Puasa Adalah Ibadah Ditinjau dari Sisi Aqidah
( Puasa Ditinjau Dari Sisi Aqidah )
Ibadah adalah kata yang mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridhoi oleh Allah, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang batin (yang tidak tampak) maupun yang lahiriah (yang tampak). (Kitab Al-‘Ubudiyah, syaikhul Islam)
Ibadah kepada Allah adalah merendahkan diri kepada Allah dengan melaksanakan perintah-perintahNya dan menjauhi seluruh larangan-laranganNya karena mencintai Allah dan mengagungkanNya.
Ibadah bisa berupa amalan wajib, sunnah maupun perkara mubah yang kita niatkan untuk ibadah. Syaikhul Islam berkata; “Kita tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan amalan wajib atau mustahab (sunnah), dan perkara mubah jika diniatkan dengannya untuk ketaatan maka termasuk di dalamnya.” (Qa’idatun Jalilatun Fit Tawassul Wal Wasilah, syaikhul Islam)
Kebiasaan-kebiasaan yang mubah (tidak diharamkan agama) jika diniatkan untuk ibadah maka kebiasaan itu berpahala, sehingga dia menjadi orang yang beruntung karena seluruh atau sebagian besar hidupnya bernilai ibadah. Seperti kebiasaan makan dan minum yang diniatkan untuk menguatkan dirinya dalam melaksanakan ibadah, atau diniatkan untuk menjaga kelangsungan hidupnya.
Puasa adalah ibadah
Puasa adalah termasuk perbuatan yang dicintai dan diridhoi oleh Allah. Kita mengetahui bahwa puasa dicintai dan diridhoi oleh Allah diantaranya adalah karena Allah memerintahkan dan mewajibkan kita untuk berpuasa, bahkan Allah telah mewajibkannya kepada orang-orang sebelum kita.
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (Al-Baqarah: 183)
Selain itu, banyak ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits yang menjelaskan tentang perintah puasa, keutamaan puasa, pahala bagi orang yang berpuasa dll. Ini menunjukkan bahwa puasa adalah termasuk perbuatan yang dicintai dan diridhoi oleh Allah, puasa adalah ibadah.
Puasa adalah ibadah dari zaman ke zaman
Di dalam sejarah disebutkan bahwa syari’at puasa telah ada sejak zaman nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad, misalnya puasa Nabi Dawud, puasa hari ‘Asyura dan lain-lain. Allah berfirman: “sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu”
Di zaman Nabi Muhammad, puasa Ramadhan disyaria’atkan sejak tahun 2 Hijriyah, yaitu 2 tahun setelah hijrahnya Nabi Muhammad ke Madinah.
Selain puasa Ramadhan, juga disyari’atkan puasa-puasa lainnya baik wajib maupun sunnah. Dengan demikian, puasa merupakan suatu ibadah yang mulia disisi Allah.
Puasa adalah ibadah luar biasa
Nabi bersabda:
“Semua amalan anak keturunan Adam (pahalanya) dilipatgandakan (yang besarnya): satu kebaikan (dilipatgandakan) sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat. Allah berfirman: “Kecuali puasa, karena puasa itu untuk Ku dan Aku sendiri yang akan membalasinya: dia (yang berpuasa) meninggalkan syahwat dan makanannya karena Aku; bagi orang yang puasa ada dua kebahagiaan (yaitu): kebahagiaan ketika berbuka dan kebahagiaan ketika bertemu dengan Tuhannya, dan bau mulut orang yang puasa sungguh lebih wangi di sisi Allah dibandingkan dengan aroma misk.” (HR. Muslim, riyadhus shalihin (1215))
Hadits ini mengandung pujian terhadap puasa serta penjelasan akan kelebihan puasa dibandingkan dengan amalan-amalan yang lainnya dari beberapa sisi. Dan masih banyak lagi hadits yang didalamnya terdapat pujian terhadap puasa.
Puasa Ramadhan
Selain keutamaannya yang besar, puasa juga memiliki kedudukan tinggi di dalam agama Islam, karena puasa merupakan salah satu rukun dari lima rukun Islam, yaitu Puasa Romadhon.
