Qawa’id Fiqhiyyah: Keyakinan Tidak Hilang dengan Keraguan
Muqaddimah
Kaidah ini termasuk salah satu dari lima kaidah terbesar dalam fiqih Islam dan sangat luas cakupannya. Sebagaimana dikatakan oleh Imam As Suyuthi, “Ketahuilah sesungguhnya kaidah ini masuk dalam seluruh bab fiqih. Dan permasalahan yang tercabang darinya mencapai tiga per empat pembahasan fiqih bahkan lebih.” [1]Al Asybah wa An-Nazhair, Al Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyyah, Beirut, Cetakan Pertama, 1403 H, Hlm. 51.
Demikian pula, kaidah ini menunjukkan kemudahan dan rahmat Allah ﷻ dalam syari’at Islam. Karena di dalam kaidah ini terkandung makna menghilangkan kesulitan yang muncul dari rasa was-was dan keraguan dalam pelaksanaan ibadah, baik thaharoh, shalat, puasa, dan selainnya. Di mana kaidah ini menjauhkan keragu-raguan dan mengembalikan kepada keyakinan.[2]Lihat Al Qowa’id Al Kulliyah wa Dhowabith Al Fiqhiyyah, Prof. Dr. Muhammad ‘Utsman Syabir, Dar An-Nafais, ‘Amman, Cetakan Kedua, 1428 H, hlm. 127.
Untuk semakin memahami nilai penting dari kaidah ini maka kita perlu memahami maknanya, dalil yang mendasarinya, dan pembahasan lain yang terkait. Berikut ini uraiannya secara ringkas.
Makna Kaidah
Sesungguhnya perkara yang telah dipastikan keberadaannya secara yakin, maka tidak bisa hilang dengan keraguan semata-mata, namun bisa hilang dengan keyakinan yang semisal dengannya. Karena keraguan itu lebih lemah, sehingga tidak mampu menghilangkan keyakinan yang lebih kuat. [3]Lihat Muqorror Al Qowa’id Al Fiqhiyyah, Al Madinah International University, 2009, Hlm. 95.
Maka secara umum kaidah ini menjelaskan bahwa jika seseorang telah memastikan secara yakin atau memiliki dugaan kuat akan ada atau tidaknya suatu hal, kemudian setelah itu muncul dalam hatinya keragu-raguan akan hal tersebut, maka ia tidak perlu memperhatikan keraguan itu, hendaklah ia tetap berpegang pada keyakinan dan dugaan kuat sebelumya dan tidak berpindah darinya. Yang demikian itu karena keraguan itu lebih lemah dari keyakinan dan dugaan kuat. [4]Lihat Muqorror Al Qowa’id Al Fiqhiyyah, At-Ta’lim ‘an Bu’d Jami’atul Imam Muhammad bin Su’ud Al Islamiyyah, Mustawa Tsani, Halaqoh Kesembilan.
Dalil Kaidah
Sangat banyak dalil yang menunjukkan keberadaan kaidah ini baik dari Al Qur’an maupaun As-Sunnah. Bahkan para ulama’ telah bersepakat tentang eksistensinya. Adapun dalil dari Al Qur’an di antaranya Allah ﷻ berfirman :
وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلَّا ظَنًّا إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
“Dan kebanyakan mereka hanya mengikuti dugaan. Sesungguhnya dugaan itu tidak sedikit pun berguna untuk melawan kebenaran.” (QS. Yunus : 36)
Sisi pendalilan dari ayat ini, bahwa kata (ظَنًّا) “dugaan” di antaranya ditafsirkan dengan suatu perkara yang tidak diketahui hakikatnya apakah ada ataukah tidak, yaitu suatu perkara yang diragukan. Dan ayat ini menjelaskan bahwa perkara tersebut tidak mempengaruhi kayakinan dan tidak bisa menggantikan posisinya. Hal itu menunjukkan bahwa keraguan itu jika bertemu dengan keyakinan maka tidak mampu untuk menghilangkannya, bahkan hukumnya tetap mengikuti keyakinan yang ada. [5]Lihat Al Mumti’ fi Al Qowa’id Al Fiqhiyyah, Dr. Musallam bin Muhammad bin Majid Ad-Dausari, Dar Zidni, Riyadh, Cetakan Kedua, 1428 H, Hlm. 117.
