Sirah: Gambaran Masyarakat Arab Jahiliyah Bagian Kedua

Perbuatan zina merata pada setiap lapisan masyarakat.

Tidak dapat kita mengkhususkan hal itu kepada satu lapisan tanpa menyentuh lapisan yang lainnya. Ada sekelompok laki-laki dan wanita yang terkecuali dari hal tersebut. Mereka adalah orang-orang yang memiliki jiwa besar dan menolak keterjerumusan dalam lumpur kehinaan. Wanita-wanita merdeka kondisinya lebih bagus dari kondisi para budak wanita. Kondisi mereka (budak wanita) amat parah sekali. Nampaknya, mayoritas kaum Jahiliyah tidak merasakan keterjerumusan dalam perbuatan keji semacam itu menjadi suatu aib bagi mereka.

Imam Abu Daud meriwayatkan dari ’Amru bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya, dia berkata:

قَامَ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللَّهِ، إِنَّ فُلَانًا اِبْنِيْ عَاهَرْتُ بأمِّهِ فِي الجَاهِلِيَّةِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا دَعْوَةَ فِي الإِسْلَامِ، ذَهَبَ أَمْرُ الجَاهِلِيَّةِ، الوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الحَجَرُ

“Seorang laki-laki berdiri sembari berkata: Wahai Rasulullah! Sesungguhnya si fulan adalah anakku dari hasil perzinaanku dengan seorang budak wanita pada masa Jahiliyah. Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam kemudian bersabda: “Tidak ada dakwaan dalam Islam (yang berkaitan dengan masa Jahiliyah). Urusan yang terkait dengan masa Jahiliyah telah lenyap. Seorang anak adalah dari hasil ranjang (dinasabkan kepada yang empunya ranjang, yaitu suami yang dengan nikah yang shah), sedangkan kehinaan adalah hanya bagi wanita pezina”.

Begitu juga dalam hal ini, terdapat kisah yang amat terkenal yang terjadi antara Sa’ad bin Abi Waqqash dan ’Abd bin Zam’ah dalam mempersoalkan nasab anak dari budak wanita Zam’ah, yaitu ’Abdurrahman bin Zam’ah.

Sedangkan hubungan antara seorang bapak dengan anak-anaknya, amat berbeda-beda; diantara mereka ada yang menguraikan rangkaian bait :

وَإِنَّمَا أَوْلاَدُنَا بَيْنَنَا * * * أَكْبَادُنَا تَمْشِي عَلى الأَرْضِ

“Sungguh kehadiran anak-anak di tengah kami bagai buah hati, berjalan melenggang diatas bumi.”

Mengubur Hidup-hidup Anak-anak Wanita

Diantara mereka, ada yang mengubur hidup-hidup anak-anak wanita mereka karena takut malu dan enggan menafkahinya. Anak laki-laki dibunuh lantaran takut menjadi fakir dan melarat.

Allah ta’ala berfirman : 

قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلَّا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ مِنْ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ

“Katakanlah, ‘Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu, janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapak, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena miskin, Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka.” (Al-An’am : 151)

Allah juga berfirman: 

وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالْأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ. يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلَا سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ

“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (An-Nahl : 58-59).

Allah berfirman lagi: 

وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kami lah Yang akan memberi rizki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar”. (Al-Isra’ : 31).

Allah berfirman dalam ayat yang lain :

وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ. بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ

“Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh.” (At-Takwir : 8-9).

Akan tetapi kita tidak bisa menganggap bahwa apa yang termaktub dalam ayat-ayat diatas telah mencerminkan moral yang berlaku umum di masyarakat. Disisi lain, mereka justru sangat mengharapkan anak laki-laki untuk dapat membentengi diri mereka dari serangan musuh.

Fanatisme Kesukuan

Sedangkan pergaulan antar seorang laki-laki dengan saudaranya, anak-anak paman dan kerabatnya sangat kental dan kuat. Mereka hidup dan mati demi fanatisme kesukuan. Semangat untuk bersatu begitu membudaya antar sesama suku yang menambah rasa fanatisme tersebut. Bahkan prinsip yang dipakai dalam sistem sosial adalah fanatisme rasial dan hubungan tali rahim.

Mereka hidup dibawah semboyan yang bertutur: “Tolonglah saudaramu baik dia berbuat zhalim ataupun dizhalimi”.

Mereka menerapkan semboyan ini sebagaimana adanya, tidak seperti arti yang telah diralat oleh Islam yaitu menolong orang yang berbuat zhalim maksudnya mencegahnya melakukan perbuatan itu.

Meskipun begitu, perseteruan dan persaingan dalam memperebutkan martabat dan kepemimpinan seringkali mengakibatkan terjadinya perang antar suku yang masih memiliki hubungan se-bapak. Kita dapat melihat fenomena tersebut pada apa yang terjadi antara suku Aus dan Khazraj, ’Abs dan Dzubyan, Bakr dan Taghlib, dan lain-lain.

Di lain pihak, hubungan yang terjadi antar suku yang berbeda-beda benar-benar berantakan. Kekuatan yang ada mereka gunakan untuk berjibaku dalam peperangan. Hanya saja terkadang, rasa sungkan serta rasa takut mereka terhadap sebagian tradisi dan kebiasan bersama yang sudah ada dan berlaku antara ajaran agama dan khurafat sedikit mengurangi deras dan kerasnya genderang perseteruan tersebut. Dan dalam kondisi tertentu, loyalitas, persekutuan dan subordinasi yang terjalin menyebabkan antar suku yang berbeda merangkul dan bersatu.

Dan satu-satunya yang merupakan rahmat dan penolong bagi mereka adalah adanya bulan-bulan yang diharamkan berperang (al-Asyhurul Hurum) sehingga mereka dapat menghirup kehidupan dan mencari rizki guna kebutuhan sehari-hari. Singkat kata, bahwa kondisi sosial yang berlaku di masyarakat Jahiliyah benar-benar rapuh dan dalam kebutaan.

Kebodohan mencapai puncaknya dan khurafat merajalela dimana-mana. Orang-Orang hidup layaknya binatang ternak. Wanita diperjual belikan bahkan terkadang diperlakukan bak benda mati. Hubungan antar umat sangat lemah, sementara setiap ada pemerintahan maka ujung-ujungnya hanyalah untuk mengisi gudang kekayaan mereka yang diambil dari rakyat atau menggiring mereka untuk berperang melawan musuh-musuh yang mengancam kekuasaan mereka.

Bersambung insyaallah…

Referensi :

Kitab Ar-Rohiq Al-Makhtum, karya Syaikh Shofiyurrahman Mubarokfury rohimahullahu ta’ala. Halaman 44–45.

Disusun oleh : Ahmad Imron Al Fanghony

Back to top button