Keberkahan Al-Qur’an dan Cara Mendapatkannya

Makna Keberkahan

Kata “keberkahan” adalah terjemah dari kata “al-barakah” ( البَرَكَةُ ). Kata ini ada di dalam Al-Qur’an dalam bentuk jamak. Misalnya di dalam firman Allah ‘azza wa jalla :

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنا عَلَيْهِمْ ‌بَرَكاتٍ ‌مِنَ ‌السَّماءِ وَالْأَرْضِ وَلكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْناهُمْ بِما كانُوا يَكْسِبُونَ

“Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan membukakan untuk mereka berbagai keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (para rasul dan ayat-ayat Kami). Maka, Kami menyiksa mereka disebabkan oleh apa yang selalu mereka kerjakan.” (Al-A’raf : 96)

Berdasarkan ayat ini, Imam Ibnul Qayyim menyimpulkan bahwa kemaksiatan bisa menghilangkan keberkahan usia, rizki, ilmu, amal dan ketaatan. Atau dikatakan bahwa keberkahan urusan dunia dan urusan agama bisa hilang dengan sebab kemaksiatan. [1]Ibnul Qayyim, Ad-Daa’ wad Dawaa’, (Beirut : Dar Ibn Hazm, 2019), halaman 199

Kata “al-barakah” menurut Imam Ar-Raghib Al-Ashfahani maknanya adalah “menetapnya kebaikan ilahi pada sesuatu”. [2]Al-Ashfahani, Al-Mufradat Fi Gharibil Qur’an, (Kairo : Dar Ibn Al-Jauzi, 2012), halaman 49

Yang dimaksud dengan “kebaikan ilahi” adalah kebaikan yang hakiki. Kebaikan yang dianggap baik oleh Allah. Berbeda dengan kebaikan menurut manusia. Terkadang kita menganggap sesuatu baik padahal sebenarnya tidak baik, karena keterbatasan pengetahuan terhadap hakikat sesuatu.

Kata “al-barakah” juga mengandung makna kebaikan yang “berkembang”, “bertambah”, “melimpah” dan “terus-menerus”. Mencakup kebaikan yang bisa dirasakan dengan indera maupun akal.

Makna ini disampaikan oleh Imam Abu Sa’ud ketika menafsirkan ayat pertama dari surat Al-Mulk, di dalam kitab tafsirnya “Irsyadul ‘Aqlis Salim”. [3]Abu Sa’ud, Irsyadul ‘Aqlis Salim, (Mesir : AL-Maktabah At-Taufiqiyyah, 2013), jilid 6 halaman 292

Kata “al-barakah” juga ada di dalam hadits. Misalnya dari kitab Shahih Muslim, hadits yang diriwayatkan dari Hakim bin Hizam, Nabi bersabda :

الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا، فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا، وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَ ‌بَرَكَةُ ‌بَيْعِهِمَا

“Penjual dan pembeli bisa membatalkan transaksi selama mereka belum berpisah. Jika keduanya jujur dan memberi penjelasan sesuai kenyataan, niscaya transaksi keduanya diberkahi. Jika keduanya berdusta dan menutupi kekurangan, niscaya keberkahan transaksi dihilangkan oleh Allah.”

Imam Nawawi mengatakan bahwa makna hilangnya keberkahan transaksi adalah hilangnya pertambahan dan perkembangan dari transaksi tersebut. [4]An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, (Beirut : Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 2019)

Contoh lain dari kitab Shahih Muslim, hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik, Nabi bersabda :

تَسَحَّرُوا، فَإِنَّ فِي السُّحُورِ ‌بَرَكَةً

“Makan sahurlah kalian, karena sesungguhnya di dalam makan sahur ada keberkahan.”

Di dalam hadits ini keberkahan dikaitkan dengan makan sahur. Yang merupakan salah satu sunnah ketika puasa. Imam Nawawi mengatakan bahwa ulama sepakat makan sahur hukumnya sunnah, tidak wajib. Imam Nawawi juga menjelaskan beberapa bentuk keberkahan makan sahur. Diantaranya menjadi sebab bertambahnya kekuatan badan yang mendukung pelaksanaan puasa. Begitu juga dilihat dari kebaikan waktu sahur tersebut. Terutama jika kita mengisi waktu sahur dengan amalan-amalan seperti doa dan dzikir.[5]An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, (Beirut : Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 2019)

