Fiqih Muamalat: Wadi’ah (Barang Titipan)
Definisi Wadi’ah
Wadi’ah secara bahasa bermakna at-tark (meninggalkan). [1]Lihat al-Fiqh al-Muyassar wa Adillatuhu min al-Qur’an wa as-Sunnah, hlm. 414.
Adapun secara istilah, wadi’ah adalah barang yang dititipkan kepada orang lain untuk dijaga tanpa adanya imbalan [2]Lihat al-Fiqh al-Muyassar fi Dhau’ al-Kitab wa as-Sunnah, hlm. 249.. Misalnya seseorang menitipkan buku kepada temannya, menitipkan hewan ternak kepada tetangganya, dan semisalnya.Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin menjelaskan bahwa kata wadi’ah dalam bahasa Arab mengikuti wazan fa’ilah bermakna maf’ulah, sehingga maknanya adalah muda’ah (yang dititipkan). Sedangkan kata ida’ maknanya adalah menyerahkan barang kepada seseorang yang akan menjaganya untuk pemiliknya.” [3]asy-Syarh al-Mumti’ ‘ala Zad al-Mustaqni’, 10/285.
Hukum Wadi’ah
Jika ditinjau dari penitip barang maka hukum asal wadi’ah adalah mubah, yaitu boleh baginya untuk menitipkan barang [4]Adakalanya wajib menitipkan barang jika dikhawatirkan terbengkalainya barang itu jika tidak dititipkan dengan syarat tidak menimbulkan madharat kepada orang yang dititipi. (Lihat al-Mukhtashar fi … Continue reading. Adapun bagi penerima titipan maka hukum asalnya sunnah baginya untuk menerima titipan asalkan ia mampu menjaga dan mengurusi barang tersebut, karena hal itu termasuk tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan. [5]Namun, apabila ia khawatir akan menyia-nyiakan barang titipan, maka haram baginya untuk menerimanya. (al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat, hlm. 219).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullahu ta’ala berkata, “Ditinjau dari penitip maka wadi’ah itu mubah, yaitu boleh seseorang menitipkan barangnya. Dan ditinjau dari penerima titipan maka hukumnya sunnah dengan syarat ia mampu menjaga, memelihara, dan memperhatikannya.” [6]asy-Syarh al-Mumti’ ‘ala Zad al-Mustaqni’, 10/285.
Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah al Fauzan berkata, “Disunnahkan menerima titipan bagi orang yang mengetahui dirinya terpercaya dan mampu menjaga barang, karena di dalamnya terdapat pahala yang besar.” [7]al-Mulakhash al-Fiqhiy, 2/141.
Adapun dalil diperbolehkannya wadi’ah di antaranya adalah firman Allah ﷻ
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (QS. Al Maaidah : 2)
Wadi’ah termasuk bentuk tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan. [8]Lihat al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, 43/6.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullahu ta’ala berkata, “Menerima barang titipan termasuk perbuatan baik, karena seseorang ketika menyerahkan suatu barang kepadamu untuk dijaga, seandainya dia tidak memiliki kebutuhan pastilah ia tidak akan meyerahkan barang itu kepadamu, dan ketika ia memiliki kebutuhan dan engkau memenuhi kebutuhannya maka itu termasuk perbuatan baik yang dianjurkan dan dicintai oleh Allah, dan telah valid dalam hadits yang shahih sesungguhnya Allah Ta’ala senantiasa menolong kebutuhan seorang hamba selama ia menolong kebutuhan saudaranya.” [9]asy-Syarh al-Mumti’ ‘ala Zad al-Mustaqni’, 10/285.
Dan dalil dari As-Sunnah, di antaranya Sabda Nabi ﷺ
وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً، فَرَّجَ اللهُ عَنْهُ بِهَا كُرْبَةً مِنْ كرَبِ يَومِ القِيَامَةِ
“Dan barangsiapa melapangkan satu kesusahan seorang muslim maka Allah akan melapangkan untuknya satu kesusahan dari berbagai kesusahan pada hari kiamat.” (HR. Bukhari no. (2442) dan Muslim no. (2580)[10]HR. Bukhari no. (2442) dan Muslim no. (2580)..
Syaikh Prof. Dr. Khalid bin ‘Ali Al Musyaiqih berkata, “Di antara perbuatan seorang muslim dalam melapangkan kesusahan saudaranya adalah menerima titipannya.” [11]al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat, hlm. 218.
