Kewajiban dan Hak Pemimpin Atas Rakyat

[A] – Pengertian Pemimpin

Yang dimaksud pemimpin adalah pemimpin yang mengatur semua perkara Kaum Muslimin, baik kepemimpinannya bersifat umum, sebagaimana Presiden dalam sebuah negara; atau bersifat khusus, seperti dalam sebuah lembaga tertentu, atau dalam pekerjaan tertentu. Setiap mereka memiliki hak yang wajib dipenuhi oleh rakyatnya dan rakyatnya juga memiliki hak yang wajib dipenuhi oleh pemimpinnya. [Huquuqun Da’at Ilayhaa Al Fithratu wa Qarrarathaa Asy Syarie’atu, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin]

[B] – Macam-macam Pemimpin

(1) – Pemimpin yang Fajir Lagi Jahat

Pemimpin yang ‘fajir’ lagi jahat, yaitu pemimpin yang hanya berambisi terhadap kekuasaan belaka. Perbuatan mereka tidak pernah sepi dari penganiayaan, kedhaliman dan tidak segan-segan melibas siapa saja yang mencoba menggoyang kekuasaannya, dia melanggar syari’at, tidak adil dalam memberikan hak-hak umat, serta boros terhadap harta negara.

(2) – Pemimpin yang Adil Lagi Bijaksana

Pemimpin yang adil lagi bijaksana, artinya selalu mendahulukan kebenaran dan kepentingan umum, sungguh-sungguh dalam menerapkan syari’at Islam dan sangat adil lagi bijaksana dalam memberikan hak-hak umat, serta hidup sederhana dan tidak berlebihan dalam membelanjakan harta negara.

[C] – Kewajiban dan Tugas Pemimpin

(1) – Melaksanakan Amanat

Islam merupakan agama dari Allah yang mengatur seluruh aspek kehidupan, baik pribadi maupun masyarakat, lahir maupun batin, bahkan untuk kepentingan di dunia dan akhirat. Maka sistim politik Islam, khususnya tentang kepemimpinan, merupakan amanat dari Allah untuk melaksanakan aturan, undang-undang dan syari’at Islam. Jadi, kepemimpinan dalam Islam merupakan bentuk aktifitas politik, yang bertujuan untuk menegakkan aturan Allah di muka bumi. Oleh karena itu, pemimpin yang dipilih semata-mata hanya bertugas untuk menegakkan syari’at dan menerapkan hukum Allah, sehingga negara dan rakyat meraih kedamaian, penguasa dan rakyat memperoleh hak-hak secara adil, serta kehidupan berbangsa dan bernegara dalam kondisi yang tenteram dan makmur.

Allah berfirman :

(( إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا اْلأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا ))

“Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (memerintahkan kalian) apabila menetapkan hukum diantara manusia, supaya kalian menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” [QS. An Nisaa’: 58]

(2) – Memperbaiki Agama Umat

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menegaskan:

“Tujuan pokok kepemimpinan ialah memperbaiki agama umat. Sebab, jika jauh dari Dienul Islam, (maka) bangsa akan hancur, nasib rakyat akan terlantar dan nikmat-nikmat dunia yang mereka miliki akan sia-sia.”

(3) – Berlaku Adil dan Tidak Dhalim

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menegaskan:

“Pemimpin juga bertugas memperbaiki segi duniawi yang sangat erat hubungannya dengan agama, meliputi dua macam: Pertama, membagikan harta kekayaan secara merata dan adil kepada yang berhak; Kedua, menghukum orang-orang yang melanggar ketentuan undang-undang tanpa diskriminasi.”

Prof. Dr. Salim bin Ghanim As Sadlan berkata:

“Salah satu kewajiban dan wewenang pemimpin dalam agama Islam adalah melaksanakan hukuman setelah diproses secara syar‘i oleh Mahkamah Agung atas terdakwa pelaku kejahatan yang berhak mendapat hukuman.”

Dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيْهِ اللهُ عَزَ وَ جَلَّ رَعِيَّةً يَمُوْتُ يَوْمَ يَمُوْتُ وَهُوَ غَاشٍ رَعِيَّتَهُ إِلاَّ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّة

“Tidaklah Allah memberikan amanah kepada seorang hamba untuk memimpin rakyat, kemudian dia meninggal pada suatu hari, sedangkan dia berbuat curang terhadap rakyatnya, melainkan Allah Ta’ala mengharamkan Surga baginya.” [HR. Al Bukhari dan Muslim]

[D] – Kewajiban Rakyat Terhadap Pemimpin

(1) – Mendengar dan Taat Kepada Pemerintah/Pemimpin dalam Kebaikan.

Allah berfirman:

(( يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ … ))

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya) dan Ulil Amri diantara kalian…!” [QS. An Nisaa’: 59]

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga memerintahkan:

عَلىَ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلاَّ أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أَمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ

“Wajib bagi seorang muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa) dalam perkara yang ia senangi dan ia benci, kecuali apabila diperintah kemaksiatan. Apabila diperintah kemaksiatan, maka tidak perlu mendengar dan taat.” [HR. Al Bukhari (7144) dan Muslim (1839)]

Imam Ahmad rahimahullah berkata:

“Wajib mendengar dan taat (kepada penguasa) selama tidak diperintah untuk bermaksiat.” [As Sunnah (1/75)]

(2) – Menghormati dan Memuliakan Pemimpin Kaum Muslimin

Dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ أَكْرَمَ سُلْطَانَ اللهِ أَكْرَمَهُ اللهُ وَمَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللهِ أَهَانَهُ اللهُ

“Barangsiapa yang menghormati pemimpin (Kaum Muslimin), maka Allah akan memuliakannya. Dan barangsiapa yang menghinakan pemerintah (Kaum Muslimin), maka Allah akan menghinakannya.” [HR. At Tirmidzi, Lihat: Ash Shahihah (2296)]

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu pernah berkata:

“Pembesar shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang akan hal itu, mereka berkata:

‘Janganlah kalian menghina pemimpin kalian, janganlah menipu mereka dan jangan memurkai mereka! Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah, sesungguhnya perkara ini sangatlah dekat!’.” [HR. Ibnu Abi Ashim dalam Kitab As-Sunnah]

Seorang pembesar tabi’ien yang bernama Abu Ishaq As Sabi‘i rahimahullah berkata:

“Tidaklah suatu kaum menghina pemimpinnya, melainkan mereka tiada mendapatkan kebaikannya.” [HR. Ibnu Abdil Barr pada At Tamhid (21/287)]

(3) – Bersabar Terhadap Kedzaliman Penguasa

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ إِلَّا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

“Barangsiapa melihat sebuah perkara yang membuat ia benci pada pemimpinya, maka hendaknya ia bersabar dan janganlah ia membangkang kepada pemimpinnya! Sebab, barangsiapa melepaskan diri dari jama’ah, lalu mati, maka ia mati secara jahiliyah.” [HR. Al Bukhari dan Muslim]

Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:

“Pemimpin adalah ujian bagi kalian, apabila mereka bersikap adil, maka dia mendapat pahala dan engkau harus bersyukur! Dan apabila dia dhalim, maka dia mendapatkan siksa dan engkau harus bersabar!”

Ibnu Abil ‘Izz mengatakan:

“Hukum menaati pemimpin adalah wajib, walaupun mereka berbuat dhalim (kepada kita). Jika kita keluar dari ketaatan pada mereka, maka akan timbul kerusakan yang lebih besar dari kedhaliman yang mereka perbuat. Bahkan bersabar terhadap kedhaliman mereka dapat melebur dosa-dosa dan akan melipatgandakan pahala. Allah Ta’ala tidak menjadikan mereka berbuat dhalim selain disebabkan karena kerusakan yang ada pada diri kita juga. Ingatlah, bahwa balasan sesuai dengan amal perbuatan yang dilakukan, ‘al jazaa’ min jinsil ‘amal’! Oleh karena itu, hendaklah kita bersungguh-sungguh dalam istighfar dan taubat, serta berusaha mengoreksi amalan kita.”