Adapun dalil dari As-Sunnah, diantaranta adalah sabda Nabi ﷺ :
إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لاَ؟ فَلاَ يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيْحًا
“Apabila seseorang dari kalian merasakan sesuatu di perutnya, kemudian ragu-ragu apakah keluar sesuatu darinya ataukah tidak, maka janganlah keluar dari masjid sampai mendengar suara atau mencium baunya.” HR. Muslim no. 362. [6]HR. Muslim no. 362.
Sisi pendalilan dari hadits ini, sesungguhnya Nabi ﷺ menjelaskan bahwa dalam kondisi ragu-ragu tentang munculnya hadats dalam shalat, maka seorang muslim hendaknya tetap meneruskan sholatnya, dan tidak perlu memperhatikan keragu-raguan yang muncul. Ini menunjukkan bahwa keyakinan tidak hilang semata-mata karena keraguan. [7]Lihat Al Mumti’ fi Al Qowa’id Al Fiqhiyyah, Dr. Musallam bin Muhammad bin Majid Ad-Dausari, Dar Zidni, Riyadh, Cetakan Kedua, 1428 H, Hlm. 118.
Contoh Penerapan Kaidah
Implementasi dari kaidah yang mulia ini dapat diketahui dari contoh-contoh berikut [8]Lihat al-Qawa’id wa al-Ushul al-Jami’ah wa al-Furuq wa at-Taqasim al-Badi’ah an-Nafi’ah. Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di. Tahqiq Syaikh Dr. Khalid bin Ali bin … Continue reading:
- Seseorang yang yakin bahwa dirinya dalam keadaan suci (tidak berhadats) kemudian muncul dalam benaknya keraguan apakah ia telah berhadats ataukah belum, maka asalnya ia masih dalam keadaaan suci, sampai ia yakin bahwa ia memang telah berhadats. Demikian pula, seseorang yang yakin bahwa ia dalam keadaan berhadats kemudian ragu-ragu apakah ia sudah bersuci ataukah belum maka asalnya ia tetap dalam keadaan berhadats. [9]Lihat Al Asybah wa An-Nazhair, Al Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyyah, Beirut, Cetakan Pertama, 1403 H, Hlm. 51.
- Seseorang yang ragu-ragu terhadap air yang ada dalam suatu wadah, apakah air tersebut masih suci ataukah tidak, maka ia mengembalikan pada hukum asalnya, yaitu hukum asal air adalah suci (tidak najis), sampai muncul keyakinan bahwa air tersebut memang telah berubah menjadi tidak suci lagi karena terkena najis [10]Lihat Al Qowa’id Al Fiqhiyyah Al Kubra wama Tafarra’a ‘anha, Syaikh Dr. Dr. Shalih bin Ghanim As-Sadlan, Dal Balansiyah, Ceakan Pertama, 1436, hlm. 104.. Demikian pula, hukum asal segala sesuatu adalah suci. Maka kapan saja seseorang ragu-ragu tentang kesucian air, baju, tempat, bejana, atau selainya maka ia menghukuminya dengan hukum asal tersebut, yaitu asalnya suci. Oleh karena itu, jika seseorang terkena air dari suatu saluran air, atau menginjak suatu benda basah, yang mana ia tidak mengetahui apakah benda tersebut suci ataukah tidak, maka asalnya benda tersebut suci (tidak najis), kecuali jika ada tanda-tanda yang meyakinkan bahwa benda itu najis. [11]Lihat Syarhul Qawa’id As Sa’diyah. Syaikh Abdul Muhsin bin Abdullah Az Zamil. Dar Athlas Al Kahadhra’ lin Nasyri wat Tauzi’. Hlm. 118.
