Qawa’id Fiqhiyyah: Setiap Amalan Tergantung dengan Niatnya
Makna Kaidah
Kaidah ini menjelaskan bahwa hukum syari’at terhadap amal perbuatan manusia tergantung dengan niat yang ada di dalam hati pelakunya, baik berkaitan dengan sah atau tidaknya amalan tersebut, adanya pahala ataupun dosa, adanya hukuman ataukah tidak, dan juga adanya kepemilikan ataukah tidak. [1]Lihat Al Mufasshol fi Al Qowa’id Al Fiqhiyyah, Dr. Ya’qub bin Abdil Wahhab Al Bahisin, Dar At-Tadmuriyyah, Riyadh, Cetakan Kedua, 1431 H, Hlm. 163.
Maka kaidah ini meskipun lafadznya sangat ringkas, namun memiliki makna yang sangat dalam dan sangat luas. Mencakup segala sesuatu yang muncul dari seorang insan baik berupa perkataan maupun perbuatan. Di mana, hukum syar’i terhadap amal perbuatan manusia tergantung dengan maksud dan niat pelakunya. Demikian pula amalan seorang hamba berbeda-beda hukumnya disebabkan perbedaan niat dan tujuannya. [2]Lihat Al Qawa’id Al Khoms Al Kubro wama Tafarro’a ‘anha, Syaikh Dr. Sholih bin Ghonim as-Sadlan, Dar Balansiyah, Cetakan Pertama, 1417 H, hlm. 43.
Dalil Kaidah
Terdapat banyak dalil yang menjelaskan tentang urgensi niat baik dalam Al Qur’an maupun hadits Nabi ﷺ. Berikut ini kami sebutkan sebagiannya :
Allah ﷻ berfirman :
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama.” (QS Al Bayyinah : 5) [3]QS Al Bayyinah : 5
Ayat ini termasuk dalil yang menjelaskan wajibnya niat dalam setiap ibadah, karena keikhlasan termasuk amalan hati, dan keikhlasan tidaklah terwujud kecuali dengan adanya niat. [4]Lihat Al Qowa’id Al Kulliyah wa Dhowabith Al Fiqhiyyah, Prof. Dr. Muhammad ‘Utsman Syabir, Dar An-Nafais, ‘Amman, Cetakan Kedua, 1428 H, hlm. 11-12.
Adapun dalil dari As-Sunnah, di antaranya adalah sabda Nabi ﷺ :
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلى اللهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إلى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا، أَو امْرأَةٍ يَنْكِحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلى مَا هَاجَرَ إِلَيْه
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung dengan niatnya,dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin ia dapatkan, atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai ke mana arah hijrahnya.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907) [5]HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907
Dalam hadits ini Nabi ﷺ menjelaskan bahwa setiap amalan tergantung dengan niatnya, dari sisi sah ataupun tidaknya, sempurna atau kurangnya. Maka barang siapa berniat dengan niat yang mulia maka ia akan mendapatkan pahala yang sempurna. Dan barangsiapa kurang dalam niatnya maka akan kurang pula pahalanya. Dan jika niatnya adalah niat yang buruk maka ia akan terlewat dari kebaikan dan hasil buruk lah yang akan ia dapatkan. [6]Lihat Ad-Duratu As-Salafiyyah Syarh Al Arba’in An-Nawawiyyah, Kumpulan Beberapa Ulama’, Markaz Fajr li At-Thiba’ah wa An-Nasyr wa At-Tauzi’, Takhrij Hadits : Sayyid bin Ibrahim Al Huwaithi, … Continue reading
Fungsi Niat
Kita telah memahami bahwa niat termasuk ibadah yang disyari’atkan. Dan niat memiliki dua fungsi yang besar sebagaimana rincian berikut ini [7]Lihat Al-Asybah wa An-Nazhair karya Imam As-Suyuthi, Cetakan Keempat, Tahun 1418 H/1998 M, Dar al-Kutub al-‘Arabiy, Beirut, Hlm. 12.:
1. Membedakan antara ibadah dengan adat (kebiasaan).
Sebagaimana telah dimaklumi bahwa sebagian amalan itu tersamar antara keberadaanya sebagai ibadah dan keberadaanya sebagai adat kebiasaan. Hal ini disebabkan karena bentuk lahiriyahnya yang sama, dan tidak ada yang membedakan keduanya kecuali niat. Misalnya adalah mandi yang secara lahiriyah tidak bisa dibedakan antara keberadaanya itu sebagai amalan mensucikan diri dari hadats besar ataukah sekedar kebiasaan semata-mata untuk membersihkan badan. Dan yang membedakan antara keduanya hanyalah niat.
