Fiqih Muamalat: Fiqih Wakaf bagian kedua

Syarat Sah Wakaf

Ada beberapa syarat untuk keabsahan wakaf sebagaimana rincian berikut ini :

1. Pewakaf adalah orang yang jaiz tasharruf

Pewakaf adalah orang yang jaiz tasharruf (memiliki kapasitas untuk melakukan transaksi), yaitu seorang yang baligh, berakal, merdeka, dan rosyid (mahir dalam membelanjakan hartanya). [1]al-Fiqh al-Muyassar fi Dhau’ al-Kitab wa as-Sunnah, hlm. 267.

2. Barang yang diwakafkan adalah sesuatu yang manfaatnya mubah

Barang yang diwakafkan adalah sesuatu yang manfaatnya mubah, maka tidak sah mewakafkan barang yang manfaatnya haram seperti khamr, alat musik, dan semisalnya.[2]Sebagian ulama’ mempersyaratkan untuk barang yang diwakafkan harus berupa barang yang tidak habis ketika dimanfaatkan, sehingga tidak sah mewakafkan air, makanan, minyak, dan semisalnya, karena … Continue reading

3. Barang yang diwakafkan adalah sesuatu yang jelas

Barang yang diwakafkan adalah sesuatu yang jelas. Oleh karena itu, apabila seseorang memiliki beberapa rumah dan ia mengatakan, “Saya wakafkan salah satu rumah saya”, maka tidak sah wakafnya karena tidak jelasnya barang yang diwakafkan. [3]Lihat al-Mulakhas al-Fiqhiy, 2/165.

4. Wakaf ditujukan untuk proyek kebaikan

Wakaf ditujukan untuk proyek kebaikan, seperti pembangunan masjid, sumur, jembatan, membantu fakir miskin, dan semisalnya. Sehingga tidak sah wakaf yang ditujukan untuk perkara yang haram seperti pembangunan tempat kesyirikan, membantu perkara bid’ah, dan sebagainya. [4]Lihat al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat, hlm. 248.

5. Apabila wakaf ditujukan untuk mu’ayyan (person tertentu)

Apabila wakaf ditujukan untuk mu’ayyan (person tertentu), maka dipersyaratkan person tersebut mempunyai kapasitas memiliki, karena wakaf termasuk kategori pemindahan kepemilikan. Oleh karena itu, tidak sah wakaf ditujukan untuk orang yang sudah meninggal dunia, atau untuk hewan ternak dan semisalnya, karena tidak adanya kapasitas memiliki. [5]Dengan demikian diperbolehkan seseorang mewakafkan barang untuk pihak tertentu yang mempunyai kapasitas memiliki, misalnya wakaf untuk anaknya, saudaranya, sahabatnya, dan semisalnya, karena tujuan … Continue reading

Catatan: Sebagian ulama berpendapat bahwa tidak sah wakaf mu’allaq (bersyarat). Misalnya seseorang berkata, “Jika datang bulan Ramadhan maka tanah saya ini saya wakafkan untuk perluasan masjid”, maka tidak sah wakafnya karena hal itu melemahkan niat. Namun  pendapat yang lebih kuat bahwa itu diperbolehkan karena hukum asal akad adalah diperbolehkan. [6]Lihat Mudzakkirah Fiqh, 3/12-13.

Pembagian Wakaf

Secara umum wakaf terbagi menjadi dua macam :

1. Wakaf untuk proyek kebaikan.

Misalnya untuk pembangunan masjid,  pondok pesantren, jembatan, kepentingan fakir miskin, para penuntut ilmu, dan semisalnya.

2. Wakaf untuk person tetentu.

Misalnya seseorang mewakafkan rumah untuk saudaranya, sahabatnya, atau semisalnya, sebagaimana Shafiyyah Ummul Mukminin pernah mewasiatkan sebagian hartanya untuk saudara laki-lakinya seorang Yahudi. [7]Lihat al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat, hlm. 248.

Macam-macam Shigah Wakaf

Shighah (ungkapan) yang digunakan dalam akad wakaf  terbagi menjadi dua macam :

1. Shighah Qauliyah

Shighah Qauliyah [8]Shighah Qauliyah terbagi menjadi dua : 1. Sharih, yaitu ucapan yang  secara jelas menunjukkan makna wakaf, misalnya seseorang mengatakan, “Saya wakafkan tanah saya ini untuk pembangunan … Continue reading, yaitu ungkapan dalam akad wakaf berupa ucapan, misalnya seseorang mengatakan, “Saya wakafkan rumah saya ini untuk asrama para penuntut ilmu.”

