Fiqih Muamalat: Wasiat
A. Definisi Wasiat
Wasiat secara bahasa bermakna perjanjian atau perintah yang dikuatkan. [1]al-Fiqh al-Muyassar wa Adillatuhu min al-Qur’an wa as-Sunnah, hlm. 437, Mudzakkirah Fiqh 4/126, dan al-Fiqh al-Muyassar fi Dhau’ al-Kitab wa as-Sunnah, hlm. 272.
Adapun secara istilah, wasiat adalah menyumbangkan harta setelah kematian seseorang [2]al-Fiqh al-Muyassar, 6/277.. Misalnya seseorang berpesan apabila ia meninggal dunia maka sebagian hartanya disumbangkan untuk kepentingan masjid, lembaga pendidikan Islam, atau semisalnya. Demikian pula jika ia berpesan supaya setelah meninggal sebagian hartanya diberikan kepada seseorang tertentu. [3]Wasiat mencakup juga perintah melakukan tasharruf (tindakan) setelah kematian seseorang, misalnya ia berkata, “Setelah aku meninggal, hendaklah yang mengurusi anak-anakku adalah fulan bin fulan. … Continue reading
B. Hukum Wasiat
Hukum asal wasiat adalah diperbolehkan, berdasarkan dalil dari Al Qur’an, as-Sunnah, dan ijma’.
Adapun dalil dari Al Qur’an, Allah ﷻ berfirman :
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
“Diwajibkan atas kamu, apabila maut hendak menjemput seseorang di antara kamu, jika dia meninggalkan harta, berwasiat untuk kedua orang tua dan karib kerabat dengan cara yang baik, (sebagai) kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Baqarah : 180)
Dan dalil dari as-Sunnah, Rasulullah ﷺ bersabda :
مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ لَهُ شَيْءٌ يُرِيْدُ أَنْ يُوْصِيَ فِيْهِ يَبِيْتُ لَيْلَتَيْنِ إِلاَّ وَوَصِيِّتُهُ مَكْتُوْبَةٌ عِنْدَهُ
“Tidak pantas bagi seorang muslim yang memiliki sesuatu yang ingin ia wasiatkan untuk melewati dua malam melainkan wasiatnya itu tertulis di sisinya”. [4]HR. Bukhari no. (2738) dan Muslim no. (1627).
Dan para ulama telah bersepakat tentang diperbolehkannya wasiat. [5]al-Mulakhash al-Fiqhiy, 2/178.
Imam Ibnu Qudamah ﷺ berkata, “Para ulama dari seluruh negeri telah bersepakat akan bolehnya wasiat.” [6]al-Mughni, 6/137.
Adapun secara rinci, wasiat memiliki beberapa kemungkinan hukum :
Wasiat hukumnya wajib bagi orang yang memiliki hutang, menyimpan barang titipan, atau menanggung hak orang lain, yang dikhawatirkan manakala ia tidak berwasiat, hak tersebut tidak ditunaikan kepada orang yang bersangkutan. [7]Minhaj al-Muslim, hlm. 328.
Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan berkata, “Wasiat itu wajib jika berkaitan dengan apa yang menjadi haknya dan apa yang menjadi kewajibannya ketika tidak ada bukti pendukung yang menguatkannya, supaya hal tersebut tidak disia-siakan.” [8]al-Mulakkhash al-Fiqhiy, 2/178.
Wasiat hukumnya sunnah bagi orang yang memiliki harta berlimpah sedangkan ahli warisnya berkecukupan. Maka dianjurkan baginya berwasiat, misalnya mewasiatkan supaya seperlima atau seperenam hartanya diwakafkan di jalan Allah ﷻ. Atau berwasiat supaya sebagian hartanya disedekahkan kepada karib kerabatnya yang kurang mampu, dan semisalnya. Ini termasuk perbuatan ma’ruf dan amal shalih yang pahalanya sampai kepada pelakunya setelah meninggal dunia. [9]al-Fiqh al-Muyassar, 6/279.
Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
إِنَّ اللهَ تَصَدَّقَ عَلَيْكُمْ بِثُلُثِ أَمْوَالِكُمْ عِنْدَ وَفَاتِكُمْ زِيَادَةً فِيْ حَسَنَاتِكُمْ
“Sesungguhnya Allah bersedekah dengan sepertiga harta kalian menjelang kalian wafat untuk menambah pahala kebaikan kalian.” [10]HR. Ibnu Majah no. (2709), Daruquthni (4/450), Baihaqi (6/264), hadits ini hasan, lihat Irwa’ al-Ghalil (6/77).
