Fiqih Muamalat: Hibah bagian 1

A. Definisi Hibah

Hibah secara bahasa berasal dari ungkapan hububu ar-riih (berlalunya angin). Sisi munasabah (kesesuaian) ungkapan itu dengan makna hibah itu sendiri adalah bahwa barang yang dihibahkan itu berlalu (berpindah) dari si pemberi kepada penerima hibah. [1]Lihat Mudzakkirah Fiqh, 3/101. Sedangkan makna ittihab adalah menerima hibah, dan makna istihab adalah meminta hibah [2]Al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat, hlm. 260..

Adapun makna hibah secara Istilah adalah pemberian harta dari seorang yang masih hidup kepada orang lain tanpa adanya imbalan. [3]Mausu’ah al-Fiqh al-Islamiy, 3/659. Misalnya seseorang memberikan uang, makanan, pakaian, atau harta lainnya kepada orang lain. [4]Di antara bentuk hibah adalah shadaqah yaitu pemberian dalam rangka mendapatkan pahala di akhirat. Demikian pula hadiah yaitu pemberian dalam rangka memuliakan atau kecintaan. Ketentuan hukum dalam … Continue reading

Syaikh Abu Bakr Jabir Al Jazairi rahimaullah berkata, “Hibah adalah sumbangan dari seorang yang rasyid [5]Rasyid adalah seorang yang mahir dalam membelanjakan hartanya. (Lihat Mu’jam Lughah al-Fuqaha’, hlm. 199). dengan apa yang ia miliki berupa harta atau barang mubah, misalnya seorang muslim memberikan rumah, baju, atau makanan kepada orang lain, atau memberikan dirham atau dinar.” [6]Minhaj al-Muslim, hlm. 333.

B. Hukum Hibah

Memberikan hibah hukumnya sunnah apabila seseorang melakukannya dalam rangka mencari pahala dari Allah ﷻ, misalnya seseorang memberikan sebagian hartanya kepada orang shalih, orang fakir, atau karib kerabatnya. [7] Lihat al-Fiqh al-Muyassar fi Dhau’ al-Kitab wa as-Sunnah, hlm. 269. Karena hal itu termasuk perbuatan ihsan dan sifat pemurah, sebagaimana Nabi ﷺ adalah orang yang sangat pemurah. [8]Mudzakkirah al-Fiqh, 3/102.

Syaikh Abu Bakr Jabir Al Jazairi rahimahullah berkata, “Hibah sebagaimana hadiah hukumnya disunnahkan, karena keduanya termasuk kebaikan yang dianjurkan dan saling berlomba untuk mengerjakannya.” [9] Minhaj al-Muslim, hlm. 334.

Adapun menerima hibah hukum asalnya pun disunnahkan, karena di antara sifat Nabi ﷺ adalah menerima hadiah dan membalasnya. [10] Di antara syarat bolehnya menerima hibah adalah bahwa hibah itu tidak diberikan karena malu. Hal itu karena setiap akad dipersyaratkan adanya keridhaan secara lahir maupun batin. Sedangkan … Continue reading Demikian pula, menerima hadiah akan semakin menambah rasa saling mencintai, karena jika pemberian itu ditolak maka akan muncul berbagai prasangka dari  si pemberi, dan ia akan bertanya-tanya mengapa pemberiannya ditolak, apakah hartanya dinilai haram atau prasangka-prasangka negatif lainnya. [11] Adakalanya wajib menolak hadiah, misalnya hadiah yang bertujuan sebagai suap, hadiah dari penguasa kepada ahli ilmu dalam rangka meraih tujuan dunia, dan hadiah orang yang berhutang kepada … Continue reading

Di antara dalil yang menunjukkan anjuran memberikan hibah adalah firman Allah ﷻ:

وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

“Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya  Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al Baqarah : 195).

Dan dalil dari As-Sunnah di antaranya hadits Abu Hurairah رضي الله عنه:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : « تَهَادَوْا تَحَابُّوْا »

Dari Abu Hurairah رضي الله عنه sesungguhnya Rasulullah ﷺ bersabda, “Hendaklah kalian saling memberi hadiah, maka kalian akan saling mencintai.” [12] HR. Baihaqi 6/169, dan dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam Irwaul Ghalil, no. (1601).

Demikian pula hadits ‘Aisyah رضي الله عنها:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ:  كَانَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْبَلُ الْهَدِيَّةَ ويُثِيْبُ عَلَيْهَا.

Dari ‘Aisyah رضي الله عنها berkata, “Rasulullah ﷺ biasa menerima hadiah dan membalasnya.” [13] HR. Bukhari no. (2585).

Para ulama’ pun telah bersepakat atas dianjurkannya memberikan hibah dengan seluruh macamnya, karena di dalamnya terkandung makna saling tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan serta menebarkan rasa saling mencintai dan menyayangi di antara manusia. [14] Tuhfatu al-Fuqaha’ 3/253, al-Mabsuth 12/47, al-Mughni ma’a as-Syarh al-Kabir 6/246, Mughni al-Muhtaj 2/396, sebagaimana disebutkan dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah 42/121.