2. Shighah Fi’liyyah

Shighah Fi’liyyah, yaitu setiap perbuatan yang menunjukkan kepada makna wakaf. Misalnya seseorang membuat bangunan, lalu mengadakan mihrab dan mimbar di dalamnya, kemudian mempersilahkan orang-orang untuk shalat di dalamnya, maka bangunan tersebut  dihukumi wakaf berupa masjid, meskipun orang tersebut tidak mengucapkan lafadz yang menunjukkan akad wakaf secara eksplisit. [9]Lihat Mudzakkirah Fiqh 3/8.

Beberapa Ketentuan Seputar Wakaf

Ada beberapa ketentuan seputar wakaf, di antaranya adalah sebagai berikut :

1. Wajib menerapkan persyaratan yang disampailan oleh pewakaf selama tidak menyelisihi syari’at [10]Jika seseorang mewakafkan  hartanya untuk kepentingan kaum fakir miskin maka tidak boleh disalurkan untuk para mujahidin, demikian pula sebaliknya. (Mudzakkirah Fiqh, 3/14)..

Jika pewakaf mempersyaratkan kadar tertentu dari hartanya untuk diwakafkan, atau mempersyaratkan sifat tertentu dari pihak penerima wakaf, atau mempersyaratkan didahulukannya sebagian penerima wakaf atas sebagian lainnya, atau syarat-syarat lainnya, maka pada prinsipnya wajib untuk menunaikan syarat-syarat tersebut selama tidak menyelisihi Al Qur’an dan As-Sunnah [11]Contoh persyaratan dalam wakaf yang menyelisihi syariat adalah apabila seseorang mewakafkan hartanya setelah ia meninggal untuk anak laki-lakinya, karena itu termasuk wasiat untuk ahli waris yang … Continue reading.

Berdasarkan firman Allah ﷻ :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ

“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.” (QS. Al Maaidah : 1). [12]QS. Al Maaidah : 1

Dalam ayat ini Allah ﷻ memerintahkan untuk menunaikan akad, ini mencakup perintah menunaikan asal akad demikian pula sifatnya, di antara sifat akad adalah persyaratan yang terkandung di dalamnya.” [13]Lihat al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat hlm. 252.

Demikian pula berdasarkan sabda Nabi ﷺ : 

وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

“Kaum muslimin terikat dengan persyaratan yang mereka sepakati,kecuali syarat yang mengharamkan perkara yang halal atau menghalalkan perkara yang haram.” (HR. Abu Dawud no. 3594 dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu. Hadits ini disahahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam Irwa’ al-Ghalil no. 1303.) [14]HR. Abu Dawud no. 3594 dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu. Hadits ini disahahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam Irwa’ al-Ghalil no. 1303.

Demikian pula ‘Umar bin Khatthab radhiyallahu’anhu menyebutkan beberapa persyaratan ketika mewakafkan tanahnya, sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu’anhuma yang telah lewat :

فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ فِي الْفُقَرَاءِ وَفِي الْقُرْبَى وَفِي الرِّقَابِ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَالضَّعِيْفِ، لاَ جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ أَوْ يُطْعِمَ صَدِيقًا غَيْرَ مُتَحَوِّلٍ فِيْهِ

“Umar menyedekahkan (hasil pengelolaan tanahnya) kepada orang-orang fakir, karib kerabat, hamba sahaya, orang yang berperang di jalan Allah ﷻ, musafir yang kehabisan bekal, dan orang yang lemah. Pengelolanya boleh makan darinya dengan sewajarnya atau diberikan kepada temannya, serta tidak boleh dikomersialkan.” (HR. Bukhari no. (2737) dan Muslim no. (1633).) [15]HR. Bukhari no. (2737) dan Muslim no. (1633).

2. Wakaf termasuk akad lazim [16]al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat hlm. 257. (mengikat) dan tidak bisa dibatalkan baik dengan iqalah [17]Iqalah adalah membatalkan akad dengan persetujuan pihak-pihak pembuat akad. (Lihat al-Fiqh al-Muyassar fi Dhau’ al-Kitab wa as-Sunnah hlm. 217) atau selainnya.

