Akhlaq: Durhaka Kepada Kedua Orang Tua #2

Diriwayatkan dari sahabat Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مِنَ أَكْبَرِ الْكَبَائِرِ شَتْمُ الرَّجُلِ وَالِدَيْهِ

“Termasuk dosa besar adalah seseorang mencaci maki kedua orang tuanya.”

Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah seseorang bisa mencaci maki kedua orang tuanya?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,

نَعَمْ يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ، وَيَسُبُّ أُمَّهُ فَيَسُبُّ أُمَّهُ

“Benar, seseorang mencela bapak orang lain, lalu orang lain itu mencela bapaknya. Dan seseorang mencela ibu orang lain, lalu orang lain itu mencela ibunya.” (HR. Muslim no. 90)[1]HR. Muslim no. 90

Dan dari Abdullah bin Amr bin Ash rodhiyaallahu ’anhu, beliau berkata,

مِنَ الْكَبَائِرِ أَنْ يَسْتَسِبَّ الرَّجُلِ لِوَالِدَيْهِ

“Termasuk dosa besar adalah seseorang mencaci maki kepada kedua orang tuanya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrod)[2]HR. Bukhari dalam Adabul Mufrod

Yaitu, sebab seseorang dikatakan mencaci maki kedua orang tuanya sendiri, karena dia mencaci maki orang tua lainnya sebagaimana yang diterangkan dalam hadits.

Dan melaknat kedua orang tua tanpa sebab, biasanya dilakukan secara langsung. Adapun melaknat orang tua dengan sebab, karena seseorang melaknat bapak orang lain lalu anaknya yang dilaknat ini berbalik melaknat bapak yang melaknat tadi (saling melaknat).

Dan ini banyak terjadi dari kalangan orang-orang yang tidak memiliki sedikit pun rasa malu dan takut kepada Allah. Yang mereka lakukan di majelis dan pertemuan mereka, dengan saling berlomba-lomba atau saling bergantian mencela bapak-bapak dan ibu-ibu mereka.

Dan di kalangan mereka, perbuatan ini berlangsung lebih banyak dibandingkan dengan ucapan salam dan rahmat. Sehingga bagian terbesar dari candaan mereka adalah memperolok bapak-bapak dan ibu-ibu mereka dengan saling bergantian. Hal ini didasari karena tipisnya agama, lemahnya iman dan buruknya perilaku. Wal’iyadzubillah.

Dan sungguh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan bahwa mencela orang tua dikarenakan sebab, sama hukumnya dengan mencela orang tua secara langsung, yaitu keduanya sama-sama termasuk dosa besar.

Ingat, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَيْسَ الْمُؤْمِنُ بِالطَّعَّانِ وَلَا اللَّعَّانِ وَلَا الْفَاحِشِ وَلَا الْبَذِيءِ

“Seorang mukmin bukanlah orang yang banyak mencela, bukan orang yang banyak melaknat, bukan pula orang yang keji (buruk akhlaknya), dan bukan orang yang jorok omongannya.” (HR. Tirmidzi no. 1977, Ahmad no. 3839 dan lain-lain)

Ini semua (yang disebutkan dalam hadits) bukanlah akhlak, apalagi sifat seorang mukmin. Dan apabila laknat secara umum saja tidak diperbolehkan, lalu bagaimana dengan laknat itu ditujukan kepada orang yang paling dekat; orang yang paling banyak memberikan kebaikan pada seorang anak, yaitu bapak dan ibunya sendiri.

Tidakkah membuatmu takjub, ketika seorang anak di rumah diurus oleh ibunya, disediakan makanan, diberikan baju dan diperhatikan kesehatannya, lalu tatkala sang anak ini keluar dan bertemu dengan teman atau orang lain, dia mencela ibunya dengan melaknatnya. Maka tidak diragukan lagi anak ini adalah anak yang rendah akhlaknya dan rusak tabiatnya.

