Akhlaq: Menyantuni Anak Yatim (Bagian kedua)
Sebaik-baik rumah adalah yang terdapat anak yatim yang diurus
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: خَيْرُ بَيْتٍ فِي الْمُسْلِمِينَ بَيْتٌ فِيهِ يَتِيمٌ يُحْسَنُ إِلَيْهِ، وَشَرُّ بَيْتٍ فِي الْمُسْلِمِينَ بَيْتٌ فِيهِ يَتِيمٌ يُسَاءُ إِلَيْهِ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:
“Sebaik-baiknya rumah di kalangan Muslimin adalah rumah yang didalamnya ada anak yatim yang dia berbuat baik kepadanya. Dan sejelek-jeleknya rumah di kalangan Muslimin adalah rumah yang didalamnya terdapat anak yatim yang dia berbuat jahat kepadanya”. (HR. Ibnu Majah no. 3679 dan Thobroni di Al Ausath no. 4785)
Di dalam sanad hadits ini terdapat beberapa ucapan dari kalangan para ulama namun maknanya benar. Tidak diragukan lagi bahwa diantara sebaik-baik rumah kaum Muslimin adalah rumah yang pemiliknya berbuat baik kepada anak yatim di dalamnya, mereka menanggungnya, memperhatikannya, berbuat baik kepadanya, dan menghidupinya bersama anak-anaknya. Maka sesungguhnya ini adalah kebaikan yang besar yang pelakunya akan mendapatkan pahala yang segera di Dunia dan pahala di hari Kiamat.
Apabila seseorang mau menanggung anak yatim di dalam rumahnya dengan mengharap pahala dan mencari balasan dari Allah, menjadikannya bersama anak-anaknya diantara mereka, perhatian kepadanya sebagaimana kepada anak-anaknya, tidak membeda-bedakannya dengan anak-anaknya, bahkan berbuat baik kepadanya, maka tidak diragukan lagi bahwa ini adalah sebab kebaikan dan keberkahan untuk rumah ini. Hal itu karena keberkahan dari Allah dan orang yang berbuat baik kepada anak yatim ini berharap pahala hanya dari Allah, maka inilah sebab keberkahan untuk rumahnya.
Dan diantara fakta yang terjadi dan disebutkan baik dahulu maupun sekarang adalah bahwa diantara orang-orang yang mau menanggung anak yatim di rumahnya dan dia memperhatikannya sebagaimana dia memperhatikan anak-anaknya, maka ketika sudah tua sang anak yatim ini lebih utama dalam ketimbang anak-anaknya sendiri, baik dalam hal perhatian maupun perbuatan baiknya atau sebagai balasan atas perbuatan baiknya dahulu. Inilah keberkahan yang dimiliki orang yang mau menanggung anak yatim yang didahulukan di Dunia dan pahala baginya di akhirat adalah berdekatan dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam di Surga.
Sayangi anak yatim dan jangan disakiti
عَنْ قَتَادَةَ رَحِمَهُ اللهُ : كُنْ لِلْيَتِيمِ كَالأَبِ الرَّحِيْمِ، وَرُدَّ المِسْكِيْنَ بِرَحْمَةٍ وَلَيِّنٍ.
Berkata Qatadah rahimahullah ta’ala :
“Jadilah seperti bapak yang penyayang bagi anak yatim dan kembalikanlah orang-orang miskin dengan kasih sayang dan kelemah lembutan”. (HR. Ibnu Abi Ad-dunya dalam kitabnya ; An-nafaqotu ‘alaa Al’iyaal).
Dari sisi ayah yang sayang terhadap anak-anaknya, dia adalah bapak yang lembut, penyayang, bermu’amalah dengan baik dan apabila dia terpaksa harus mendidik salah satu dari mereka, maka dia akan mendidiknya dengan baik yang berdasarkan kasih sayang yang ia berikan pada hatinya. Dan barangsiapa yang menanggung anak yatim maka hendaknya dia berbuat sebagaimana dia berbuat kepada anak-anaknya.
