Fiqih: Menghilangkan Najis Menurut Ulama Ahli Fiqih

1. Tiga Poin Kesepakatan Ulama Tentang Membersihkan Najis

Di dalam kitab Bidayatul Mujtahid disebutkan beberapa poin kesepakatan ulama berkaitan dengan menghilangkan najis. Yang terpenting di antaranya ada tiga:

Pertama, ulama sepakat ada tiga benda atau tempat yang wajib dibersihkan dari najis, yaitu badan, pakaian dan masjid atau tempat yang digunakan untuk salat.

Al-Qadhi Ibnu Rusyd mengatakan,

إِنَّمَا اتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَى هَذِهِ الثَّلَاثَةِ ; لِأَنَّهَا مَنْطُوقٌ بِهَا فِي الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ

“Ulama sepakat terhadap tiga tempat ini karena tiga tempat inilah yang termaktub di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.”

Kedua, ulama sepakat bahwa jenis air yang suci dan menyucikan bisa menghilangkan najis-najis dari tiga tempat tersebut. 

Al-Qadhi Ibnu Rusyd mengatakan,

   فَإِنَّ الْمُسْلِمِينَ اتَّفَقُوا عَلَى أَنَّ الْمَاءَ الطَّاهِرَ الْمُطَهِّرَ يُزِيلُهَا مِنْ هَذِهِ الثَّلَاثَةِ الْمَحَالِّ، وَاتَّفَقُوا أَيْضًا عَلَى أَنَّ الْحِجَارَةَ تُزِيلُهَا مِنَ الْمَخْرَجَيْنِ، وَاخْتَلَفُوا فِيمَا سِوَى ذَلِكَ مِنَ الْمَائِعَاتِ وَالْجَامِدَاتِ الَّتِي تُزِيلُهَا

“Umat Islam sepakat bahwa air yang suci dan menyucikan bisa menghilangkan najis dari tiga tempat tersebut, mereka juga sepakat bahwa batu bisa menghilangkan najis dari ‘dua saluran pembuangan’ (dubur dan qubul). Mereka berbeda pendapat, apakah benda cair selain air atau pun benda padat yang kenyataannya bisa menghilangkannya.”

Ketiga, ulama sepakat ada tiga cara menyucikan benda dari najis, yaitu mencuci, menyiram atau mengusap. Ulama menyepakati tiga cara ini karena ada penyebutannya di dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah.

Adapun perincian kapan harus dicuci, kapan boleh disiram saja atau kapan boleh diusap, penjelasan itu semua ada di dalam kitab-kitab Fiqih.

2. Cara Membersihkan Najis Menurut Mazhab Syafi’i

Di dalam kitab Al-Iqna’ Fi Halli Alfazhi Abi Syuja’  yang merupakan salah satu kitab penting di dalam mazhab Syafi’i ada penjelasan tentang cara membersihkan najis sesuai dengan najis yang ada beberapa macam. Dan berikut ini ringkasannya:

Pertama, jika benda terkena najis yang berasal dari anjing, misal air liurnya, maka benda tersebut dicuci tujuh kali bilasan, salah satunya menggunakan tanah.

Kedua, jika benda terkena najis berupa air kencing bayi laki-laki yang hanya minum asi, cara membersihkannya cukup dengan menyiramkan air di bagian yang terkena air kencing tersebut.

Ketiga, jika benda terkena najis yang bukan dari bayi laki-laki yang hanya minum asi dan bukan dari anjing, maka ada perinciannya:

Najisnya bersifat ‘hukmi’, yaitu seseorang yakin adanya najis di suatu benda atau tempat, hanya saja sudah tidak terlihat zat najisnya, tidak tercium baunya dan tidak terlihat warna najisnya. Cara menyucikannya adalah dengan menyiramkan air ke bagian yang diperkirakan terkena najis tersebut.

Jika najisnya bersifat najis ‘ain, yaitu terlihat jelas zat najisnya, maka wajib menghilangkan zat najisnya menggunakan kain atau alat pembersih lainnya. Kemudian dicuci menggunakan air.

Adapun sisa warna benda najis tersebut, jika sulit dihilangkan, maka tidak masalah. Misalnya bekas warna darah yang masih ada sedikit setelah dicuci.

3. Pendapat Syaikh Shalih Al-Fauzan Tentang Menghilangkan Najis

Salah satu karya Syaikh Shalih Al-Fauzan dalam bidang Fiqih adalah kitab Al-Mulakhas Al-Fiqh. Kitab ini adalah ringkasan dari kitab Ar-Raudh Al-Murbi’, yang merupakan salah satu referensi penting di dalam mazhab Hanbali.

Di dalam kitab Al-Mulakhas Al-Fiqhi, Syaikh Shalih Al-Fauzan berkata,

“Sebagaimana seorang muslim dituntut untuk suci dari hadats ketika akan shalat, dia juga dituntut suci badan, pakaian dan tempat dari najis.”

Kemudian Syaikh merinci cara membersihkan najis-najis yang menempel di beberapa tempat dan benda. Berikut ini rangkumannya:

Macam-macam Najis dan Cara Membersihkannya

1. Najis yang ada di atas tanah atau benda-benda yang bersambung dengan tanah, seperti tembok dan lain-lain.

Cara menyucikan najis jenis ini cukup dengan disiram satu kali, sampai hilang zat najisnya.

