Sirah: Keluarga Besar Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam (Bagian Ketiga)

Yang terakhir, di kesempatan kali ini adalah kisah singkat ayahanda Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam.

Kisah ‘Abdulllah bin Abdil Muththalib

Ibu ’Abdullah bernama Fathimah binti ’Amru bin ’Aaiz bin ’Imran bin Makhzum bin Yaqzhah bin Murrah. ’Abdullah ini adalah anak yang paling tampan diantara putera-putera ’Abdul Muththalib, yang paling bersih jiwanya dan paling disayanginya. Dia lah yang sebenarnya calon kurban yang dipersembahkan oleh ’Abdul Muththalib sesuai nadzarnya diatas.

Ceritanya ; Ketika ’Abdul Muththalib sudah komplit mendapatkan sepuluh orang putera dan mengetahui bahwa mereka mencegahnya untuk melakukan niatnya, dia kemudian memberitahu mereka perihal nazar tersebut sehingga mereka pun menaatinya. Dia menulis nama-nama mereka di anak panah yang akan diundikan diantara mereka dan dipersembahkan kepada patung Hubal, kemudian undian tersebut dimulai maka setelah itu keluarlah nama ’Abdullah. ’Abdul Muththalib membimbingnya sembari membawa pedang dan mengarahkan wajahnya ke Ka’bah untuk segera disembelih, namun orang-orang Quraisy mencegahnya, terutama paman-pamannya (dari pihak ibu) dari Bani Makhzum dan saudaranya, Abu Thalib. Menghadapi sikap tersebut, ’Abdul Muththalib berkata:

فَكَيْفَ أَصْنَعُ بِنَذْرِيْ؟

“Lantas, apa yang harus kuperbuat dengan nadzarku?”.

Mereka menyarankannya agar dia menghadirkan dukun/peramal wanita dan meminta petunjuknya. Dia kemudian datang kepadanya dan meminta petunjuknya. Dukun/peramal wanita ini memerintahkannya untuk menjadikan anak panah undian tersebut diputar antara nama ’Abdullah dan sepuluh ekor unta; jika yang keluar nama Abdullah maka dia (’Abdul Muththalib) harus menambah tebusan sepuluh ekor unta lagi, begitu seterusnya hingga Tuhannya ridha. Dan jika yang keluar atas nama unta maka dia harus menyembelihnya sebagai kurban. ’Abdul Muththalib pun kemudian pulang ke rumahnya dan melakukan undian (sebagaimana yang diperintahkan dukun wanita tersebut) antara nama ’Abdullah dan sepuluh ekor unta, lalu keluarlah yang nama ’Abdullah; bila yang terjadi seperti ini maka dia terus menambah tebusan atasnya sepuluh ekor unta begitu seterusnya, setiap diundi maka yang keluar adalah nama ’Abdullah dan dia pun terus menambahnya dengan sepuluh ekor unta hingga unta tersebut sudah berjumlah seratus ekor berulah undian tersebut jatuh kepada onta-onta tersebut, maka dia kemudian menyembelihnya dan meninggalkannya begitu saja tanpa ada yang menyentuhnya baik oleh tangan manusia maupun binatang buas.

Dulu diyat (denda) di kalangan orang Quraisy dan Bangsa ’Arab secara keseluruhan dihargai dengan sepuluh ekor unta, namun sejak peristiwa itu maka diubah menjadi seratus ekor unta yang kemudian dilegitimasi oleh Islam. Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam bahwasanya beliau bersabda:

‏أَنَا ابْنُ الذَّبِيْحَيْنِ، يَعْنِى إِسْمَاعِيْلَ، وَأَبَاهُ عَبْدَ اللّٰهِ‏

 “Aku lah anak (cucu) kedua orang yang dipersembahkan sebagai sembelihan/kurban”. Yakni, Nabi Isma’il ‘alaihis salam dan ayah beliau ’Abdullah (Ibnu Hisyam;I/151-155, Tarikh ath-Thabari;II/240-243).

’Abdul Muththalib memilihkan buat putranya, ’Abdullah seorang gadis bernama Aminah binti Wahab bin ’Abdu Manaf bin Zuhrah bin Kilab. Aminah ketika itu termasuk wanita idola di kalangan orang-orang Quraisy baik dari sisi nasab ataupun martabatnya. Ayahnya adalah pemuka suku Bani Zahrah secara nasab dan kedudukannya. Akhirnya ’Abdullah dikawinkan dengan Aminah dan tinggal bersamanya di Mekkah. Tak berapa lama kemudian, dia dikirim oleh ayahnya, ’Abdul Muththalib ke Madinah. Ketika sampai disana dia sedang dalam kondisi sakit, sehingga kemudian meninggal disana dan dikuburkan di Daar an-Naabighah al-Ja’di. Ketika (meninggal) itu dia baru berumur 25 tahun dan tahun meninggalnya tersebut adalah sebelum kelahiran Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam sebagaimana pendapat mayoritas sejarawan. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa dia meninggal dua bulan atau lebih setelah kelahiran Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam.

Ketika berita kematiannya sampai ke Mekkah, Aminah, sang istri meratapi kepergian sang suami dengan untaian ar-Ratsaa’ (bait syair yang berisi ungkapan kesedihan hati atas kematian seseorang dengan menyebut kebaikan-kebaikannya) yang paling indah dan menyentuh:

عَفَا جَانِبُ البَطْحَاءِ مِنَ ابْنِ هَاشِمِ ** وَجَاوَرَ لَحْدًا خَارِجـًا فِي الغَـمَاغِـــمِ

دَعَتْـهُ المَنـَـايَا دَعـْـوَةً فَأَجـَابَـــهَـا ** وَمَا تَرَكَتْ فِي النَّاسِ مِثْلَ ابْنِ هَاشِـمِ

عَشِيـَّةٌ رَاحُـوْا يَحْمِلـُـوْنَ سَرِيـْرَهُ ** تَعَاوَرَهُ أَصْـحَـابـُـهُ فِي التَّزَاحُــــمِ

فَإِنْ تـَكُ غَـالَتُـهُ المَنـَـايَا وَرَيْبَهـَــا ** فَقـَدْ كـَانَ مِعْطَــاءً كـَثِيْرَ التَّزَاحُــــمِ

“Seorang putera Hasyim tiba (dengan kebaikan) di tanah lapang berkerikil… Keluar menghampiri liang lahad tanpa meninggalkan kata yang jelas… Rupanya kematian mengundangnya lantas disambutnya… Tak pernah ia (maut) mendapatkan orang semisal putera Hasyim… Di saat mereka tengah memikul keranda kematiannya… Kerabat-kerabatnya saling berdesakan untuk melayat/mengantarnya… Bilalah pemandangan berlebihan itu diperlakukan maut untuknya… Sungguh itu pantas karena dia adalah si banyak memberi dan penuh kasih…

Keseluruhan harta yang ditinggalkan oleh ’Abdullah adalah: lima ekor unta, sekumpulan kambing, seorang budak wanita dari Habasyah bernama Barakah dan Kun-yah (nama panggilannya) adalah Ummu Aiman yang merupakan pengasuh Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam.

Referensi :

Kitab Ar-Rahiq Al-Makhtum, karya Syaikh Shafiyyurrahman Mubarakfuri rahimahullah ta’ala. Halaman 52-53.

Disusun oleh : Ahmad Imron Al Fanghony

Sumber Artikel Ilmiah

Alukhuwah.Com

Back to top button