Fiqih: Luqathah (Barang Temuan)

Fiqih Luqathah (Barang Temuan)

Definisi Luqathah

Luqathah secara bahasa bermakna asy-syai’ al-malquth (sesuatu yang dipungut). [1]al-Fiqh al-Muyassar fi Dhau’ al-Kitab wa as-Sunnah, hlm. 264. Adapun secara istilah, luqathah adalah setiap harta yang tercecer dari pemiliknya kemudian diambil oleh orang lain. [2]Mausu’ah al-Fiqh al-Islamiy, 3/613. Misalnya seseorang menemukan uang atau pakaian di jalan yang dikhawatirkan rusak, kemudian ia mengambilnya. [3]Minhaj al-Muslim, hlm. 323.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Kata luqathah mengikuti wazan fu’alah yang bermakna sesuatu yang dipungut, yaitu ungkapan yang mencakup setiap mal (harta) atau mukhtash yang tercecer dari pemiliknya. Adapun yang dimaksud dengan mal adalah sesuatu yang bisa dikenakan akad padanya, sedangkan mukhtash adalah sesuatu yang tidak bisa dikenakan akad padanya. Yang pertama, misalnya uang, perkakas dan semisalnya, dinamakan dengan mal.

Adapun mukhtash adalah sesuatu yang tidak bisa dikenakan akad padanya, misalnya anjing, tidak disebut mal dan tidak sah untuk diperjualbelikan, akan tetapi di kalangan ahli ilmu dinamakan dengan mukhtash. Apabila seseorang menemukan anjing pemburu, maka itu termasuk luqathah dan jika seseorang menemukan jam tangan, pena dan semisalnya maka itu juga luqathah, akan tetapi yang ini dinamakan mal dan yang tadi dinamakan mukhtash. [4]Mudzakkirah Fiqh 2/411.

Rukun Luqathah

Luqathah memilki tiga rukun, yaitu :

  1. Al-Multaqith, yaitu orang yang menemukan barang temuan.
  2. Al-Luqathah, yaitu barang yang ditemukan.
  3. Al-Iltiqath, yaitu tindakan mengambil barang temuan. [5]al-Fiqh al-Muyassar Qism al-Mu’amalat, hlm. 230.

Hukum Mengambil Luqathah

Hukum asalnya, diperbolehkan mengambil barang temuan, [6]Fathu Dzi al-Jalali wa al-Ikram bi Syarh Bulugh al-Maram 4/332. berdasarkan hadits dari Zaid bin Khalid Al Juhani radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah ﷺ pernah ditanya tentang barang temuan berupa emas dan perak, maka beliau bersabda :

اِعْرِفْ وِكَاءَهَا وَعِفَاصَهَا، ثُمَّ عَرِّفْهَا سَنَةً، فَإِنْ لَمْ تَعْرِفْ فَاسْتَنْفِقْهَا، وَلْتَكُنْ وَدِيعَةً عِنْدَكَ، فَإِنْ جَاءَ طَالِبُهَا يَوْمًا مِنَ الدَّهْرِ فَأَدِّهَا إِلَيْهِ

“Kenalilah pengikat dan wadahnya, kemudian umumkanlah selama setahun, jika pemiliknya tidak diketahui maka manfaatkanlah, dan barang itu dianggap sebagai titipan di sisimu, jika suatu hari pemiliknya datang maka serahkanlah kepadanya.” [7]HR. Muslim no. 1722.

Para ulama juga telah bersepakat atas diperbolehkannya mengambil barang temuan, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hubairah rahimahullah, “Para ulama telah bersepakat atas diperbolehkannya mengambil barang temuan secara umum.” [8]al-Ifshah 2/62, dinukil dari al-Fiqh al-Muyassar Qism al-Mu’amalat, hlm. 230.