Contoh terakhir dari kitab Shahih Muslim, hadits dari Jabir, tentang beberapa amalan yang dianjurkan berkaitan dengan makan. Nabi bersabda :

إِذَا وَقَعَتْ لُقْمَةُ أَحَدِكُمْ فَلْيَأْخُذْهَا، فَلْيُمِطْ مَا كَانَ بِهَا مِنْ أَذًى وَلْيَأْكُلْهَا، وَلَا يَدَعْهَا لِلشَّيْطَانِ، وَلَا يَمْسَحْ يَدَهُ بِالْمِنْدِيلِ حَتَّى يَلْعَقَ أَصَابِعَهُ، فَإِنَّهُ لَا يَدْرِي فِي أَيِّ طَعَامِهِ الْبَرَكَةُ

“Jika ada satu suap makananmu jatuh, ambillah dan singkirkan kotoran yang menempel, kemudian makanlah. Jangan tinggalkan makanan tersebut untuk setan. Dan jangan mengusap tanganmu menggunakan sapu tangan sampai kamu menjilati jari-jemarimu. Sesungguhnya dia tidak mengetahui, di bagian mana keberkahan itu berada dari makanannya.”

Di dalam hadits ini Nabi menganjurkan menjilati jari-jemari setelah makan, tujuannya adalah menjaga keberkahan makanan agar tidak hilang.

Imam Nawawi berkata :

فِي هذه الأحاديث أنواع من سُنَنِ الْأَكْلِ مِنْهَا اسْتِحْبَابُ لَعْقِ الْيَدِ مُحَافَظَةً عَلَى بَرَكَةِ الطَّعَامِ

“Di dalam hadits-hadits ini ada beberapa macam sunnah-sunnah makan, diantaranya adalah dianjurkannya menjilati jari-jemari dalam rangka menjaga keberkahan makanan …”[6]An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, (Beirut : Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 2019)

Keberkahan Al-Qur’an

Di dalam pembahasan ini akan dipaparkan Sebagian ayat Al-Qur’an yang menegaskan bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang diberkahi. Setelah sebelumnya kita mengetahui bahwa “keberkahan” identik dengan kebaikan yang melimpah dan bersifat terus-menerus.

Pertama : Surat Al-An’am Ayat 92 dan 155 

Tidak sedikit ayat-ayat Al-Qur’an yang menerangkan bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang diberkahi. Di dalam surat Al-An’am ada dua ayat yang dengan tegas menyebutkan hal itu.

Allah ‘azza wa jalla berfirman :

وَهذا كِتابٌ أَنْزَلْناهُ مُبارَكٌ مُصَدِّقُ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَلِتُنْذِرَ أُمَّ الْقُرى وَمَنْ حَوْلَها وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ يُؤْمِنُونَ بِهِ وَهُمْ عَلى صَلاتِهِمْ يُحافِظُونَ

“Ini (Al-Qur’an) adalah kitab suci yang telah Kami turunkan lagi diberkahi yang membenarkan kitab-kitab yang (diturunkan) sebelumnya dan agar engkau memberi peringatan kepada (penduduk) Ummul Qura (Makkah) dan orang-orang yang ada di sekitarnya. Orang-orang yang beriman pada (kehidupan) akhirat (tentu) beriman padanya (Al-Qur’an) dan mereka selalu memelihara shalatnya.” (Al-An’am : 92)

Ayat ini adalah bagian dari rangkaian ayat-ayat yang mengingkari orang-orang yang tidak mengakui Al-Qur’an. Dengan sikap ini lantas Allah menilai mereka sebagai orang-orang yang tidak mengagungkan Allah sebagaimana mestinya.

Ditinjau dari kaidah bahasa Arab, di dalam ayat ini kata “Kitabun”, yang artinya “Al-Qur’an”, disifati dengan kata “mubarak”, yang artinya “diberkahi”. Dari sini dapat dipahami bahwa Al-Qur’an secara keseluruhan diberkahi. Mulai dari surat Al-Fatihah sampai surat An-Nas, tanpa kecuali. 

Kata “mubarak” menurut Imam Ar-Raghib Al-Ashfahani adalah tempat menetapkan keberkahan dari Allah. [7]Al-Ashfahani, Al-Mufradat Fi Gharibil Qur’an, (Kairo : Dar Ibn Al-Jauzi, 2012), halaman 49 Sehingga menurut pengertian ini di dalam Al-Qur’an terkandung keberkahan dari Allah.

