Qawa’id Fiqhiyyah: Akad Jual Beli Tidak Sah Kecuali Dilakukan oleh Pemilik Barang atau Pihak yang Telah Diizinkan
Makna Kaidah
Kaidah ini menjelaskan salah satu syarat dalam akad jual beli di mana akad tersebut tidak sah kecuali jika dilakukan oleh pemilik barang atau pihak yang telah diizinkan untuk melakukan tasharruf (tindakan) terhadap barang objek transaksi. [1]Izin melakukan tasharruf atas suatu barang adakalanya diberikan oleh pemilik barang misalnya seorang wakil, dan adakalanya diberikan oleh syari’at misalnya wali (pengurus) anak yatim yang … Continue reading
Secara syari’at, yang dimaksud dengan kepemilikan adalah hubungan antara seseorang dengan suatu barang yang menyebabkannya bisa melakukan tasharruf atas barang itu secara mutlaq, dan mencegah orang lain dari melakukukan tasharruf atasnya. [2]Dari pengertian ini bisa difahami bahwa hak suami atas istri tidak termasuk kepemilikan karena istri bukanlah benda, sehingga tidak bisa dikatakan milik suaminya.
Dalil Kaidah
Di antara dalil yang mendasari eksistensi kaidah ini adalah sabda Nabi ﷺ kepada Hakim bin Hizam رحمه الله
لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
“Janganlah engkau jual sesuatu yang tidak engkau miliki.” (HR. Abu Dawud no. 3503, Tirmidzi no. 1232, dan dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam Irwaul Ghalil 5/132.)
نْ عُرْوَةَ الْبَارِقِيِّ ﷺ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ أَعْطَاهُ دِيْنَارًا يَشْتَرِي لَهُ شَاةً، فَاشْتَرَى لَهُ شَاتَيْنِ فَبَاعَ إِحْدَاهُمَا بِدِيْنَارٍ، فَأَتَى النَّبِيَّ ﷺ بِدِيْنَارٍ وَشَاةٍ، فَدَعَا لَهُ رَسُوْلُ اللهِ بِالْبَرَكَةِ.
Dari ‘Urwah Al Bariqi رضي الله عنه, bahwa Nabi ﷺ pernah memberinya satu dinar untuk dibelikan seekor kambing, kemudian ‘Urwah berhasil mendapatkan dua ekor kambing dari uang itu. Lalu ia menjual salah satunya dengan harga satu dinar. Selepas itu, ia mendatangi Nabi ﷺ dengan membawa satu dinar dan seekor kambing. Maka Rasulullah ﷺ mendoakannya dengan keberkahan. [3] HR. Abu Dawud no. 3384, Tirmidzi no. 1258, dan dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah no. 1960.
Dalam hadits ini, Nabi ﷺ mewakilkan ‘Urwah untuk membeli seekor kambing, menunjukkan bahwa orang yang telah diberi izin oleh pemilik barang untuk menjualkan barang maka transaksinya sah. [4]Dalam transaksi jual beli di masa ini, di mana nasabah membeli barang dari pihak bank dan telah dilakukan penandatanganan dokumen akad jual beli antara keduanya, baru setelah itu bank mencari barang … Continue reading
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin رحمه الله berkata, “Secara nazhor (logika) seandainya seseorang diperbolehkan menjual barang yang tidak ia miliki maka akan muncul permusuhan dan kekacauan sehingga kehidupan manusia tidak akan teratur. Oleh karena itu, tidak bisa dibenarkan sebagian manusia melangkahi sebagian yang lain dalam menjual harta mereka.” [5]As-Syarh Al-Mumti’ 8/128.
Pembagian Tasharruf Ditinjau dari Pelaku Akad
Ditinjau dari pelaku akad, ada tiga macam tasharruf yang dilakukan seseorang :
- Tasharruf yang dilakukan pemilik barang, telah maklum bahwa ini diperbolehkan.
- Tasharruf yang dilakukan oleh orang yang telah mendapatkan izin, baik dari pemilik barang atau dari syari’at. Telah maklum juga bahwa ini diperbolehkan.
- Tasharruf yang dilakukan selain kedua macam di atas, yaitu bukan pemilik barang dan belum mendapatkan izin, misalnya seseorang menjualkan barang orang lain tanpa seizinnya, Inilah yang disebut dengan tasharruf fudhuli. Para ulama’ berbeda pendapat tentang hukum tasharruf fudhuli. Pendapat terkuat dalam masalah ini adalah dirinci.