Demikian pula dalam kisah hijrahnya Nabi ﷺ, beliau memerintahkan ‘Ali bin Abi Thalib رضي الله عنه untuk mengembalikan barang-barang titipan penduduk Mekah yang dipercayakan kepada beliau. [12]HR. Baihaqi 6/289 dan sanadnya dihasankan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam Irwa’ al-Ghalil no. (1546)
Para ulama’ pun telah bersepakat tentang diperbolehkannya menitipkan barang, dan bahwa menerima titipan termasuk amalan yang dianjurkan. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnu Qudamah رَحِمَهُ ٱللَّٰهُ, “Para ulama’ di setiap masa telah bersepakat atas bolehnya menitipkan barang dan minta dijagakan barangnya. [13]Al-Mughni 9/256, dinukil dari ad-Dalil ‘ala Manhaj as-Salikin, hlm. 222.
Di tinjau dari pertimbangan akal, maka wadi’ah sangat dibutuhkan oleh manusia, karena dalam kondisi tertentu terkadang seseorang tidak mampu menjaga hartanya sendiri, baik karena tidak adanya tempat, sakit, lemah, takut, dan semisalnya, sehingga ia perlu menitipkannya kepada orang lain. Maka syari’at datang dengan memperbolehkan wadi’ah dalam rangka menghilangkan kesulitan dan kesempitan dari manusia. [14]Lihat al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, 43/7 dan Mausu’ah al-Fiqh al-Islamiy, 3/548.
Rukun-rukun Wakaf
Ada empat rukun wadi’ah [15]Mausu’ah al-Fiqh al-Islamiy, 3/549., yaitu :
- Al-Mudi’, yaitu penitip barang.
- Al-Mustauda’, yaitu penerima titipan.
- Al-Wadi’ah, yaitu barang yang dititipkan. [16]Jumhur ulama’ berpendapat bahwa barang titipan bisa berupa barang tetap, seperti tanah, rumah, dan semisalnya. Adapun Ibnu ‘Arafah dari madzhab Malikiyah berpendapat bahwa barang titipan haruslah … Continue reading
- As-Shighah, aitu lafadz yang digunakan dalam akad wadi’ah, berupa ijab [17]Ijab disini berupa ungkapan dari penitip untuk menitipkan barangnya, misalnya ia mengatakan, “Saya titipkan barang ini kepadamu”, atau “Simpankanlah barang ini”, atau “Ambillah barang ini … Continue reading dan qabul [18]Qabul di sini berupa ungkapan dari penerima titipan untuk menerima barang titipan, misalnya ia mengatakan, “Saya terima titipannya.” atau ungkapan semisalnya. Qabul dianggap sah dengan lafadz … Continue reading dari kedua belah pihak sesuai kebiasaan yang ada.
Syarat Sah Wadi’ah
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk keabsahan wadi’ah, sebagaimana rincian berikut ini :
- Lafadz yang digunakan dalam ijab hendaknya menunjukkan makna permintaan menjaga barang, misalnya dengan mengatakan, “Saya titipkan barang ini kepadamu”, atau “Jagakan barang ini”, atau ungkapan semisalnya. Adapun qabul, maka tidak dipersyaratkan menggunakan ucapan lisan, bahkan sah dengan sekedar menerima barang yang dititipkan. [19]Lihat al-Fiqh al-Muyassar Qism al-Mu’amalat, hlm. 216.
- Penitip barang adalah seorang yang jaiz tasharruf (memiliki kapasitas untuk bertransaksi), yaitu orang yang berakal, baligh, rasyid (mahir dalam membelanjakan harta). Oleh karena itu jika seorang anak atau orang gila menitipkan hartanya maka tidak sah untuk diterima [20]Lihat al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat, hlm. 218.. Jika tetap diterima, maka si penerima bertanggung jawab mengganti jika terjadi kerusakan pada harta tersebut, karena keteledorannya menerima titipan dari orang yang tidak memilki kapasitas menitipkan. Kecuali jika ia menerima titipan itu dalam rangka mengantisipasi hilang atau rusaknya harta, ketika itu secara asal ia tidak wajib mengganti jika terjadi kerusakan. Sebagaimana seseorang yang menjumpai harta orang lain dalam kondisi rawan terkena kerusakan, lalu ia mengambil dan meyimpankan barang itu untuk pemilinya, ternyata kemudian rusak sebelum ia berkesempatan mengembalikannya kepada si pemilik, maka ketika itu ia tidak wajib mengganti. [21]Lihat al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, 43/15.
