Akhlaq: Menyantuni Anak Yatim (Bagian pertama)
Termasuk diantara kebaikan syariat Islam dan kesempurnaan akhlak yang syariat mendakwahkan hal itu adalah berbuat baik kepada anak yatim. Anak yatim yaitu anak yang telah wafat ayahnya dalam umur belum mencapai baligh dan tidak ada anak yatim jika telah dewasa. Termasuk dalam hal ini adalah menyantuni anak yang tidak diketahui nasabnya, anak yang seperti ini masuk dalam hukum yatim karena ketiadaan kedua orang tuanya.
Bahkan anak yang seperti ini lebih membutuh kebaikan dan bantuan karena ketiadaan kedua orang tuanya yang dapat dijadikan sandaran dalam keadaan sulit. Maka barangsiapa yang mau menyantuni anak yang tidak memiliki nasab maka hal ini termasuk dalam pahala yang berlipat-lipat sebagaimana menyantuni anak yatim.
Jangan sakiti anak yatim
Dan sungguh Allah telah menyebutkan anak yatim di dalam Al Qur’an lebih dari 20 tempat. Di dalamnya Allah juga mewanti-wanti bagi siapapun yang berbuat dholim kepadanya, melanggar harta-hartanya atau apapun yang terkait dengan hak-haknya. Allah berfirman :
وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَٰقَ بَنِىٓ إِسْرَٰٓءِيلَ لَا تَعْبُدُونَ إِلَّا ٱللَّهَ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينِ وَقُولُوا۟ لِلنَّاسِ حُسْنًا وَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ ثُمَّ تَوَلَّيْتُمْ إِلَّا قَلِيلًا مِّنكُمْ وَأَنتُم مُّعْرِضُونَ
“Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kalian menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kalian tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling”. (Al-Baqarah : 83)
Dalam ayat ini Allah menekankan agar berbuat baik kepada anak yatim sebagaimana Allah menekankan hal itu kepada kedua orang tua dan sanak kerabat.
Allah juga berfirman :
أَرَءَيْتَ ٱلَّذِى يُكَذِّبُ بِٱلدِّينِ. فَذَٰلِكَ ٱلَّذِى يَدُعُّ ٱلْيَتِيمَ. وَلَا يَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ ٱلْمِسْكِينِ
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim. Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin”. (Al Ma’un : 1-3)
Allah berfirman :
فَأَمَّا ٱلْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ
“Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang”. (Ad-Dhuha : 9)
Berkata Al Hafidz Ibnu Katsir rahimahullahu ta’ala : “Sebagaimana kamu dahulu (wahai Muhammad) adalah anak yatim lalu Allah menjagamu, maka janganlah semena-mena kepada anak yatim. Yaitu jangan menghinanya, menghardiknya dan merendahkannya justru berbuat baiklah dan berlaku lemah lembutlah kepadanya”. (Tafsir Ibnu Katsir 18/327)
Dan sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu juga demikian. Beliau adalah manusia yang paling penyayang kepada anak yatim beliau juga yang paling lemah lembut dengannya. Sampai-sampai beliau berkata karena saking sayangnya beliau kepada anak yatim : “Aku dan orang yg menyantuni anak yatim seperti dua jari ini”.