Wasiat hukumnya makruh jika seseorang hartanya sedikit sedangkan ahli warisnya sangat membutuhkan harta warisan. Karena dengan berwasiat maka akan menimbulkan kesempitan bagi ahli warisanya. [11]Mudzakkirah Fiqh, 3/128.
Sebagaimana sabda Nabi ﷺ kepada Sa’d bin Abi Waqqash :
إنَّكَ إِنْ تَذَرْ وَرَثَتَكَ أغنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ
“Sesungguhnya engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada engkau tinggalkan mereka dalam keadaan miskin meminta-minta kepada manusia.” [12]HR. Bukhari no. (1296) dan Muslim no. (1628).
Wasiat hukumnya haram jika mengandung perkara yang dilarang, misalnya berwasiat melebihi sepertiga dari total hartanya. [13]Jika wasiat melebihi sepertiga dari total harta, maka itu tergantung kepada persetujuan ahli waris setelah pemberi wasiat meninggal. Jika seluruh ahli waris menyetujuinya maka wasiat bisa ditunaikan. … Continue reading
Sebagaimana diriwayatkan dari Sa’d bin Abi Waqqash رضي الله عنه ketika sakit keras, ia berkata kepada Nabi ﷺ:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، إنِّي قَدْ بَلَغَ بِيْ مِنَ الوَجَعِ مَا تَرَى، وَأَنَا ذُوْ مَالٍ وَلاَ يَرِثُنِي إِلاَّ ابْنَةٌ لِي، أَفأَتَصَدَّقُ بِثُلُثَيْ مَالِي؟ قَالَ: «لاَ»، قُلْتُ: فَالشَّطْرُ يَا رَسُولَ اللهِ؟ فَقَالَ: «لاَ» ، قُلْتُ: فالثُّلُثُ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: «الثُّلُثُ والثُّلُثُ كَثِيْرٌ، إنَّكَ إِنْ تَذَرْ وَرَثَتَكَ أغنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ»
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya sakitku ini begitu parah seperti yang engkau lihat, dan saya seorang yang memiliki harta, namun tidak ada yang menjadi ahli warisku kecuali puteriku. Bolehkah aku bersedekah dengan dua pertiga hartaku?” Beliau menjawab, “Tidak boleh.” Aku berkata lagi, “Kalau begitu separuh saja?” Beliau menjawab, “Tidak boleh.” Aku berkata lagi, “Kalau begitu sepertiga wahai Rasulullah.” Beliau menjawab, “Sepertiga saja, sepertiga itu sudah banyak. Sesungguhnya engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan itu lebih baik daripada engkau tinggalkan mereka dalam keadaan miskin meminta-minta kepada manusia.” [14]HR. Bukhari no. (1296) dan Muslim no. (1628).
Demikian pula termasuk wasiat yang haram adalah berwasiat untuk ahli waris yang menerima warisan. [15]Mudzakkirah Fiqh, 3/128. Misalnya seseorang menjelang kematiannya berwasiat supaya seperlima hartanya diberikan kepada anak laki-lakinya atau kepada isterinya. Maka wasiat tersebut tidak sah, kecuali jika seluruh ahli waris menyetujuinya. Berdasarkan sabda Nabi ﷺ:
إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُل ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَلاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
“Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang haknya masing-masing. Maka tidak boleh harta itu diwasiatkan kepada ahli waris.” [16]HR. Abu Dawud no. (2853), Tirmidzi no. (2203), Ibnu Majah no. (2713), dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah no. (2193).
Imam Ibnu Qudamah ﷺ berkata, “Kesimpulannya, jika seseorang berwasiat untuk salah seorang ahli warisnya, dan seluruh ahli waris lainnya tidak setuju, maka wasiat tersebut tidak sah, tidak ada perselisihan antara ulama’ dalam masalah ini. Ibnul Mundzir dan Ibnu ‘Abdil Barr berkata, “Para ahli ilmu telah bersepakat dalam hal ini.” [17]Al Mughni, 8/396.
Termasuk juga dalam kategori wasiat yang haram adalah berwasiat dengan tujuan untuk menimbulkan madharat kepada ahli waris. Misalnya ia berwasiat semata-mata supaya jatah warisan ahli waris semakin sedikit. Berdasarkan firman Allah ﷻ:
مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ
“Sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (QS. An Nisaa’ : 12).
