Akhlaq: Durhaka Kepada Kedua Orang Tua #4
Diriwayatkan dari Ka’ab bin ‘Ujrah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
قَالَ رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اُحْضُرُوا الْمِنْبَرَ فَحَضَرْنَا ، فَلَمَّا ارْتَقَى دَرَجَةً قَالَ : آمِينَ ، فَلَمَّا ارْتَقَى الدَّرَجَةَ الثَّانِيَةَ قَالَ : آمِينَ ، فَلَمَّا ارْتَقَى الدَّرَجَةَ الثَّالِثَةَ قَالَ : آمِينَ ، فَلَمَّا فَرَغَ نَزَلَ مِنَ الْمِنْبَرِ، فَقُلْنَا لَهُ يَا رَسُولَ اللهِ : لَقَدْ سَمِعْنَا الْيَوْمَ مِنْكَ شَيْئًا لَمْ نَكُنْ نَسْمَعُهُ قَالَ : إِنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلَامُ عَرْضَ لِي فَقَالَ : بَعُدَ مَنْ أَدْرَكَ رَمَضَانَ فَلَمْ يُغْفَرْ لَهُ فَقُلْتُ : آمِينَ فَلَمَّا رَقِيتُ الثَّانِيَةَ قَالَ : بَعُدَ مَنْ ذُكِرْتَ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْكَ . فَقُلْتُ: آمِينَ ، فَلَمَّا رَقِيتُ الثَّالِثَةَ قَالَ : بَعُدَ مَنْ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ الْكِبَرَ عِنْدَهُ أَوْ أَحَدُهُمَا ، فلَمْ يُدْخِلَاهُ الْجَنَّةَ. فَقُلْتُ : آمِينَ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Datanglah ke dekat mimbar! Kami pun mendatangi mimbar. Ketika beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menaiki satu anak tangga, beliau berkata, ‘Amin.’ Kemudian beliau menaiki anak tangga kedua, dan berkata, ‘Amin.’ Kemudian beliau menaiki anak tangga ketiga, dan berkata, ‘Amin.’
Sewaktu beliau turun, kami katakan, ‘Wahai Rasulullah, kami tadi mendengarmu mengucapkan sesuatu yang belum pernah kami dengar sebelumnya.’
Beliau bersabda, ‘Jibril ‘alaihis salam mendatangiku. Dia berkata, ‘Celakalah orang yang menjumpai Ramadhan tapi dosanya tidak diampuni.’ Kukatakan, ‘Amin.’
Ketika kunaiki anak tangga kedua, dia berkata, ‘Celakalah orang yang tidak bershalawat atasmu ketika namamu disebut di dekatnya.’ Kukatakan, ‘Amin.’
Ketika kunaiki anak tangga ketiga, dia berkata, ‘Celakalah orang yang mendapati masa tua ibu-bapaknya namun dia tidak mampu masuk surga (dengan cara berbakti kepada keduanya, pen.).’” (Hadits shahih, riwayat Al-Hakim. Lihat Shahih At-Targhib wa At-Tarhib) [1]Hadits shahih, riwayat Al-Hakim. Lihat Shahih At-Targhib wa At-Tarhib
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu berkata,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ رَقِىَ الْمِنْبَرَ فَلَمَّا رَقِىَ الدَّرَجَةَ الْأُولَى قَالَ آمِيْنَ ثُمَّ رَقِىَ الثَّانِيَةَ فَقَالَ آمِيْنَ ثُمَّ رَقِىَ الثَّالِثَةَ فَقَالَ آمِيْنَ فَقَالُوا يَا رَسُوْلَ اللهِ سَمِعْنَاكَ تَقُوْلُ آمِيْنَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ قَالَ لَمَّا رَقِيْتُ الدَّرَجَةَ الأُولَى جَاءَنِي جِبْرِيْلُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَقَالَ شَقِيَ عَبْدٌ أَدْرَكَ رَمَضَانَ فَانْسَلَخَ مِنْهُ وَلَمْ يُغْفَرْ لَهُ فَقُلْتُ آمِيْنَ ثُمَّ قَالَ شَقِيَ عَبْدٌ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ أَوْ أَحَدَهُمَا فَلَمْ يُدْخِلَاهُ الْجَنَّةَ فَقُلْتُ آمِيْنَ ثُمَّ قَالَ شَقِيَ عَبْدٌ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ وَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْكَ فَقُلْتُ آمِيْنَ.