- Apabila seseorang ragu-ragu tentang jumlah rekaat dalam sholatnya, apakah sudah dua raka’at ataukah tiga raka’at, maka ia berpedoman pada keyakinannya, yaitu ia mengembalikan kepada jumlah raka’at yang lebih sedikit, kemudian ia melakukan sujud sahwi di akhir sholat. [12]Lihat Al-Wajiz fi Syarh Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah fi As-Syari’ati Al-Islamiyyah, Dr. ‘Abdul Karim Zaidan, Muassasah Ar-Risalah, Beirut, Cetakan Pertama, 1422 H, Hlm. 36.
- Seseorang yang sedang melaksanakan thawaf di baitullah, jika ia menemui keraguan tentang jumlah putaran yang telah ia lakukan, maka ia menentukan sesuai yang ia yakini, yaitu ia kembali pada jumlah yang paling sedikit [13]Al-Imam Abnul Mundzir berkata, “Para ulama telah bersepakat bahwa seseorang yang ragu-ragu dalam thawafnya maka ia mengikuti sesuai yang ia yakini.” (Lihat Al Qowa’id Al Fiqhiyyah Al Kubra wama … Continue reading. Demikian pula seseorang yang ragu-ragu ketika melaksanakan sa’i.
- Seseorang yang ragu-ragu tentang jumlah basuhan ketika berwudhu, mandi wajib atau selainnya, maka ia berpedoman kepada keyakinannya, yaitu kembali pada jumlah basuhan yang terkecil.
- Seorang suami yang ragu-ragu, apakah telah mentalaq isterinya ataukah belum, maka asalnya ia belum mentalaq isterinya. Dikarenakan hubungan suami isteri sejak semula telah terjalin dengan keyakinan, maka hubungan tersebut tidaklah terputus hanya sekedar karena keraguan.
- Seorang suami yang ragu-ragu tentang jumlah talaq yang telah ia ucapkan kepada isterinya, maka ia mengambil jumlah yang paling sedikit.
- Apabila seseorang mempunyai tanggungan untuk mengqadha’ beberapa shalat yang ditinggalkannya karena udzur, kemudian ia ragu-ragu tentang berapa jumlah sholat yang ditinggalkannya, maka ia melaksanakan sholat sehingga muncul keyakinan bahwa tanggungannya itu telah tertunaikan. Hal ini dikarenakan kewajiban mengqadha’ sholat telah tetap atasnya sehingga kewajiban tersebut tidaklah lepas dari tanggungannya kecuali dengan keyakinan. Demikian pula jika ia mempunyai kewajiban untuk mengqadha’ puasa.
- Apabila seorang wanita ragu-ragu apakah ia telah keluar dari masa iddahnya ataukah belum, maka asalnya ia masih tetap dalam masa iddah.
- Jika timbul keraguan tentang jumlah susuan yang mengkonsekuensikan hubungan mahram antara anak susuan dengan ibu susuannya, apakah sudah lima kali susuan ataukah belum, maka yang dijadikan patokan adalah jumlah yang terkecil, sampai muncul keyakinan bahwasannya jumlah susuan sudah mencapai lima kali. [14]Lihat Al Qowa’id Al Fiqhiyyah Al Kubra wama Tafarra’a ‘anha, Syaikh Dr. Dr. Shalih bin Ghanim As-Sadlan, Dal Balansiyah, Ceakan Pertama, 1436, hlm. 105.
- Jika seseorang melempar binatang buruan (dengan tombak, panah atau senjata lainnya) dengan meyebut nama Allah ﷻ terlebih dahulu, kemudian setelah beberapa waktu ia menemukan binatang tersebut mati terkena senjata tersebut, lalu ia ragu-ragu apakah binatang tersebat mati dikarenakan lemparan senjatanya ataukah dikarenakan sebab yang lain, maka asalnya binatang tersebut halal untuk dikonsumsi (bukan bangkai). Dikarenakan asalnya tidak ada sebab lain yang mengakibatkan kematian binatang tersebut, sebagaimana hai ini telah dijelaskan dalam hadits yang shahih [15]HR. Bukhari no. 5484 dan Muslim no. 1929.. Kecuali jika memang ada tanda-tanda binatang itu mati karena sebab lain misalnya karena tenggelam atau semisalnya.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa segala sesuatu yang kita ragukan keberadaannya maka hal tersebut asalnya tidak ada. Dan segala sesuatu yang kita ragukan jumlahnya maka asalnya kita kembalikan pada bilangan yang terkecil.