C. Rukun Wasiat
Ada empat rukun wasiat [18]Lihat al-Fiqh al-Muyassar, 6/280., yaitu :
- Al-Mushi, yaitu pemberi wasiat.
- Al-Musha lahu, yaitu penerima wasiat.
- Al-Musha bihi, yaitu harta yang diwasiatkan.
- As-Shighat [19]Shighat dalam akad wasiat sah dengan setiap ungkapan yang menunjukkan makna wasiat, tidak harus dengan ungkapan tertentu. (Mudzakkirah Fiqh, 3/126), yaitu lafadz yang digunakan dalam wasiat, misalnya seseorang berkata, “Saya wasiatkan sepertiga hartaku untuk si fulan setelah kematianku.”
D. Syarat Sah Wasiat
Ada beberapa syarat untuk keabsahan wasiat, sebagaimana rincian berikut ini [20]Lihat al-Fiqh al-Muyassar, 6/280-284. :
1. Pemberi wasiat sudah tamyiz [21]Para ulama’ berbeda pendapat tentang kapan seorang anak dihukumi tamyiz. Jumhur ulama’ berpendapat bahwa seorang anak tamyiz jika sudah berusia tujuh tahun, dengan dalil sabda Nabi ﷺ yang … Continue reading (meskipun belum baligh) [22]Ini adalah pendapat madzhab Malikiyah dan Hanabilah. Adapun madzhab Hanafiyah dan Syafi’iyyah berpendapat bahwa dipersyaratkan baligh untuk keabsahan wasiat. (al-Fiqh al-Muyassar, 5/280-281).
Sebagaimana diriwayatkan dari ‘Umar bin Khatthab رضي الله عنه di mana beliau memperbolehkan wasiat seorang anak dari Ghassan [23]Atsar riwayat Imam Malik dengan sanad yang shahih. (al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat, hlm. 274). Adapun anak kecil yang belum tamyiz maka tidak sah wasiatnya.
2. Pemberi wasiat adalah orang yang berakal
Maka tidak sah wasiat orang gila atau orang mabuk, karena perkataan mereka tidak dianggap dalam tinjauan syari’at. [24]Minhaj al-Muslim, hlm. 329.
3. Pemberi wasiat adalah orang yang merdeka, bukan budak.
4. Pemberi wasiat bukan orang yang memiliki hutang menyamai keseluruhan hartanya.
Jika demikian maka tidak sah wasiatnya karena membayar hutang lebih didahulukan daripada menunaikan wasiat.
5. Keridhaan orang yang berwasiat
Jika ia berwasiat karena tersalah, atau sekedar senda gurau, atau terpaksa maka tidak sah wasiatnya, karena semuanya itu tidak selaras dengan nilai keridhaan.
6. Penerima wasiat adalah pihak yang mempunyai kapasitas untuk memiliki.
Oleh karena itu tidak sah wasiat diberikan kepada hewan ternak atau semisalnya, karena hewan ternak tidak memiliki kapasitas untuk memiliki, kecuali jika yang dimaksudkan adalah untuk memberi makan hewan tersebut. Apabila seseorang berkata, “Saya wasiatkan sebagian hartaku untuk hewan ternak si fulan”, maka wasiat ini tidak sah. Adapun jika ia berkata, “Saya wasiatkan sebagian hartaku untuk memberi makan hewan ternak si fulan”, maka wasiat ini sah. Demikian pula tidak sah wasiat untuk jin atau orang yang sudah meninggal karena tidak memiliki kapasitas memiliki. [25]Lihat al-Mulakhas al-Fiqhiy, 2/186.
7. Penerima wasiat dalam keadaan hidup ketika diucapkannya wasiat
Dan ini mencakup juga janin yang masih di perut ibunya. [26]Ibid, 2/185.
8. Penerima wasiat tidak membunuh pemberi wasiat
Baik pembunuhan dilakukan karena sengaja (‘amdan) atau tersalah (khatha’). Misalnya, apabila Ahmad berwasiat untuk memberikan sebagian hartanya kepada Zaid, kemudian Zaid membunuh Ahmad maka wasiatnya batal. Sebagaimana pembunuhan menghalangi seseorang dari mendapatkan warisan, demikian pula pembunuhan menghalangi seseorang dari mendapatkan wasiat. [27]Mudzakkirah Fiqh, 3/129-130.