Di dalam hadits ini juga ada peringatan keras terhadap bahayanya duduk-duduk di majelis yang jelek dan bahayanya bersentuhan dengan orang-orang yang rusak. Barang siapa yang bermajelis dengan mereka, baik karena mereka tahu di dalamnya ada saling mencela secara langsung atau mencela dengan sebab, maka dia telah berada di dalam keadaan yang mengkhawatirkan dan berbahaya, karena dapat memengaruhi agama, ibadah, akidah dan adabnya. Mereka tak ubahnya seperti yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sabdakan,

وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَة

“…. Sedangkan (berteman dengan orang jelek atau buruk) seperti berteman dengan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.” (HR. Bukhari 5534 dan Muslim 2628)

Jika sikap mereka terhadap kedua orang tua mereka saja seperti ini, (berani mencela dan melaknat, padahal sangat besar kebaikan kedua orang tua mereka) lalu bagaimana sikap mereka dengan selainnya? Maka tidak dipungkiri lagi, bahwa sikap mereka terhadap setiap teman pasti akan lebih parah, sekalipun telah berbuat baik. Oleh karena itu, Umar bin Abdul Aziz radhiyallahu ’anhu berkata,

لَا تَصْحَبَنَّ عَاقًّا٫ فَإِنَّهُ لَنْ يَقْبَلَكَ وَقَدْ عَقَّ وَالِدَيْهِ

“Janganlah sekali-kali kamu berteman dengan anak yang durhaka, karena pasti dia benar-benar tidak akan menerimamu (sebagai teman yang baik), sebab dia saja berani durhaka kepada kedua orang tuanya.” (Al Mustathrof fii kulli fannin Mustathrof : 2/20. Oleh Syihabuddin Muhammad bin Ahmad bin Manshur al-Absyihi meninggal tahun 852 H)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang seorang yang berani mencela orang tuanya dengan kebodohan, lalu hukuman apa yang wajib atas dirinya? Beliau menjawab,

“Apabila ada anak yang berani mencela ayahnya dan telah berlebihan dalam hal itu, maka dia berhak untuk dihukum seberat-beratnya sesuai dengan kadar celaannya, bahkan bisa lebih dari itu. Karena telah tetap sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam,

مِنَ الْكَبَائِرِ شَتْمُ الرَّجُلِ وَالِدَيْهِ

“Termasuk dosa besar adalah seseorang mencaci maki kedua orang tuanya.”

Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah seseorang bisa mencaci maki kedua orang tuanya?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,

نَعَمْ يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ، وَيَسُبُّ أُمَّهُ فَيَسُبُّ أُمَّهُ

“Benar, seseorang mencela bapak orang lain, lalu orang lain itu mencela bapaknya. Dan seseorang mencela ibu orang lain, lalu orang lain itu mencela ibunya.” (HR. Muslim no. 90)

Jika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan mencela ayah orang lain lalu menyebabkan orang lain itu mencela ayahnya sebagai dosa besar, lalu bagaimana jika celaan itu langsung kepada ayahnya sendiri? Maka anak yang semacam ini berhak mendapatkan hukuman, karena dia telah berani menghalangi hak-hak orang tua, yang Allah sebutkan beriringan setelah hak-hak-Nya. Allah berfirman,

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا

“Dan Rabbmu telah memerintahkan agar kamu jangan beribadah melainkan hanya kepada-Nya dan hendaklah berbuat baik kepada ibu-bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, ‘Ya Rabb-ku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil.’” (Al-Israa’ : 23-24)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu berkata, “Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لَا شَكَّ فِيهِنَّ : دَعْوَةُ الْمَظْلُومِ ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ ، وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ عَلَى وَلَدِه

‘Ada tiga doa yang mustajab tanpa diragukan lagi: doa orang yang terzalimi, doa orang yang sedang safar dan doa orang tua kepada anaknya.’” (HR. At Tirmidzi no. 1905, dihasankan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi)

Terkadang gangguan anak kepada orang tuanya itu semakin hari semakin keras, sehingga kedurhakaannya juga semakin besar kepada keduanya. Dan perkara tersebut terkadang mendorong orang tua untuk mendoakan kejelekan kepada anaknya dan doanya mustajab. Sehingga menyebabkan sang anak celaka dengan doa tersebut, di dunia maupun di akhirat.