Macam-macam Luqathah

Luqathah terbagi menjadi beberapa macam, yaitu :

  1. Barang yang sengaja ditinggalkan oleh pemiliknya karena tidak dibutuhkan lagi, seperti kursi rusak yang dibuang, wadah yang ditinggalkan karena sudah tidak diperlukan lagi, maka barang-barang tersebut boleh langsung dimiliki oleh penemunya dan tidak  perlu diumumkan. [9]Lihat  as-Syarh al-Mumti’ 10/360.
  2. Barang sepele yang jika hilang, maka biasanya si pemilik tidak menghiraukan dan tidak mencari-carinya, seperti uang kecil, makanan ringan, pena dan semisalnya, maka jika barang tersebut ditemukan, boleh langsung dimiliki tanpa harus diumumkan. [10]Lihat Mudzakkirah Fiqh 2/411 dan al-Fiqh al-Muyassar Qism al-Mu’amalat, hlm. 230.Namun, jika pemiliknya diketahui, maka harus diserahkan atau dikabarkan kepadanya. [11]Taudhih al-Ahkam, 5/134 dan as-Syarh al-Mumti’ 10/361. Berdasarkan hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu bahwasannya Nabi pernah melewati sebutir kurma di jalan kemudian beliau bersabda :

    لَوْلَا أَنِّي أَخَافُ أَنْ تَكُوْنَ مِنَ الصَّدَقَةِ لَأَكَلْتُهَا

    “Seandainya aku tidak khawatir kurma ini dari shadaqah niscaya aku memakannya.”[12]HR. Bukhari no. 2431.

  3. Barang yang jika hilang, maka biasanya dicari-cari oleh pemiliknya. [13]Ketentuan apakah suatu barang termasuk kategori ini atau bukan dikembalikan kepada ‘urf (kebiasaan) masyarakat setempat, hal itu berbeda-beda antara satu tempat dengan tempat lain dan antara satu … Continue reading Barang temuan seperti ini, jika dipungut, maka harus diumumkan selama setahun penuh. Jika pemiliknya datang, maka diserahkan kepadanya, jika tidak, maka menjadi milik si penemu.Misalnya, jika seseorang menemukan alat perekam senilai tiga ratus riyal, maka wajib baginya untuk mengenali ciri-cirinya, kemudian mengumumkannya selama setahun. Apabila pemiliknya datang, maka barang itu harus diserahkan kepadanya. Jika telah diumumkan setahun penuh namun pemiliknya tidak kunjung datang, maka menjadi milik si penemu. [14]Mudzakkirah Fiqh 2/412.
  4. Hewan yang sengaja ditinggalkan oleh pemiliknya karena tidak dibutuhkan lagi, maka hewan tersebut boleh langsung dimiliki oleh orang yang menemukan tanpa harus mengumumkannya. Seperti kambing kurus yang tidak mampu berjalan, yang secara kebiasaan diketahui bahwa si pemilik meninggalkannya karena sudah tidak membutuhkannya lagi, maka hewan tersebut boleh dimiliki oleh orang yang menemukannya. [15]Fathu Dzi al-Jalali wa al-Ikram bi Syarh Bulugh al-Maram 4/324.

    Sebagaimana disebutkan dalam hadits Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu’anhu, ia berkata :

    كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ، فَأَعْيَا جَمَلِيْ ، فَأَرْدُتُ أَنْ أُسَيِّبَهُ، فَلَحِقَنِي رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَدَعَا لَهُ، فَضَرَبَهُ، فَسَارَ سَيْرًا لَمْ يَسِرْ مِثْلَهُ.

    “Aku pernah bersama Nabi dalam suatu safar, kemudian untaku menjadi lemah, maka aku ingin meninggalkan unta itu. Lalu Rasulullah menyusulku seraya mendoakan unta itu dan memukulnya, seketika unta itu berjalan dengan kecepatan tidak seperti biasanya.” [16]HR. Bukhari no. 2718.

  5. Hewan tersesat yang tidak bisa menjaga diri dari binatang buas kecil, [17]Binatang buas kecil seperti serigala, anjing buas dan semisalnya. (as-Syarh al-Mumti’ 10/364). seperti domba, kambing, unta kecil, sapi kecil dan semisalnya, maka hewan tersebut boleh diambil (dipungut) dan diumumkan selama setahun penuh. [18]Jika si penemu mengambil hewan tersebut, maka ada beberapa alternatif baginya, Pertama: menyembelih dan memakan hewan itu dengan mengganti harganya jika kemudian diketahui pemiliknya. Kedua: menjual … Continue reading Jika pemiliknya datang, maka diserahkan kepadanya, namun jika tidak, maka menjadi milik si penemu. Berdasarakan sabda Nabi ketika ditanya tentang kambing tersesat:

    هِيَ لَكَ أَوْ لِأَخِيْكَ أَوْ لِلذِّئْبِ

    “Kambing itu untukmu, atau untuk saudaramu, atau untuk serigala.” [19]HR. Bukhari no. 2372 dan Muslim no. 1722.

    Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin berkata, “Hewan tersesat yang tidak bisa menjaga diri dari hewan buas kecil, seperti domba, kambing, unta kecil dan semisalnya, maka hewan-hewan itu boleh diambil dan dipelihara. Apabila bertemu dengan pemiliknya, maka boleh minta ganti atas biaya pemeliharaan yang telah dikeluarkan. Jika ia khawatir biayanya lebih besar daripada harga hewan itu, maka hendaknya ia benar-benar mengenali ciri-cirinya, lalu menjualnya dan menyimpan uang hasil penjualan untuk pemiliknya. Jika kemudian pemiliknya datang dengan menyebutkan ciri-ciri yang sesuai dengan kenyataannya, maka ia berikan uang tadi kepada pemiliknya.” [20]As-Syarh al Mumti’ 10/366.

  6. Hewan tersesat yang bisa menjaga diri dari binatang buas kecil, seperti unta, sapi, kuda, burung merpati dan semisalnya, maka hewan tersebut tidak boleh diambil. [21]Lihat al-Fiqh al-Muyassar Qism al-Mu’amalat, hlm. 231 dan Taudhih al-Ahkam 5/139. Karena hewan tersebut bisa menjaga diri dari bahaya yang mengancamnya, baik dengan kekuatan yang dimiliki atau kemampuannya bergerak cepat dan semisalnya. [22]Adapun unta atau sapi yang masih kecil maka boleh dipungut karena belum memiliki kemampuan menjaga diri dari bahaya yang mengancamnya. Demikian pula unta yang besar namun berada di lokasi sangat … Continue reading Jika hewan tersebut diambil, bisa jadi akan menyulitkan si pemilik untuk menemukannya. Disebutkan dalam hadits dari Zaid bin Khalid radhiyallahu’anhu ketika Rasulullah ﷺ ditanya tentang unta tersesat, maka beliau bersabda :

    دَعْهَا فَإِنَّ مَعَهَا حِذَاءَهَا وَسِقَاءَهَا تَرِدُ الْمَاءَ وَتَأْكُلُ الشَّجَرَ حَتَّى يَجِدَهَا رَبُّهَا

    “Biarkanlah unta itu, sesungguhnya ia memiliki alas kaki dan tempat minum sendiri, ia bisa mendatangi tempat air dan memakan tetumbuhan, sampai ditemukan oleh pemiliknya.” [23]Adapun unta atau sapi yang masih kecil maka boleh dipungut karena belum memiliki kemampuan menjaga diri dari bahaya yang mengancamnya. Demikian pula unta yang besar, namun berada di lokasi sangat … Continue reading

    Demikian pula, barang-barang berukuran besar yang tidak dikhawatirkan diambil orang, seperti kayu besar, logam berat dan semisalnya, tidak boleh dipungut, karena barang itu akan diambil lagi oleh pemiliknya. [24]Lihta Mudzakkiran Fiqh, 2/412.

Beberapa Ketentuan Seputar Luqathah

Ada beberapa ketentuan terkait mengambil barang temuan sebagaimana uraian berikut ini :

  1. Tidak boleh memungut barang temuan di tanah haram (Mekah). [25]Ini adalah pendapat Imam As-Syafi’i dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad dan pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Adapun Jumhur Ulama dari madzhab Hanafiyah, Malikiyah, salah … Continue reading Berdasarkan hadits dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda pada hari Fathu Makkah: [26]Hikmah dilarangnya mengambil barang temuan di tanah haram adalah dikarenakan Mekah adalah negeri yang paling aman, apabila seseorang menemukan barang temuan lalu ia biarkan, orang lain yang … Continue reading