9. Pihak yang diberi wasiat ma’lum (jelas).
Kejelasan ini bisa berupa penyebutan nama, misalnya dengan mengatakan, “Saya berwasiat untuk diberikan uang Rp. 1.000.000 kepada Abdullah bin Ahmad.” Dan bisa juga dengan penyebutan sifat, misalnya dengan mengatakan, “Saya berwasiat untuk diberikan uang Rp. 1.000.000 kepada anak sulung pak Ahmad.” Adapun jika pihak yang diberi wasiat tidak jelas maka tidak sah wasiatnya, misalnya seseorang mengatakan, “Saya berwaisat untuk diberikan uang Rp. 1.000.000 kepada salah satu dari anak pak Ahmad.” [28]Mudzakkirah Fiqh, 3/126.
10. Harta yang diwasiatkan adalah milik pemberi wasiat.
Shingga tidak sah berwasiat dengan harta orang lain.
11. Harta yang diwasiatkan ditunaikan setelah meninggalnya pemberi warisan.
Adapun jika ditunaikan sebelum meninggal maka termasuk kategori hibah bukan wasiat.
12. Barang yang diwasiatkan adalah sesuatu yang mubah
Adapun jika barang tersebut adalah sesuatu yang haram maka tidak boleh ditunaikan wasiatnya.
13. As-Shighat (lafadz) yang digunakan haruslah menunjukkan kepada makna wasiat, baik dengan lafadz yang sharih (tegas)
Misalnya ia mengatakan, “Saya wasiatkan seperlima hartaku untuk diberikan kepada si fulan”, atau dengan lafadz yang tidak tegas tetapi mengindikasikan makna wasiat seperti mengatakan, “Berikan seperlima hartaku kepada si fulan setelah saya meninggal.” [29]Mudzakkirah Fiqh, 3/126
14. Adanya qabul (penerimaan), dari orang yang diberi wasiat, baik dengan ucapan atau perbuatan.
Misalnya ia katakan, “Saya terima wasiatnya”, atau dengan perbuatan yang menunjukkan keridhaannya dalam menerima wasiat. [30]Jika wasiat ditujukan kepada mu’ayyan (person tertentu) maka qabul dan kepemilikan penerima wasiat sah setelah kematian pemberi wasiat, karena ketika itulah waktu tetapnya hak. Adapun jika wasiat … Continue reading Adapun jika orang yang diberi wasiat menolaknya maka tidak sah wasiat tersebut. [31]Jika Ahmad mewasiatkan supaya uang Rp. 1.000.000 diberikan kepada Zaid, kemudian setelah Ahmad meninggal, ahli warisnya menemui Zaid untuk menyerahkan uang tersebut, tetapi Zaid menolaknya, maka … Continue reading
E. Batalnya Wasiat
Wasiat menjadi batal dalam beberapa keadaan berikut [32]Lihat al-Fiqh al-Muyassar wa Adillatuhu min al-Qur’an wa as-Sunnah, hlm. 440, dan Mudzakkirah Fiqh, 3/129-130.:
Apabila orang yang diberi wasiat meninggal terlebih dahulu sebelum pemberi wasiat. Hal ini karena orang yang diberi wasiat belum memiliki hak terhadap harta wasiat sebelum meninggalnya pemberi warisan. Ketika ia meninggal terlebih dahulu maka wasiatnya batal.
Apabila barang yang diwasiatkan lenyap (hilang). Misalnya Ahmad berwasiat supaya mobilnya diberikan kepada Zaid, kemudian mobil itu terbakar habis maka wasiatnya batal.
Jika orang yang diberi wasiat membunuh pemberi wasiat. Sebagaimana disebutkan dalam kaidah :
مَنْ تَعَجَّلَ شَيْئًا قَبْلَ أَوَانِهِ عَلَى وَجْهٍ مُحَرَّمٍ عُوْقِبَ بِحِرْمَانِهِ
“Barangsiapa tergesa-gesa untuk mendapatkan sesuatu sebelum datang waktunya dengan cara yang haram maka dihukum tidak mendapatkannya.”
