Qawa’id Fiqhiyyah: Kebiasaan Dijadikan Rujukan dalam Penetapan Hukum

Makna Kaidah

Kaidah ini menjelaskan bahwa kebiasaan dijadikan rujukan dalam penetapan hukum syar’i ketika tidak ada dalil khusus yang secara tegas memberikan ketentuan dalam suatu permasalahan.

Dengan kata lain, bahwa kebiasaan (‘urf) yang ada di tengah-tengah masyarakat bisa dijadikan sandaran dalam penetapan hukum syar’i, yaitu hukum tersebut ditetapkan sesuai konsekuensi kebiasaan yang ada, dengan syarat tidak ada dalil khusus yang secara tegas menjelaskan batasan permasalahan yang dibahas, dan kebiasaan tersebut tidak bertentangan dengan dalil-dalil syar’i. [1]Lihat Al Qowa’id Al Fiqhiyyah Al Kubra wama Tafarra’a ‘anha, Syaikh Dr. Dr. Shalih bin Ghanim As-Sadlan, Dal Balansiyah, Ceakan Pertama, 1436, hlm. 337.

Dalil Kaidah

Terdapat banyak dalil dari Al Qur’an maupun As-Sunnah yang menjelaskan bolehnya menjadikan kebiasaan sebagai rujukan dalam menetapkan hukum. Di antaranya adalah firman Allah ﷻ:

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut.” (QS. Al Baqarah : 233) 

Sisi pendalilan dari ayat ini : Sesungguhnya Allah ﷻ mengaitkan besaran nafkah untuk istri itu sesuai kadar kebiasan yang berlaku secara umum. Maka seorang istri berhak mendapatkan nafkah dari suaminya dengan jumlah sesuai yang umum berlaku di tengah-tengah masyarakat untuk wanita yang semisal dengannya. Maka ini menunjukkan disyari’atkannya menggunakan kebiasaan sebagai rujukan dalam menentukan ketetapan hukum. [2]Lihat Al Mumti’ fi Al Qawa’id Al Fiqhiyyah, Dr. Musallam bin Muhammad bin Majid Ad-Dausari, Dar Zidni, Riyadh, Cetakan Pertama, 1428 H, Hlm. 273.

Adapun dalil dari As-Sunnah, di antaranya hadits ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha–  :

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ هِنْدًا بِنْتَ عُتْبَةَ زَوْجَةَ أَبِي سُفْيَانَ قَالَتْ : يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيْحٌ، وَلَيْسَ يُعْطِيْنِي مَا يَكْفِيْنِي وَوَلَدِي إِلَّا مَا أَخَذْتُهُ مِنْهُ وَهُوَ لَا يَعْلَمُ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : خُذِي مَا يَكْفِيْكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوْفِ (HR. Bukhari no. 769 dan Muslim no. 1338.) [3]HR. Bukhari no. 769 dan Muslim no. 1338.

Dari ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha-, sesungguhnya Hindun binti ‘Utbah istri Abu Sufyan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang laki-laki yang kikir, tidak memberikan nafkah yang cukup kepadaku dan anak-anakku, kecuali jika aku mengambil hartanya sedangkan ia tidak tahu.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Ambillah dari hartanya sekedar yang mencukupimu dan anakmu secara ma’ruf.”

Sisi pendalilan dari hadits ini : Rasulullah ﷺ memperbolehkan kepada Hindun untuk mengambil harta suaminya sekedar yang mencukupi nafkahnya. Dan Nabi ﷺ mengaitkannya dengan kadar yang ma’ruf, yaitu sesuai dengan kebiasaan si istri dan suaminya. Ini menunjukkan diperbolehkannya menggunakan kebiasan sebagai rujukan dalam penetapan hukum. [4]Lihat Al Mumti’ fi Al Qawa’id Al Fiqhiyyah, Dr. Musallam bin Muhammad bin Majid Ad-Dausari, Dar Zidni, Riyadh, Cetakan Pertama, 1428 H, Hlm. 273.

Syarat Penggunaan ‘Urf

Tidak semua kebiasaan (‘urf) bisa dijadikan rujukan dan sandaran dalam menetapkan hukum. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi supaya kebiasaan tersebut bisa dijadikan rujukan, yaitu [5]Lihat Al Mumti’ fi Al Qawa’id Al Fiqhiyyah, Dr. Musallam bin Muhammad bin Majid Ad-Dausari, Dar Zidni, Riyadh, Cetakan Pertama, 1428 H, Hlm. 282-283.:

1. ‘Urf tersebut berlaku umum atau dominan.

Maknanya bahwa pengamalan kebiasaan itu dilakukan terus menerus di seluruh kejadian, tidak menyimpang darinya kecuali sedikit saja [6]Lihat al-Qawa’id al-Fiqhiyyah al-Kubra wa Maa Tafarra’a ‘anha karya Syaikh Dr. Shalih bin Ghanim as-Sadlan, hlm. 352.. Misalnya apabila dua orang melakukan akad jual beli di kawasan negeri Indonesia dengan nominal harga tertentu, maka nominal yang disebutkan dalam akad tersebut maksudnya adalah dengan mata uang rupiah, bukan mata uang lainnya, meskipun si penjual dan si pembeli tidak menyebutkan jenis mata uangnya secara eksplisit. Karena hal itu telah maklum sesuai adat kebiasaan yang umum di Indonesia. 