Berdasarkan sabda Nabi ﷺ :

وَتَصَدَّقْتَ بِهَا غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يُبَاعُ أَصْلُهَا وَلاَ يُوْهَبُ وَلاَ يُوْرَثُ

“Dan engkau sedekahkan (manfaatnya), akan tetapi tidak dijual, tidak dihibahkan, dan tidak diwariskan.” (HR. Bukhari no. (2737) dan Muslim no. (1633).) [18]HR. Bukhari no. (2737) dan Muslim no. (1633).

Dan sabda Nabi ﷺ : 

الْعَائِدُ فِيْ هِبَتِهِ كَالْكَلْبِ يَقِيْءُ ثُمَّ يَعُوْدُ فِيْ قَيْئِهِ

“Orang yang menarik kembali hibahnya seperti seekor anjing yang muntah lantas memakan kembali muntahannya tersebut.” (HR. Bukhari no. (2622)) [19]HR. Bukhari no. (2622)

Demikian pula tidak ada khiyar majelis dalam akad wakaf [20]Khiyar majelis adalah hak yang dimiliki penjual dan pembeli untuk meneruskan atau membatalkan akad selama keduanya masih berada di tempat terjadinya akad dan belum berpisah. (al-Fiqh al-Muyassar fi … Continue reading, karena khiyar majelis hanya ada dalam jual beli atau yang semakna dengannya, sedangkan wakaf tidak termasuk kategori jual beli atau yang semakna dengannya. [21]al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat hlm. 257.

Adapun khiyar syarat maka bisa diterapkan dalam akad wakaf [22]Ibid.. Misalnya, seseorang mewakafkan hartanya dengan syarat memiliki hak khiyar selama tiga hari, dalam jangka waktu tersebut ia bisa meneruskan atau membatalkan wakaf, hal itu diperbolehkan. 

Dan jika seseorang mewakafkan hartanya dengan syarat bisa membatalkannya maka ini pun diperbolehlan [23]Ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah . (al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat hlm. 257)..

Hal ini berdasarkan keumuman sabda Nabi ﷺ :

وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

“Kaum muslimin terikat dengan persyaratan yang mereka sepakati,kecuali syarat yang mengharamkan perkara yang halal atau menghalalkan perkara yang haram.” (HR. Abu Dawud no. 3594 dari Abu Hurairah radiyallahu’anhu. Hadits ini disahahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam Irwa’ al-Ghalil no. 1303.) [24]HR. Abu Dawud no. 3594 dari Abu Hurairah radiyallahu’anhu. Hadits ini disahahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam Irwa’ al-Ghalil no. 1303.

3. Perlu adanya nazhir dalam wakaf

Yaitu pihak yang mengurusi barang wakaf baik menjaganya, memeliharanya, dan mengembangkannya.  Yang paling berhak menjadi nazhir adalah pewakaf itu sendiri atau orang yang ia tunjuk menjadi nazhir. Jika nazhir meninggal atau tidak ada penunjukan dari pewakaf maka ada perincian sebagai berikut :

Apabila wakaf tersebut untuk proyek yang bersifat umum

Seperti masjid atau untuk pihak yang tidak terbatas, seperti kaum fakir miskin, maka yang berhak menjadi nazhir adalah pemerintah kaum muslimin. Dan pemerintah boleh mewakilkannya kepada siapa saja yang dipandang layak untuk mengurusi wakaf.

Wakaf untuk orang tertentu

Adapun jika wakaf itu untuk orang (person) tertentu, maka yang berhak menjadi nazhir adalah penerima wakaf itu sendiri, karena wakaf tersebut terkait langsung dengan kepentingannya. [25]Lihat al-Fiqh al-Muyassar 6/254 dan Mudzakkirah Fiqh 3/14.

4. Nazhir wakaf berhak mendapatkan upah dari pekerjaannya mengurusi wakaf.

Apabila besaran upah telah ditentukan oleh pewakaf maka itulah yang berhak ia dapatkan. Adapun jika tidak ada ketentuan dari pewakaf maka besarannya ditentukan oleh qadhi (hakim) sesuai ujrah mitsl, yaitu upah standar menurut kebiasaan yang ada di daerah setempat. [26]Lihat al-Fiqh al-Muyassar 6/255.