- Penerima titipan adalah orang yang jaiz taharruf (memiliki kapasitas untuk bertransaksi), yaitu orang yang berakal, baligh, rasyid (mahir dalam membelanjakan harta), sebagaimana si penitip. Oleh karena itu, tidak sah seorang anak kecil atau orang gila menerima titipan karena konsekuensi akad wadi’ah adalah menjaga barang titipan, dan ini tidak bisa dilakukan oleh anak kecil atau orang gila. [22]Ibid, 43/16-17.
- Penerima titipan adalah pihak yang mu’ayyan (tertentu). Oleh karena itu, jika seseorang berkata kepada sekelompok orang, “Saya titipkan barang ini kepada salah seorang di antara kalian” maka tidak sah akadnya, karena penerima titipan tidak tertentu. [23]Ini adalah pendapat madzhab Hanabilah, adapun madzhab Hanafiyah tidak mempersyaratkan syarat tersebut. (Lihat al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, 43/19).
- Barang yang dititipkan berupa harta, adapun selain harta seperti bangkai, darah, dan semisalnya, maka tidak sah diadakan akad wadi’ah padanya. [24]al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, 43/20.
Beberapa Ketentuan Seputar Wadi’ah
A. Pada prinsipnya wadi’ah termasuk akad jaiz (tidak mengikat), masing-masing pihak boleh untuk membatalkan akad meskipun tanpa persetujuan pihak yang lain. [25]Kecuali jika pembatalan itu akan menimbulkan madharat bagi pihak lainnya, maka ketika itu akadnya menjadi lazim (mengikat). (Lihat al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat, hlm. 219).
Kapan saja penitip ingin barangnya dikembalikan maka si penerima titipan wajib mengembalikannya. Demikian pula, kapan saja penerima titipan ingin mengembalikan barang itu maka si penitip harus bersedia menerima barangnya kembali. [26]Lihat al-Fiqh al-Muyassar Qism Mu’amalat, hlm. 216.
B. Wajib bagi penerima titipan untuk menjaga dan menyimpan barang di hirz (tempat penyimpanan yang sesuai) menurut kebiasaan yang ada.
Karena Allah ﷻ telah memerintahkan untuk menunaikan amanah [27]Sebagaimana disebutkan dalam QS. An-Nisaa’ : 58., dan hal itu tidak bisa dilakukan kecuali dengan dengan menjaganya. Demikian pula karena tujuan penitipan adalah supaya barang itu dijaga, dan penerima titipan telah berkomitmen untuk melakukannya, jika ia tidak menjaganya berarti ia belum mengerjakan apa yang menjadi komitmennya. [28]al-Fiqh al-Muyassar fi Dhau’ al-Kitab wa as-Sunnah, hlm. 250.
C. Apabila penitip mengizinkan kepada penerima titipan untuk memanfaatkan barang maka boleh baginya untuk memanfaatkannya.
Namun jika tidak ada izin maka tidak boleh untuk memanfaatkannya kecuali dalam rangka kemaslahatan barang titipan itu sendiri. Misalnya titipan berupa hewan kuda yang dikendarai oleh penerima [29]Jika penerima titipan tetap memanfaatkan barang padahal tidak ada izin dari pemiliknya, kemudian barang itu rusak, maka ia wajib mengganti kerusakannya. (Lihat asy-Syarh al-Mumti’ ‘ala Zad … Continue reading titipan menuju sumber air supaya kuda tersebut bisa minum darinya, maka ini diperbolehkan meskipun tanpa seizin pemiliknya, karena pemanfaatan yang dilakukan si penerima titipan itu demi kemaslahatan hewan itu sendiri. [30]Apabila barang titipan berupa baju lalu dipakai oleh penerima titipan tanpa seizin pemiliknya, kemudian baju itu rusak, maka ia wajib mengganti kerusakan itu. Sama saja apakah kerusakan baju terjadi … Continue reading
D. Apabila barang titipan itu membutuhkan nafkah, seperti hewan ternak atau semisalnya, maka biayanya menjadi tanggung jawab si penitip.