Allah berfirman :
فَأَمَّا ٱلْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ
“Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang”. (Ad-Dhuha : 9)
Berkata Syaikh Abdurrahman Assa’di rahimahullah ta’ala : “Yaitu janganlah kamu berbuat jahat saat bermu’amalah dengannya, jangan kamu sempitkan dadamu untuknya, janganlah kamu menghardiknya justru muliakanlah dia, berikan padanya apa-apa yang dapat membuatnya senang, berbuatlah sesuatu untuknya yang kamu suka jika dia nanti akan berbuat juga untuk anak-anakmu setelah kamu tiada”. (Tafsir Assa’di 1/928)
Jika kamu ingin tahu muamalah yang seperti apa yang akan kamu gunakan untuk bermuamalah dengan anak yatim yang kamu tanggung, maka dia adalah muamalah yang kamu ridhoi dan cintai jika muamalah itu juga akan diberikan anak yatim itu kepada anak-anakmu. Allah berfirman :
وَلْيَخْشَ ٱلَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا۟ مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَٰفًا خَافُوا۟ عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلْيَقُولُوا۟ قَوْلًا سَدِيدًا
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”. (An-Nisa : 9)
Maka hendaknya mereka bermuamalah dengan muamalah yang mereka cintai jika nantinya orang-orang juga bermuamalah dengan anak keturunannya yang lemah.
Dan ucapan beliau (Qatadah rahimahullah ta’ala):
“Jadilah seperti bapak yang penyayang bagi anak yatim…”.
Dijadikan dan dianggap sebagai sebuah kaidah dan pondasi yang mencakup seluruh hal terkait menanggung anak yatim dan pendidikan bagi mereka. Yaitu bermuamalah sebagaima bermuamalah dengan anak-anaknya dan menganggapnya sebagaimana anak-anaknya yang lain.
Perkataan beliau : “Jadilah seperti bapak yang penyayang…”.
Beliau tidak berkata : “Jadilah seperti bapak saja”.
Karena terkadang ada pada para bapak itu kekurangan dan kesalahan bahkan sampai kepada anak-anaknya sendiri tidak ada kasih sayang atau kasih sayangnya lemah.
Menyertakan anak yatim dalam acara makan
عَنِ الْحَسَنِ، أَنَّ يَتِيمًا كَانَ يَحْضُرُ طَعَامَ ابْنِ عُمَرَ، فَدَعَا بِطَعَامٍ ذَاتَ يَوْمٍ، فَطَلَبَ يَتِيمَهُ فَلَمْ يَجِدْهُ، فَجَاءَ بَعْدَ مَا فَرَغَ ابْنُ عُمَرَ، فَدَعَا لَهُ ابْنُ عُمَرَ بِطَعَامٍ، لَمْ يَكُنْ عِنْدَهُمْ، فَجَاءَه بِسَوِيقٍ وَعَسَلٍ، فَقَالَ: دُونَكَ هَذَا، فَوَاللَّهِ مَا غُبِنْتَ يَقُولُ الْحَسَنُ: وَابْنُ عُمَرَ وَاللَّهِ مَا غُبِنَ.
Dari Al-Hasan Al Bashri bahwasanya seorang yatim piatu biasa hadir makan bersama Ibnu ‘Umar. Suatu hari dia meminta makanan dan dia mencari anak yatim ini tetapi tidak dapat menemukannya. Dia tiba setelah Ibnu ‘Umar selesai. Ibnu ‘Umar meminta lebih banyak makanan untuk dibawakan kepadanya tetapi mereka tidak memilikinya. Maka ia dibawakan sawiq dan madu. Dia berkata, “Ini, ambil ini! Demi Allah, kamu tidak tertipu!” Al-Hasan berkata, “Demi Allah, Ibnu ‘Umar tidak tertipu!”. (HR. Ahmad dalam kitab Az-zuhdu no. 1051 dan Bukhari di kitab Adabul Mufrad no. 134)
Riwayat ini memberikan faedah bahwa Ibnu Umar selalu bersemangat di dalam menghadirkan anak yatim pada waktu beliau makan. Jika sudah waktunya maka maka beliau mencarinya, sebagaimana faidah ini di dapat pada ucapan beliau (Al Hasan) :
“… dia mencari anak yatim ini tetapi tidak dapat menemukannya”.