5. Diperbolehkan membatalkan wakaf yang dikaitkan dengan kematian selama pewakaf masih hidup.

Misalnya seseorang mengatakan, “Tanah ini saya wakafkan setelah saya meninggal.” Dalam kasus ini, pewakaf boleh membatalkan wakafnya selama ia masih hidup. Karena wakaf semisal ini  termasuk kategori wasiat, sedangkan wasiat belum mengikat sebelum pemberi wasiat meninggal. [27]Lihat al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat hlm. 257.

6. Diperbolehkan mewakafkan barang yang bisa dipindah-pindahkan, seperti mushaf, buku-buku,  persenjataan, hewan ternak, dan semisalnya.

Berdasarkan hadits Abu Hurairah radiyallahu’anhu, di mana Rasulullah ﷺ bersabda :

وَأَمَّا خَالِدٌ فَقَدْ اِحْتَبَسَ أَدْرَاعَهُ وَأَعْتَادَهُ فِي سَبِيْلِ اللهِ

“Adapun Kholid, dia telah mewakafkan baju-baju besi dan peralatan perangnya di jalan Allah.” (HR. Bukhari no. (688) dan Muslim no. (1468).) [28]HR. Bukhari no. (688) dan Muslim no. (1468).

7. Wakaf dengan jumlah penerima yang terbatas

Apabila seseorang mewakafkan hartanya untuk sejumlah orang dengan jumlah penerima terbatas, maka pemanfaatan wakaf wajib diratakan kepada seluruh penerima secara adil. Misalnya wakaf untuk para penuntut ilmu di masjid tertentu atau kaum fakir miskin di kampung terentu.

Adapun jika penerima wakaf tidak terbatas maka pemanfaatannya tidak harus diratakan, karena hal itu tidak memungkinkan, dan diperbolehkan mencukupkan dengan sebagian penerima saja, diperbolehkan pula sebagian penerima mendapatkan manfaat lebih banyak daripada yang lain, misalnya wakaf untuk para penuntut ilmu secara umum, atau kaum  fakir miskin secara umum, untuk Bani Hasyim, atau semisalnya. [29]Lihat al-Mulakhash al-Fiqhiy 2/167

8. Pada prinsipnya barang wakaf tidak boleh dijual atau dipindah dari tempatnya semula

Kecuali jika barang wakaf tersebut tidak memungkinkan lagi untuk dimanfaatkan atau terlalu sulit untuk memanfaatkannya. Ketika itu boleh dijual untuk disalurkan ke wakaf semisalnya. Contohnya masjid yang sudah ditinggalkan penduduknya maka boleh dijual untuk membangun penggantinya atau membangun masjid lainnya. Demikian pula jika ada tanah wakaf sempit di pelosok desa yang sulit untuk di ambil manfaatnya, boleh dijual untuk disalurkan ke wakaf semisalnya yang lebih maslahat. Atau karpet masjid yang sudah tidak terpakai dan jika dibiarkan akan semakin rusak, maka boleh dijual untuk dibelikan karpet baru sehingga bisa dimanfaatkan. [30]Lihat al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat hlm. 257-258, dan al-Mulakhash al-Fiqhiy 2/167.

Wallahu a’lam.

