salatnya, aku bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan hisab yang mudah?” Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam menjawab :  Ia melihat kepada kitab catatan amal perbuatannya, lalu Allah memaafkan kesalahan yang tercatat di dalamnya. Hai Aisyah, sesungguhnya orang yang diteliti dalam hisabnya di hari itu pasti binasa. ( HR . Ahmad ) Hadis ini sahih, tetapi dengan syarat Muslim.

 

Tafsir ayat ke 9 :

{وَيَنْقَلِبُ إِلَى أَهْلِهِ مَسْرُورًا}

dan dia akan kembali kepada kaumnya (yang sama-sama beriman) dengan gembira. (Al-Insyiqaq: 9)

Yakni kemudian dia kembali kepada keluarganya di dalam surga. Demikianlah menurut Qatadah dan Ad-Dahhak, bahwa masruran artinya gembira dan senang karena pahala yang diberikan oleh Allah Ta’ala.

 

Tafsir ayat ke 10 :

{وَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ وَرَاءَ ظَهْرِهِ}

Adapun orang yang diberikan kitabnya dari arah belakangnya. (Al-Insyiqaq: 10)

Yaitu dengan tangan kirinya dari arah belakang, dengan menjulurkan tangan kirinya ke arah belakang, lalu menerima kitabnya.

 

Tafsir ayat ke 11 :

{فَسَوْفَ يَدْعُو ثُبُورًا}

maka dia akan berteriak,  “Celakalah aku.” (Al-Insyiqaq: 11) . Artinya, merugi dan binasa.

 

Tafsir ayat ke 12 & 13 :

{وَيَصْلَى سَعِيرًا إِنَّهُ كَانَ فِي أَهْلِهِ مَسْرُورًا}

Dan dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). Sesungguh dia dahulu (di dunia) bergembira di kalangan kaumnya (yang sama-sama kafir). (Al-Insyiqaq: 12-13)

Yakni bergembira ria, tidak memikirkan akibat dari amal perbuatannya, dan tidak takut kepada hari kemudian. Maka Allah menghukum kegembiraan yang sebentar itu dengan kesedihan yang panjang.

 

Tafsir ayat ke 14 :

{إِنَّهُ ظَنَّ أَنْ لَنْ يَحُورَ}

Sesungguhnya dia yakin bahwa dia sekali-kali tidak akan kembali (kepada Tuhannya). (Al-Insyiqaq: 14)

Maksudnya, dia meyakini bahwa tidak akan kembali kepada Allah dan Allah tidak akan menghidupkannya kembali sesudah matinya. Demikianlah menurut pendapat Ibnu Abbas, Qatadah, dan selain keduanya.

 

Tafsir ayat ke 15 :

Maka Allah menyanggah keyakinan mereka itu melalui firman berikutnya:

{بَلَى إِنَّ رَبَّهُ كَانَ بِهِ بَصِيرًا}

(Bukan demikian), yang benar, sesungguhnya Tuhannya selalu melihatnya. (Al-Insyiqaq: 15)

Yaitu tidak demikian, sebenarnya Allah akan mengembalikannya menjadi hidup seperti kejadian semula dan Allah akan membalas semua amal perbuatannya yang baik dan yang buruknya. Karena sesungguhnya Dia Maha Melihat dia, yakni Maha Mengetahui lagi Maha Mengenalnya.

 

Tafsir Ayat 16 :

فَلَا أُقْسِمُ بِالشَّفَقِ (16)

Maka sesungguhnya Aku bersumpah dengan cahaya merah di waktu senja,

Telah diriwayatkan dari Ali, Ibnu Abbas dan lainnya bahwa mereka telah mengatakan asy-syafaq artinya mega yang berwarna merah.

Abdur Razzaq telah meriwayatkan dari Ma’mar ibnu Khaisam, dari Ibnu Labibah, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa asy-syafaq artinya cahaya putih, juga berarti merahnya warna cakrawala yang adakalanya hal ini terjadi sebelum mentari terbit —seperti yang dikatakan Mujahid— dan adakalanya sesudah tenggelamnya matahari, sebagaimana yang dikenal di kalangan ahli bahasa.

