Qawa’id Fiqhiyyah: Tidak Ada Pahala Kecuali dengan Niat
Makna Kaidah
Kaidah ini menjelaskan tentang urgensi niat bagi seorang hamba. Dikarenakan pahala di akhirat dan balasan yang baik dari amalan-amalan yang dilakukan seorang hamba tidak akan diperoleh kecuali diiringi dengan niat yang baik dalam rangka bertaqarrub kepada Allah ﷻ dan beribadah kepada-Nya. Sehingga seseorang yang melaksanakan amalan ibadah dengan niat ikhlas karena mengharap wajah Allah ﷻ dan keridhaan-Nya, dia lah yang akan mendapatkan pahala dari-Nya. Adapun seseorang yang beramal karena ingin memperoleh keuntungan-keuntungan dunia atau berniat supaya mendapat sanjungan dan pujian manusia semata, maka ia tidak akan memperoleh pahala dari-Nya.
Maka kaidah ini menjelaskan perbedaan antara amalan yang dilakukan dengan niat yang baik dan amalan yang dilakukan dengan niat yang buruk. Meskipun secara lahiriah kedua amalan tersebut sama namun hakikatnya memiliki perbedaan yang jauh ditinjau dari sisi didapatkannya pahala atau tidak.
Dalil yang Mendasarinya
Di antara nya adalah hadits Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ta’ala ‘anhu riwayat Abu Dawud rahimahullahu ta’ala:
عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: اْلغَزْوُ غَزْوَانِ فَأَمَّا مَنِ ابْتَغَى وَجْهَ اللهِ وَ أَطَاعَ اْلإِمَامَ وَ أَنْفَقَ اْلكَرِيْمَةَ وَ يَاسَرَ الشَّرِيْكَ وَ اجْتَنَبَ اْلفَسَادَ فَإِنَّ نَوْمَهُ وَ نَبْهَهُ أَجْرٌ كُلُّهُ وَ أَمَّا مَنْ غَزَا فَخْرًا وَ رِيَاءًا وَ سُمْعَةً وَ عَصىَ اْلإِمَامَ وَ أَفْسَدَ فىِ اْلأَرْضِ فَإِنَّهُ لَمْ يَرْجِعْ بِاْلكَفَافِ
Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah ﷺ bahwasanya beliau bersabda, “Berperang itu ada dua macam. Adapun orang yang berperang karena mencari keridhoan Allah ﷻ, menaati imam, menginfakkan harta berharganya, memberi kemudahan kepada kawannya, dan menjauhi kerusakan, maka tidur dan terjaganya terhitung pahala seluruhnya. Adapun orang yang berperang karena kebanggaan, riya’ dan sum’ah, menentang pemimpin, dan membuat kerusakan di muka bumi, maka ia tidak akan kembali dengan membawa balasan.” [1]HR. Abu Dawud no. 2515. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam Silsilah al-Ahadits as-Shahihah, no. 1990.
Dalam hadits ini Rasulullah ﷺ menjelaskan bahwa orang yang berjihad di jalan Allah ﷻ karena mengharapkan keridhaan dan pahala dari-Nya, maka orang seperti ini lah yang akan mendapatkan balasan yang baik. Bahkan Allah ﷻ akan memberi pahala atas setiap aktivitas yang ia lakukan ketika berjihad itu berupa tidur, terbangun, dan semisalnya. Hal itu tidak lain hanyalah karena ia keluar di jalan Allah ﷻ karena taat kepada Rabbnya dengan mengharap keridhaan dan pahala dari-Nya. Adapun orang yang keluar berperang sekedar untuk berbangga-bangga dan keangkuhan maka pelakunya tidak akan memperoleh pahala. Ini menunjukkan bahwa tidak ada pahala kecuali disertai niat yang baik.
Demikian pula disebutkan dalam hadits Abu Hurairah radiyallahu ta’ala ‘anhu riwayat Bukhari rahimahullahu ta’ala:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ احْتَبَسَ فَرَسًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِيمَانًا بِاللَّهِ وَتَصْدِيقًا بِوَعْدِهِ فَإِنَّ شِبَعَهُ وَرِيَّهُ وَرَوْثَهُ وَبَوْلَهُ فِي مِيزَانِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Dari Abu Hurairah ia berkata, “Nabi ﷺ pernah bersabda, “Barang siapa yang memelihara seekor kuda untuk fii sabilillah karena keimanan kepada Allah ﷻ dan membenarkan janji-Nya, maka sesungguhnya makan dan minumnya kuda itu, kotoran dan kencingnya, akan menjadi timbangan kebaikan baginya pada hari kiamat.” [2]HR. al-Bukhari no. 2853, an-Nasa’i no. 3582, Ahmad 2/374.
Hadits di atas termasuk dalil paling jelas yang menunjukkan eksistensi kaidah ini. Hadits ini menjelaskan bahwa seseorang yang mewakafkan kuda untuk pelaksanaan jihad fi sabilillah apabila ia melakukannya dalam rangka mengharapkan pahala dari Allah ﷻ, dan termotivasi oleh keimanan kepada Allah ﷻ serta membenarkan janji yang disediakan oleh-Nya maka apa saja yang dilakukan kuda tersebut berupa makan, minum, dan semisalnya akan menjadi bagian timbangan kebaikannya nanti di hari kiamat. Itu semua adalah karena keberkahan niat yang baik. Maka jelaslah bahwa didapatkannya pahala itu tergantung kepada niat, dan tidak ada pahala kecuali disertai dengan niat yang baik.
