Ziarah Kubur

Ziarah Kubur

 

[A] – Apakah yang Dimaksud Dengan Ziarah Kubur?

 

Ziarah kubur adalah mendatangi kuburan dalam rangka mengambil pelajaran darinya, seperti untuk melunakkan hati yang keras, mengingatkan kepada akhirat dan membuat mata menangis, karena takut kepada Allah dan mengharapkan kasih sayang-Nya. Di samping mengucapkan salam kepada penghuni kubur dan mendoakan untuk mereka, jika mayat yang di dalam kubur adalah seorang muslim. Ia dilakukan dengan tanpa safar (perjalanan jauh) menuju kuburan dan tanpa dikhususkan pada hari-hari tertentu yang terus berulang, seperti sebelum Ramadhan, misalnya.

 

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

 

أَلاَ فَزُورُوهَا، فَإِنَّهُ يُرِقُّ الْقَلْبَ، وَتُدْمِعُ الْعَيْنَ، وَتُذَكِّرُ الْآخِرَةَ…!

 

“Perhatikan! Ziarahilah kuburan, karena sesungguhnya kuburan melembutkan hati, membuat mata menangis dan mengingatkan kepada akhirat!” [HR. Al-Hakim (1/376), sanadnya dishahihkan oleh Syaikh Salim Al Hilaly]

 

[B] – Ziarah Kubur Hukumnya Sunnah, Baik Laki Maupun Perempuan Dengan Beberapa Syarat..

 

Ziarah kubur termasuk amalan sunnah bagi laki-laki, maupun perempuan. Hanya saja perempuan dilarang sering-sering ziarah kubur dan wajib bagi mereka menjaga adab-adab Islam yang berlaku bagi wanita ketika keluar rumah karena suatu keperluan.

 

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 

 كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ، فَزُوْرُوْهَا

 

“Dahulu aku melarang kalian dari ziarah kubur, maka (sekarang) ziarahilah kubur!” [HR. Muslim, no. 977]

 

Dalam riwayat lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

 

زُوْرُوْا الْقُبُوْرَ ؛ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمُ الآخِرَةَ

 

“Siapa saja yang ingin ziarah kubur, maka ziarahlah! Karena kubur mengingatkan kita kepada akhirat.” [Riyadhush Shalihin, no. 581]

 

Diantara dalil yang menunjukkan disunnahkan bagi wanita ziarah kubur (adalah):

 

Dari ‘Abdullah bin Abu Mulaikah radhiyallahu ‘anhu dia berkata:

 

أَنَّ عَائِشَةَ أَقْبَلَتْ ذَاتَ يَوْمٍ مِنَ الْمَقَابِرِ، فَقُلْتُ لهَاَ: يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِيْنَ مِنْ أَيْنَ أَقْبَلْتِ؟ قَالَتْ: مِنْ قَبْرِ أَخِيْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِيْ بَكْرٍ، فَقُلْتُ لَهَا: أَلَيْسَ كَانَ رَسُوْلُ الله نَهَى عَنْ زِياَرَةِ الْقُبُوْرِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ ، ثُمَّ أَمَرَ بِزِيَارَتِهَا

 

“Suatu hari ‘Aisyah kembali dari pekuburan, maka aku berkata kepada beliau: ‘Wahai Ummul Mu’minin, dari mana engkau?’

‘Aisyah menjawab, ‘Dari kuburan ‘Abdurrahman bin Abu Bakar.’

Aku berkata kepada beliau: ‘Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang dari ziarah kubur?’

‘Aisyah menjawab, ‘Iya, akan tetapi (sekarang) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk ziarah kubur.’.” [HR. Al Hakim (1/376) dan Al Baihaqy (4/78), sanadnya dishahihkan oleh Syaikh Salim Al Hilaly]

 

Sedangkan dalil yang menunjukkan dilarang bagi wanita sering-sering ziarah kubur, yaitu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas dan Hassan bin Tsabit radhiyallahu ‘anhum:

 

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ لَعَنَ زَوَّارَاتِ الْقُبُوْرِ

 

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat wanita yang sering ziarah kubur.” (Dalam riwayat lain: “Allah melaknat….”). [HR. At Tirmidzy, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan lain-lain, hadits ini dinyatakan Hasan Shahih oleh Imam At Tirmidzy, Ahkamul Janaa-iz, hal. 185]

 

[C] – Tidak Boleh Safar Untuk Ziarah

 

Syaikh Abu Bakr Jabir Al Jazaairiy berkata, setelah menjelaskan, bahwa ziarah kubur hukumnya sunnah:

 

“… Kecuali, jika pekuburan, atau mayat yang akan diziarahi jaraknya jauh yang membutuhkan persiapan kendaraan dan safar secara khusus, maka ketika itu tidak disyari’atkan (tidak boleh) berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: ‘Tidaklah kendaraan dipersiapkan untuk safar, kecuali kepada tiga masjid (yaitu): Masjidil Haram, Masjidku ini (Masjid Nabawi) dan Masjidil Aqsha.’ [HR. Al Bukhari, Muslim, Abu Dawud].” [Minhajul Muslim, hal. 219]

 

[D] – Tidak Mengkhususkan Waktu Tertentu yang Terus Terulang, Baik Mingguan, Bulanan, Atau Tahunan

 

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

 

لاَ تَتَّخِذُوْا قَبْرِيْ عِيْدًا، وَلاَ بُيُوْتَكُمْ قُبُوْرًا، وَصَلُّوْا عَلَيَّ فَإِنَّ تَسْلِيُمَكُمْ يَبْلغنِيْ حَيْثُ كُنْتُمْ

 

 “Janganlah kalian jadikan kuburanku sebagai tempat perayaan, janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan dan bershalawatlah kepadaku, karena sesungguhnya shalawat kalian kepadaku sampai kepadaku dimanapun kalian berada!” [HR. Imam Bukhari (At Tarikh Al Kabir), Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Khuzaimah, dinilai hasan oleh As Sakhawy]

 

Menjadikan kuburan sebagai ‘Ied, maksudnya: mengunjungi kuburan pada musim-musim, atau waktu-waktu yang telah ditentukan yang terus berulang, baik mingguan, bulanan, maupun tahunan. Baik untuk beribadah di sekitar kuburan, ataupun sekedar berkumpul. [Ahkamul Janaa-iz, hal. 219-224 dan Al Qaulul Mufid Syarh Kitabit Tauhid, hal. 278-279]

 

Jika kepada kuburan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam saja dilarang, maka kuburan selainnya lebih dilarang lagi.

 

Yang benar, kita ziarahi kubur kapan saja kita mempunyai waktu luang, tanpa menunggu musim-musim tertentu, seperti sebelum Ramadhan, karena yang seperti ini tidak ada contohnya dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

 

[E] – Amalan yang Dicontohkan dan Diajarkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam Ketika Ziarah Kubur

 

Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa mengajari mereka (para shahabat), jika mereka keluar ke pekuburan agar (yang berziarah kubur) mengucapkan:

 

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَ الْمُسْلِمِينَ وَ إِنَّا إِنْشَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُونَ أَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَ لَكُمُ الْعَافِيَةَ

 

Assalaamu’alaikum Ahlad Diyaar Minal Mu’miniin wal Muslimiin wa Innaa InsyaaAllah Bikum Laahiquun, As-alullaaha Lanaa wa Lakumul ‘Aafiyah..

 

Artinya: “Salam kesejahteraan semoga terlimpah bagi kalian, wahai para penghuni kubur dari kalangan mukmin maupun muslim. Dan insya Allah kami akan menyusul kalian. Aku memohon keselamatan untuk kami dan kalian.” [HR. Muslim, Riyadhush Shalihin, No. 583]

 

Maka, amalan yang dicontohkan dan diajarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah mengucapkan salam dan mendoakan ampunan untuk penghuni kubur, jika mayit seorang muslim, bukan orang kafir.

 

[F] – Larangan Berkata, Atau Berbuat Kemungkaran Ketika Ziarah

 

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

 

فَمَنْ أَراَدَ أَنْ يَزُوْرَ فَلْيَزُرْ وَلاَ تَقُوْلُوا هُجْرًا !

 

“Siapa yang ingin ziarah kubur, maka ziarahlah dan jangan kalian mengatakan perkataan yang batil!” [HR. Muslim dari shahabat Buraidah bin Hushaib radhiallahu ‘anhu]

 

Yang dimaksud dengan ‘perkataan batil’ adalah perkataan yang membuat Allah marah, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang lainnya: “… Dan jangan kalian mengatakan sesuatu yang membuat Allah marah!” [HR. Al Bazzar, Syaikh Al Albany mengatakan, bahwa rijal hadits ini rijalnya Ash Shahih]

 

Dan yang termasuk perkataan yang membuat marah Allah diantaranya (adalah): memohon suatu permohonan kepada mayit, istighatsah (memohon supaya diberikan pertolongan setelah bencana, atau musibah turun) kepada mayit, meminta kepada Allah dengan perantara mayit dan memastikannya sebagai Ahli Surga, atau sebaliknya. [Ahkamul Janaa-iz, hal. 179]

 

[G] – Bahaya Mengagungkan Kuburan

 

Selain beberapa pelanggaran di atas juga ada pelanggaran lain yang wajib dijauhi seorang muslim karena bisa menjatuhkan seseorang kepada kemusyrikan, yaitu mengagungkan kuburan.