    إِنَّ هَذَا الْبَلَدَ حَرَّمَهُ اللَّهُ لَا يُعْضَدُ شَوْكُهُ، وَلَا يُنَفَّرُ صَيْدُهُ، وَلَا يَلْتَقِطُ لُقَطَتَهُ إِلَّا مَنْ عَرَّفَهَا

    “Sesungguhnya negeri ini telah dimuliakan oleh Allah, tidak boleh dicabut durinya, tidak boleh diusir hewan-hewannya dan tidak boleh dipungut barang temuannya, kecuali bagi orang yang ingin mengumumkannya.” [27]HR. Bukhari no. 1587.

    Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Apabila barang temuan itu di Mekah, maka tidak boleh diambil kecuali jika ingin mengumumkan selama-lamanya, maka ia sendiri mengumumkannya, kemudian anggota keluarga sepeninggalnya, kemudian orang-orang setelah itu sampai hari kiamat.” [28]HR. Bukhari no. 1587.

    Demikian pula, tidak boleh mengambil barang yang tercecer dari jama’ah haji, meskipun di luar tanah haram. Berdasarkan hadits :

    عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عُثْمَانَ التَّيْمِيِّ، أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ لُقَطَةِ الْحَاجِّ

    Dari ‘Abdurrahman bin ‘Utsman At-Taimiy, sesungguhnya Rasulullah melarang dari memungut barang yang tercecer dari jama’ah haji. [29]HR. Muslim no. 1724.

    Adapun di masa sekarang, ketika jama’ah haji semakin banyak dan sulit mengumumkan barang temuan di pasar-pasar maupun di tempat-tempat berkumpulnya manusia, maka merupakan suatu kebaikan jika barang yang tercecer dari jama’ah haji diserahkan kepada bagian keamanan di tanah haram yang akan mengurusi barang-barang tersebut. Demikian pula karena umumnya manusia telah memaklumi bahwa barang-barang hilang biasanya disimpan oleh bagian keamanan. Hal itu akan lebih menjaga supaya barang itu tidak rusak dan akan lebih mudah ditemukan oleh pemiliknya. [30]al-Fiqh al-Muyassar Qism al-Mu’amalat, hlm. 233.

  2. Adakalanya mengambil barang temuan hukumnya wajib, yaitu jika barang temuan itu di lokasi yang tidak aman, banyak pencuri ataupun orang-orang yang tamak terhadap harta, sehingga dikhawatirkan barang itu akan diambil dan dimanfaatkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab, sedangkan si penemu yakin bisa menjaga barang temuan itu dan mampu mengumumkannya. Ketika itu terjadi, wajib mengambil barang temuan itu dalam rangka menjaga harta sesama muslim, terlebih lagi jika pemiliknya diketahui. [31]Fathu Dzi al-Jalali wa al-Ikram bi Syarh Bulugh al-Maram 4/332 dan al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat hlm. 234.
  3. Apabila seseorang menemukan barang temuan sedangkan ia merasa tidak mampu menjaga dan mengumumkannya, maka tidak boleh untuk mengambilnya.Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘utsaimin rahimahullah berkata, “Wajib bagi orang yang ingin mengambil barang temuan untuk merasa yakin (bisa menjaga dan mengumumkannya -pen), jika tidak yakin, maka tidak boleh mengambilnya. Adapun jika ia merasa yakin, maka apakah yang lebih utama ia mengambilnya atau membiarkannya? Kita katakan, “Jika barang itu berada di tempat yang rawan terkena kerusakan dan dikhawatirkan akan datang setelahnya orang yang tidak mengerti hukumnya, maka yang lebih utama adalah mengambil dan mengumumkannya. Adapun jika tidak seperti itu, maka yang afdhal adalah membiarkannya, karena jika ia ambil, maka diharuskan untuk mengumumkannya, sedangkan ada kemungkinan ia tidak mampu melakukannya.” [32]Mudzakkirah Fiqh 2/414.
  4. Apabila seseorang mengambil luqathah berupa barang yang boleh dipungut dan dianggap bernilai oleh umumnya manusia, maka wajib baginya untuk mengumumkan (mempublikasikannya) selama setahun penuh. [33]Jika pemilik barang sejak awal telah diketahui maka tidak perlu diumumkan, tinggal diserahkan kepadanya, baik dengan diantarkan atau dengan memberi kabar kepadanya. (Fathu Dzi al-Jalali wa al-Ikram … Continue reading Berdasarkan sabda Nabi ﷺ :