Si yatim ini pun datang setelah Ibnu Umar selesai dari makannya. Dan Ibnu Umar meminta makan yang lain buatnya namun sudah tidak ada. Makanan yang tadi dihidangkan sudah habis dan akhirnya beliau membawa sawiq dan ‘asal (madu) dan memberikannya kepada si yatim.
Dan beliau berkata : “Ini, ambil ini! Demi Allah, kamu tidak tertipu!” Maksudnya adalah kamu tidak rugi dengan tidak makan bersama kami, bahkan makanan yang ini adalah makanan yang baik.
Perkataan Al-Hasan Al Bashri, “Demi Allah, Ibnu ‘Umar tidak tertipu!” Artinya beliau mendapatkan keuntungan yang besar karena telah berbuat baik kepada si yatim ini. Dan ini adalah kebiasaan Ibnu Umar yang mana beliau tidak makan kecuali menghadirkan anak yatim dalam makan beliau.
عَنْ أَبِيْ بَكْرِ بْنُ حَفْصٍ، أَنَّ عَبْدَ اللهِ كَانَ لاَ يَأْكُلُ طَعَامًا إِلاَّ وَعَلَى خِوَانِهِ يَتِيمٌ. رواه البخاري في الأدب المفرد وصحَّحه الألباني.
Dari Abu Bakar bin Hafsh : Bahwasanya Abdullah bin Umar dahulu tidaklah beliau makan kecuali di atas mejanya makan beliau ada seorang anak yatim”. (HR. Bukhari di kitab Adabul Mufrad no. 136 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani rahimahullahu ta’ala).
Al kharaaithiyyu meriwayatkan dalam kitab makarimul akhlak dari Naafi’, beliau berkata :
كَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمَا لَا يَأْكُلُ طَعَامًا إِلَّا وَعَلَى خِوَانِهِ أَيْتَامٌ.
“Dahulu Ibnu Umar tidaklah makan suatu makanan kecuali dimeja makan beliau ada beberapa anak yatim”. (Dikeluarkan oleh Al kharaaithiyyu dalam kitab makarimul akhlak no. 652)
Riwayat ini menunjukkan akan kesungguhan beliau dalam berbuat baik kepada anak-anak yatim dimana beliau tidaklah makan suatu makanan kecuali disitu ada mereka. Dan Allah berfirman :
وَيُطْعِمُونَ ٱلطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ مِسْكِيْنًا وَيَتِيْمًا وَأَسِيْرًا
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan”. (Al-Insan : 8)
Dalam suatu kesempatan, mereka menyukai harta dan makanan namun disisi lain mereka mendahulukan hal itu kepada kecintaan Allah dari pada kecintaan diri-diri mereka sendiri dengan memberikan kepada orang-orang yang paling membutuhkan dari kalangan orang miskin, yatim dan tawanan. Mereka meniatkan wajah Allah dalam hal itu dengan memberikan infaq dan makanan kepada mereka. Bahkan mereka tidak sedikit menginginkan balasan mereka dan ucapan terima kasihnya mereka.
Anggaplah anak yatim sebagaimana keluarga sendiri
عَنْ حَمْزَةَ بْنِ نَجِيحٍ أَبِي عُمَارَةَ قَالَ: سَمِعْتُ الْحَسَنَ يَقُولُ: لَقَدْ عَهِدْتُ الْمُسْلِمِينَ، وَإِنَّ الرَّجُلَ مِنْهُمْ لَيُصْبِحُ فَيَقُولُ: يَا أَهْلِيَهْ، يَا أَهْلِيَهْ، يَتِيمَكُمْ يَتِيمَكُمْ، يَا أَهْلِيَهْ، يَا أَهْلِيَهْ، مِسْكِينَكُمْ مِسْكِينَكُمْ، يَا أَهْلِيَهْ، يَا أَهْلِيَهْ، جَارَكُمْ جَارَكُمْ، وَأُسْرِعَ بِخِيَارِكُمْ وَأَنْتُمْ كُلَّ يَوْمٍ تَرْذُلُونَ.