Dan jika si penerima titipan memberi nafkah dengan seizin penitip maka statusnya sebagai wakil dan ia berhak meminta ganti atas biaya yang telah dikeluarkan. Adapun jika ia memberi nafkah tanpa seizin si penitip, maka jika ia melakukkanya dengan niat tabarru’ (sumbangan suka rela) maka ia tidak berhak minta ganti, adapun jika sejak semula ia berniat minta ganti atau tidak terbesit niat sama sekali, maka pada prinsipnya ia berhak meminta ganti atas biaya yang dikeluarkan. [31]al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat, hlm. 219-220.
E. Apabila barang titipan rusak di tangan penerima titipan maka ia tidak wajib mengganti kerusakan itu, asalkan ia tidak melakukan keteledoran dan tidak pula melakukan perbuatan melampaui batas terhadap barang titipan.
Hal ini karena penerima titipan statusanya sebagai penerima amanah, dan pada prinsipnya penerima amanah tidak wajib mengganti barang yang diamanahkan selama tidak tafrith (teledor) dan tidak ta’addi (melakukan perbuatan melampaui batas) [32]Perbedaan antara ta’addi dan tafrith adalah bahwa ta’addi itu melakukan perbuatan yang tidak boleh, misalnya dalam kasus barang titipan berupa makanan apabila si penerima titipan memakan makanan … Continue reading.
Demikian pula karena penerima titipan itu menerima barang secara tabarru’ (tanpa imbalan). Apabila diwajibkan mengganti barang, tentulah manusia tidak akan ada yang mau menerima titipan, sehingga timbullah madharat secara umum dan hilanglah kemaslahatan [33]al-Mulakhash al-Fiqhiy, 2/141.. Oleh karena itu Rasulullah ﷺ bersabda :
مَنْ أُوْدِعَ وَدِيْعَةً فَلاَ ضَمَانَ عَلَيْهِ
“Barangsiapa dititipi barang maka tidak ada kewajiban untuk mengganti.” [34]HR. Ibnu Majah no. (2401), dan dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah no. )1959).
Dan beliau bersabda ﷺ :
لاَ ضَمَانَ عَلَى مُؤْتَمَنٍ
“Tidak ada kewajiban mengganti bagi penerima amanah.”[35]HR. Daruquthni no. (4113), Baihaqi 6/289, dan dihasankan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam Irwa’ al-Ghalil no. (1547).
Adapun jika penerima titipan melakukan keteledoran, misalnya tidak menjaga barang sehingga rusak, atau melakukan perbuatan melampai batas sehingga barang titipan itu rusak, maka ia wajib mengganti kerusakannya. [36]Lihat al-Fiqh al-Muyassar fi Dhau’ al-Kitab wa as-Sunnah, hlm. 250.
F. Apabila titipan itu berupa hewan ternak, maka wajib bagi penerima titipan untuk memberikan makanan kepadanya (dengan biaya yang ditanggung oleh si penitip).
Jika ia menghentikan pemberian makanan tanpa persetujuan si penitip sehingga hewan itu mati, maka ia wajib mengganti, karena keteledoran yang ia lakukan. Selain itu, dengan perbuatannya itu ia juga berdosa karena meninggalkan kewajiban memberikan makanan hewan ternak yang merupakan perintah Allah ﷻ. [37]Lihat al-Mulakhash al-Fiqhiy, 2/142.
G. Pada prinsipnya tidak diperbolehkan bagi penerima titipan untuk menitipkan barang titipan itu kepada orang lain lagi [38]Akan tetapi penerima titipan boleh menitipkan barang kepada orang yang biasa menjaga hartanya, seperti isterinya, budaknya, bendaharanya, atau pembantunya, dan jika barang itu rusak di tangan salah … Continue reading karena dia lah yang dipercaya oleh si penitip untuk menjaga barangnya, bukan orang lain.
Dikecualikan apabila ada udzur, seperti menjelang kematiannya atau udzur darurat semisalnya. Ketika itu boleh baginya menitipkan barang kepada orang lain yang terpercaya, dan tidak wajib mengganti jika kemudian barang itu rusak. Adapun jika ia menitipkan kepada orang lain tanpa adanya udzur, kemudian barang itu rusak, maka ia wajib mengganti karena keteledoran yang ia lakukan. [39]Lihat al-Fiqh al-Muyassar fi Dhau’ al-Kitab wa as-Sunnah, hlm. 250.
H. Apabila penerima titipan hendak bepergian jauh maka wajib baginya untuk mengembalikan barang kepada si pemilik atau wakilnya.