F. Beberapa Ketentuan Seputar Wasiat
1. Wasiat sah diberikan kepada setiap orang yang mempunyai kapasitas kepemilikan, baik orang muslim maupun orang kafir.
Berdasarkan firman Allah ﷻ:
إِلَّا أَنْ تَفْعَلُوا إِلَى أَوْلِيَائِكُمْ مَعْرُوفًا
“Kecuali kalau kamu hendak berbuat baik kepada mereka.” (QS. Ahzab : 6)
Muhammad bin Hanafiyyah rahimahullah berkata, “Itu adalah wasiat dari seorang muslim untuk orang Yahudi atau Nasrani.” [33]Al-Mulakhash al-Fiqhiy, 2/185.
Diriwayatkan pula bahwa Shafiyyah Ummul Mu’minin mewasiatkan sepertiga hartanya untuk saudaranya yang beragama Yahudi. [34]HR. Darimi no. (3180), Baihaqi no. (1265), Abdurrazzaq no. (19344).
Demikian pula itu masuk dalam keumuman firman Allah ﷻ :
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah : 8)
2. Tidak sah wasiat untuk perkara kemaksiatan.
Seperti wasiat untuk pembangunan tempat kemusyrikan, mencetak buku-buku yang menyimpang, dan semisalnya. Karena wasiat dianjurkan untuk menambah kebaikan bagi si pemberi wasiat sehingga haram ditujukan kepada perkara yang mengandung kemaksiatan. [35]al-Fiqh al-Muyassar fi Dhau’ al-Kitab wa as-Sunnah, hlm. 273.
3. Diperbolehkan berwasiat dengan sepertiga harta [36]Apabila seseorang berwasiat lebih dari sepertiga hartanya sedangkan ahli waris tidak menyetujui maka yang ditunaikan hanyalah sepertiganya. sebagaimana disebutkan dalam hadits Sa’d bin Abi Waqqash. [37]HR. Bukhari no. (1296) dan Muslim no. (1628).
Namun, yang lebih utama adalah berwasiat kurang dari sepertiga. Ibnu ‘Abbas pernah radhiyallahu ta’ala ‘anhu berkata:
لَوْ أَنَّ النَّاسَ غَضُّوْا مِنَ الثُّلُثِ إِلَى الرُّبُعِ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الثُّلُثُ، وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ
“Alangkah baiknya jika orang-orang menurunkan wasiatnya dari sepertiga ke seperempat, sesungguhnya Rasulullah ﷺ bersabda, “Sepertiga saja, sepertiga itu sudah banyak.” [38]HR. Bukhari no. (5/363) dan Muslim (no. 1628).
4. Jika seseorang berwasiat dengan sepertiga hartanya, setelah itu ia memperoleh harta tambahan baru, maka harta baru tersebut masuk dalam perhitungan wasiat.
Karena ukuran sepertiga dihitung dari keseluruhan harta yang ia miliki ketika meninggal. [39]Al-Mulakhash al-Fiqhiy, 2/187.
5. Apabila sepertiga harta pemberi wasiat tidak mencukupi untuk membayar seluruh wasiatnya, sedangkan ahli waris tidak memperbolehkan lebih dari sepertiga, maka masing-masing penerima wasiat sama-sama mendapatkan pengurangan secara adil. [40]Lihat al-Mulakhash al-Fiqhiy, 2/182 dan al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat, hlm. 276.
Misalnya seseorang berwasiat dengan uang senilai Rp. 200.000.000, dengan rincian untuk Ahmad Rp. 100.000.000, untuk Zaid Rp. 50.000.000, dan untuk Ali Rp. 50.000.000, Sedangkan sepertiga hartanya hanya sejumlah Rp. 50.000.000. Di sini perbandingan antara sepertiga harta dengan total wasiat adalah 1/4. Maka penerima wasiat, yaitu Ahmad, Zaid, dan Ali masing-masing mendapatkan seperempat dari wasiat yang seharusnya ia dapatkan. Ahmad mendapatkan Rp. 25.000.000, Zaid mendapatkan Rp. 12.500.000, dan Ali mendapatkan Rp. 12.500.000.
6. Wasiat ditunaikan setelah terpenuhi kewajiban yang lebih utama, seperti hutang, zakat, nadzar, kaffarah, dan semisalnya. [41]Misalnya apabila seseorang berwasiat dengan sepertiga hartanya. Ketika wafat ia meninggalkan harta senilai Rp. 80.000.000. Jika pengurusan jenazahnya menghabiskan biaya Rp. 10.000.000, dan untuk … Continue reading
Sebagaimana perkataan Ali bin Abi Thalib رضي الله عنه :
قَضَى رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالدَّيْنِ قَبْلَ الْوَصِيَّةِ
“Rasulullah menetapkan supaya dibayarkan hutang terlebih dahulu sebelum wasiat.” [42]HR. Ibnu Majah dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah no. (2212).