Disusun oleh Ustadz Abu Muslim Nurwan Darmawan, B.A., حفظه الله تعالى

Artikel Alukhuwah.Com

Referensi

Referensi
1 al-Fiqh al-Muyassar fi Dhau’ al-Kitab wa as-Sunnah, hlm. 267.
2 Sebagian ulama’ mempersyaratkan untuk barang yang diwakafkan harus berupa barang yang tidak habis ketika dimanfaatkan, sehingga tidak sah mewakafkan air, makanan, minyak, dan semisalnya, karena barang-barang tersebut habis ketika dimanfaatkan. Namun pendapat yang lebih kuat bahwa hal itu diperbolehkan. Demikian pula sebagian ulama’ mempersyaratkan bahwa wakaf harus berupa barang, tidak sah jika berupa manfaat. Namun pendapat yang lebih kuat diperbolehkan wakaf berupa manfaat, sehingga jika seseorang menyewa rumah selama 10 tahun, kemudian mewakafkan manfaat rumah itu untuk para penuntut ilmu maka itu diperbolehkan. (Lihat Mudzakkirah Fiqh, 3/10-11).
3 Lihat al-Mulakhas al-Fiqhiy, 2/165.
4, 7 Lihat al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat, hlm. 248.
5 Dengan demikian diperbolehkan seseorang mewakafkan barang untuk pihak tertentu yang mempunyai kapasitas memiliki, misalnya wakaf untuk anaknya, saudaranya, sahabatnya, dan semisalnya, karena tujuan wakaf adalah untuk memberikan manfaat kepada orang tersebut. Demikian pula diperbolehkan wakaf untuk orang kafir dzimmi tertentu karena mereka mempunyai kapasitas untuk memiliki, misalnya seseorang mengatakan, “Saya wakafkan rumah saya untuk saudara laki-lakiku yang masih kafir dzimmi”, adapun jika ia mengatakan, “Saya wakafkan rumah saya untuk orang-orang kafir dzimmi”, maka tidak sah karena pihak penerima wakaf tidak tertentu. (Lihat Mudzakkirah Fiqh 3/11-12).
6 Lihat Mudzakkirah Fiqh, 3/12-13.
8 Shighah Qauliyah terbagi menjadi dua : 1. Sharih, yaitu ucapan yang  secara jelas menunjukkan makna wakaf, misalnya seseorang mengatakan, “Saya wakafkan tanah saya ini untuk pembangunan Pondok Pesantren.” 2. Kinayah, yaitu ucapan yang tidak secara jelas menunjukkan makna wakaf, bisa bermakna wakaf dan bisa juga bermakna selainnya, misalnya lafadz shadaqah, dengan mengatakan, “Saya shadaqahkan rumah saya ini untuk fakir miskin.” Lafadz kinayah tersebut dihukumi bermakna wakaf jika orang yang mengucapkannya memang meniatkan untuk wakaf, atau ditambahkan lafadz lainnya yang menunjukkan makna wakaf, misalnya dengan mengatakan, “Saya sedekahkan rumah saya ini untuk kepentingan fakir miskin berupa sedekah yang tidak bisa dijual.” (Lihat Mudzakkirah Fiqh 3/7-8, dan al-Fiqh al-Muyassar 6/242).
9 Lihat Mudzakkirah Fiqh 3/8.
10 Jika seseorang mewakafkan  hartanya untuk kepentingan kaum fakir miskin maka tidak boleh disalurkan untuk para mujahidin, demikian pula sebaliknya. (Mudzakkirah Fiqh, 3/14).
11 Contoh persyaratan dalam wakaf yang menyelisihi syariat adalah apabila seseorang mewakafkan hartanya setelah ia meninggal untuk anak laki-lakinya, karena itu termasuk wasiat untuk ahli waris yang dilarang oleh Nabi ﷺ, sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Abu Dawud no. (2853), Tirmidzi no. (2203), Ibnu Majah no. (2713), dan dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah no. (2193).
12 QS. Al Maaidah : 1
13 Lihat al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat hlm. 252.
14 HR. Abu Dawud no. 3594 dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu. Hadits ini disahahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam Irwa’ al-Ghalil no. 1303.
15, 18 HR. Bukhari no. (2737) dan Muslim no. (1633).
16, 21 al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat hlm. 257.
17 Iqalah adalah membatalkan akad dengan persetujuan pihak-pihak pembuat akad. (Lihat al-Fiqh al-Muyassar fi Dhau’ al-Kitab wa as-Sunnah hlm. 217)
19 HR. Bukhari no. (2622)
20 Khiyar majelis adalah hak yang dimiliki penjual dan pembeli untuk meneruskan atau membatalkan akad selama keduanya masih berada di tempat terjadinya akad dan belum berpisah. (al-Fiqh al-Muyassar fi Dhau’ al-Kitab wa as-Sunnah, hlm. 213).
22 Ibid.
23 Ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah . (al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat hlm. 257).
24 HR. Abu Dawud no. 3594 dari Abu Hurairah radiyallahu’anhu. Hadits ini disahahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam Irwa’ al-Ghalil no. 1303.
25 Lihat al-Fiqh al-Muyassar 6/254 dan Mudzakkirah Fiqh 3/14.
26 Lihat al-Fiqh al-Muyassar 6/255.
27 Lihat al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat hlm. 257.
28 HR. Bukhari no. (688) dan Muslim no. (1468).
29 Lihat al-Mulakhash al-Fiqhiy 2/167
30 Lihat al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat hlm. 257-258, dan al-Mulakhash al-Fiqhiy 2/167.
Back to top button