Demikian pula, disyari’atkannya hibah itu selaras dengan nazhar (pertimbangan akal), karena dengannya akan menjadi sebab kelembutan dan persatuan hati, serta menghilangkan dendam dan kebencian di antara manusia, itu semua termasuk tujuan di dalam syari’at ini. [15] Lihat al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat, hlm. 260.

C. Rukun Hibah

Ada empat rukun hibah, yaitu [16] Lihat al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah 42/122, dan al-Fiqh al-Muyassar Qism al-Mu’amalat, hlm. 258-259. :

  1. Al-Wahib, yaitu pemberi hibah.
  2. Al-Mauhub Lahu, yaitu penerima hibah.
  3. Al-Mauhub, yaitu barang yang dihibahkan.
  4. As-Shighah, yaitu lafadz yang digunakan dalam akad hibah, berupa ijab [17] Ijab disini berupa ungkapan dari si pemberi hibah. Ijab dianggap sah dengan lafadz atau perbuatan apa saja yang menunjukkan makna pemberian, misalnya seseorang mengatakan, “Saya hibahkan … Continue reading dan qabul [18] Qabul di sini berupa ungkapan dari orang yang diberi hibah  untuk menerima barang yang dihibahkan, misalnya ia mengatakan, “Saya terima barang yang engkau hibahkan” atau ungkapan … Continue reading dari pemberi dan penerima hibah. 

D. Syarat Sah Hibah

Para fuqaha’ menyebutkan beberapa syarat untuk keabsahan hibah sebagaimana rincian berikut ini :

  1. Pemberi hibah adalah seorang yang jaiz tasharruf (memiliki kompetensi untuk bertransaksi), yaitu seorang yang merdeka [19] Seorang budak tidak sah memberikan hibah kecuali dengan seizin tuannya, karena budak dan hartanya adalah milik tuannya. Adapun sekedar menerima hibah maka diperbolehkan meskipun tanpa seizin … Continue reading, berakal, baligh [20] Seorang anak kecil yang belum baligh tidak sah memberikan hibah, baik diizinkan walinya ataukah tidak,  karena ia dicegah dari membelanjakan hartanya demi kemaslahatannya sendiri. (Lihat … Continue reading, dan rasyid (mahir membelanjakan hartanya). Oleh karena itu, seorang budak tidak sah memberikan hibah kecuali dengan seizin tuannya, orang gila tidak sah hibahnya secara mutlaq, anak kecil tidak sah memberikan hibah kecuali barang yang ringan sesuai kebiasaan yang ada, demikian pula seorang yang safih (tidak mahir membelanjakan harta) tidak sah hibahnya kecuali dengan barang yang ringan sesuai kebiasaan yang ada. [21] al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat, hlm. 260.
  2. Pemberi hibah adalah pemilik barang yang dihibahkan, maka tidak sah menghibahkan barang milik orang lain tanpa seizinnya. [22] al-Fiqh al-Muyassar Qism al-Mu’amalat, hlm. 260-261.
  3. Hibah diberikan dengan keinginan si pemberi itu sendiri, tanpa adanya paksaan. [23]  al-Fiqh al-Muyassar fi Dhau’ al-Kitab wa as-Sunnah, hlm. 269.
  4. Penerima hibah memiliki kapasitas untuk memiliki. [24] Yang memilki kapasitas untuk memiliki adalah bani adam, dan tidak dipersyaratkan harus baligh maupun berakal. Oleh karena itu tidak sah jika hibah diberikan kepada benda mati, tumbuhan, hewan, … Continue reading
  5. Penerima hibah ada ketika terjadinya akad hibah. Adapun jika penerima hibah tidak ada ketika itu maka tidak sah hibahnya, misalnya seseorang di zaman ini berkata,”Saya hibahkan barang saya ini untuk ‘Umar bin Abdul ‘Aziz.” [25] Mudzakkirah Fiqh, 3/102.
  6. Adanya penerimaan dari orang yang diberi hibah, karena hibah termasuk akad memindahkan kepemilikan sehingga perlu adanya ijab dan qabul. [26] al-Fiqh al-Muyassar fi Dhau’ al-Kitab wa as-Sunnah, hlm. 269. Adapun jika orang yang diberi hibah menolak maka tidak sah hibahnya. [27] Mudzakkirah Fiqih, 3/103.
  7. Tidak ada imbalan dari hibah karena keberadaannya semata-mata pemberian. [28] Apabila pemberi hibah mempersyaratkan adanya imbalan atas hibah yang ia berikan maka itu termasuk kategori jual beli. (al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat, hlm. 261).
  8. Hibah tersebut tidak berbentuk risywah (suap). [29]al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat, hlm. 261.