Nabi bersabda:
“Islam dibangun di atas lima (pondasi): Syahadat Laa ilaaha illallah Wa Anna Muhammadar Rasulullah, menegakkan shalat (lima waktu), menunaikan zakat (fithr), haji dan puasa Ramadhan.” (HR. Bukhari Muslim, riyadhus shalihin (1075))
Syaikh Salim Bin ‘Id Al-Hilaly berkata:
“Islam tegak di atas lima rukun ini, maka rukun tersebut seperti sebuah bagian pokok bagi bangunan; tidaklah tegak sebuah bangunan kecuali dengannya, dan amalan-amalan Islam yang lain (selain lima rukun tersebut) seperti penyempurna bangunan, yang jika hilang salah satu darinya maka bangunan tersebut menjadi berkurang dan tetap tegak (tidak runtuh); sehingga bangunan tidak berkurang (secara keseluruhan) dengan berkurangnya (amalan-amalan selain rukun Islam), berbeda dengan lima rukun tersebut, karena sesungguhnya Islam bisa hilang (dari diri seseorang) sama sekali dengan hilangnya seluruh lima rukun tersebut tanpa keraguan sedikitpun, begitu juga (Islam bisa hilang dari diri seseorang) dengan hilangnya dua kalimat syahadat.” (Bahjatun Nazhirin (2/248))
Hukum orang yang mengingkari wajibnya puasa ramadhan:
Imam An-Nawawy berkata:
“Sesungguhnya siapa saja yang mengingkari kewajiban zakat di zaman ini maka dia adalah kafir dengan kesepakatan umat Islam, begitu juga hukum ini berlaku bagi siapa saja yang mengingkari apa yang telah disepakati oleh umat Islam meskipun hanya sebagian saja dari ajaran-ajaran agama jika ilmu tentangnya telah tersebar, seperti shalat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, mandi wajib karena junub, haramnya zina, khamr, nikah dengan sesama muhrim dan semisalnya dari hukum-hukum yang ada di dalam Islam; kecuali orang itu dalam masa awal-awal masuk Islam dan belum mengetahui batasan-batasan dalam Islam; maka jika dia mengingkari sebagian dari ajaran-ajaran Islam tersebut karena ketidaktahuannya tentang hal itu maka dia tidak kafir.” (At-Takfir Wa Dhawabithuhu, DR. Ibrahim Bin ‘Amir Ar-Ruhaily hal. 228)
Hukum orang yang tidak berpuasa ramadhan dengan tidak mengingkari kewajibannya:
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Bin ‘Abdullah Bin Baaz berkata:
“Siapa saja yang tidak berpuasa di bulan Ramadhan dengan sengaja tanpa alasan yang dibenarkan syariat maka dia telah melakukan salah satu dosa besar dari dosa-dosa besar yang ada. Dan dia tidak kafir karenanya, berdasarkan pendapat para ulama yang paling kuat. Dan wajib baginya bertaubat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala disertai Qadha (mengganti puasa di hari lain). Dan dalil-dalil yang banyak menunjukkan bahwa meningalkan puasa Ramadhan bukanlah kekafiran yang besar jika dia tidak mengingkari kewajibannya, hanya saja dia tidak berpuasa karena meremehkan dan bermalas-malasan. Dan wajib baginya memberi makan satu orang miskin (sebagai ganti) satu hari yang dia tidak berpuasa padanya jika pelaksanaan Qadha (mengganti puasa) tertunda hingga Ramadhan berikutnya tanpa alasan yang dibenarkan syari’at….” (Tuhfatul Ikhwan Bi Ajwibatin Muhimmatin Tata’allaq Bi Arkanil islam hal. 178-179)
Puasa adalah ibadah, harus ikhlas dan sesuai contoh Nabi
Syaikh Salim Bin ‘Id Al-Hilaly berkata:
“Ibadah sepantasnya dikerjakan dengan sebaik-baiknya, terpenuhi syarat diterimanya dan syarat kesempurnaannya. Syarat diterimanya ibadah adalah ikhlas dan mencontoh Nabi, sedangkan syarat kesempurnaannya adalah melaksanakannya dengan sungguh-sungguh dan bersegera mengerjakannya serta tidak bermalas-malasan”. (Bahjatun Nazhirin (1/25))
Maka, barang siapa yang melakukan puasa karena selain Allah atau melakukan puasa yang tidak dicontohkan oleh Nabi, maka puasanya tersebut tidak diterima oleh Allah, tidak mendapatkan pahala dari Allah, justru dia akan mendapatkan dosa bahkan bisa terjerumus kedalam kesyririkan baik syirik kecil maupun syirik besar.
Misalnya, puasa dengan makan makanan hanya yang berwarna putih (mutih), puasa dengan makan makanan hanya yang berupa umbi-umbian (ngrowot), puasa dengan tidak makan-minum selama beberapa hari berturut-turut (ngebleng), puasa dengan tidak menyalakan api (pati geni), semedi atau bertapa dan lain sebagainya. Puasa-puasa tersebut tidak ada tuntunannya dari Nabi, bahkan umumnya juga tidak diniatkan ikhlas karena Allah.