Al-Khalil ibnu Ahmad mengatakan bahwa asy-syafaq artinya cahaya merah yang terjadi mulai dari tenggelamnya mentari sampai waktu isya. Apabila cahaya merah itu lenyap, maka dikatakan gabasy syafaqu, artinya telah lenyap cahaya merah itu.

Al-Jauhari mengatakan bahwa asy-syafaq adalah sisa cahaya mentari yang berwarna merah pada permulaan malam sampai waktu malam dekat isya. Hal yang sama dikatakan oleh Ikrimah, bahwa asy-syafaq adalah warna merah yang ada antara waktu magrib sampai dengan waktu isya.

Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan dari Abdullah Ibnu Amr, dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam telah bersabda:

“وَقْتُ الْمَغْرِبِ مَا لَمْ يَغِبِ الشَّفَقُ”

Waktu magrib itu selama mega merah belum tenggelam (belum lenyap).

 

Ibnu Jarir mengatakan bahwa Allah bersumpah dengan menyebut siang hari yang pergi dan malam hari yang datang.

Ibnu Jarir mengatakan bahwa ulama lainnya menyebut asy-syafaq sebagai nama merah dan putih, dan mereka mengatakan bahwa lafaz asy-syafaq termasuk lafaz yang mempunyai dua makna yang bertentangan.

 

 

Tafsir Ayat 17 :

وَاللَّيْلِ وَمَا وَسَقَ (17)

dan dengan malam dan apa yang diselubunginya,

Ibnu Abbas, Mujahid, Al-Hasan, dan Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, “Wama wasaq” bahwa makna yang dimaksud ialah ‘dan apa yang dihimpunkannya’.

Qatadah mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah ‘dan bintang-bintang dan hewan-hewan yang dihimpunkannya’.

Ikrimah telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan dengan malam dan apa yang diselubunginya. (Al-Insyiqaq: 17) Yaitu apa yang dihimpunkannya karena kegelapannya; apabila malam hari tiba, maka semua makhluk berpulang ke tempat tinggalnya masing-masing.

 

Tafsir Ayat 18:

وَالْقَمَرِ إِذَا اتَّسَقَ (18)

dan dengan bulan apabila jadi purnama,

Maksudnya, apabila sempurna bulatnya. Menurut Ibnu Abbas yaitu apabila kelihatan bundar.

Al-Hasan mengatakan, apabila bulat penuh. Kesimpulannya adalah apabila bulan itu sempurna cahayanya, yaitu malam purnama, yang hal ini dijadikan sebagai lawan kata dari malam yang apabila gelap gulita.

 

Tafsir Ayat 19 :

لَتَرْكَبُنَّ طَبَقًا عَنْ طَبَقٍ (19)

sesungguhnya kalian melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan).

Ibnu Abbas telah mengatakan bahwa menurut Nabi kalian artinya ‘keadaan demi keadaan” atau fase demi fase.

          Dari Asy-Sya’bi sehubungan dengan firman-Nya: sesungguhnya kalian melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan). Bahwa makna yang dimaksud ialah ‘hai Muhammad, engkau akan menaiki langit demi langit’. Diriwayatkan dari IbnuMas’ud Artinya, langit demi langit. Mereka bermaksud dengannya ialah malam Isra.

 

Al-A’masy mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibrahim, bahwa Abdullah telah mengatakan sehubungan dengan firman Allah Ta’ala : sesungguhnya kalian melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan). (Al-Insyiqaq: 19) Yakni langit itu terbelah, kemudian kelihatan memerah, dan selanjutnya berubah dari suatu warna ke warna yang lain.

Dari Ibnu Mas’ud bahwa langit itu sesekali kelihatan seperti kilapan minyak dan sesekali terbelah.

Sa’id ibnu Jubair bahwa suatu kaum yang dahulunya ketika di dunia kelihatan rendah, kemudian di akhirat mereka kelihatan menjadi tinggi, dan kaum lainnya yang ketika di dunia kelihatan hidup terhormat, kemudian di akhirat mereka kelihatan rendah.

Ikrimah mengatakan yaitu tahap demi tahap dari masa menyusu, kemudian masa disapih. dari masa muda menjadi masa tua.