Wallahu Al Muwaffiq.
Disusun oleh Ustadz Abu Muslim Nurwan Darmawan, B.A., حفظه الله تعالى
Artikel Ilmiyah AlUkhuwah.Com
Referensi
1 | Al Asybah wa An-Nazhair, Al Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyyah, Beirut, Cetakan Pertama, 1403 H, Hlm. 51. |
---|---|
2 | Lihat Al Qowa’id Al Kulliyah wa Dhowabith Al Fiqhiyyah, Prof. Dr. Muhammad ‘Utsman Syabir, Dar An-Nafais, ‘Amman, Cetakan Kedua, 1428 H, hlm. 127. |
3 | Lihat Muqorror Al Qowa’id Al Fiqhiyyah, Al Madinah International University, 2009, Hlm. 95. |
4 | Lihat Muqorror Al Qowa’id Al Fiqhiyyah, At-Ta’lim ‘an Bu’d Jami’atul Imam Muhammad bin Su’ud Al Islamiyyah, Mustawa Tsani, Halaqoh Kesembilan. |
5 | Lihat Al Mumti’ fi Al Qowa’id Al Fiqhiyyah, Dr. Musallam bin Muhammad bin Majid Ad-Dausari, Dar Zidni, Riyadh, Cetakan Kedua, 1428 H, Hlm. 117. |
6 | HR. Muslim no. 362. |
7 | Lihat Al Mumti’ fi Al Qowa’id Al Fiqhiyyah, Dr. Musallam bin Muhammad bin Majid Ad-Dausari, Dar Zidni, Riyadh, Cetakan Kedua, 1428 H, Hlm. 118. |
8 | Lihat al-Qawa’id wa al-Ushul al-Jami’ah wa al-Furuq wa at-Taqasim al-Badi’ah an-Nafi’ah. Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di. Tahqiq Syaikh Dr. Khalid bin Ali bin Muhammad al-Musyaiqih. Cetakan kedua. 1422 H/2001 M. Dar al-Wathan li an-Nasyr. Riyadh. Hlm. 57-58. |
9 | Lihat Al Asybah wa An-Nazhair, Al Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyyah, Beirut, Cetakan Pertama, 1403 H, Hlm. 51. |
10 | Lihat Al Qowa’id Al Fiqhiyyah Al Kubra wama Tafarra’a ‘anha, Syaikh Dr. Dr. Shalih bin Ghanim As-Sadlan, Dal Balansiyah, Ceakan Pertama, 1436, hlm. 104. |
11 | Lihat Syarhul Qawa’id As Sa’diyah. Syaikh Abdul Muhsin bin Abdullah Az Zamil. Dar Athlas Al Kahadhra’ lin Nasyri wat Tauzi’. Hlm. 118. |
12 | Lihat Al-Wajiz fi Syarh Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah fi As-Syari’ati Al-Islamiyyah, Dr. ‘Abdul Karim Zaidan, Muassasah Ar-Risalah, Beirut, Cetakan Pertama, 1422 H, Hlm. 36. |
13 | Al-Imam Abnul Mundzir berkata, “Para ulama telah bersepakat bahwa seseorang yang ragu-ragu dalam thawafnya maka ia mengikuti sesuai yang ia yakini.” (Lihat Al Qowa’id Al Fiqhiyyah Al Kubra wama Tafarra’a ‘anha, Syaikh Dr. Dr. Shalih bin Ghanim As-Sadlan, Dal Balansiyah, Ceakan Pertama, 1436, hlm. 105) |
14 | Lihat Al Qowa’id Al Fiqhiyyah Al Kubra wama Tafarra’a ‘anha, Syaikh Dr. Dr. Shalih bin Ghanim As-Sadlan, Dal Balansiyah, Ceakan Pertama, 1436, hlm. 105. |
15 | HR. Bukhari no. 5484 dan Muslim no. 1929. |