    اِعْرِفْ وِكَاءَهَا وَعِفَاصَهَا، ثُمَّ عَرِّفْهَا سَنَةً

    “Kenalilah pengikat dan wadahnya, kemudian umumkanlah selama satu tahun.” [34]HR. Muslim no. 1722.

    Hendaknya penemuan itu diumumkan [35]Tentang frekuensi mengumumkannya maka dikembalikan kepada kebiasaan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Sebagian ulama memberikan gambaran untuk pekan pertama diumumkan setiap hari, setelah itu … Continue reading ketika siang hari di pasar-pasar dan tempat-tempat berkumpulnya manusia, terutama di sekitar tempat penemuan barang, dengan menyebutkan jenis barang temuan itu tanpa menyebutkan ciri-cirinya, baik diumumkan oleh si penemu itu sendiri atau mewakilkan kepada orang lain. Dan di masa sekarang bisa juga diumumkan di media-media yang ada, baik surat kabar, siaran radio dan semisalnya. Kapan saja pemiliknya datang dengan menyebutkan jenis, sifat dan kadar barang tersebut, maka ketika itu wajib diserahkan kepadanya. [36]Lihat al-Fiqh al-Muyassar Qism al-Mu’amalat, hlm. 232 dan Taudhih al-Ahkam 5/139.

  5. Apabila seseorang mengambil barang temuan dan telah mengumumkannya selama setahun, namun pemiliknya tetap tidak diketahui, maka ia boleh memanfaatkan barang itu. Jika di kemudian hari pemiliknya datang, maka wajib untuk diganti. [37]al-Fiqh al-Muyassar Qism al-Mu’amalat, hlm. 232. Berdasarkan sabda Nabi ﷺ :

    فَإِنْ لَمْ تَعْرِفْ فَاسْتَنْفِقْهَا، وَلْتَكُنْ وَدِيعَةً عِنْدَكَ، فَإِنْ جَاءَ طَالِبُهَا يَوْمًا
    مِنَ الدَّهْرِ فَأَدِّهَا إِلَيْهِ

    “Jika pemiliknya tidak diketahui, maka manfaatkanlah dan barang itu dianggap sebagai titipan di sisimu, jika suatu hari pemiliknya datang, maka serahkanlah kepadanya.” [38]HR. Muslim no. 1722.

  6. Jika seseorang mengambil barang temuan, maka barang itu statusnya sebagai amanah yang dibawa oleh si penemu. Apabila barang itu hilang, rusak atau berkurang bukan karena keteledorannya, maka ia tidak wajib untuk menggantinya sebagaimana barang titipan. Adapun jika barang itu hilang atau rusak karena keteledorannya, maka ia wajib menggantinya dengan barang semisal, jika memang barang itu ada yang semisal dan jika tidak ada yang semisal, maka diganti harganya. [39]al-Fiqh al-Muyassar Qism al-Mu’amalat, hlm. 233.
  7. Apabila barang temuan yang diambil berupa barang yang cepat rusak dan tidak bertahan untuk disimpan selama setahun, [40]Misalnya seseorang menemukan wadah berisi cukup banyak makanan atau sayur-mayur, jika disimpan selama setahun tentulah rusak. Maka hendaknya benar-benar dikenali ciri-cirinya kemudian dijual dan … Continue reading maka setelah dikenali ciri-cirinya, hendaknya barang itu dijual dan uangnya disimpan. Setelah diumumkan setahun, namun pemiliknya tidak kunjung datang, maka uang itu menjadi milik si penemu. Namun, jika pemiliknya datang, maka harus diserahkan kepadanya, meskipun sudah lebih dari setahun. [41]Lihat Mudzakkirah Fiqh 2/412.
  8. Status barang temuan selama rentang waktu satu tahun diumumkan belum menjadi milik si penemu, sehingga ia tidak berhak melakukan tasharruf (menjual, menyewakan dan semisalnya) kecuali untuk kemaslahatan barang temuan itu sendiri. Adapun setelah sempurna diumumkan setahun, maka statusnya menjadi milik si penemu, boleh baginya untuk melakukan tasharruf terhadap barang itu, baik menjual atau tindakan lainnya, sesuai yang ia inginkan. [42]Mudzakkirah Fiqh   2/412
  9. Jika pembawa barang temuan meninggal dunia, maka ahli waris si penemu menggantikannya dalam mengumumkan barang itu, jika memang belum diumumkan selama setahun. Namun, berhak memiliki barang itu, jika telah sempurna diumumkan selama setahun. Dan kapan saja pemilik barang itu datang, maka boleh mengambil barang itu dari ahli waris sebagaimana ia boleh mengambilnya dari si penemu. [43]al-Fiqh al-Muyassar Qism al-Mu’amalat, hlm. 234.