Dari Hamzah bin Najih Abu Umaroh beliau berkata :
Aku mendengar Al Hasan Al Bashri rahimahullahu ta’ala berkata : “Aku ingat suatu saat di antara kaum Muslimin ketika laki-laki mereka berteriak (untuk mengingatkan keluarga mereka), ‘Hai keluarga! Wahai keluarga! (Jagalah) anak yatim kalian! Yatim piatu kalian! Wahai keluarga! Setelah anak yatim kalian! Orang miskin kalian! Orang miskin kalian! Wahai keluarga! Wahai keluarga! (Jagalah) tetangga kalian! Waktu telah berlalu dengan cepat dalam mengambil yang terbaik dari kalian, sementara setiap hari kalian menjadi orang yang lebih rendah.” (HR. Bukhari di kitab Adabul Mufrad no. 139)
Yaitu seseorang memanggil keluarganya : Wahai keluarga! (Jagalah) anak yatim kalian! Yatim piatu kalian! Wahai keluarga!”. Berbuat baiklah kepada mereka, muliakanlah mereka dan berikan perhatian kalian kepada mereka. Dan ini adalah komando kepada siapapun yang dia jumpai. Mereka saling berwasiat agar memperhatikan anak-anak yatim, orang-orang miskin dan hak-hak para tetangga.
Di zaman para sahabat dahulu terdapat penerang dan pelita dalam hal kebaikan ini dan juga ada saling memerintah agar memiliki perhatian yang besar terhadap anak-anak yatim. Telah tetap beberapa sahabat dan shohabiat yang mereka menjadi penanggung jawab anak-anak yatim baik yang laki-laki maupun perempuan. Mereka mengumpulkan anak-anak yatim itu di rumah-rumah mereka, memiliki perhatian besar terhadap mereka, berbuat baik kepada mereka dan mereka (para sahabat dan shohabiat) menjadi tempat berlindungnya anak-anak yatim bahkan tempat terakhir dalam kebaikan. Demikian pula hal ini terjadi di kalangan para tabi’in dan pengikut mereka setelahnya.
عَنْ أَسْمَاءَ بْنِ عُبَيْدٍ قَالَ: قُلْتُ لِابْنِ سِيْرِيْنَ: عِنْدِي يَتِيمٌ، قَالَ: اصْنَعْ بِهِ مَا تَصْنَعُ بِوَلَدِكَ، اضْرِبْهُ مَا تَضْرِبُ وَلَدَكَ.
Dari Asma’ binti ‘Ubayd berkata, “Saya berkata kepada Ibn Sirin, ‘Saya memiliki anak yatim dalam perawatan saya.’ Dia berkata, ‘Perlakukan dia seperti kamu memperlakukan anakmu sendiri. Pukul dia seperti kamu akan memukul anakmu sendiri.’ (HR. Bukhari di kitab Adabul Mufrad no. 140 dan di dishahihkan oleh Syaikh Al Albani rahimahullahu ta’ala)
Yaitu apa-apa yang kamu sukai dan kamu ridhoi untuk anak-anakmu, maka bermu’amalah-lah dengan anak yatim yang dalam asuhanmu seperti itu juga. Dan ini merupakan kaidah yang besar dalam hal ini yaitu mendidik dan merawat anak-anak yatim. Dan qoidah ini bisa menjadikan perhatian dan perbuatan baik diberikan kepada anak-anak yatim.
Perkataan : “Pukul dia seperti kamu akan memukul anakmu sendiri”. Adalah apabila dibutuhkan kondisi tersebut. Dan pukulan adalah cara paling akhir dan bukan cara yang pertama kali digunakan dalam pendidikan. Bahkan hal itu tidaklah terjadi kecuali setelah melakukan pendalaman dan setelah penelaahan yang panjang serta pemikiran yang matang. Setelah dididik, diajari adab, di peringatkan, di arahkan, diberi nasihat dan larang, di hajr dan diberikan berbagai sebab-sebab lainnya.
Namun jika sudah tidak bisa lagi bahkan di anak ini tidak bisa lagi mengambil faidah, maka diberi hukuman dengan pukulan yang lembut dan penuh kasih sayang dan bukan pukulan yang berbahaya dan menyiksa. Bermu’amalah-lah sebagaimana seorang ayah yang penyayang kepada anak-anaknya.
Bersambung insyaallah…
Referensi :
Kitab Ahaditsul Akhlaq karya Syaikh Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin Al Badr hafidzahullahu ta’ala, halaman 112-116.
Diterjemahkan oleh Ahmad Imron Al Fanghony