2. Membedakan antara ibadah yang satu dengan yang lainnya.
Sebagaimana dimaklumi bahwa ibadah memiliki jenis dan tingkatan yang berbeda-beda. Ada yang bersifat wajib dan ada yang bersifat sunnah, ada yang dikerjakan dalam rangka qodho’, ada pula yang dikerjakan karena nadzar, dan selainnya. Sedangkan tata cara pelaksanaannya pun secara lahiriah terkadang sama, dan hanya niatlah yang membedakannya. Misalnya seseorang yang melaksanakan sholat dua rakaat, bisa jadi sholat yang ia kerjakan adalah sholat fardhu, bisa jadi sholat tahiyyatul masjid, bisa jadi pula sholat sunnah rowatib, atau kemungkinan-kemungkinan lainnya. Yang membedakan dalam hal ini semata-mata adalah niat.
Tempat Niat
Sesungguhnya niat tempatnya di dalam hati, dan tidak disyari’atkan untuk melafadzkannya secara mutlak. Karena tidak ada nukilan dari Nabi ﷺ maupun dari sahabat bahwa mereka melafadzkan niat. Maka melafadzkan niat baik dengan sir (lirih) ataupun jahr (dikeraskan) termasuk bid’ah yang dilarang dalam agama. [8]Lihat Syarh Al Arba’in An-Nawawiyyah, Fadhilatu Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, Dar Ats-Tsurayya li An-Nasyr, Unaizah, Cetakan Ketiga, 1425 H, Hlm. 14.
Adapun ucapan “Labbaika hajjan” atau “Labbaika umrotan” bagi orang yang memulai ihram haji atau umroh maka itu bukanlah melafadzkan niat namun sekedar menampakkan syi’ar manasik, seperti takbiratul ihram dalam sholat. Sebagaimana seseorang disyari’atkan mengucapkan takbiratul ihram di awal sholat, maka demikian pula di awal rangkaian ibadah haji atau umroh disyari’atkan untuk mengucapkan dzikir tersebut, dan hal itu tidak termasuk melafadzkan niat. [9]Ibid, hlm.15
Syarat Sah Niat
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk keabsahan niat. Tidak sah niat tersebut kecuali dengan terpenuhinya beberapa syarat. Berikut ini uraiannya secara ringkas [10]Lihat Al Mumti’ fi Al Qowa’id Al Fiqhiyyah, Dr. Musallam bin Muhammad bin Majid Ad-Dausari, Dar Zidni, Riyadh, Cetakan Kedua, 1428 H, Hlm. 79-86.:
1. Orang yang berniat beragama Islam.
Hal ini karena niat termasuk kategori ibadah, dan di antara syarat sahnya ibadah adalah seseorang beragama Islam. Oleh karena itu, orang kafir tidaklah sah niatnya untuk melakukan ibadah. [11]Lihat Al Asybah wa An-Nazhair, Al Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyyah, Beirut, Cetakan Pertama, 1403 H, Hlm. 35.
2. Orang yang berniat sudah tamyiz. [12] Para ulama’ berbeda pendapat tentang kapan seorang anak dihukumi tamyiz. Jumhur ulama’ berpendapat bahwa seorang anak tamyiz jika sudah berusia tujuh tahun, dengan dalil sabda Nabi ﷺ yang … Continue reading
Yaitu memiliki kemampuan untuk membedakan antara yang bermanfaat dan yang membahayakan. Hal ini dikarenakan niat itu harus ada unsur kehendak dari orang yang berniat, dan telah dimaklumi bahwa orang yang belum tamyiz, yaitu anak kecil (termasuk juga orang gila) tidak memiliki kehendak. [13]Lihat al-Mufasshal fi al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, Dr. Ya’qub bin Abdul Wahhab al-Bahisin, Cet. II, Tahun 1432 H/2011 M, Dar at-Tadmuriyyah, Riyadh, Hlm. 167.
3. Mengetahui apa yang diniatkan
Maka tidak sah niat dari orang yang tidak mengetahui hakikat atau hukum perkara yang diniatkan. Orang yang tidak mengetahui kewajiban sholat maka tidak sah sholatnya, dan orang yang tidak mengetahui kewajiban puasa, tidak sah pula puasanya. [14]Lihat Al-Asybah wa An-Nazhair, Al-‘Allamah Ibn Nujaim Al-Hanafi, Dar Al-Fikr, Damaskus, Cetakan Pertama, 1403, Hlm. 53.