Kalau tidak berhasil ditemui maka hendaklah barang itu ikut dibawa bepergian jika memang itu yang lebih aman, jika tidak maka ia titipkan barang itu kepada hakim, karena hakim menempati kedudukan pemilik barang ketika tidak bisa ditemui.
Apabila tidak memungkinkan juga, maka hendaklah dititipkan kepada orang yang terpercaya untuk diserahkan kepada pemiliknya [40]Lihat al-Mulakhash al-Fiqhiy, 2/142-143.. Hal ini sebagaimana Nabi ﷺ ketika hendak berangkat hijrah maka beliau menitipkan barang titipan penduduk Mekah kepada Ummu Aiman radhiyallahu’anha dan beliau memerintahkan ‘Ali bin Abi Thalib untuk mengembalikan kepada pemiliknya. [41]HR. Baihaqi 6/289 dan sanadnya dihasankan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam Irwa’ al-Ghalil no. (1546).
I. Apabila penerima titipan mengaku telah mengembalikan barang titipan kepada pemiliknya maka pada prinsipnya pengakuannya tersebut diterima kecuali jika ada bukti yang menyelisihi pernyataannya tersebut [42]Oleh karena itu jika seseorang menitipkan barang kepada orang lain, selang beberapa waktu kemudian ia meminta supaya barang itu dikembalikan, dan orang yang dititipi menyatakan sudah … Continue reading.
Karena penerima titipan statusnya sebagai amin (penerima amanah) sedangkan penerima amanah pada asalnya diterima pengakuannya terkait pengembalian barang [43]Lihat al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat, hlm. 221.. Berdasarkan firman Allah ﷻ:
مَا عَلَى الْمُحْسِنِينَ مِنْ سَبِيلٍ
“Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik.” (AQ. At Taubah : 91)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin berkata, “Penerima titipan statusnya adalah seorang muhsin (orang yang berbuat baik), hal itu tidaklah diragukan. Apabila tidak ada jalan untuk menyalahkan orang yang berbuat baik, maka jika si penitip mendakwakan bahwa barang itu belum dikembalikan (sedangkan penerima titipan mengaku sudah dikembalikan –pen) maka perkataan penerima titipan lah yang diterima. Karena jika perkataan penitip yang diterima berarti ada jalan untuk menyalahkan orang yang berbuat baik.” [44]asy-Syarh al-Mumti’ ‘ala Zad al-Mustaqni’, 10/304.
Demikian pula hukumnya, jika penerima titipan menyatakan telah terjadi kerusakan pada barang tanpa keteledorannya, maka pengakuannya itu pun pada prinsipnya diterima. [45]Kecuali jika ia mengaku bahwa barang titipan rusak karena sebab yang nampak seperti kebakaran, hujan, atau semisalnya, maka pengakuannya tidak diterima kecuali dengan mendatangkan bukti yang … Continue reading
J. Apabila penitip meminta supaya barangnya dikembalikan lalu si penerima titipan menunda-nunda dalam mengembalikannya tanpa adanya udzur sehingga barang itu rusak, maka ia wajib bertanggung jawab mengganti kerusakannya.
Karena ketika itu ia telah melakukan perbuatan yang haram dengan dengan menahan barang setelah diminta pemiliknya tanpa udzur. [46]al-Mulakhash al-Fiqhiy, 2/143.
K. Bentuk akad yang ada dalam tabungan di bank konvensional saat ini hakikatnya adalah utang piutang (qardh) dan bukan titipan (wadi’ah).
Di mana penabung berstatus sebagai pemberi hutang (muqridh) dan bank berstatus sebagai penerima hutang (muqtaridh). Di antara indikator yang menguatkannya adalah keberadaan bank yang mempunyai hak kepemilikan terhadap uang yang disetorkan oleh penabung, dan pihak bank berhak menggunakan uang itu untuk proyek-proyeknya, serta bersedia untuk mengembalikan gantinya ketika diminta oleh penabung, itu semua adalah karakteristik dari utang piutang.
Karena hakikat utang piutang adalah menyerahkan harta kepada pihak yang akan menggunakannya lalu dikembalikan gantinya. Seandainya akad yang terjadi adalah titipan (wadi’ah) tentulah bank tidak berhak untuk menggunakan uang tersebut, bahkan kewajibannya adalah sekedar menjaga uang itu, tidak menggunakannya, dan nantinya dikembalikan kepada pemiliknya.