Orang tua tidak mungkin mau mendoakan kejelekan atau keburukan untuk anaknya sendiri, kecuali dalam keadaan marah dan jengkel yang sangat, disebabkan jeleknya muamalah sang anak kepadanya. Adapun di dalam keadaan sang anak sedang berbakti dan berbuat baik dalam muamalahnya, maka tidak mungkin akan berdoa kejelekan bagi anak-anaknya.

Doa orang tua untuk anaknya, baik doa keburukan maupun doa kebaikan, maka doanya mustajab. Oleh karena itu, datang dalam sebagian lafadz hadits,

وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ لِوَلَدِهِ

“Dan doa kebaikan orang tua bagi anaknya (mustajab).” (Dikeluarkan oleh Ibnu Majah no. 3862 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani)

Jadi doa kebaikan atau keburukan orang tua untuk anaknya, semuanya mustajab.

Maka dari sini, dapat diambil faedah, bahwa para anak hendaknya bersungguh-sungguh dalam mendapatkan doa kebaikan dari orang tua mereka dan ini merupakan bentuk dari mencari keridaan kedua orang tua. Di sisi lain, anak-anak juga harus waspada dan berhati-hati dari doa keburukan kedua orang tua mereka, karena jika terjadi, maka ini merupakan sebab dari kedurhakaan dan perbuatan jelek kepada keduanya.

Termasuk perkara yang menakjubkan dalam bab ini adalah apa yang dikisahkan oleh Abu Hurairah, ia berkata, ”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَا تَكَلَّمَ مَوْلُوْدٌ مِنَ النَّاسِ فِي مَهْدٍ إِلاَّ عِيْسَى بْنُ مَرْيَمَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ [وَسَلَّمَ] وَصَاحِبُ جُرِيْجٍ” قِيْلَ: يَا نَبِيَّ اللهِ! وَمَا صَاحِبُ جُرَيْجٍ؟ قَالَ: “فَإِنَّ جُرَيْجًا كَانَ رَجُلاً رَاهِباً فِي صَوْمَعَةٍ لَهُ، وَكَانَ رَاعِيُ بَقَرٍ يَأْوِي إِلَى أَسْفَلِ صَوْمَعَتِهِ، وَكَانَتْ اِمْرَأَةٌ مِنْ أَهْلِ الْقَرْيَةِ تَخْتَلِفُ إِلَى الرَّاعِي، فَأَتَتْ أُمُّهُ يَوْمًٍا فَقَالَتْ: يَا جُرَيْجُ! وَهُوَ يُصّلِّى، فَقَالَ فِي نَفْسِهِ – وَهُوَ يُصَلِّي – أُمِّي وَصَلاَتِي؟ فَرَأَى أَنْ يُؤْثِرَ صَلاَتَهُ، ثُمَّ صَرَخَتْ بِهِ الثَّانِيَةَ، فَقَالَ فِي نَفْسِهِ: أُمِّي وَصَلاَتِي؟ فَرَأَى أَنْ يُؤْثِرَ صَلاَتَهُ. ثُمَّ صَرَخَتْ بِهِ الثَالِثَةَ فَقَالَ: أُمِّي وَصَلاَتِي؟ فَرَأَى أَنْ يُؤْثِرَ صَلاَتَهُ. فَلَمَّا لَمْ يُجِبْهَا قَالَتْ: لاَ أَمَاتَكَ اللهُ يَا جُرَيْجُ! حَتىَّ تَنْظُرَ فِي وَجْهِ المُوْمِسَاتِ. ثُمَّ انْصَرَفَتْ فَأُتِيَ الْمَلِكُ بِتِلْكَ الْمَرْأَةِ وَلَدَتْ. فَقَالَ: مِمَّنْ؟ قَالَتْ: مِنْ جُرَيْجٍ. قَالَ: أَصَاحِبُ الصَّوْمَعَةِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: اِهْدَمُوا صَوْمَعَتَهُ وَأْتُوْنِي بِهِ، فَضَرَبُوْا صَوْمَعَتَهُ بِالْفُئُوْسِ، حَتىَّ وَقَعَتْ. فَجَعَلُوْا يَدَهُ إِلَى عُنُقِهِ بِحَبْلٍ؛ ثُمَّ انْطَلَقَ بِهِ، فَمَرَّ بِهِ عَلَى الْمُوْمِسَاتِ، فَرَآهُنَّ فَتَبَسَّمَ، وَهُنَّ يَنْظُرْنَ إِلَيْهِ فِي النَّاسِ. فَقَالَ الْمَلِكُ: مَا تَزْعُمُ هَذِهِ؟ قَالَ: مَا تَزْعُمُ؟ قَالَ: تَزْعُمُ أَنَّ وَلَدَهَا مِنْكَ. قَالَ: أَنْتِ تَزْعَمِيْنَ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: أَيْنَ هَذَا الصَّغِيْرُ؟ قَالُوْا: هَذَا فِي حُجْرِهَا، فَأَقْبَلَ عَلَيْهِ. فَقَالَ: مَنْ أَبُوْكَ؟ قَالَ: رَاعِي الْبَقَرِ. قَالَ الْمَلِكُ: أَنَجْعَلُ صَوْمَعَتَكَ مِنْ ذَهَبٍ؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: مِنْ فِضَّةٍ؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: فَمَا نَجْعَلُهَا؟ قَالَ: رَدُّوْهَا كَمَا كَانَتْ. قَالَ: فَمَا الَّذِي تَبَسَّمْتَ؟ قَالَ: أَمْراً عَرَفْتُهُ، أَدْرَكَتْنِى دَعْوَةُ أُمِّي، ثُمَّ أَخْبَرَهُمْ

