Fiqih: Mengenal Air Musta’mal

Di dalam Fiqih Islam tentang pembagian air ada istilah “air musta’mal”. Air musta’mal sering diterjemahkan dengan kalimat “air bekas untuk bersuci”. Terjemah ini bisa dikatakan cukup mewakili istilah air musta’mal menurut Fiqih akan tetapi masih perlu penjelasan tambahan.

Para ulama ahli Fiqih menerima adanya air musta’mal ini. Mereka hanya berbeda pendapat tentang perinciannya ; misalnya apakah boleh bersuci menggunakan air musta’mal ini ?

Gambaran Air Musta’mal

Kata ‘bersuci’ menurut istilah Fiqih berlaku untuk dua hal ; pertama menghilangkan najis, ke dua menghilangkan hadats. Kita ambil contoh salah satu bentuk bersuci adalah wudhu.

Yang dimaksud dengan air musta’mal adalah air yang menetes dari anggota badan yang dibasuh air ketika wudhu. Misalnya air yang menetes dari muka atau menetes dari tangan atau menetes dari kaki.

Begitu juga dalam hal mandi junub ; air yang menetes dari seluruh badan yang disiram air ketika mandi junub maka itu juga disebut dengan air musta’mal.

Dalil Adanya Air Musta’mal

Bisa dikatakan dalil dari air musta’mal ini adalah kesimpulan dari amalan Nabi dan para sahabatnya. Penjelasannya demikian :

Pertama, Nabi dan para sahabat adalah orang-orang yang hemat dalam penggunaan air.

Ke dua, dalam keadaan yang seperti itu ; tidak ada keterangan di dalam hadits-hadits bahwa mereka mengumpulkan tetesan-tetesan atau bekas-bekas aliran air yang mengalir dari badan ketika wudhu. Mereka membuangnya begitu saja.

Dengan demikian ada satu jenis air yang secara zatnya suci akan tetapi tidak bisa lagi digunakan untuk bersuci. Inilah yang disebut dengan air musta’mal itu.

Dalil Sucinya Air Musta’mal

Menurut Dr. Musthafa Dib Al-Bugha, dalil yang mengisyaratkan bahwa air musta’mal itu suci adalah hadits riwayat Bukhari dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata :

“Rasulullah menjengukku ketika aku sakit dalam keadaan tidak sadarkan diri. Kemudian Nabi wudhu, dan menyiramkan air bekas wudhunya kepadaku.”

Begitu juga bisa diketahui dari praktek para salaf dalam menyikapi air musta’mal. Di dalam kitab Al-Iqna’ Fi Halli Alfazhi Abi Syuja’ disebutkan :

أما كَونه طَاهِرا فَلِأَن السّلف الصَّالح كَانُوا لَا يحترزون عَمَّا يتطاير عَلَيْهِم مِنْهُ

“Adapun status air musta’mal dikatakan suci ; karena para salafus shalih mereka tidak menghindar dari percikan air musta’mal yang mengenai badan mereka …”

Apakah Air Musta’mal Bisa Digunakan Untuk Bersuci ?

Di dalam kitab Bidayatul Mujtahid disebutkan beberapa pendapat ulama tentang air musta’mal ; apakah masih bisa digunakan untuk bersuci atau tidak ?

Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i ; air musta’mal tidak bisa lagi digunakan untuk bersuci.

Sedangkan menurut Imam Malik ; air musta’mal masih bisa digunakan untuk bersuci akan tetapi makruh. Imam Malik dan murid-muridnya berpendapat ; jika masih ada air musta’mal maka tidak boleh tayamum.

Sedangkan menurut Imam Abu Tsaur dan Dawud Az-Zhahiri ; air musta’mal sama seperti air mutlak, yaitu suci dan bisa digunakan untuk bersuci.

Para Sahabat Nabi Tidak Menggunakan Air Musta’mal Untuk Bersuci

Setelah mengetahui beberapa pendapat ulama tentang penggunaan air musta’mal ; ada satu hal yang bisa dikatakan besar kemungkinannya atau bahkan dapat dipastikan adalah para sahabat Nabi membiarkan air musta’mal terbuang.

Di dalam kitab Kifayatul Akhyar disebutkan :

الله تَعَالَى عَنْهُم مَعَ شدَّة اعتنائهم بِالدّينِ مَا كَانُوا يجمعونه ليتوضؤوا بِهِ ثَانِيًا وَلَو كَانَ ذَلِك سائغاً لفعلوه

“Karena para sahabat Nabi ; bersamaan dengan sikap mereka yang sangat menjaga ajaran agama ternyata mereka tidak mengumpulkan air musta’mal tersebut untuk wudhu yang ke dua. Seandainya hal itu boleh pasti mereka melakukannya …”

Di dalam kitab Al-Iqna’ Fi Halli Alfazhi Abi Syuja’ juga disebutkan :

أما دَلِيل إِنَّه غير مطهر لغيره فَلِأَن السّلف الصَّالح كَانُوا مَعَ قلَّة مِيَاههمْ لم يجمعوا ‌الْمُسْتَعْمل للاستعمال ثَانِيًا بل انتقلوا إِلَى التَّيَمُّم

“Adapun dalil bahwa air musta’mal tidak bisa digunakan untuk bersuci adalah karena para salafus shalih mereka tidak mengumpulkan air musta’mal untuk bersuci yang ke dua di saat persediaan air sediki. Akan tetapi ketika tidak ada air mereka tayamum …”

Maksudnya para sahabat Nabi Muhammad pasti memahami bahwa dalam menggunakan air tidak boleh boros. Akan tetapi mereka membuang begitu saja air musta’mal. Hal ini diketahui oleh Nabi dan tidak ada pengingkaran dari Nabi. Ini membuktikan bahwa air musta’mal tidak bisa lagi digunakan untuk bersuci.