“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menaiki mimbar, ketika beliau menaiki tangga yang pertama beliau bersabda, “Amin.” Ketika menaiki tangga kedua beliau berucap, “Amin.” Ketika menaiki tangga yang ketiga beliau berucap, “Amin.”
Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, kami mendengar engkau mengucapkan Aamiin tiga kali.” Beliau bersabda, “Ketika aku menaiki tangga yang pertama, Jibril ‘alaihissalam datang kepadaku dan berkata, ‘Celaka hamba yang mendapati bulan ramadhan, setelah lepas darinya ternyata ia tidak diampuni dosa-dosanya.’ Akupun mengucapkan Amin.
Kemudian ia berkata, ‘Celaka hamba yang mendapati kedua orang tuanya atau salah satunya namun tidak memasukkannya ke dalam surga.’ Aku pun mengucapkan Amin.
Kemudian ia berkata, ‘Celaka hamba yang disebutkan namamu di sisinya, tetapi ia tidak bershalawat untukmu.’ Aku pun mengucapkan Amin.” (HR. Al Bukhari dalam Al Adabul Mufrad) [2]HR. Al Bukhari dalam Al Adabul Mufrad
Barangsiapa yang Allah muliakan dan Allah pertemukan dengan kedua orang tuanya terlebih keduanya sudah dalam keadaan tua renta yang menjadikan kekuatan keduanya telah melemah dan membutuhkan kelemahlembutan, kebaikan, perhatian dan kebaktian, maka dia telah mendapatkan pintu yang besar dari pintu-pintu Surga, yang seseorang dapat menjaganya dengan baik atau dia memilih menyia-nyiakannya. Allah berfirman,
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, “Wahai Tuhanku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil.”” (Al-Isra’ : 23-24) [3]Al-Isra’ : 23-24
Firman Allah, “Janganlah berkata ah,” maksudnya adalah jangan memperdengarkan kepada keduanya ucapan yang jelek, sekalipun hanya ucapan “ah” yang mana ini merupakan ucapan jelek yang paling ringan.
Firman Allah, “Janganlah menghardiknya,” maksudnya adalah jangan pernah keluar dari dirimu perbuatan yang keji. Sebagaimana yang dikatakan oleh Atho’ bin Abi Robah rahimahullahu ta’ala bahwa yang dimaksud “Janganlah menghardiknya” adalah “Jangan sekali-kali kamu keluarkan tanganmu untuk memukul kedua orang tuamu”.
Tatkala Allah melarang berbuat keji dan berkata jelek kepada kedua orang tua, Allah perintahkan agar berbicara dan berbuat baik kepada keduanya. Allah berfirman, “Dan berkatalah kepada keduanya dengan perkataan yang mulia,” maksudnya adalah dengan lembut, dengan baik, dengan sopan, dengan adab dan dengan merendah.
Firman Allah, “Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang.” Maksudnya adalah bersikaplah tawaduk terhadap keduanya.
Firman Allah, “Dan ucapkanlah, ‘Ya Rabb-ku, sayangilah keduanya’ ” maksudnya adalah ucapkanlah doa ini di waktu tua dan menjelang wafat keduanya. Sampai firman-Nya, “Sebagaimana keduanya telah mendidikku di waktu kecilku.”