Menurut Imam Abu Sa’ud, yang dimaksud “Al-Qur’an diberkahi” adalah faedah Al-Qur’an sangat banyak dan manfaatnya sangat besar. [8]Abu Sa’ud, Irsyadul ‘Aqlis Salim, (Mesir : AL-Maktabah At-Taufiqiyyah, 2013), jilid 2 halaman 483

Syaikh Al-Jazairi juga berpendapat demikian. Menurut syaikh, Al-Qur’an diberkahi maksudnya adalah kebaikannya tidak akan terputus dan manfaatnya tidak akan berkurang sedikitpun. [9]Al-Jazairi, Aisarut Tafasir, (Mesir : Al-Maktabah At-Taufiqiyyah, 2014),  jilid 1 halaman 483

Imam Ibnul Jauzi menyimpulkan, berdasarkan ayat tersebut tujuan Allah menurunkan Al-Qur’an adalah agar Nabi Muhammad memberi peringatan kepada umatnya dan karena Allah ingin memberi kebaikan serta manfaat yang melimpah tanpa henti kepada umat manusia melalui Al-Qur’an. [10]Ibnul Jauzi, Zadul Masir, (Beirut : Al-Maktab Al-Islami, 2015), halaman 454

Masih dari surat yang sama, di ayat ke 155, Allah ‘azza wa jalla berfirman :

وَهذا كِتابٌ أَنْزَلْناهُ مُبارَكٌ فَاتَّبِعُوهُ وَاتَّقُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“(Al-Qur’an) ini adalah Kitab yang Kami turunkan lagi diberkahi. Maka, ikutilah dan bertakwalah agar kamu dirahmati.” (Al-An’am : 155)

Menurut Imam Qurthubi makna kata “mubarak” di ayat ini adalah “katsirul khairat”, yaitu sangat banyaknya kebaikan yang dikandung Al-Qur’an. Hanya saja Imam Qurthubi tidak menjelaskan bentuk-bentuk kebaikan yang dimaksud. [11]Al-Qurthubi, Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an, (Beirut : Muassasah Ar-Risalah, 2006), jilid 9 halaman 125

Adapun menurut Imam Abu Sa’ud, maksud dari keberkahan Al-Qur’an adalah manfaat Al-Qur’an sangat banyak. Mencakup manfaat yang berkaitan dengan urusan dunia, termasuk manfaat yang berkaitan dengan urusan agama. Imam Abu Sa’ud juga menyimpulkan karena manfaat yang seperti inilah Allah memerintah kita mengikuti Al-Qur’an. [12]Abu Sa’ud, Irsyadul ‘Aqlis Salim, (Mesir : AL-Maktabah At-Taufiqiyyah, 2013)

Menurut ahli tafsir yang lain, salah satu bentuk keberkahan Al-Qur’an adalah ilmu yang melimpah ruah yang ada di dalamnya. Al-Qur’an adalah sumber seluruh ilmu. Darinya keberkahan-keberkahan dihasilkan. Ini adalah pendapat dari syaikh As-Sa’di, penulis kitab tafsir “Taisirul Karimir Rahman”. [13]As-Sa’di, Taisirul Karimir Rahman, (Kuwait : Jam’iyyah Ihya’ At-Turats, 2003), halaman 369

Kedua ayat di atas sama-sama memberitahukan satu hal penting yaitu Al-Qur’an adalah kitab yang diberkahi. Perbedaannya ada pada rangkaian kalimat setelahnya. Ayat ke 92 ada penjelasan setelahnya mengenai ciri orang yang beriman kepada akhirat, yaitu senantiasa menjaga shalat. Sedangkan ayat ke 155, kalimat setelahnya adalah perintah untuk mengikuti Al-Qur’an.

Sekaligus memberikan penjelasan bahwa dengan mengikuti Al-Qur’an kita akan dirahmati Allah subhanahu wa ta’ala. Dan inilah sebab terbesar memperoleh rahmat Nya.

Syaikh As-Sa’di berkata :

فأكبر سبب لنيل رحمة الله اتباع هذا الكتاب، علما وعملا

“Sebab terbesar untuk memperoleh rahmat Allah adalah dengan mengikuti ajaran Al-Qur’an, secara ilmu maupun amalan.” [14]As-Sa’di, Taisirul Karimir Rahman, (Kuwait : Jam’iyyah Ihya’ At-Turats, 2003), halaman 369

Adanya perintah mengikuti ajaran Al-Qur’an setelah pemberitahuan akan keberkahannya, ini memberi satu isyarat penting, yaitu keberkahan Al-Qur’an juga bisa diperoleh melalui pengamalan ajaran yang ada di dalamnya.