Contoh Penerapan Kaidah
Kaidah yang mulia ini mempunyai banyak contoh implementatif, baik berkaitan dengan aspek ibadah maupun mu’amalah. Berikut ini beberapa di antaranya :
1. Telah dimaklumi bahwa menaati penguasa dalam perkara yang ma’ruf termasuk kewajiban syar’i yang telah tetap berdasarkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As-sunnah.
Akan tetapi seseorang yang menaati penguasa sekedar untuk mendapatkan keuntungan dunia, atau sekedar supaya mendapatkan kedudukan di pemerintahan, atau supaya jabatannya tetap terjaga, atau sekedar supaya mendapatkan catatan positif dari penguasa, tanpa terbesit dalam hatinya niat beribadah dan taqarrub kepada Allah ﷻ maka tidak ada pahala baginya dalam ketaatannya itu. Bahkan bisa jadi perbuatannya itu akan menjadi musibah baginya di dunia dan akhirat. Adapun seseorang yang taat kepada penguasa dikarenakan Allah ﷻ lah yang telah memerintahkan untuk taat kepada penguasa, sehingga ia melakukannya karena melaksanakan perintah Allah ﷻ, dan juga melaksanakan perintah Rasulullah ﷺ maka orang seperti inilah yang akan mendapatkan pahala dari-Nya.
2. Menulis kitab yang bermanfaat sesungguhnya termasuk kategori amal shalih.
Akan tetapi seorang penulis tidak akan memperoleh pahala kecuali jika ia meniatkannya dengan niat yang baik. Apabila niatnya ketika menulis hanyalah sekedar untuk berbangga-bangga, sum’ah, atau untuk mengarahkan pandangan manusia kepadanya, atau mencari keuntungan dunia semata, maka ia tidak akan mendapatkan pahala sedikitpun, karena tidak ada pahala kecuali disertai dengan niat yang baik.
3. Tidak diragukan bahwa mengajak kepada perkara ma’ruf dan mencegah dari perkara munkar termasuk ibadah yang mulia.
Akan tetapi pahala amalan tersebut tergantung dengan ada tidaknya niat yang baik. Seseorang yang mengerjakannya dengan maksud untuk memperoleh pujian manusia dan sanjungan semata, atau sekedar karena tuntutan pekerjaan yang harus ia kerjakan, maka tidak ada pahala baginya karena tidak ada pahala kecuali dengan niat yang shalih.
4. Sesungguhnya niat dalam rangka beribadah kepada Allah ﷻ semata merupakan salah satu di antara syarat sahnya sholat.
Oleh karena itu, jika seorang hamba melaksanakan shalat dengan niatan riya’, sum’ah, atau sekedar untuk mendapatkan keuntungan dunia maka shalatnya tidak diterima. Dan lebih-lebih lagi pahala pun tidak akan ia dapatkan, karena tidak ada pahala kecuali disertai dengan niat yang baik. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits qudsi, Allah ﷻ berfirman :
أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيْهِ مَعِيَ غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ.
“Aku adalah Dzat Yang paling tidak butuh kepada persekutuan para sekutu; barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang di dalamnya dia mempersekutukan-Ku dengan sesuatu selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya beserta kesyirikan yang diperbuatnya.” [3]HR. Muslim no. 2985.
5. Melunasi hutang dan semisalnya dari penunaian hak-hak sesama hamba apabila diiringi niat yang baik maka akan mendatangkan pahala bagi pelakunya.
Namun jika seseorang melakukannya tanpa adanya niatan tersebut, atau melakukannya sekedar karena paksaan penguasa atau semisalnya maka ia tidak berhak mendapatkan pahala. Ini tidak berarti bahwa pembayaran hutang tersebut tidak sah, karena penunaian hak-hak semacam itu tidak dipersyaratkan niat untuk keabsahannya, namun pembahasan disini berkaitan dengan didapatkannya pahala atau tidak. Jika ia meniatkan kebaikan dalam rangka melaksanakan perintah Allah ﷻ maka ia akan mendapatkan pahala dan jika tidak maka tidak ada pahala baginya.
6. Setiap amalan yang disertai riya’ sedangkan pelakunya tidak berusaha menolaknya, bahkan ia membiarkan dan ridho dengannya maka itu adalah amalan yang bathil dan tidak ada pahala di dalamnya.
Sebagaimana seseorang yang melakukan shalat sekedar supaya terhindar dari hukuman penguasa, atau seseorang yang membayar zakat supaya tidak terkena hukuman dari pemerintah maka tidaklah ada pahala bagi pelakunya, karena amalan tersebut kosong dari niat peribadatan dan taqarrub kepada Allah ﷻ. [4]Diangkat dari Risalah fi Tahqiq Qawa’id an-Niyyah, Syaikh Walid bin Rasyid as-Sa’idan, Kaidah Ketiga.
Wallahu a’lam bisshowab.
Disusun oleh Ustadz Abu Muslim Nurwan Darmawan, B.A., حفظه الله تعالى
Artikel Ilmiyah AlUkhuwah.Com
Referensi
1 | HR. Abu Dawud no. 2515. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam Silsilah al-Ahadits as-Shahihah, no. 1990. |
---|---|
2 | HR. al-Bukhari no. 2853, an-Nasa’i no. 3582, Ahmad 2/374. |
3 | HR. Muslim no. 2985. |
4 | Diangkat dari Risalah fi Tahqiq Qawa’id an-Niyyah, Syaikh Walid bin Rasyid as-Sa’idan, Kaidah Ketiga. |