7. Diperbolehkan bagi orang yang berwasiat untuk membatalkan wasiatnya baik sebagian atau seluruhnya. [43]Berdasarkan kesepakatan para ulama’ (al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat, hlm. 277).
Misalnya seseorang berwasiat supaya sepertiga hartanya disalurkan untuk pembangunan masjid, kemudian ia batalkan maka itu diperbolehkan. Hal ini karena wasiat tidak bersifat lazim (mengikat) sebelum pemberi wasiat meninggal, maka selama pemberi wasiat masih dalam keadaan hidup ia berhak membatalkan atau merubah wasiatnya. [44]Mudzakkirah Fiqh, 3/129.
Oleh karena itu ‘Umar bin Khathab رضي الله عنه pernah berkata :
يُغَيِّرُ الرَّجُلُ مَا شَاءَ مِنْ وَصِيَّتِهِ
“Seseorang boleh merubah wasiatnya sesuai keinginannya.” [45]Atsar riwayat Al Baihaqi (6/281), dan diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Muhannafnya (9/71) dari perkataan Atha’, Thawus, dan Abu Sya’tsa’.
Referensi
1 | al-Fiqh al-Muyassar wa Adillatuhu min al-Qur’an wa as-Sunnah, hlm. 437, Mudzakkirah Fiqh 4/126, dan al-Fiqh al-Muyassar fi Dhau’ al-Kitab wa as-Sunnah, hlm. 272. |
---|---|
2 | al-Fiqh al-Muyassar, 6/277. |
3 | Wasiat mencakup juga perintah melakukan tasharruf (tindakan) setelah kematian seseorang, misalnya ia berkata, “Setelah aku meninggal, hendaklah yang mengurusi anak-anakku adalah fulan bin fulan. (Mudzakkirah Fiqh, 3/126). |
4 | HR. Bukhari no. (2738) dan Muslim no. (1627). |
5 | al-Mulakhash al-Fiqhiy, 2/178. |
6 | al-Mughni, 6/137. |
7 | Minhaj al-Muslim, hlm. 328. |
8 | al-Mulakkhash al-Fiqhiy, 2/178. |
9 | al-Fiqh al-Muyassar, 6/279. |
10 | HR. Ibnu Majah no. (2709), Daruquthni (4/450), Baihaqi (6/264), hadits ini hasan, lihat Irwa’ al-Ghalil (6/77). |
11, 15 | Mudzakkirah Fiqh, 3/128. |
12, 14, 37 | HR. Bukhari no. (1296) dan Muslim no. (1628). |
13 | Jika wasiat melebihi sepertiga dari total harta, maka itu tergantung kepada persetujuan ahli waris setelah pemberi wasiat meninggal. Jika seluruh ahli waris menyetujuinya maka wasiat bisa ditunaikan. Namun jika mereka tidak menyetujui, maka hanya sepertiga harta yang bisa ditunaikan untuk wasiat. (Lihat al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat, hlm. 276) |
16 | HR. Abu Dawud no. (2853), Tirmidzi no. (2203), Ibnu Majah no. (2713), dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah no. (2193). |
17 | Al Mughni, 8/396. |
18 | Lihat al-Fiqh al-Muyassar, 6/280. |
19 | Shighat dalam akad wasiat sah dengan setiap ungkapan yang menunjukkan makna wasiat, tidak harus dengan ungkapan tertentu. (Mudzakkirah Fiqh, 3/126) |
20 | Lihat al-Fiqh al-Muyassar, 6/280-284. |
21 | Para ulama’ berbeda pendapat tentang kapan seorang anak dihukumi tamyiz. Jumhur ulama’ berpendapat bahwa seorang anak tamyiz jika sudah berusia tujuh tahun, dengan dalil sabda Nabi ﷺ yang memerintahkan supaya orang tua menyuruh anaknya melaksanakan shalat ketika usianya sudah menginjak tujuh tahun. Ulama’ lainnya berpendapat bahwa tamyiz tidak diukur dengan usia tertentu, tetapi berbeda-beda sesuai kondisi anak dari sisi kecerdasan dan kemampuannya, dan inilah pendapat yang benar. Akan tetapi umumnya seorang anak tamyiz jika sudah berusia tujuh tahun. Meskipun ada kemungkinan seorang anak tamyiz ketika usianya belum tujuh tahun, sebagaimana telah datang riwayat dari salaf bahwa sebagian anak mereka memiliki pemahaman dan hafalan yang kuat sedangkan usianya belum sampai lima tahun. (Lihat Syarhul Qawa’id As Sa’diyah, hlm. 82-83). |