Surat Shad Ayat 29

Jika di dalam surat Al-An’am ayat 155 keberkahan Al-Qur’an dikaitkan dengan perintah mengikuti ajarannya, berbeda lagi dengan ayat ke 29 dari surat Shad. Di dalam ayat ini keberkahan Al-Qur’an dikaitkan dengan perintah untuk menghayati makna-maknanya dan mengambil pelajaran darinya. Allah ‘azza wa jalla berfirman :

كِتابٌ أَنْزَلْناهُ إِلَيْكَ مُبارَكٌ ‌لِيَدَّبَّرُوا آياتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُوا الْأَلْبابِ

“(Al-Qur’an ini adalah) kitab yang Kami turunkan kepadamu (Nabi Muhammad) yang penuh berkah supaya mereka menghayati ayat-ayatnya dan orang-orang yang berakal sehat mengambil pelajaran.” (Shad : 29)

Perbedaan ayat ini dengan tiga ayat sebelumnya juga ada pada rangkaian kalimat setelahnya. Di dalam ayat ini setelah Allah menjelaskan sifat berkah Al-Qur’an, Allah menjelaskan kepada kita dua tujuan Al-Qur’an diturunkan, yaitu “tadabbur” dan “tadzakkur”.

Kata “tadabbur” terkadang diterjemahkan dengan “menghayati” makna ayat-ayat Al-Qur’an. Sedangkan “tadzakkur” diterjemahkan dengan “mengambil” pelajaran. Menurut syaikh Ibnu ‘Utsaimin, secara urutan tadabbur sebelum tadzakkur

Pada tahapan pertama seorang muslim membaca huruf-huruf Al-Qur’an. Tahapan berikutnya menghayati makna-maknanya. Dan tahapan terakhir mengambil pelajaran dari ayat-ayat Al-Qur’an. [15]Ibnu ‘Utsaimin, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, (Dar Ats-Tsurayya, 2004), halaman 142

Menurut Imam Qurthubi, karena Allah mengatakan “… supaya mereka menghayati ayat-ayatnya …”, maka wajib hukumnya mengetahui makna ayat-ayat Al-Qur’an

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin juga berpendapat wajibnya menghayati isi Al-Qur’an. Alasannya menurut Syaikh ; jika mengamalkan isi Al-Qur’an hukumnya wajib, maka menghayati makna Al-Qur’an juga wajib. Karena kita bisa mengamalkan isi Al-Qur’an jika kita telah memahami maknanya.Menurut Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, kewajiban menghayati Al-Qur’an bisa bersifat “fardhu ‘ain” dan terkadang bisa bersifat “fardhu kifayah”, sesuai dengan keadaan. Yang terpenting ada di antara umat Islam yang memahami isi Al-Qur’an. [16]Ibnu ‘Utsaimin, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, (Dar Ats-Tsurayya, 2004), halaman 146-147

Cara Mendapatkan Keberkahan Al-Qur’an

Sebagian ulama menyebutkan ada tujuh bentuk keberkahan Al-Qur’an :

  • Pertama, keberkahan dengan sebab membacanya.
  • Ke dua, keberkahan dengan sebab menyimaknya.
  • Ke tiga, keberkahan dengan sebab mempelajarinya.
  • Ke empat, keberkahan dengan sebab mengamalkan ajarannya.
  • Ke lima, keberkahan dengan sebab mengambil pelajaran darinya.
  • Ke enam, keberkahan dengan sebab berobat dengannya.
  • Ke tujuh, keberkahan dengan sebab memutuskan hukum dengannya. [17]Al-Fallahi, Al-Qur’an wa Shina’atu Ad-Dahsyah, (Damaskus : Darul Qalam, 2022), halaman 83-84

Menurut Syaikh Ibnu ‘Utsaimin keberkahan Al-Qur’an terlihat pada beberapa sisi :

  • Pertama : Pahala yang didapat dengan membacanya
  • Ke dua : Dampak positif yang didapat dengan membacanya
    Dampak positif yang dimaksud terbagi menjadi dua. Dampak positif yang bersifat khusus dan dampak positif yang bersifat umum.