Namun, seandainya di suatu negeri atau daerah tertentu ada beberapa mata uang yang beredar secara luas, dan setiap mata uang tersebut semuanya digunakan oleh masyarakat setempat tanpa ada yang lebih dominan dari yang lain, maka ketika melakukan akad jual beli para pembuat akad harus menetapkan mata uang yang digunakan dalam pembayaran barang, dan tidak bisa sekedar bersandar kepada adat kebiasaan, karena ‘urf ketika itu tidak bersifat umum, sehingga tidak bisa dijadikan  rujukan. Apabila jenis mata uang tidak disepakati sejak awal maka jual belinya tidak sah karena ada unsur ketidak jelasan dalam masalah harga.

2. ‘Urf itu sudah ada ketika munculnya kejadian.

Dalam artian bahwa ‘urf tersebut bukan sesuatu yang baru muncul.  Adapun ‘urf yang baru muncul setelah suatu kejadian maka tidak bisa dijadikan rujukan dalam menghukumi kejadian tersebut. Misalnya, kalau seseorang mengatakan, “Demi Allah ﷻ, saya tidak akan makan daging selama-lamanya.” Ketika ia mengucapkan perkataan tersebut, yang dimaksud dengan daging dalam kebiasaan masyarakat ketika itu adalah daging kambing dan sapi saja. Jika lima tahun kemudian ‘urf masyarakat berubah sehingga yang dimaksudkan dengan daging adalah seluruh daging termasuk juga ikan. Lalu orang tersebut makan ikan, maka ia tidak dihukumi melanggar sumpahnya, karena sebuah perkataan tidak disandarkan kepada ‘urf yang muncul belakangan, tetapi kepada urf yang ada ketika perkataan itu diucapkan.

3. ‘Urf tidak berbenturan dengan tashrih (penjelasan) yang menyelisihinya.

Apabila ‘urf berbenturan dengan tashrih maka yang diambil adalah tashrih tersebut, sedangkan ‘urf tidak dianggap [7]Syarhul Qawa’id As Sa’diyah. Syaikh Abdul Muhsin bin Abdullah Az Zamil. Dar Athlas Al Kahadhra’ lin Nasyri wat Tauzi’. Hlm. 102. Misalnya, secara umum kebiasaan yang ada di masyarakat bahwa seorang pekerja mendapatkan jatah libur sepekan sekali yaitu hari Ahad. Jika seseorang bekerja di suatu kantor dan pemilik kantor mengatakan bahwa ia harus masuk setiap hari termasuk hari Ahad, dan pekerja tersebut menyetujuinya, maka wajib bagi si pekerja untuk masuk setiap hari, meskipun ‘urf yang berlaku di masyarakat hari Ahad libur. Dan tidak boleh baginya untuk libur dengan alasan ‘urf, karena ketika itu ‘urf berbenturan dengan tashrih (penjelasan) yang menyelisihinya, sehingga ‘urf tidak dianggap.

4. ‘Urf tidak bertentangan dengan nash syar’i.

Apabila ‘urf bertentangan dengan nash atau dalil-dalil syar’i maka ketika itu ‘urf tidak dianggap, dan yang diambil adalah nash syar’i tersebut. [8]Lihat al-Qawa’id al-Fiqhiyyah al-Kubra wa Maa Tafarra’a ‘anha karya Syaikh Dr. Shalih bin Ghanim as-Sadlan, hlm. 358

Misalnya, apabila kebiasaan di suatu negeri masyarakatnya melakukan jual beli khamr atau bermua’malah dengan riba, maka ‘urf tersebut tidak dianggap karena bertentangan dengan dalil-dalil syar’i yang mengharamkan khamr dan riba.

Contoh Penerapan Kaidah

Kaidah ini memiliki contoh aplikatif yang sangat banyak. Berikut ini kami sebutkan sebagiannya [9]Lihat al-Qawa’id wa al-Ushul al-Jami’ah wa al-Furuq wa at-Taqasim al-Badi’ah an-Nafi’ah. Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di. Tahqiq Syaikh Dr. Khalid bin Ali bin … Continue reading:

1. Tentang perintah Allah ﷻ untuk berbuat baik kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak yatim, orang miskin, dan juga tetangga. [10]Sebagaimana disebutkan dalam QS. An-Nisaa’ : 36.

Maka segala sesuatu yang termasuk dalam kategori ihsan (berbuat baik) dalam kebiasaan masyarakat, semuanya masuk dalam perintah syar’i ini. Selama tidak ada dalil khusus yang melarangnya. Hal ini dikarenakan Allah ﷻ menyebutkan ihsan tersebut secara umum Yang mana ihsan adalah lawan dari berbuat jelek, baik dengan perkataan, perbuatan, maupun harta.