Sehingga kesimpulan ini mendukung pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i rahimahumallah.

Air musta’mal yang terkumpul sampai sebanyak ‘dua kullah’ maka air tersebut bisa digunakan untuk bersuci.

Diantara hukum Fiqih berkaitan dengan air musta’mal ; menurut mazhab Syafi’i adalah jika air musta’mal dikumpulkan sampai ukurannya menjadi 2 kullah maka air tersebut bisa digunakan untuk bersuci.

Di dalam kitab Fathul Mu’in disebutkan :

فإن جمع ‌المستعمل فبلغ قلتين فمطهر

“Jika air musta’mal dikumpulkan dan mencapai dua kullah ; maka air tersebut bisa digunakan untuk bersuci …”

Dalil tentang ukuran air dua kullah ini adalah hadits. Al-Hafizh Ibnu Hajar juga mencantumkannya di dalam kitab Bulughul Maram. Dan hadits ini diterima serta diamalkan mazhab Syafi’i.

Ulama berbeda pendapat dalam menentukan ukuran ‘dua kullah’ ke dalam satuan liter. Ada pendapat yang menyatakan bahwa 2 kullah sama dengan 160,5 liter.

Maka menurut mazhab Syafi’i ; jika air musta’mal dikumpulkan hingga menjadi 160, 5 liter atau lebih ; air tersebut bisa digunakan untuk bersuci. Adapun jika kurang dari itu maka airnya suci akan tetapi tidak bisa dipakai untuk bersuci. Bisa dimanfaatkan untuk keperluan yang lain misalnya menyirami tanaman.

Hukum Menyelupkan Tangan ke Dalam Bejana atau Gayung Ketika Wudhu

Termasuk masalah Fiqih yang perlu dibahas berkaitan dengan air musta’mal adalah hukum memasukkan air ke wadah atau gayung yang berisi air ketika wudhu dari gayung tersebut.

Yang menjadi masalah adalah apakah dengan menyelupkan tangan ke dalam gayung yang berisi air tersebut kemudian menjadikan air yang di dalam gayung menjadi musta’mal sehingga tidak bisa lagi digunakan untuk bersuci ?

Berkaitan dengan hal ini maka menurut apa yang disebutkan di dalam kitab-kitab Fiqih mazhab Syafi’i ; air di dalam gayung tersebut tidak berubah menjadi musta’mal dengan syarat ketika menyelupkan tangan niatnya adalah untuk mengambil air bukan untuk mensucikan tangan itu.

Salah satunya apa yang disebutkan di dalam kitab Umdatus Salik wa ‘Uddatun Nasik disebutkan :

ولو أدخل متوضئٌ يده بعد غسل وجهه مرة، أو جُنبٌ بعد النية، في دون القلتين فاغترف ونوى ‌الاغتراف، لم يضره

“Seandainya orang yang wudhu atau orang yang junub, setelah niat bersuci ; memasukkan tangannya setelah dia membasuh wajahnya satu kali ; ke dalam air yang kurang dari dua kullah, lalu dia mengambil air dengan niat mengambil air maka hal itu tidak membahayakan air tersebut …”

Maksudnya tidak masalah wudhu menggunakan air yang ada di dalam gayung atau wadah yang lain. Asalkan ketika menyelupkan tangan ke dalam gayung niatnya menjadikan tangan sebagai alat mengambil air.

Karena sekali lagi yang merupakan air musta’mal adalah air yang menetes dari anggota badan yang dibasuh ketika wudhu. Maka wudhu dengan cara di atas tidak menjadikan sisa air di dalam gayung menjadi musta’mal.

Begitu juga satu tetes atau dua tetes air yang masuk ke dalam air juga tidak menjadikan air tersebut musta’mal.

Wallahu a’lam

Referensi :

  1. Kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid.
  2. Kitab Bulughul Maram, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar.
  3. Kitab ‘Umdatus Salik wa ‘Uddatun Nasik, karya Syihabuddin Ahmad bin Naqib.
  4. Kitab Kifayatul Akhyar Fi Halli Ghayatil Ikhtishar.
  5. Kitab Al-Iqna’ Fi Halli Alfazhi Abi Syuja’.
  6. Kitab Fathul Mu’in.

Disusun oleh Fajri Nur Setyawan, Lc

Artikel Ilmiyah Alukhuwah.Com

Back to top button