(4) – Memberikan Nasehat

Islam memiliki etika tersendiri dalam menasihati pemimpin, bahkan mempunyai kaidah-kaidah dasar yang tidak boleh dilecehkan. Sebab, pemimpin tidak sama dengan rakyat. Apabila menasihati Kaum Muslimin secara umum memerlukan kaidah dan etika, maka menasihati para pemimpin lebih perlu memperhatikan kaidah dan etika.

Dari Ibnu Hakam meriwayatkan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلاَ يُبْدِ لَهُ عَلاَنِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِى عَلَيْهِ لَهُ

“Barangsiapa ingin menasihati seorang penguasa, maka jangan ia tampakkan terang-terangan, akan tetapi hendaknya ia mengambil tangan penguasa tersebut dan menyendiri dengannya. Jika dengan itu ia menerima (nasihat) darinya, maka itulah (yang diinginkan) dan jika tidak menerima, maka ia (yang menasihati) telah melaksanakan kewajibannya.” [Sahih, HR. Ahmad, Ibnu Abu ‘Ashim dan yang lain, disahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Dhilalul Jannah, no. 1096-1098]

Imam Nawawi rahimahullah berkata:

“Menasihati para pemimpin berarti menolong mereka untuk menjalankan kebenaran, menaati mereka dalam kebaikan, mengingatkan mereka dengan lemah lembut terhadap kesalahan yang mereka perbuat, memperingatkan kelalaian mereka terhadap hak-hak kaum muslimin, tidak melakukan pemberontakan dan membantu untuk menciptakan stabilitas negara.”

Imam Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata:

“Orang mukmin menasihati dengan cara rahasia dan orang jahat menasihati dengan cara melecehkan dan memaki-maki.”

Syaikh bin Baz rahimahullah berkata:

“Menasihati para pemimpin dengan cara terang-terangan melalui mimbar-mimbar, atau tempat-tempat umum, bukan (merupakan) cara, atau Manhaj Salaf. Sebab, hal itu akan mengakibatkan keresahan dan menjatuhkan martabat para pemimpin. Akan tetapi, (cara) Manhaj Salaf dalam menasihati pemimpin, yaitu dengan mendatanginya, mengirim surat atau menyuruh salah seorang ulama yang dikenal untuk menyampaikan nasihat tersebut.”

(5) – Berdo’a untuk Kebaikan Pemimpin

Imam Al Barbahari rahimahullah berkata:

“Apabila kamu melihat seseorang berdo’a untuk kejelekan pemimpin, ketahuilah, bahwasanya dia adalah pengekor hawa nafsu! Dan apabila kamu mendengar seseorang berdo’a untuk kebaikan pemimpin, ketahuilah, bahwasanya dia adalah pengikut Sunnah, insya Allah!”

Dari ‘Abdush Shamad bin Yazid Al Baghdadiy rahimahullah, ia berkata, bahwa ia pernah mendengar Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata:

لَوْ أَنَّ لِيْ دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ مَا صَيَّرْتُهَا إِلَّا فِيْ الإِمَامِ

“Seandainya aku memiliki doa yang mustajab, aku akan tujukan doa tersebut pada pemimpinku.”

Ada yang bertanya pada Fudhail, “Kenapa bisa begitu?”

Ia (Al Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah) menjawab:

“Jika aku tujukan doa tersebut pada diriku saja, maka itu hanya bermanfaat untukku. Namun, jika aku tujukan untuk pemimpinku, maka rakyat dan negara akan menjadi baik.” [Hilyatul Auliya’, Karya Abu Nu’aim Al Ashfahaniy]

Wallahu a’lam bish shawwab

Oleh: Abu Faqih Al Fanghany

Dari berbagai sumber

Alukhuwah.Com

Back to top button