Bersambung insyaa Allah …

Disusun oleh Ustadz Abu Muslim Nurwan Darmawan, B.A., حفظه الله تعالى

Artikel Alukhuwah.Com

Referensi

Referensi
1 Lihat Mudzakkirah Fiqh, 3/101.
2 Al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat, hlm. 260.
3 Mausu’ah al-Fiqh al-Islamiy, 3/659.
4 Di antara bentuk hibah adalah shadaqah yaitu pemberian dalam rangka mendapatkan pahala di akhirat. Demikian pula hadiah yaitu pemberian dalam rangka memuliakan atau kecintaan. Ketentuan hukum dalam shadaqah dan hadiah sama seperti hibah. (al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat, hlm. 269-270).
5 Rasyid adalah seorang yang mahir dalam membelanjakan hartanya. (Lihat Mu’jam Lughah al-Fuqaha’, hlm. 199).
6 Minhaj al-Muslim, hlm. 333.
7  Lihat al-Fiqh al-Muyassar fi Dhau’ al-Kitab wa as-Sunnah, hlm. 269.
8 Mudzakkirah al-Fiqh, 3/102.
9  Minhaj al-Muslim, hlm. 334.
10  Di antara syarat bolehnya menerima hibah adalah bahwa hibah itu tidak diberikan karena malu. Hal itu karena setiap akad dipersyaratkan adanya keridhaan secara lahir maupun batin. Sedangkan seseorang yang memberi hibah karena malu, hakikatnya ia ridha secara lahir namun tidak secara batin. (al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat, hlm. 267)
11  Adakalanya wajib menolak hadiah, misalnya hadiah yang bertujuan sebagai suap, hadiah dari penguasa kepada ahli ilmu dalam rangka meraih tujuan dunia, dan hadiah orang yang berhutang kepada pemberi hutang. (Lihat Mudzakirah Fiqih 3/102 dan al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat, hlm. 267).
12  HR. Baihaqi 6/169, dan dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam Irwaul Ghalil, no. (1601).
13  HR. Bukhari no. (2585).
14  Tuhfatu al-Fuqaha’ 3/253, al-Mabsuth 12/47, al-Mughni ma’a as-Syarh al-Kabir 6/246, Mughni al-Muhtaj 2/396, sebagaimana disebutkan dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah 42/121.
15  Lihat al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat, hlm. 260.
16  Lihat al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah 42/122, dan al-Fiqh al-Muyassar Qism al-Mu’amalat, hlm. 258-259. 
17  Ijab disini berupa ungkapan dari si pemberi hibah. Ijab dianggap sah dengan lafadz atau perbuatan apa saja yang menunjukkan makna pemberian, misalnya seseorang mengatakan, “Saya hibahkan barang ini kepadamu” atau, “Saya berikan barang ini kepadamu” atau, “Ambillah barang ini untukmu.” Demikian pula sah dengan sekedar perbuatan, misalnya seseorang yang pulang dari safar kemudian mengirimkan oleh-oleh untuk tetangga atau sahabatnya.” (Mudzakkirah Fiqh, 3/101)
18  Qabul di sini berupa ungkapan dari orang yang diberi hibah  untuk menerima barang yang dihibahkan, misalnya ia mengatakan, “Saya terima barang yang engkau hibahkan” atau ungkapan semisalnya. Qabul dianggap sah dengan lafadz atau perbuatan apa saja yang menunjukkan makna penerimaan hibah, misalnya dengan mengulurkan tangannya untuk menerima barang hibah tersebut.” (lihat Minhaj al-Muslim, hlm. 334).
19  Seorang budak tidak sah memberikan hibah kecuali dengan seizin tuannya, karena budak dan hartanya adalah milik tuannya. Adapun sekedar menerima hibah maka diperbolehkan meskipun tanpa seizin tuannya. (Lihat al-Fiqh al-Muyassar Qism al-Mu’amalat, hlm. 260, dan al-Fiqh al-Muyassar fi Dhau’ al-Kitab wa as-Sunnah, hlm. 146).
20  Seorang anak kecil yang belum baligh tidak sah memberikan hibah, baik diizinkan walinya ataukah tidak,  karena ia dicegah dari membelanjakan hartanya demi kemaslahatannya sendiri. (Lihat al-Fiqh al-Muyassar Qism al-Mu’amalat, hlm. 260)
21  al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat, hlm. 260.
22  al-Fiqh al-Muyassar Qism al-Mu’amalat, hlm. 260-261.
23   al-Fiqh al-Muyassar fi Dhau’ al-Kitab wa as-Sunnah, hlm. 269.
24  Yang memilki kapasitas untuk memiliki adalah bani adam, dan tidak dipersyaratkan harus baligh maupun berakal. Oleh karena itu tidak sah jika hibah diberikan kepada benda mati, tumbuhan, hewan, atau semisalnya. (Lihat Mudzakkirah Fiqih, 3/103).
25  Mudzakkirah Fiqh, 3/102.
26  al-Fiqh al-Muyassar fi Dhau’ al-Kitab wa as-Sunnah, hlm. 269.
27  Mudzakkirah Fiqih, 3/103.
28  Apabila pemberi hibah mempersyaratkan adanya imbalan atas hibah yang ia berikan maka itu termasuk kategori jual beli. (al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat, hlm. 261).
29 al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat, hlm. 261.
Back to top button