 

Imam Asy Syaukany rahimahullah berkata:

 

“Tidak ada keraguan maupun kebimbangan sedikitpun, bahwa sebab terbesar yang darinya lahir keyakinan (yang melampaui batas) ini kepada mayit adalah apa yang senantiasa dihiasi setan di hadapan manusia berupa meninggikan kuburan, menaruh penutup di atasnya, memolesinya dengan polesan, menghiasinya dengan perhiasan yang paling mahal dan memperbagusnya dengan sebagus-bagusnya. Karena orang yang jahil (bodoh terhadap ajaran Islam), jika pandangan matanya jatuh pada suatu kuburan dari kuburan-kuburan yang di atasnya telah dibangun sebuah kubah, kemudian orang tadi memasukinya dan melihat di atas kuburan ada sebuah penutup yang sangat menarik, penerangan yang berkilauan dan dikelilingi batu-batu permata yang bagus, maka tidak ada keraguan maupun kebimbangan sedikitpun, pasti hatinya akan dipenuhi perasaan mengagungkan terhadap kuburan tersebut dan pikirannya tidak cukup lagi untuk menggambarkan kedudukan apa yang dimiliki mayit ini. Rasa takjub dan hormat juga merasuk ke dalam hatinya berupa keyakinan-keyakinan setan yang mana itu merupakan sebesar-besar tipu daya setan kepada kaum muslimin, serta merupakan sarana yang kuat dalam menyesatkan para hamba dan termasuk sesuatu yang bisa mengguncangnya (keluar) dari Islam sedikit demi sedikit.

 

Hingga akhirnya, dia meminta kepada penghuni kuburan tersebut suatu permintaan yang tidak ada yang mampu melakukannya, kecuali hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala. Lalu, dia menjadi golongan orang-orang musyrik. Dan terkadang terjadi kesyirikan pada dirinya saat pandangan pertama terhadap kuburan tersebut yang sifatnya sudah seperti itu (megahnya), begitu juga kadang terjadi ketika pertama kali ziarah. Karena tidak dapat dipungkiri lagi akan terlintas dalam benaknya, bahwa perhatian yang demikian besarnya dari orang-orang yang hidup kepada mayit tersebut tidaklah terjadi, kecuali karena ada suatu faedah yang mereka harapkan darinya (dari mayit tersebut); adakalanya faedah yang bersifat duniawi, maupun akhirat. Kemudian, dia (orang yang tidak mengerti ajaran Islam tadi) menganggap rendah dirinya dibandingkan dengan yang dia lihat dari orang-orang yang (penampilannya) seperti ulama (akan tetapi, bukan ulama) yang mengunjungi kuburan megah tersebut, ber-i’tikaf (berdiam diri) di sekitarnya dan mengusap-usap bagian-bagian kuburan tersebut.” [Ahammiyatu Tauhid Al Uluhiyah, Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Hamd Al ‘Abbad Al Badry, hal. 60-61]

 

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang dari memoles kuburan, duduk di atas kuburan dan membuat bangunan di atasnya.” [HR. Muslim, Riyadhush Shalihin, no. 1767]

 

[H] – Boleh Membuat Gundukan Setinggi Satu Jengkal dan Memberi Tanda Dengan Batu

 

Syaikh Abu Bakr Jabir Al Jazaairiy berkata:

 

“Semestinya meratakan kuburan dengan tanah karena perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk meratakan kuburan dengan tanah. Namun, dibolehkan membuat gundukan di atas kuburan, yaitu meninggikan kuburan sejengkal dan kebanyakan ulama menganggapnya mustahab (sunnah), karena kuburan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam juga dibuat gundukan. Dan tidak mengapa meletakkan tanda di atas kuburan untuk bisa dikenal dengan sebuah batu, atau semisalnya, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberi tanda terhadap kuburan ‘Utsman Bin Mazh’un dengan bongkahan batu… .” [Minhajul Muslim, hal. 216]

 

Wallahu a’lam.

 

Oleh: Fajri Nur Setyawan

Back to top button