Barangsiapa yang tidak mampu menegakkan hak-hak keduanya dari berbakti, berbuat baik, taat, berlemah lembut, merendahkan diri (tidak angkuh) dan berbagai macam kebaikan lainnya atau bahkan meremehkan dan menyia-nyiakannya sampai berbuat buruk kepada keduanya, maka bagiannya adalah kecelakaan, kehinaan, terhalang dari kebaikan dan kerugian sebagaimana telah berlalu disebutkan dalam hadits-hadits di atas.
Nabi bersabda,
شَقِيَ عَبْدٌ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ أَوْ أَحَدَهُمَا فَلَمْ يُدْخِلَاهُ الْجَنَّةَ
“… celaka hamba yang mendapati kedua orang tuanya atau salah satunya, namun tidak memasukkannya ke dalam surga. Aku pun mengucapkan Aamiin …” (HR. Al Bukhari dalam Al Adabul Mufrad) [4]HR. Al Bukhari dalam Al Adabul Mufrad
Berkata Al-Imam Al Qurthubi rahimahullah ta’ala, “Doa ini dikaitkan dengan orang yang telah menyepelekan perbuatan berbakti kepada kedua orang tua.”
Hadits di atas dapat dilihat dari dua sisi, yaitu:
Sisi pertama, Allah menyegerakan kecelakaan bagi anak durhaka sehingga dia pun binasa. Dan ini berlaku bagi anak yang benar-benar tidak mau menegakkan hak-hak keduanya.
Sisi kedua, Allah hinakan anak durhaka sehina-hinanya. Dan ini pantas bagi anak yang menyepelekan perkara-perkara sunnah, demikian pula yang menyepelekan perkara-perkara yang wajib atas orang tuanya.
Disebutkan secara khusus saat keduanya telah lanjut usia -padahal berbakti wajib dalam kondisi kapanpun- karena butuhnya orang tua terhadap anak dan karena lemahnya kekuatan keduanya. Sehingga seorang anak dituntut untuk segera berbakti kepada keduanya agar tidak terjadi penyesalan.
Dari Abu Bakrah, Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَا مِنْ ذَنْبٍ أَجْدَرُ أَنْ يُعَجِّلَ اللَّهُ تَعَالَى لِصَاحِبِهِ الْعُقُوبَةَ فِى الدُّنْيَا – مَعَ مَا يَدَّخِرُ لَهُ فِى الآخِرَةِ – مِثْلُ الْبَغْىِ وَقَطِيعَةِ الرَّحِمِ
“Tidak ada dosa yang lebih pantas untuk disegerakan balasannya bagi para pelakunya (di dunia ini) -berikut dosa yang disimpan untuknya di akhirat- daripada perbuatan melampaui batas (kezaliman) dan memutus silaturahmi (dengan orang tua dan kerabat).” (HR. Abu Daud no. 4902, Tirmidzi no. 2511, dan Ibnu Majah no. 4211, shahih) [5]HR. Abu Daud no. 4902, Tirmidzi no. 2511, dan Ibnu Majah no. 4211, shahih
Hadits ini menunjukkan bahwa perbuatan memutus silaturahmi dan berbuat zalim adalah dua dosa yang disegerakan hukumannya dan juga disimpan, hukuman di Dunia dan hukuman juga di Akhirat. Dan keduanya adalah dosa yang pantas bagi pemiliknya untuk disegerakan hukumannya di Dunia bersamaan dengan itu disegerakan juga di Akhirat. Dan terlebih yang diputus silaturahminya adalah kedua orang tua, maka itu lebih pantas lagi pelakunya untuk disegerakan hukumannya dan disimpan pula di Akhirat.
عَنْ طَيْسَلَةَ، أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ عُمَرَ يَقُولُ: بُكَاءُ الْوَالِدَيْنِ مِنَ الْعُقُوقِ وَالْكَبَائِرِ.
Dari Thoisalah, bahwasanya beliau mendengar Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Membuat menangis kedua orang tua termasuk bentuk kedurhakaan dan dosa besar.”