Pertama : jika transaksi tersebut menimbulkan madharat bagi pemilik barang, misalnya si A menjualkan motor si B tanpa seizinnya dengan harga yang sangat rendah, maka transaksi ini tidak sah sejak asalnya.
Kedua : transaksi tersebut mendatangkan manfaat bagi pemilik barang, misalnya si A menjualkan motor si B dengan harga tinggi. Dalam kasus ini, keabsahan transaksi tergantung persetujuan dari pemilik barang, dalam hal ini si B. Jika ia setuju motornya dijual maka transaksinya sah, jika tidak maka tidak. [6]Tasharruf fudhuli sah apabila mendapat persetujuan pemilik barang berdasarkan hadits dari ‘Urwah Al Bariqi yang telah lewat. Penjelasan lebih lengkap tentang tasharruf fudhuli disebutkan dalam … Continue reading
Contoh Penerapan Kaidah
- Apabila seseorang memesan pembuatan pintu kepada tukang kayu dengan ukuran dan bentuk yang telah disepakati keduanya, demikian pula telah disepakati harganya. Setelah itu barulah si tukang kayu mencari bahan-bahan dan membuat pintu sesuai pesanan, maka itu diperbolehkan meskipun ketika terjadinya akad si tukang kayu belum memiliki barang yang dijual, karena ini termasuk akad istishna’. [7]Istishna’ adalah akad memesan kepada seseorang supaya membuatkan komoditas tertentu dan dialah yang langsung membuatnya. Penjelasan lebih lengkap tentang istishna’ disebutkan dalam … Continue reading
- Diperbolehkan jual beli rumah berdasarkan gambar desain. Meskipun rumah tersebut belum ada ketika dilakukan akad namun diperbolehkan karena termasuk jual beli secara istishna’. [8]Pihak penjual dalam kasus ini harus pembuat rumah. Adapun orang yang membeli dari si pembuat rumah maka tidak boleh menjualnya sampai ia memiliki rumah tersebut.
- Apabila si A ingin membeli 10 potong kain kepada si B, namun si B hanya memiliki 6 potong kain. Untuk melengkapinya si B mengambil 4 potong sisanya di toko sebelah (milik si C) dan ia jualkan. Maka ini diperbolehkan jika memang seperti itu kebiasaan yang ada di kalangan para pedagang di tempat itu. Namun perlu diperhatikan bahwa si B sekedar mewakili si C dalam menjualkan barangnya, sehingga keuntungannya pun menjadi milik si C.
Wallahu a’lam.
Disusun Oleh Ustadz Abu Muslim Nurwan Darmawan, B.A.
Artikel Alukhuwah.Com
Referensi
1 | Izin melakukan tasharruf atas suatu barang adakalanya diberikan oleh pemilik barang misalnya seorang wakil, dan adakalanya diberikan oleh syari’at misalnya wali (pengurus) anak yatim yang diizinkan untuk melakukan tindakan mengelola harta anak yatim dengan cara yang baik. Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin رحمه الله menjelaskan bahwa ada empat golongan yang menempati kedudukan pemilik barang, yaitu : wakil, washiy (penerima wasiat), wali, dan nazhir (wakaf). (As-Syarh Al-Mumti’ 8/128. |
---|---|
2 | Dari pengertian ini bisa difahami bahwa hak suami atas istri tidak termasuk kepemilikan karena istri bukanlah benda, sehingga tidak bisa dikatakan milik suaminya. |
3 | HR. Abu Dawud no. 3384, Tirmidzi no. 1258, dan dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah no. 1960. |
4 | Dalam transaksi jual beli di masa ini, di mana nasabah membeli barang dari pihak bank dan telah dilakukan penandatanganan dokumen akad jual beli antara keduanya, baru setelah itu bank mencari barang yang dimaksud dan menyerahkannya kepada nasabah maka jual beli ini tidak sah karena ketika akad terjadi pihak bank belum memiliki barang. |
5 | As-Syarh Al-Mumti’ 8/128. |
6 | Tasharruf fudhuli sah apabila mendapat persetujuan pemilik barang berdasarkan hadits dari ‘Urwah Al Bariqi yang telah lewat. Penjelasan lebih lengkap tentang tasharruf fudhuli disebutkan dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah 32/171-177. |
7 | Istishna’ adalah akad memesan kepada seseorang supaya membuatkan komoditas tertentu dan dialah yang langsung membuatnya. Penjelasan lebih lengkap tentang istishna’ disebutkan dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah 3/325-329. |
8 | Pihak penjual dalam kasus ini harus pembuat rumah. Adapun orang yang membeli dari si pembuat rumah maka tidak boleh menjualnya sampai ia memiliki rumah tersebut. |