Akhlaq: Durhaka Kepada Kedua Orang Tua #1

Telah berlalu bahwasannya berbakti kepada kedua orang tua berada dalam urutan awal pembahasan. Hal itu dikarenakan kedua orang tua adalah orang yang paling berhak untuk mendapatkan kebaikan, muamalah yang baik dan akhlak yang mulia.
Dan perhatikanlah, sesungguhnya durhaka kepada kedua orang tua termasuk perkara yang dapat menghancurkan tegaknya adab yang baik dan merupakan pakaian kejelekan dalam akhlak serta kekerdilannya!
Durhaka kepada kedua orang tua di dalam Islam dianggap sebagai dosa besar dan hukumannya di sisi Allah sangatlah pedih. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah memperingatkan dengan keras perbuatan ini di berbagai macam hadits beliau dan menganggapnya termasuk di antara dosa-dosa yang paling besar.
Dalam Shahihain terdapat sebuah hadits dari Abi Bakrah radhiallahu ‘anhu, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda,
أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ ثَلَاثًا قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ وَجَلَسَ وَكَانَ مُتَّكِئًا فَقَالَ أَلَا وَقَوْلُ الزُّورِ قَالَ فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى قُلْنَا لَيْتَهُ سَكَتَ
“Perhatikanlah (wahai para sahabat), maukah aku tunjukkan kepada kalian dosa-dosa yang paling besar?” Beliau ﷺ mengatakannya tiga kali. Kemudian para sahabat mengatakan, “Tentu, wahai Rasulullah.” Beliau ﷺ bersabda, “Syirik kepada Allah, durhaka kepada kedua orang tua,” sebelumnya beliau bersandar, lalu beliau duduk dan bersabda, “Perhatikanlah! Dan perkataan palsu (perkataan dusta),” beliau selalu mengulanginya sampai kami berkata, “Seandainya beliau berhenti.” (HR. al-Bukhari no. 2654 dan Muslim no. 87)[1]HR. al-Bukhari no. 2654 dan Muslim no. 87
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang al-kabair (dosa-dosa besar). Maka beliau bersabda,
الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ وَقَتْلُ النَّفْسِ وَشَهَادَةُ الزُّورِ
“Menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh orang, dan bersumpah palsu.” (HR. Bukhari no. 5977 dan Muslim no. 88)[2]HR. Bukhari no. 5977 dan Muslim no. 88
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْكَبَائِرُ قَالَ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ قَالَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ ثُمَّ عُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ قَالَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ الْيَمِينُ الْغَمُوسُ قُلْتُ وَمَا الْيَمِينُ الْغَمُوسُ قَالَ الَّذِي يَقْتَطِعُ مَالَ امْرِئٍ مُسْلِمٍ هُوَ فِيهَا كَاذِبٌ
Dari Abdullah bin ‘Amr, dia berkata, Seorang Arab Badui datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah! Apakah dosa-dosa besar itu?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Isyrak (menyekutukan sesuatu) dengan Allah”, dia bertanya lagi, “Kemudian apa?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Kemudian durhaka kepada kedua orang tua”, dia bertanya lagi, “Kemudian apa?” Beliau menjawab, “Sumpah yang menjerumuskan”. Aku bertanya, “Apa sumpah yang menjerumuskan itu?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Sumpah dusta yang menjadikan dia mengambil harta seorang Muslim.” (HR. Al-Bukhari, no. 6255)[3]HR. Al-Bukhari, no. 6255
Durhaka kepada kedua orang tua berasal dari kata dalam bahasa Arab yaitu Al ‘Aqq yang artinya adalah menyobek atau memotong atau memutus. Sehingga durhaka kepada kedua orang tua yang dimaksud adalah memotong atau memutus hubungan dengan kedua orang tua atau menyakiti keduanya dengan bentuk apapun, baik hanya sedikit apalagi banyak. Baik keduanya melarang atau tidak melarang darinya.
Termasuk durhaka juga adalah melakukan sesuatu yang dapat membuat marah kedua orang tua dan berbuat jahat kepada keduanya. Sehingga durhaka adalah suatu kalimat atau perbuatan yang mengandung di dalamnya setiap makna kejelekan. Sebagaimana berbakti adalah suatu kalimat yang mencakup segala makna perbuatan baik.
Berbuat jahat kepada kedua orang tua baik dengan ucapan atau perbuatan termasuk dari bentuk pengingkaran yang besar, paling buruknya kerusakan dalam akhlak dan paling kejinya dalam hal tabiat. Karena berbuat baik kepada keduanya dan keutamaannya tidak bisa sebanding dan dibandingkan oleh perbuatan baik kepada selain keduanya di dunia ini, oleh karena itu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan durhaka kepada kedua orang tua termasuk dari sebesar-besarnya dosa besar.