Maka wajib bagi setiap anak untuk terus berusaha dan bersungguh-sungguh di dalam memberikan kebahagiaan kepada kedua orang tua. Dan hendaknya si anak tidak menjadi sebab keduanya menangis dan bersedih hati dan tidak pula memasukkan rasa sakit hati dan kekecewaan dalam hati keduanya.
Dan telah berlalu sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam kepada seseorang dari Yaman yang berhijrah mengikuti Nabi, “Kembalilah kepada kedua orang tuamu, dan buatlah keduanya bahagia sebagaimana kamu telah membuat keduanya menangis.” Karena membuat menangis keduanya termasuk kedurhakaan.
Berkata Al-Imam Ibnul Jauzi rahimahullahu ta’ala dalam muqaddimah kitab beliau ‘Birrul Waalidain’, sebagai bentuk kesedihan beliau terhadap keadaan sebagian anak-anak muda di zaman ini terkait dengan bakti mereka kepada ibu dan bapak,
“Aku telah melihat pemuda-pemudi di zaman kita ini sama sekali tidak memperhatikan bakti mereka kepada kedua orang tua. Mereka juga tidak memiliki kepedulian terhadap kelaziman (keharusan) beragama, sehingga terkadang mereka mengangkat suara mereka melebihi suara ibu dan ayah mereka. Seakan-akan mereka tidak meyakini bahwa taat kepada orang tua mereka (dalam hal kebaikan) adalah termasuk perkara wajib.
Mereka suka memutus hubungan dengan kedua orang tua mereka, padahal Allah memerintahkan agar hubungan itu disambung dengan baik dan Allah melarang hubungan itu diputus dengan sejelek-jeleknya perbuatan.
Mereka berpaling dari berbuat baik kepada para fakir dari rizki yang telah mereka dapatkan. Seakan-akan mereka tidak percaya akan pahala dari sedekah yang mereka lakukan. Mereka benar-benar berpaling dari berbuat baik secara menyeluruh, seakan-akan di dalam agama dan akalnya tidak ada perbuatan baik sama sekali.
Dan semua ini akan (hilang) jika terdorong dengan adanya akal pikiran yang benar dan ditambah lagi penyampaian secara dalil terkait pahala yang besar dan hukuman keras bagi pelakunya.” (Kitab Birrul Walidain Libnil Jauzi rahimahullahu ta’ala, hal. 1) [6]Kitab Birrul Walidain Libnil Jauzi rahimahullahu ta’ala, hal. 1
Kejadian atau apa yang beliau rasakan ini, terjadi di zaman beliau dan terjadi pula di zaman yang lain. Akan tetapi, dengan terus memberikan nasihat, bersikap lemah lembut terhadap mereka dan mengingatkan mereka terhadap dalil-dalil yang agung, atsar-atsar yang begitu berurutan serta memperbanyak doa kebaikan untuk mereka maka akan ada diantara mereka yang menjadi baik bagi siapapun dari mereka yang Allah kehendaki.
Referensi
Kitab Ahaditsul Akhlaq karya Syaikh Abdurrozzaq bin Abdil Muhsin Al Badr hafidzahullahu ta’ala, halaman 63-67
Diringkas oleh Ahmad Imron Al Fanghony
Artikel Alukhuwah.Com
Referensi
1 | Hadits shahih, riwayat Al-Hakim. Lihat Shahih At-Targhib wa At-Tarhib |
---|---|
2 | HR. Al Bukhari dalam Al Adabul Mufrad |
3 | Al-Isra’ : 23-24 |
4 | HR. Al Bukhari dalam Al Adabul Mufrad |
5 | HR. Abu Daud no. 4902, Tirmidzi no. 2511, dan Ibnu Majah no. 4211, shahih |
6 | Kitab Birrul Walidain Libnil Jauzi rahimahullahu ta’ala, hal. 1 |