Fatwa Ulama: Hukum Kurban bagi Orang yang Memiliki Hutang
Fadhilatu Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin رَحِمَهُ اللهُ ditanya ,
“Apa hukum berkurban bagi orang yang memiliki hutang dan apakah harus meminta izin kepada pemberi hutang?”
Beliau menjawab,
“Saya tidak berpendapat bolehnya berkurban bagi seseorang yang memiliki hutang, kecuali jika hutang itu bisa ditunda pembayarannya dan ia tahu bahwa dirinya mampu melunaisinya ketika jatuh tempo pelunasannya, maka ketika itu tidak mengapa berkurban. Jika tidak, maka hendaklah ia menyimpan uang yang ia miliki itu untuk melunasi hutangnya.
Hutang adalah perkara yang sangat penting, sesungguhnya Rasulullah ﷺ apabila didatangkan jenazah kepada beliau untuk disholatkan, sedangkan jenazah itu memiliki hutang, maka beliau tidak mau menyolatkannya. Sehingga pada suatu hari didatangkan kepada beliau jenazah seseorang dari kalangan Anshor untuk disholatkan, lalu beliau melangkah beberapa langkah dan bertanya,
“Apakah ia memiliki hutang?”, para shahabat menjawab, “Iya”, maka beliau bersabda, “Sholatkanlah saudara kalian.” [1]HR. Bukhari dalam Kitabul Kafalah, Bab Man Takaffala ‘an Mayyitin Dainan Falaisa Lahu an Yarji’, no. 2295.
Beliau tidak mau menyolatkannya, sampai Abu Qotadah rahimahullah berdiri seraya berkata,
“Saya yang menanggung hutangnya”, maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Benarkah engkau mau menanggung hutangnya sehingga hutangnya lunas?”, Abu Qotadah menjawab, “Iya wahai Rasulullah”, maka beliau maju dan menyolatkan jenazah itu.
Demikian pula ketika beliau ﷺ ditanya tentang mati syahid di jalan Allah dan bahwa hal itu menghapuskan seluruh do’a, maka beliau bersabda, “Kecuali hutang” [2]HR. Muslim dalam Kitabul Imarah, Bab Man Quthila fi Sabilillah Kuffirat Khathayahu Illa Dain, no. 1885)., yaitu bahwa mati syahid itu tidak menggugurkan hutang.
Maka hutang bukanlah perkara yang ringan. Suatu negeri bisa jadi tertimpa musibah dalam ekonomi di masa depan karena orang-orang yang berhutang dan menyepelekan hutangnya akan bangkrut setelahnya, lalu pemberi hutang pun akan bangkrut setelah mereka. Ini adalah masalah yang sangat riskan. Ketika Allah ‘Azza Wajalla memberikan kemudahan dalam ibadah dengan harta kepada para hamba-Nya, maka janganlah seseorang mengerjakannya kecuali ketika memiliki keluasan. Hendaklah seseorang memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya.”
(Sumber : Majmu’ Al-Fatawa wa Rasail Fadhilati As-Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Jilid 25 Hal. 127-128)
Disusun oleh Ustadz Abu Muslim Nurwan Darmawan, B.A.
Artikel Alukhuwah.Com