Maka akad yang ada dalam tabungan di bank konvensioanal itu dihukumi sebagai utang piutang, dan mengikuti ketentuan terkait utang piutang. Di antaranya tidak boleh disepakati adanya biaya tambahan yang diserahkan oleh penerima hutang sebagai konsekuensi dari hutang yang ia terima, karena itu termasuk riba.
Oleh karena itu, bunga yang diberikan oleh bank kepada penabung itu dikategorikan sebagai riba karena termasuk utang piutang yang mendatangkan manfaat bagi pemberi hutang, berdasarkan kaidah bahwa setiap hutang yang mendatangkan manfaat termasuk riba. [47]Lihat al-Fiqh al-Muyassar fi Dhau’ al-Kitab wa as-Sunnah, hlm. 251.
Wallahu a’lam.
Disusun oleh Ustadz Abu Muslim Nurwan Darmawan, B.A., حفظه الله تعالى
Artikel Alukhuwah.Com
Referensi
1 | Lihat al-Fiqh al-Muyassar wa Adillatuhu min al-Qur’an wa as-Sunnah, hlm. 414. |
---|---|
2 | Lihat al-Fiqh al-Muyassar fi Dhau’ al-Kitab wa as-Sunnah, hlm. 249. |
3, 6, 9 | asy-Syarh al-Mumti’ ‘ala Zad al-Mustaqni’, 10/285. |
4 | Adakalanya wajib menitipkan barang jika dikhawatirkan terbengkalainya barang itu jika tidak dititipkan dengan syarat tidak menimbulkan madharat kepada orang yang dititipi. (Lihat al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat, hlm. 219) |
5 | Namun, apabila ia khawatir akan menyia-nyiakan barang titipan, maka haram baginya untuk menerimanya. (al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat, hlm. 219) |
7, 33 | al-Mulakhash al-Fiqhiy, 2/141. |
8 | Lihat al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, 43/6. |
10 | HR. Bukhari no. (2442) dan Muslim no. (2580). |
11 | al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat, hlm. 218. |
12 | HR. Baihaqi 6/289 dan sanadnya dihasankan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam Irwa’ al-Ghalil no. (1546) |
13 | Al-Mughni 9/256, dinukil dari ad-Dalil ‘ala Manhaj as-Salikin, hlm. 222. |
14 | Lihat al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, 43/7 dan Mausu’ah al-Fiqh al-Islamiy, 3/548. |
15 | Mausu’ah al-Fiqh al-Islamiy, 3/549. |
16 | Jumhur ulama’ berpendapat bahwa barang titipan bisa berupa barang tetap, seperti tanah, rumah, dan semisalnya. Adapun Ibnu ‘Arafah dari madzhab Malikiyah berpendapat bahwa barang titipan haruslah berupa barang yang bisa dipindahkan, adapun barang tetap tidak bisa dijadikan barang titipan. (Lihat al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, 43/21). |
17 | Ijab disini berupa ungkapan dari penitip untuk menitipkan barangnya, misalnya ia mengatakan, “Saya titipkan barang ini kepadamu”, atau “Simpankanlah barang ini”, atau “Ambillah barang ini sebagai titipan.” atau ungkapan semisalnya. ( al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, 43/13-14). |
18 | Qabul di sini berupa ungkapan dari penerima titipan untuk menerima barang titipan, misalnya ia mengatakan, “Saya terima titipannya.” atau ungkapan semisalnya. Qabul dianggap sah dengan lafadz atau perbuatan apa saja yang menunjukkan makna penerimaan titipan. (Lihat al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, 43/14). |
19 | Lihat al-Fiqh al-Muyassar Qism al-Mu’amalat, hlm. 216. |
20 | Lihat al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat, hlm. 218. |
21 | Lihat al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, 43/15. |
22 | Ibid, 43/16-17. |
23 | Ini adalah pendapat madzhab Hanabilah, adapun madzhab Hanafiyah tidak mempersyaratkan syarat tersebut. (Lihat al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, 43/19). |
24 | al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, 43/20. |
25 | Kecuali jika pembatalan itu akan menimbulkan madharat bagi pihak lainnya, maka ketika itu akadnya menjadi lazim (mengikat). (Lihat al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat, hlm. 219). |