Dan cukuplah sebagai bukti akan bahayanya durhaka kepada kedua orang tua dan besarnya dosa perbuatan ini adalah Allah menyebutkan hak-Nya sendiri lalu diikuti menyebutkan hak kedua orang tua di berbagai ayat-ayat-Nya. Misal, di dalam Al Quran, Allah berfirman,
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua.” (QS. An Nisa: 36)[4]QS. An Nisa: 36
Juga firman Allah ta’ala,
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS. Al Isra: 23)[5]QS. Al Isra: 23
Di dalam kedua ayat diatas, hak kedua orang tua disebutkan setelah hak Allah, maka durhaka kepada kedua orang tua tentu diletakkan setelah perbuatan syirik kepada-Nya. Dan pada makna kedua orang tua, termasuk juga kakek dan nenek.
عَنِ الْمُغِيْرَةِ بْنِ شُعبَةَ رَضِيَ اللهُ عَنهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ عُقُوقَ الأُمَّهَاتِ، وَ مَنْعًا وَهَاتِ، وَوَأْدَ الْبَنَاتِ، وكَرِهَ لَكُمْ قِيلَ وَقَالَ، وكَثْرَةَ السُّؤَالِ، وإِضَاعَةَ الماَلِ
“Dari Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, ‘Sesungguhnya Allah mengharamkan kalian durhaka pada ibu, pelit, rakus untuk mendapatkan harta, memendam anak perempuan. Allah membenci orang yang banyak berbicara, banyak bertanya dan menyia-nyiakan harta.” (HR. Bukhari no. 5975 dan Muslim no. 1715)[6]HR. Bukhari no. 5975 dan Muslim no. 1715
Telah berlalu penjelasannya bahwa makna durhaka adalah memutus. Dan durhaka kepada seorang ibu berarti memutus apa saja yang menjadi haknya ibu dan memberikan tempat dalam perkara itu kejahatan dan gangguan, atau dengan cara menyakiti. Dikhususkannya ibu dalam penyebutan di dalam hadits – padahal durhaka kepada ayah juga termasuk perbuatan haram – karena durhaka kepada para ibu lebih cepat terjadi karena lemahnya mereka.
Dan sekaligus peringatan juga adalah bahwa berbakti kepada ibu lebih didahulukan dibandingkan kepada ayah dalam hal kelemahlembutan, karena sang ibu adalah orang yang paling berhak mendapatkan hak yang khusus dari kebaktian anak dan bagusnya muamalah dengannya.
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ’anhuma berkata, telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
ثَلَاثَةٌ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْعَاقُّ لِوَالِدَيْهِ، وَالْمَرْأَةُ الْمُتَرَجِّلَةُ، وَالدَّيُّوثُ، وَثَلَاثَةٌ لَا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ: الْعَاقُّ لِوَالِدَيْهِ، وَالْمُدْمِنُ عَلَى الْخَمْرِ، وَالْمَنَّانُ بِمَا أَعْطَى
“Tiga orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihat mereka pada hari kiamat: anak yang durhaka kepada kedua orang tuanya, wanita yang menyerupai laki-laki, dan dayyuts.
Dan ada tiga orang yang tidak akan masuk surga: anak yang durhaka kepada kedua orang tuanya, pecandu khamr (minuman keras), dan orang yang menyebut-nyebut apa yang dia berikan.” (HR. An-Nasai, no. 2562; Ahmad, no. 6180; dan lain-lain. Hadits ini dihukumi shahih oleh al-Hakim dan disetujui adz-Dzahabi, sementara syaikh Syu’aib al-Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad dan syaikh al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah, no. 674, 1397, 3099, memandang hadits ini hasan)[7]HR. An-Nasai, no. 2562; Ahmad, no. 6180; dan lain-lain. Hadits ini dihukumi shahih oleh al-Hakim dan disetujui adz-Dzahabi, sementara syaikh Syu’aib al-Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad dan syaikh … Continue reading
Ini adalah ancaman bagi orang yang telah durhaka kepada kedua orang tuanya dengan tidak akan dimasukkan ke dalam Surga.
Hadits ini juga termasuk dalil bahwa perbuatan durhaka kepada kedua orang tua termasuk di antara deretan dosa besar. Para pelaku dosa besar tidak dikafirkan dengan hal itu, demikian pula tidak dikekalkan di dalam Neraka selama mereka tidak menghalalkan maksiat ini (durhaka kepada kedua orang tua), bahkan mereka berada di bawah kehendak Allah sebagaimana hal itu ditunjukkan oleh dalil Al Qur’an dan hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Makna ad-dayyuts adalah seorang suami atau bapak yang membiarkan terjadinya perbuatan buruk dalam keluarganya (Lihat Fathul Bari, 10/406. Makna ini disebutkan dalam riwayat lain dari hadits di atas dalam Musnad Imam Ahmad, 2/69. Akan tetapi sanadnya lemah karena adanya seorang perawi yang majhul atau tidak dikenal. Lihat Silsilatul Ahaaditsish Shahihah, 2/284).