Disusun oleh:
Abu Muslim Nurwan Darmawan, B.A.

Artikel Alukhuwah.Com

Referensi

Referensi
1 al-Fiqh al-Muyassar fi Dhau’ al-Kitab wa as-Sunnah, hlm. 264.
2 Mausu’ah al-Fiqh al-Islamiy, 3/613.
3 Minhaj al-Muslim, hlm. 323.
4 Mudzakkirah Fiqh 2/411.
5 al-Fiqh al-Muyassar Qism al-Mu’amalat, hlm. 230.
6 Fathu Dzi al-Jalali wa al-Ikram bi Syarh Bulugh al-Maram 4/332.
7, 34, 38 HR. Muslim no. 1722.
8 al-Ifshah 2/62, dinukil dari al-Fiqh al-Muyassar Qism al-Mu’amalat, hlm. 230.
9 Lihat  as-Syarh al-Mumti’ 10/360.
10 Lihat Mudzakkirah Fiqh 2/411 dan al-Fiqh al-Muyassar Qism al-Mu’amalat, hlm. 230.
11 Taudhih al-Ahkam, 5/134 dan as-Syarh al-Mumti’ 10/361.
12 HR. Bukhari no. 2431.
13 Ketentuan apakah suatu barang termasuk kategori ini atau bukan dikembalikan kepada ‘urf (kebiasaan) masyarakat setempat, hal itu berbeda-beda antara satu tempat dengan tempat lain dan antara satu waktu dengan waktu yang lain. (Lihat al-Fiqh al-Muyassar Qism al-Mu’amalat, hlm. 231).
14 Mudzakkirah Fiqh 2/412.
15 Fathu Dzi al-Jalali wa al-Ikram bi Syarh Bulugh al-Maram 4/324.
16 HR. Bukhari no. 2718.
17 Binatang buas kecil seperti serigala, anjing buas dan semisalnya. (as-Syarh al-Mumti’ 10/364).
18 Jika si penemu mengambil hewan tersebut, maka ada beberapa alternatif baginya, Pertama: menyembelih dan memakan hewan itu dengan mengganti harganya jika kemudian diketahui pemiliknya. Kedua: menjual hewan itu dan menyimpan uangnya untuk pemiliknya. Ketiga: Memelihara hewan itu sampai bertemu dengan pemiliknya. Dalam hal ini hendaknya ia memilih alternatif yang paling mendatangkan maslahat. (al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat, hlm. 235).
19 HR. Bukhari no. 2372 dan Muslim no. 1722.
20 As-Syarh al Mumti’ 10/366.
21 Lihat al-Fiqh al-Muyassar Qism al-Mu’amalat, hlm. 231 dan Taudhih al-Ahkam 5/139.
22 Adapun unta atau sapi yang masih kecil maka boleh dipungut karena belum memiliki kemampuan menjaga diri dari bahaya yang mengancamnya. Demikian pula unta yang besar namun berada di lokasi sangat banyak binatang buas atau banyak orang-orang jahat yang mengambil harta manusia tanpa haq. (Lihat Fathu Dzi al-Jalali wa al-Ikram bi Syarh Bulugh al-Maram 4/338).
23 Adapun unta atau sapi yang masih kecil maka boleh dipungut karena belum memiliki kemampuan menjaga diri dari bahaya yang mengancamnya. Demikian pula unta yang besar, namun berada di lokasi sangat banyak binatang buas atau banyak orang-orang jahat yang mengambil harta manusia tanpa haq. (Lihat Fathu Dzi al-Jalali wa al-Ikram bi Syarh Bulugh al-Maram 4/338).
24 Lihta Mudzakkiran Fiqh, 2/412.