‘Tidak ada bayi yang dapat berbicara dalam buaian kecuali Isa bin Maryam dan (bayi di masa) Juraij.’ Lalu ada yang bertanya, ‘Wahai Rasulullah siapakah Juraij?’ Beliau lalu bersabda, ‘Juraij adalah seorang rahib yang berdiam diri di rumah peribadatannya (yang terletak di dataran tinggi atau gunung). Terdapat seorang penggembala yang menggembalakan sapinya di lereng gunung tempat peribadatannya dan seorang wanita dari suatu desa menemui penggembala itu (untuk berbuat mesum dengannya).’

‘(Suatu ketika) datanglah ibu Juraij dan memanggil anaknya (Juraij) ketika ia sedang melaksanakan salat, ‘Wahai Juraij.’ Juraij lalu bertanya dalam hatinya, ‘Apakah aku harus memenuhi panggilan ibuku atau meneruskan salatku?’ Rupanya dia mengutamakan salatnya. Ibunya lalu memanggil untuk yang kedua kalinya. Juraij kembali bertanya di dalam hati, ‘Ibuku atau salatku?’ Rupanya dia mengutamakan salatnya. Ibunya memanggil untuk kali ketiga. Juraij bertanya lagi dalam hatinya, ‘Ibuku atau salatku?’ Rupanya dia tetap mengutamakan salatnya.’

‘Ketika sudah tidak menjawab panggilan, ibunya berkata, ‘Semoga Allah tidak mewafatkanmu, wahai Juraij, sampai wajahmu dipertontonkan di depan para pelacur.’ Lalu ibunya pun pergi meninggalkannya.’