4. Tidak ada penghalang antara niat dengan sesuatu yang diniatkan.
Di antara penghalang yang meniadakan keabsahan niat adalah keragu-raguan di dalam niat, yaitu tidak adanya kepastian dalam niat tersebut. Apabila seseorang ragu-ragu apakah meniatkan sholat dzuhur atau ashar maka tidak sah niatnya, dan tidak sah pula sholatnya. Dan termasuk penghalang juga adalah jika seseorang berniat untuk memutus (membatalkan) ibadah di tengah-tengah pelaksanaannya, misalnya seseorang yang berniat memutus sholatnya ditengah-tengah pelaksanaan sholat, maka sholatnya batal. [15]Lihat Al Qowa’id Al Fiqhiyyah Al Kubra wama Tafarra’a ‘anha, Syaikh Dr. Dr. Shalih bin Ghanim As-Sadlan, Dal Balansiyah, Ceakan Pertama, 1436, hlm. 52.
5. Ikhlas dalam niat
Yaitu seseorang mengerjakan amal ibadah karena mengharapkan keridhoan dan pahala dari Allah ﷻ. Adapun jika niatnya karena riya’, sum’ah, atau untuk mendapatkan keuntungan dunia semata-mata maka niat dan amalan tersebut tidak sah. [16]Lihat al-Mufasshal fi al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, Dr. Ya’qub bin Abdul Wahhab al-Bahisin, Cet. II, Tahun 1432 H/2011 M, Dar at-Tadmuriyyah, Riyadh, Hlm. 170.
Contoh Penerapan Kaidah
Berikut ini beberapa contoh kasus yang menunjukkan sisi aplikatif dan urgensi dari kaidah yang mulia ini [17] Lihat Mausu’ah Al Qowa’id Al Fiqhiyyah, Syaikh Dr. Muhammad Shidqi bin Ahmad Al Burnu, Muassasah Ar Risalah, Beirut, Cetakan Pertama, 1/125-126.:
1. Aktivitas menuntut ilmu syar’i mempunyai perbedaan hukum sesuai dengan niat orang yang melakukannya.
Seseorang yang menuntut ilmu syar’i untuk menghilangkan kebodohan dari dirinya dan untuk mendapatkan pahala dari sisi Allah ﷻ maka aktivitasnya sangat dianjurkan dalam syari’at. Sedangkan seseorang yang menuntut ilmu syar’i semata semata-mata untuk mendapatkan keuntungan duniawi maka aktivitasnya tersebut haram, bahkan mendapatkan ancaman tidak mendapatkan bau surga nanti di akhirat sebagaimana dijelaskan oleh Nabi ﷺ. [18]HR. Abu Dawud no. 3664 dan dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 3664.
2. Seseorang yang menahan diri tidak makan dan tidak minum dengan niat semata-mata untuk diet untuk mengurangi berat badan
Maka itu merupakan perbuatan mubah yang mana seseorang tidak mendapatkan pahala dan tidak pula berdosa. Adapun jika tujuannya untuk memadhoroti dirinya sendiri atau untuk bunuh diri maka hukumnya haram dan ia berdosa ketika melakukannya. Dan jika niatnya dalam rangka berpuasa sesuai tuntunan syari’at dan ikhlas hanya karena Allah ﷻ maka itu merupakan amalan ketaatan dan diberi pahala atas amalannya tersebut.
3. Apabila seseorang memberikan hadiah kepada orang lain
Niatnya semata-mata karena Allah ﷻ, dan mencintai saudaranya karena Allah ﷻ, maka ia akan mendapatkan pahala dari-Nya. Adapun jika niatnya untuk membatalkan kebenaran atau membenarkan perkara yang batil maka itu termasuk risywah (praktek suap) yang haram, dan ia mendapatkan dosa darinya.
4. Jika kita melihat seseorang menyerahkan sejumlah harta kepada orang lain
Maka kita tidak bisa memastikan hukumnya sebelum mengetahui niat si pemberi. Karena ada kemungkinan barang yang diserahkan itu berupa barang titipan, bisa jadi utang piutang, bisa jadi sedekah, bisa jadi zakat, dan kemungkinan-kemungkinan lainnya. Masing-masing kemungkinan tersebut memilki ketentuan hukum yang berbeda-beda. Sehingga untuk menghukumi suatu muamalah perlu diketahui hakikat yang sebenarnya dari muamalah tersebut, dan itu ditentukan oleh niat pelakunya.
Wallahu a’lam.