22 | Ini adalah pendapat madzhab Malikiyah dan Hanabilah. Adapun madzhab Hanafiyah dan Syafi’iyyah berpendapat bahwa dipersyaratkan baligh untuk keabsahan wasiat. (al-Fiqh al-Muyassar, 5/280-281). |
23 | Atsar riwayat Imam Malik dengan sanad yang shahih. (al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat, hlm. 274) |
24 | Minhaj al-Muslim, hlm. 329. |
25 | Lihat al-Mulakhas al-Fiqhiy, 2/186. |
26 | Ibid, 2/185. |
27 | Mudzakkirah Fiqh, 3/129-130. |
28 | Mudzakkirah Fiqh, 3/126. |
29 | Mudzakkirah Fiqh, 3/126 |
30 | Jika wasiat ditujukan kepada mu’ayyan (person tertentu) maka qabul dan kepemilikan penerima wasiat sah setelah kematian pemberi wasiat, karena ketika itulah waktu tetapnya hak. Adapun jika wasiat itu bukan untuk person tertentu, misalnya untuk fakir miskin, atau untuk para penuntut ilmu, atau untuk kepentingan masjid, atau untuk anak-anak yatim, maka tidak perlu adanya qabul (penerimaan), dan otomatis bersifat lazim (mengikat) setelah wafatnya pemberi warisan. (Lihat al-Fiqh al-Muyassar fi Dhau’ al-Kitab wa as-Sunnah, hlm. 274). |
31 | Jika Ahmad mewasiatkan supaya uang Rp. 1.000.000 diberikan kepada Zaid, kemudian setelah Ahmad meninggal, ahli warisnya menemui Zaid untuk menyerahkan uang tersebut, tetapi Zaid menolaknya, maka ketika itu wasiatnya batal, dan uang tersebut dikembalikan kepada para ahli waris. (Lihat Mudzakkirah Fiqh, 3/127). |
32 | Lihat al-Fiqh al-Muyassar wa Adillatuhu min al-Qur’an wa as-Sunnah, hlm. 440, dan Mudzakkirah Fiqh, 3/129-130. |
33 | Al-Mulakhash al-Fiqhiy, 2/185. |
34 | HR. Darimi no. (3180), Baihaqi no. (1265), Abdurrazzaq no. (19344). |
35 | al-Fiqh al-Muyassar fi Dhau’ al-Kitab wa as-Sunnah, hlm. 273. |
36 | Apabila seseorang berwasiat lebih dari sepertiga hartanya sedangkan ahli waris tidak menyetujui maka yang ditunaikan hanyalah sepertiganya. |
38 | HR. Bukhari no. (5/363) dan Muslim (no. 1628). |
39 | Al-Mulakhash al-Fiqhiy, 2/187. |
40 | Lihat al-Mulakhash al-Fiqhiy, 2/182 dan al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat, hlm. 276. |
41 | Misalnya apabila seseorang berwasiat dengan sepertiga hartanya. Ketika wafat ia meninggalkan harta senilai Rp. 80.000.000. Jika pengurusan jenazahnya menghabiskan biaya Rp. 10.000.000, dan untuk melunasi hutangnya diambil sejumlah Rp. 10.000.000, sisanya sejumlah Rp. 60.000.000. Maka sepertiga harta yang dikeluarkan untuk wasiat dihitung dari Rp. 60.000.000 tersebut, yaitu sejumlah Rp. 20.000.000. Setelah itu barulah sisa senilai Rp. 40.000.000 dibagikan kepada ahli warisnya. |
42 | HR. Ibnu Majah dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah no. (2212). |
43 | Berdasarkan kesepakatan para ulama’ (al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat, hlm. 277). |
44 | Mudzakkirah Fiqh, 3/129. |
45 | Atsar riwayat Al Baihaqi (6/281), dan diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Muhannafnya (9/71) dari perkataan Atha’, Thawus, dan Abu Sya’tsa’. |