2. Orang yang mendapatkan kepercayaan untuk membawa harta orang lain, ia wajib untuk menjaga harta tersebut.

Apabila harta yang dipercayakan itu rusak disebabkan keteledorannya, maka ia wajib bertanggung jawab dan mengganti  kerusakan itu. Adapun jika ia sudah berhati-hati dalam menjaganya maka tidak wajib mengganti. Dan untuk menentukan apakah ia telah berhati-hati dalam menjaga harta itu ataukah belum, maka dikembalikan kepada kebiasaan yang berlaku di  masyarakat setempat.

3. Orang yang mendapatkan luqathah (barang temuan)

Wajib baginya untuk mengumumkan penemuan barang itu selama satu tahun untuk mengetahui siapa pemilik barang itu. Adapun tata cara yang dipakai untuk mengumumkan, itu  disesuaikan dengan adat kebiasaan yang ada di tengah-tengah masyarakat setempat. Kemudian, apabila sudah diumumkan selama satu tahun namun tidak juga diketahui siapa pemiliknya maka barang tersebut boleh dimanfaatkan oleh si penemu.

4. Dalam permasalahan wakaf, pemanfaatan harta wakaf dikembalikan kepada syarat dan ketentuan yang telah disebutkan oleh si pewakaf.

Namun, jika syarat dan ketentuan tersebut tidak diketahui, maka pemanfaatan wakaf disesuaikan dengan adat kebiasaan yang berjalan di masyarakat setempat.

5. Demikian pula tentang al hirz (tempat penyimpanan barang).

Seseorang yang menerima barang titipan wajib untuk menjaga harta yang diamanahkan kepadanya dan menempatkannya di tempat penyimpanan yang sesuai. Apabila barang titipan itu telah disimpan di tempat yang sesuai dan aman menurut kebiasaan yang ada, kemudian barang tersebut dicuri, maka orang yang menerima amanah tidak wajib untuk mengganti. Dalam hal ini, tempat penyimpanan barang itu mengikuti urf (adat kebiasaan masyarakat setempat), yang terkadang berbeda antara suatu daerah dengan daerah lainnya. Masing-masing harta mempunyai tempat penyimpanan yang sesuai dengan karakternya dan sesuai dengan kondisi masyarakat setempat. [11] Lihat at-Ta’liq ‘ala al-Qawa’id wa al-Ushul al-Jami’ah wa al-Furuq wa at-Taqasim al-Badi’ah an-Nafi’ah, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Hlm. 84

Wallahu a’lam bisshowab.

Disusun oleh Ustadz Abu Muslim Nurwan Darmawan, B.A., حفظه الله تعالى

Artikel Ilmiyah AlUkhuwah.Com

Referensi

Referensi
1 Lihat Al Qowa’id Al Fiqhiyyah Al Kubra wama Tafarra’a ‘anha, Syaikh Dr. Dr. Shalih bin Ghanim As-Sadlan, Dal Balansiyah, Ceakan Pertama, 1436, hlm. 337.
2, 4 Lihat Al Mumti’ fi Al Qawa’id Al Fiqhiyyah, Dr. Musallam bin Muhammad bin Majid Ad-Dausari, Dar Zidni, Riyadh, Cetakan Pertama, 1428 H, Hlm. 273.
3 HR. Bukhari no. 769 dan Muslim no. 1338.
5 Lihat Al Mumti’ fi Al Qawa’id Al Fiqhiyyah, Dr. Musallam bin Muhammad bin Majid Ad-Dausari, Dar Zidni, Riyadh, Cetakan Pertama, 1428 H, Hlm. 282-283.
6 Lihat al-Qawa’id al-Fiqhiyyah al-Kubra wa Maa Tafarra’a ‘anha karya Syaikh Dr. Shalih bin Ghanim as-Sadlan, hlm. 352.
7 Syarhul Qawa’id As Sa’diyah. Syaikh Abdul Muhsin bin Abdullah Az Zamil. Dar Athlas Al Kahadhra’ lin Nasyri wat Tauzi’. Hlm. 102
8 Lihat al-Qawa’id al-Fiqhiyyah al-Kubra wa Maa Tafarra’a ‘anha karya Syaikh Dr. Shalih bin Ghanim as-Sadlan, hlm. 358
9 Lihat al-Qawa’id wa al-Ushul al-Jami’ah wa al-Furuq wa at-Taqasim al-Badi’ah an-Nafi’ah. Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di. Tahqiq Syaikh Dr. Khalid bin Ali bin Muhammad al-Musyaiqih. Cetakan kedua. 1422 H/2001 M. Dar al-Wathan li an-Nasyr. Riyadh. Hlm. 52-55.
10 Sebagaimana disebutkan dalam QS. An-Nisaa’ : 36.
11  Lihat at-Ta’liq ‘ala al-Qawa’id wa al-Ushul al-Jami’ah wa al-Furuq wa at-Taqasim al-Badi’ah an-Nafi’ah, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Hlm. 84
Back to top button