Termasuk dianggap suci dengan hilangnya zat najis disebabkan air hujan atau aliran yang air mengalir.

2. Najis yang tidak di atas tanah atau tembok. Najis jenis ini ada beberapa macam:

Najis yang berasal dari anjing atau babi.

Cara menyucikannya:
Dicuci tujuh kali bilasan dan salah satunya menggunakan tanah.

Najis yang bukan berasal dari anjing atau babi.

Cara menyucikannya:

Dicuci dengan air, dikucek dan disikat sampai zat najisnya hilang.

3. Air kencing bayi laki-laki yang belum makan apapun. Cara menyucikannya cukup dengan diperciki air di bagian yang terkena air kencingnya.

4. Air kencing bayi perempuan atau bayi yang sudah makan dan minum karena keinginannya sendiri. Cara menyucikannya dengan dicuci menggunakan air.

Secara umum tidak banyak perbedaan pendapat dalam hal cara menyucikan benda-benda dari najis yang mengenainya. Karena semua sepakat bahwa ukuran sucinya pakaian, tempat atau badan dari najis adalah dengan hilangnya zat najis dan juga rasa, bau, maupun warnanya. Begitu juga disepakati bahwa media utama untuk menghilangkan najis adalah menggunakan air.

Membersihkan Najis yang Menempel di Lantai

Untuk menghilangkan benda najis dari pakaian atau kain tidak ada masalah dan mudah dipahami, yaitu dengan dicuci sampai bersih lalu dijemur.

Adapun benda najis yang menempel di lantai, maka perlu penjelasan lebih lanjut menyesuaikan beberapa pendapat dari ahli fiqih yang telah disebutkan. Dan seandainya ada kejadian yang mirip di zaman Nabi, maka lebih mudah masalahnya. 

Hanya saja kejadian yang ada di zaman Nabi tidak terlalu mirip dengan yang kita bahas, yaitu ketika ada seorang laki-laki yang kencing di pojokan masjid. Kemudian Nabi memerintahkan para sahabat untuk mengambil air satu ember lalu menyiramkannya ke atas tanah yang terkena air kencing laki-laki tadi.

Adapun membersihkan lantai yang terkena air kencing anak kecil misalnya, maka yang terlintas di pikiran kita adalah dengan menyiram air di atas kencing tersebut. Hanya saja, ada masalah yang perlu dipertanyakan: bagaimana status air yang bercampur dengan kencing di lantai itu? Apakah suci atau najis? Dan akhirnya kita juga perlu mengeringkan lantai setelahnya.

Atau barangkali langsung kita pel dengan kain basah? Ini pun juga menyisakan satu masalah: berarti kita belum bisa dianggap menghilangkan najis menggunakan media utama, yaitu air. Karena ulama ahli Fiqih berbeda pendapat, apakah bisa media selain air untuk menghilangkan najis yang menempel di benda-benda.

Atas dasar itu semua dan dalam rangka ‘keluar dari perbedaan pendapat ulama’ maka sepertinya cara berikut ini yang lebih tepat dan sesuai dengan pendapat mazhab Syafi’i:

Pertama, membersihkan zat najisnya dari lantai, dalam hal ini air kencing. Bisa menggunakan kain yang kering, misalnya. Setelah lantai cukup kering, kain tersebut disendirikan untuk nantinya dicuci, karena sudah terkena najis.

Kemudian menurut mazhab Syafi’i dan juga mazhab lain yang sependapat, bagian lantai yang sudah bersih tersebut dianggap masih najis akan tetapi ‘najis hukmi’. Yaitu zat najis hilang, akan tetapi belum sepenuhnya suci.

Tahap berikutnya adalah dengan menyiramkan air secukupnya ke atas bagian lantai tersebut. Dengan siraman ini, lantai telah dianggap suci. Dan air yang digunakan untuk menyiram juga harus suci.

Kemudian air yang ada di lantai bisa dikeringkan menggunakan kain yang kering atau alat pengering lainnya.

Sumber dan referensi:

  • Bulughul Maram min Adillatil Ahkam [1]Bulughul Maram min Adillatil Ahkam
  • Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid [2]Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid
  • Al-Iqna’ Fi Halli Alfazhi Abi Syuja’ [3]Al-Iqna’ Fi Halli Alfazhi Abi Syuja’
  • Al-Ikhbar Al-‘Ilmiyyah min Al-Ikhtiyarat Al-Fiqhiyyah [4]Al-Ikhbar Al-‘Ilmiyyah min Al-Ikhtiyarat Al-Fiqhiyyah
  • Al-Mulakhas Al-Fiqhi [5]Al-Mulakhas Al-Fiqhi

Disusun Oleh Fajri Nur Setyawan, Lc

Artikel Alkhuwah.Com

Referensi

Referensi
1 Bulughul Maram min Adillatil Ahkam
2 Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid
3 Al-Iqna’ Fi Halli Alfazhi Abi Syuja’
4 Al-Ikhbar Al-‘Ilmiyyah min Al-Ikhtiyarat Al-Fiqhiyyah
5 Al-Mulakhas Al-Fiqhi
Back to top button