Al-Hasan Al-Basri mengatakan yakni keadaan demi keadaan, makmur sesudah sengsara, dan sengsara sesudah makmur; kaya sesudah miskin, dan miskin sesudah kaya; sehat sesudah sakit dan sakit sesudah sehat.

 

 

Kemudian Ibnu Jarir memberikan kesimpulan yang benar adalah pendapat orang yang mengatakan bahwa sesungguhnya kamu Muhammad akan melalui keadaan demi keadaan, dan urusan demi urusan yang berat-berat. Tetapi pengertiannya mencakup semua manusia. Bahwa mereka di hari kiamat akan mengalami banyak penderitaan karena menghadapi keadaan-keadaan dan peristiwa-peristiwanya yang amat menakutkan.

 

Tafsir Ayat 20 & 21 :

فَمَا لَهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ (20) وَإِذَا قُرِئَ عَلَيْهِمُ الْقُرْآنُ لَا يَسْجُدُونَ (21)

 

Mengapa mereka tidak mau beriman? Dan apabila Al-Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka tidak bersujud,

Yakni apakah yang menghalang-halangi mereka untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta hari kemudian, dan mengapa mereka apabila dibacakan kepada mereka Al-Qur’an yang merupakan ayat-ayat dan kalam Allah, lalu mereka tidak mau bersujud menghormati dan mengagungkan-Nya?

 

Tafsir Ayat 22 :

بَلِ الَّذِينَ كَفَرُوا يُكَذِّبُونَ (22)

bahkan orang-orang kafir itu mendustakan(nya).

Yaitu sudah menjadi watak mereka mendustakan kebenaran, mengingkari dan menentangnya.

 

Tafsir Ayat 23 :

وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يُوعُونَ (23)

Padahal Allah mengetahui apa yang mereka sembunyikan (dalam hati mereka).

Mujahid dan Qatadah mengatakan bahwa Allah mengetahui apa yang tersimpan dalam hati mereka.

 

Tafsir Ayat 24 :

فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ (24)

 

Maka beri kabar gembiralah mereka dengan azab yang pedih.

Yakni maka beritakanlah kepada mereka, hai Muhammad, bahwa Allah Swt. telah menyediakan bagi mereka azab yang pedih.

 

Tafsir Ayat 25 :

إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ (25)

Tetapi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka pahala yang tidak putus-putusnya.

 

Ini merupakan isti’sna munqati, yakni tetapi orang-orang yang hatinya beriman. dan beramal saleh. (Al-Insyiqaq: 25) dengan seluruh anggota tubuhnya. bagi mereka pahala. (Al-Insyiqaq: 25) Yaitu di hari kemudian di akhirat.

 

{غَيْرُ مَمْنُونٍ}

yang tidak putus-putusnya. (Al-Insyiqaq: 25)

Ibnu Abbas mengatakan, makna yang dimaksud ialah tidak dikurangi. Mujahid dan Ad-Dahhak mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah tidak terhitung banyaknya. Kesimpulan dari kedua pendapat menunjuk-kan bahwa pahala yang diterima oleh mereka di negeri akhirat tidak putus-putusnya

 

Dan sesungguhnya mereka dimasukkan ke dalam surga oleh Allah Ta’ala hanyalah semata-mata berkat karunia dan rahmat-Nya, bukan karena amal perbuatan yang telah mereka kerjakan. Maka Dia berhak memberikan karunia-Nya kepada mereka selama-lamanya. Dan segala puji hanyalah bagi Allah semata selama-lamanya. Karena itulah mereka (ahli surga) diberi ilham untuk bertasbih dan bertahmid kepada-Nya, sebagaimana mereka diberi ilham untuk bernapas. Dan akhir doa mereka ialah; “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.”

Demikianlah akhir dari tafsir surat Al-Insyiqaq dengan memanjatkan puja dan puji kepada-Nya atas segala karunia-Nya, dan hanya kepada-Nya kita memohon taufik dan pertolongan.

 

 

Diringkas dari Tafsir Ibnu katsir.

 

Check Also
Close
Back to top button