26 | Lihat al-Fiqh al-Muyassar Qism Mu’amalat, hlm. 216. |
27 | Sebagaimana disebutkan dalam QS. An-Nisaa’ : 58. |
28 | al-Fiqh al-Muyassar fi Dhau’ al-Kitab wa as-Sunnah, hlm. 250. |
29 | Jika penerima titipan tetap memanfaatkan barang padahal tidak ada izin dari pemiliknya, kemudian barang itu rusak, maka ia wajib mengganti kerusakannya. (Lihat asy-Syarh al-Mumti’ ‘ala Zad al-Mustaqni’, 10/229-302). |
30 | Apabila barang titipan berupa baju lalu dipakai oleh penerima titipan tanpa seizin pemiliknya, kemudian baju itu rusak, maka ia wajib mengganti kerusakan itu. Sama saja apakah kerusakan baju terjadi ketika ia pakai ataukah setelah dilepaskan. Karena sekedar memanfaatkan baju titipan itu tanpa seizin pemiliknya berarti ia telah melakukan pelanggaran (ta’addi) dan merubah statusnya dari penerima amanah menjadi bukan penerima amanah. Sehingga ia wajib mengganti apabila terjadi kerusakan pada barang titipan. (Lihat asy-Syarh al-Mumti’ ‘ala Zad al-Mustaqni’, 10/300). |
31 | al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat, hlm. 219-220. |
32 | Perbedaan antara ta’addi dan tafrith adalah bahwa ta’addi itu melakukan perbuatan yang tidak boleh, misalnya dalam kasus barang titipan berupa makanan apabila si penerima titipan memakan makanan itu tanpa seizin pemiliknya.
Adapun tafrith adalah meninggalkan hal yang seharusnya dikerjakan, misalnya jika si penerima titipan meletakan makanan yang dititipkan tidak di tempat penyimpanan yang sesuai dan tidak menjaganya kemudian makanan itu rusak. (as-Syarh al-Mumti’, 10/287). |
34 | HR. Ibnu Majah no. (2401), dan dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah no. )1959). |
35 | HR. Daruquthni no. (4113), Baihaqi 6/289, dan dihasankan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam Irwa’ al-Ghalil no. (1547). |
36, 39 | Lihat al-Fiqh al-Muyassar fi Dhau’ al-Kitab wa as-Sunnah, hlm. 250. |
37 | Lihat al-Mulakhash al-Fiqhiy, 2/142. |
38 | Akan tetapi penerima titipan boleh menitipkan barang kepada orang yang biasa menjaga hartanya, seperti isterinya, budaknya, bendaharanya, atau pembantunya, dan jika barang itu rusak di tangan salah satu dari mereka tanpa keteledoran dan tanpa melampaui batas maka tidak wajib diganti. Karena boleh baginya menjaga sendiri barang itu atau orang lain yang menduduki posisinya. Demikian pula jika ia kembalikan barang itu dengan diserahkan kepada orang yang biasa menjaga harta pemiliknya maka ia sudah terlepas dari tanggung jawabnya, karena hal itu telah menjadi kebiasaan yang berlaku. (al-Mulakhash al-Fiqhiy, 2/142). |
40 | Lihat al-Mulakhash al-Fiqhiy, 2/142-143. |
41 | HR. Baihaqi 6/289 dan sanadnya dihasankan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam Irwa’ al-Ghalil no. (1546). |
42 | Oleh karena itu jika seseorang menitipkan barang kepada orang lain, selang beberapa waktu kemudian ia meminta supaya barang itu dikembalikan, dan orang yang dititipi menyatakan sudah mengembalikannya, maka pada prinsipnya perkataan penerima titipan itulah yang diterima, dan dihukumi bahwa barang telah dikembalikan, kecuali jika ada bukti yang menunjukkan bahwa barang belum dikembalikan. (Lihat asy-Syarh al-Mumti’ ‘ala Zad al-Mustaqni’, 10/304). |
43 | Lihat al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat, hlm. 221. |
44 | asy-Syarh al-Mumti’ ‘ala Zad al-Mustaqni’, 10/304. |
45 | Kecuali jika ia mengaku bahwa barang titipan rusak karena sebab yang nampak seperti kebakaran, hujan, atau semisalnya, maka pengakuannya tidak diterima kecuali dengan mendatangkan bukti yang menunjukkan keberadaan sebab tersebut. (Lihat al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat, hlm. 221). |
46 | al-Mulakhash al-Fiqhiy, 2/143. |
47 | Lihat al-Fiqh al-Muyassar fi Dhau’ al-Kitab wa as-Sunnah, hlm. 251. |