    Dampak positif yang bersifat khusus berupa perasaan lapang dada dan ketenangan hati. Hal ini terbukti khususnya bagi yang membaca Al-Qur’an dengan disertai dengan tadabbur atau penghayatan terhadap makna-makna ayat-ayatnya.

    Sedangkan dampak positif yang bersifat umum adalah wilayah-wilayah kekuasaan Islam yang diperoleh dengan sebab Al-Qur’an. Umat Islam di zaman dahulu berhasil menguasai penjuru dunia ketika mereka benar-benar berpegang teguh dengan Al-Qur’an.
  • Ke tiga : Persatuan umat
    Syaikh mengatakan jika umat Islam satu bahasa, yaitu bahasa Arab, niscaya mereka lebih mudah bersatu. Dan bahasa Arab adalah bahasa Al-Qur’an.
  • Ke empat : Berobat menggunakan Al-Qur’an
    Termasuk bentuk keberkahan Al-Qur’an adalah menghilangkan penyakit dengan menggunakan Al-Qur’an. Penyakit yang dimaksud mencakup penyakit jasmani maupun penyakit hati. [18] Ibnu ‘Utsaimin, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, (Dar Ats-Tsurayya, 2004), halaman 140-141 dan 145

Pancaran keberkahan Al-Qur’an menyentuh seluruh kehidupan. Dimulai dari usia manusia, waktunya, pemahamannya, rumahnya, keluarganya, anaknya. Keberkahan Al-Qur’an juga menyentuh pekerjaan dan penghasilannya serta seluruh sendi kehidupannya.

Keberkahan ini bertambah dan berkurang sesuai dengan interaksi kita dengan Al-Qur’an dan keakraban kita dengannya. Sangat tidak mungkin Allah tidak memuliakan hamba Nya yang akrab dengan Al-Qur’an, mengagungkan Al-Qur’an, membacanya, menghayati makna-maknanya, dan berobat dengannya. [19]Al-Fallahi, Al-Qur’an wa Shina’atu Ad-Dahsyah, (Damaskus : Darul Qalam, 2022), halaman 80-81

Disusun oleh Fajri Nur Setyawan, M.H.

Artikel Alukhuwah.Com

Referensi

Referensi
1 Ibnul Qayyim, Ad-Daa’ wad Dawaa’, (Beirut : Dar Ibn Hazm, 2019), halaman 199
2, 7 Al-Ashfahani, Al-Mufradat Fi Gharibil Qur’an, (Kairo : Dar Ibn Al-Jauzi, 2012), halaman 49
3 Abu Sa’ud, Irsyadul ‘Aqlis Salim, (Mesir : AL-Maktabah At-Taufiqiyyah, 2013), jilid 6 halaman 292
4, 5, 6 An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, (Beirut : Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 2019)
8 Abu Sa’ud, Irsyadul ‘Aqlis Salim, (Mesir : AL-Maktabah At-Taufiqiyyah, 2013), jilid 2 halaman 483
9 Al-Jazairi, Aisarut Tafasir, (Mesir : Al-Maktabah At-Taufiqiyyah, 2014),  jilid 1 halaman 483
10 Ibnul Jauzi, Zadul Masir, (Beirut : Al-Maktab Al-Islami, 2015), halaman 454
11 Al-Qurthubi, Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an, (Beirut : Muassasah Ar-Risalah, 2006), jilid 9 halaman 125
12 Abu Sa’ud, Irsyadul ‘Aqlis Salim, (Mesir : AL-Maktabah At-Taufiqiyyah, 2013)
13, 14 As-Sa’di, Taisirul Karimir Rahman, (Kuwait : Jam’iyyah Ihya’ At-Turats, 2003), halaman 369
15 Ibnu ‘Utsaimin, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, (Dar Ats-Tsurayya, 2004), halaman 142
16 Ibnu ‘Utsaimin, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, (Dar Ats-Tsurayya, 2004), halaman 146-147
17 Al-Fallahi, Al-Qur’an wa Shina’atu Ad-Dahsyah, (Damaskus : Darul Qalam, 2022), halaman 83-84
18  Ibnu ‘Utsaimin, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, (Dar Ats-Tsurayya, 2004), halaman 140-141 dan 145
19 Al-Fallahi, Al-Qur’an wa Shina’atu Ad-Dahsyah, (Damaskus : Darul Qalam, 2022), halaman 80-81
Back to top button