‘Wanita yang menemui penggembala tadi dibawa menghadap raja dalam keadaan telah melahirkan seorang anak. Raja itu bertanya kepada wanita tersebut, ‘Hasil dari (hubungan dengan) siapa (anak ini)?’ ‘Dari Juraij,’ jawab wanita itu. Raja lalu bertanya lagi, ‘Apakah dia yang tinggal di tempat peribadatan itu?’ ‘Benar,’ jawab wanita itu. Raja berkata, ‘Hancurkan rumah peribadatannya dan bawa dia kemari.’ Orang-orang lalu menghancurkan tempat peribadatannya dengan kapak sampai rata dan mengikat tangannya di lehernya dengan tali, lalu membawanya menghadap raja. Di tengah perjalanan, Juraij dilewatkan di hadapan para pelacur. Ketika melihat mereka, Juraij tersenyum dan para pelacur tersebut melihat Juraij yang berada di antara manusia.’

‘Raja lalu bertanya padanya, ‘Siapa ini menurutmu?’ Juraij balik bertanya, ‘Siapa yang engkau maksud?’ Raja berkata, ‘Dia (wanita tadi) berkata bahwa anaknya adalah hasil hubungan denganmu.’ Juraij bertanya, ‘Apakah engkau telah berkata begitu?’ ‘Benar,’ jawab wanita itu. Juraij lalu bertanya, ‘Di mana bayi itu?’ Orang-orang lalu menjawab, ‘(Itu) di pangkuan (ibu)nya.’ Juraij lalu menemuinya dan bertanya pada bayi itu, ‘Siapa ayahmu?’ Bayi itu menjawab, ‘Ayahku si penggembala sapi.’’

‘Kontan sang raja berkata, ‘Apakah perlu kami bangun kembali rumah ibadahmu dengan bahan dari emas?’ Juraij menjawab, ‘Tidak perlu.’ ‘Ataukah dari perak?’ lanjut sang raja. ‘Jangan,’ jawab Juraij. ‘Lalu dari apa kami akan bangun rumah ibadahmu?’ tanya sang raja. Juraij menjawab, ‘Bangunlah seperti sedia kala.’ Raja lalu bertanya, ‘Mengapa engkau tersenyum?’ Juraij menjawab, ‘(Saya tertawa) karena suatu perkara yang telah aku ketahui, yaitu terkabulnya doa ibuku terhadap diriku.’ Kemudian Juraij pun memberitahukan hal itu kepada mereka.’’”

(Disebutkan oleh Bukhari dalam Adabul Mufrod) [Dikeluarkan pula oleh Bukhari: 60 Kitab Al Anbiyaa, 48-Bab ”Wadzkur fil kitabi Maryam”. Muslim: 45-Kitab Al Birr wash Shilah wal Adab, hal. 7-8]

Ini merupakan kisah yang menakjubkan dan begitu agung yang Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebutkan. Dan kisah ini merupakan bagian dari kabar umat sebelum kita yang isinya adalah bahwa dahulu ada seseorang yang bernama Juraij, seorang pemuda ahli ibadah yang sibuk dengan salatnya dan selalu menjaganya.

Tatkala sang ibu mendoakan kejelekan untuknya, maka Allah kabulkan, sehingga dirinya difitnah dengan menghamili seorang pelacur yang mengakibatkan dirinya diamuk masa dan tempat ibadahnya di hancurkan. Lalu setelah itu Allah selamatkan dirinya. Dari sini ada dalil bahwa doa orang tua itu mustajab.

Dan kebalikan dari hal ini adalah bahwa kebaikan kedua orang tua juga menjadi sebab terkabulnya doa untuk anaknya. Dan jika sang anak menginginkan doanya dikabulkan, maka hendaknya berbakti kepada keduanya terlebih untuk menghindarkan diri dari musibah dan bencana serta keluar dari kesusahan.

Referensi:

Kitab Ahaditsul Akhlaq karya Syaikh Abdurrozzaq bin Abdil Muhsin Al Badr hafidzahullahu ta’ala halaman 55–61

Diringkas oleh Ahmad Imron Al Fanghony

Artikel Alukhuwah.Com

Referensi

Referensi
1 HR. Muslim no. 90
2 HR. Bukhari dalam Adabul Mufrod
Back to top button