Lawannya adalah al-gayur, yaitu orang yang memiliki kecemburuan besar terhadap keluarganya sehingga dia tidak membiarkan mereka berbuat maksiat. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi, 9/357)
Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,
رِضَى الرَّبِّ فِي رِضَى الوَالِدِ، وَسَخَطُ الرَّبِّ فِي سَخَطِ الْوَالِدِ
“Rida Allah tergantung pada rida orang tua dan murka Allah tergantung pada murka orang tua.” (Hasan. At-Tirmidzi : 1899, HR. Al-Hakim : 7249, ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir : 14368, al-Bazzar : 2394)[8]Hasan. At-Tirmidzi : 1899, HR. Al-Hakim : 7249, ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir : 14368, al-Bazzar : 2394
Sesungguhnya Allah telah memerintahkan agar orang tua itu ditaati, dimuliakan, diberikan kebaikan dan kebaktian kepada keduanya. Barangsiapa yang menaatinya (dalam kebaikan) maka dia telah mentaati Allah dan barangsiapa yang membuat murka, maka dia telah mendapatkan kemurkaan Allah. Dan ini merupakan ancaman yang keras yang menunjukkan bahwasanya durhaka kepada kedua orang tua termasuk dosa besar.
عن علي رضي الله عنه قال: حدثني رسول الله صلى الله عليه وسلم بأربع كلمات : لَعَنَ اللهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللهِ، لَعَنَ اللهُ مَنْ لَعَنَ وَالِدَيْهِ، لَعَنَ اللهُ مَنْ آوَى مُحْدِثًا، لَعَنَ اللهُ مَنْ غَيَّرَ مَنَارَ الأَرْضِ
Dari ‘Ali radhiyallahu ’anhu, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepadaku dengan empat nasihat, “Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah. Allah melaknat anak yang melaknat kedua orang tuanya. Allah melaknat orang yang melindungi muhdits (orang yang jahat) atau muhdats (pelaku bid’ah). Allah melaknat orang yang sengaja mengubah patok batas tanah.” (HR. Muslim 1978)
Perbuatan melaknat kedua orang tua adalah seberat-beratnya dosa durhaka seorang anak dan sebesar-besarnya hinaan. Bagaimana tidak, kedua orang tua telah memberikan kebaikan, perhatian dan pendidikan yang sangat banyak kepada anak hingga tidak ada yang dapat melampauinya, kemudian malah sang anak melaknat keduanya.
Di dalam hadits ini pula, terdapat peringatan yang keras terhadap anak yang telah melaknat kedua orang tuanya, bahwasanya dirinya berhak mendapatkan laknat dari Allah. Laknat berarti dibuang atau dijauhkan dari rahmat Allah ta’ala.
Barangsiapa yang suka melaknat orang tuanya, berarti dia akan dilaknat pula oleh Allah dan dijauhkan dari rahmat-Nya. Hal ini menjadi dalil bahwasanya perkara melaknat orang tua termasuk sebesar-besarnya dosa dan kemaksiatan, baik laknat itu diawali dengan adanya sebab atau tidak ada sebab (dan ini lebih keji lagi).
Referensi:
Kitab Ahaditsul Akhlak karya Syaikh Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin Al Badr hafidzahullahu ta’ala halaman 52–55[9]Kitab Ahaditsul Akhlak karya Syaikh Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin Al Badr hafidzahullahu ta’ala halaman 52–55
Diringkas oleh Ahmad Imron Al Fanghony
Artikel Alukhuwah.Com
Referensi
1 | HR. al-Bukhari no. 2654 dan Muslim no. 87 |
---|---|
2 | HR. Bukhari no. 5977 dan Muslim no. 88 |
3 | HR. Al-Bukhari, no. 6255 |
4 | QS. An Nisa: 36 |
5 | QS. Al Isra: 23 |
6 | HR. Bukhari no. 5975 dan Muslim no. 1715 |
7 | HR. An-Nasai, no. 2562; Ahmad, no. 6180; dan lain-lain. Hadits ini dihukumi shahih oleh al-Hakim dan disetujui adz-Dzahabi, sementara syaikh Syu’aib al-Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad dan syaikh al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah, no. 674, 1397, 3099, memandang hadits ini hasan |
8 | Hasan. At-Tirmidzi : 1899, HR. Al-Hakim : 7249, ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir : 14368, al-Bazzar : 2394 |
9 | Kitab Ahaditsul Akhlak karya Syaikh Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin Al Badr hafidzahullahu ta’ala halaman 52–55 |