Disusun oleh Ustadz Abu Muslim Nurwan Darmawan, B.A., حفظه الله تعالى
Artikel Ilmiyah AlUkhuwah.Com
Referensi
1 | Lihat Al Mufasshol fi Al Qowa’id Al Fiqhiyyah, Dr. Ya’qub bin Abdil Wahhab Al Bahisin, Dar At-Tadmuriyyah, Riyadh, Cetakan Kedua, 1431 H, Hlm. 163. |
---|---|
2 | Lihat Al Qawa’id Al Khoms Al Kubro wama Tafarro’a ‘anha, Syaikh Dr. Sholih bin Ghonim as-Sadlan, Dar Balansiyah, Cetakan Pertama, 1417 H, hlm. 43. |
3 | QS Al Bayyinah : 5 |
4 | Lihat Al Qowa’id Al Kulliyah wa Dhowabith Al Fiqhiyyah, Prof. Dr. Muhammad ‘Utsman Syabir, Dar An-Nafais, ‘Amman, Cetakan Kedua, 1428 H, hlm. 11-12. |
5 | HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907 |
6 | Lihat Ad-Duratu As-Salafiyyah Syarh Al Arba’in An-Nawawiyyah, Kumpulan Beberapa Ulama’, Markaz Fajr li At-Thiba’ah wa An-Nasyr wa At-Tauzi’, Takhrij Hadits : Sayyid bin Ibrahim Al Huwaithi, 2003 M, Hlm. 38. |
7 | Lihat Al-Asybah wa An-Nazhair karya Imam As-Suyuthi, Cetakan Keempat, Tahun 1418 H/1998 M, Dar al-Kutub al-‘Arabiy, Beirut, Hlm. 12. |
8 | Lihat Syarh Al Arba’in An-Nawawiyyah, Fadhilatu Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, Dar Ats-Tsurayya li An-Nasyr, Unaizah, Cetakan Ketiga, 1425 H, Hlm. 14. |
9 | Ibid, hlm.15 |
10 | Lihat Al Mumti’ fi Al Qowa’id Al Fiqhiyyah, Dr. Musallam bin Muhammad bin Majid Ad-Dausari, Dar Zidni, Riyadh, Cetakan Kedua, 1428 H, Hlm. 79-86. |
11 | Lihat Al Asybah wa An-Nazhair, Al Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyyah, Beirut, Cetakan Pertama, 1403 H, Hlm. 35. |
12 | Para ulama’ berbeda pendapat tentang kapan seorang anak dihukumi tamyiz. Jumhur ulama’ berpendapat bahwa seorang anak tamyiz jika sudah berusia tujuh tahun, dengan dalil sabda Nabi ﷺ yang memerintahkan supaya orang tua menyuruh anaknya melaksanakan shalat ketika usianya sudah menginjak tujuh tahun. Ulama’ lainnya berpendapat bahwa tamyiz tidak diukur dengan usia tertentu, tetapi berbeda-beda sesuai kondisi anak dari sisi kecerdasan dan kemampuannya, dan inilah pendapat yang benar. Akan tetapi umumnya seorang anak tamyiz jika sudah berusia tujuh tahun. Meskipun ada kemungkinan seorang anak tamyiz ketika usianya belum tujuh tahun, sebagaimana telah datang riwayat dari salaf bahwa sebagian anak mereka memiliki pemahaman dan hafalan yang kuat sedangkan usianya belum sampai lima tahun. (Lihat Syarhul Qawa’id As Sa’diyah. Syaikh Abdul Muhsin bin Abdullah Az Zamil. Dar Athlas Al Kahadhra’ lin Nasyri wat Tauzi’. Hlm. 82-83). |
13 | Lihat al-Mufasshal fi al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, Dr. Ya’qub bin Abdul Wahhab al-Bahisin, Cet. II, Tahun 1432 H/2011 M, Dar at-Tadmuriyyah, Riyadh, Hlm. 167. |
14 | Lihat Al-Asybah wa An-Nazhair, Al-‘Allamah Ibn Nujaim Al-Hanafi, Dar Al-Fikr, Damaskus, Cetakan Pertama, 1403, Hlm. 53. |
15 | Lihat Al Qowa’id Al Fiqhiyyah Al Kubra wama Tafarra’a ‘anha, Syaikh Dr. Dr. Shalih bin Ghanim As-Sadlan, Dal Balansiyah, Ceakan Pertama, 1436, hlm. 52. |
16 | Lihat al-Mufasshal fi al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, Dr. Ya’qub bin Abdul Wahhab al-Bahisin, Cet. II, Tahun 1432 H/2011 M, Dar at-Tadmuriyyah, Riyadh, Hlm. 170. |
17 | Lihat Mausu’ah Al Qowa’id Al Fiqhiyyah, Syaikh Dr. Muhammad Shidqi bin Ahmad Al Burnu, Muassasah Ar Risalah, Beirut, Cetakan Pertama, 1/125-126. |
18 | HR. Abu Dawud no. 3664 dan dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 3664. |