25 Ini adalah pendapat Imam As-Syafi’i dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad dan pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Adapun Jumhur Ulama dari madzhab Hanafiyah, Malikiyah, salah satu riwayat dari Imam As-Syafi’i dan salah satu riwayat pula dari Imam Ahmad berpendapat bahwa barang temuan di tanah haram seperti di tempat lainnya boleh diambil dan diumumkan selama setahun kemudian dimiliki oleh penemunya. Pendapat kedua ini diriwayatkan pula dari Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, dan ‘Aisyah radhiyallahu’anhuma berdalilkan dengan keumuman hadits yang memperbolehkan mengambil barang temuan. (al-Fiqh al-Muyassar Qism al-Mu’amalat, hlm. 233).
26 Hikmah dilarangnya mengambil barang temuan di tanah haram adalah dikarenakan Mekah adalah negeri yang paling aman, apabila seseorang menemukan barang temuan lalu ia biarkan, orang lain yang menemukannya juga membiarkannya, demikian pula orang-orang setelahnya, maka barang itu akan tetap berada di tempat tersebut sampai ditemukan oleh pemiliknya. Adapun jika seseorang berkata, “Saya khawatir barang itu akan diambil orang yang tidak mengerti hukumnya” maka kita katakan, “Jika barang itu diambil orang lain, maka dia sendiri yang menanggung dosanya, bukan menjadi tanggunganmu.” (Lihat Mudzakkirah Fiqh 2/413-414).
27, 28 HR. Bukhari no. 1587.
29 HR. Muslim no. 1724.
30, 39 al-Fiqh al-Muyassar Qism al-Mu’amalat, hlm. 233.
31 Fathu Dzi al-Jalali wa al-Ikram bi Syarh Bulugh al-Maram 4/332 dan al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat hlm. 234.
32 Mudzakkirah Fiqh 2/414.
33 Jika pemilik barang sejak awal telah diketahui maka tidak perlu diumumkan, tinggal diserahkan kepadanya, baik dengan diantarkan atau dengan memberi kabar kepadanya. (Fathu Dzi al-Jalali wa al-Ikram bi Syarh Bulugh al-Maram 4/335).
35 Tentang frekuensi mengumumkannya maka dikembalikan kepada kebiasaan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Sebagian ulama memberikan gambaran untuk pekan pertama diumumkan setiap hari, setelah itu sepekan sekali selama sebulan, setelah itu diumumkan sebulan sekali. (as-Syarh al-Mumti’,10/372).
36 Lihat al-Fiqh al-Muyassar Qism al-Mu’amalat, hlm. 232 dan Taudhih al-Ahkam 5/139.
37 al-Fiqh al-Muyassar Qism al-Mu’amalat, hlm. 232.
40 Misalnya seseorang menemukan wadah berisi cukup banyak makanan atau sayur-mayur, jika disimpan selama setahun tentulah rusak. Maka hendaknya benar-benar dikenali ciri-cirinya kemudian dijual dan uangnya disimpan. Kemudian diumumkan selama setahun, jika pemiliknya datang, maka uang itu diserahkan kepadanya, namun jika tidak datang, maka uang itu menjadi milik si penemu. Boleh juga si penemu memanfaatkannya (memakannya) dan mengganti harganya jika kemudian pemiliknya datang. (Lihat Fathu Dzi al-Jalali wa al-Ikram bi Syarh Bulugh al-Maram 4/323-324 dan al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat, hlm. 235).
41 Lihat Mudzakkirah Fiqh 2/412.
42 Mudzakkirah Fiqh   2/412
43 al-Fiqh al-Muyassar Qism al-Mu’amalat, hlm. 234.
Back to top button