Rasulullah ﷺ bersama orang yang menanggung anak yatim
Dari Sahl ibnu Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
أَنَا وَكاَفِلُ الْيَتِيْمِ فِي الْجَنَّةِ هَكَذَا” وَقَالَ بِإِصْبَعَيْهِ السَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى
“Kedudukanku dan orang yang menanggung anak yatim di surga bagaikan ini.” Beliau merapatkan jari telunjuk dan jari tengahnya. (HR. Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, no. 135. Hadits ini shahih sebagaimana dikatakan dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 800). [1]HR. Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, no. 135. Hadits ini shahih sebagaimana dikatakan dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 800
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau berkata: telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :
كافلُ اليَتِيمِ لَهُ أوْ لِغَيْرِهِ أَنا وهُوَ كَهَاتَيْنِ في الجنَّةِ. وأَشَارَ مالكٌ بالسَّبَّابَةِ والْوُسْطَى
“Orang yang menanggung anak yatim miliknya atau milik orang lain, maka Aku dan dia seperti ini di Surga”. Lalu Malik (periwayat hadits) mengisyaratkan dengan jari telunjuk dan jari tengah. (HR. Muslim no. 2983)
Riwayat ini mengisyaratkan bahwa orang yang menyantuni anak yatim akan berada di Surga bersama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Namun maksudnya bukan di tingkatan yang sama dengan beliau, karena tidak ada yang dapat meraih tingkatan tertinggi di Surga melainkan satu orang saja dan dia adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Berkata Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullahu ta’ala:
“Di dalam hadits ini terdapat isyarat bahwa jarak antara antara Nabi dan orang yang menyantuni anak yatim sejauh jarak antara jari telunjuk dan jari tengah… Dan cukuplah sebagai bukti penetapan dekatnya tempat tinggal satu dengan yang lainnya adalah bahwa diantara jari telunjuk dan tengah tidak ada jari yang lainnya”. (Fathu Albaari : 10/436).
Seandainya tidak ada dalil lain selain dalil ini maka pasti sudah cukup sebagai penjelasan akan keutamaan menyantuni, menyayangi, memperhatikan dan berbuat baik kepada anak yatim.
Berkata Al Hafidz Abu Umar bin Abdil Barr rahimahullahu ta’ala : “Ini merupakan keutamaan yang besar bagi siapapun yang mau memeluk dan merangkul anak yatim menuju tempat hidangannya dan memberikan nafkah dari harta bendanya, maka jika dia termasuk orang-orang yang mengatakan : Rabb kami adalah Allah lalu mereka bisa Istiqomah, maka dia akan mendapatkan hal itu.
Dan cukuplah bagimu dalam hal ini sebagai sebuah keutamaan dan dekatnya tempat tinggal bersama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam Surga. Dan tidak ada diantara jari telunjuk dan jari tengah jarak yang panjang dan dan kesesakan yang banyak, jika hal itu disandarkan dan dibandingkan dengan keluasan Surga”. (Al Istidzkaar : 8/434)
Berkata Ibnu Baththol rahimahullahu ta’ala :
“Wajib atas setiap Mukmin yang mendengar hadits ini untuk bersemangat mengamalkan amalan ini agar dia bisa menjadi teman dekat dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam di Surga dan juga bersama para Nabi dan para Rasul sholawatullahi wasalamuhu ‘alaihim ajma’in. Dan tidak ada tempat tinggal di akhirat yang paling utama kecuali tempat tinggal yang dekat dengan para Nabi”. (Syarah Shohih Al Bukhori 9/217)
Menyantuni anak yatim bisa dengan : menafkahinya, memberikan pakaian kepada nya, mendidiknya, mengajari akhlak dan adab, menumbuhkannya dalam hal kebaikan dan keistiqomahan. Sehingga menyantuni anak yatim tidak hanya berkisar antara memberi makan dan pakaian saja, bahkan termasuk di dalam menyantuni anak yatim adalah dengan memberikan nutrisi atau makanan ruhiyah qolbiyah bagi mereka.
Dengan mendidik di atas Islam, beradab dengan adab Islam, berakhlak dengan akhlak yang baik dan mulia, ditumbuhkan dengan pertumbuhan yang baik dan memegang erat tangannya agar dapat Istiqomah dan dapat menjaga ketaatan kepada Allah ta’ala.
Hubungan wanita, janda dan anak yatim
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
السَّاعِي على الأَرْمَلَةِ والْمِسكِينِ، كالْمُجَاهِدِ في سَبيلِ اللهِ – وأَحْسِبُهُ قالَ – وكالْقَائِمِ لا يَفْتُرُ، وكالصَّائِمِ لا يُفْطِرُ
“Orang yang membantu para janda dan orang-orang miskin, seperti orang yang berjihad di jalan Allah”. Dan aku (perawi hadits) mengira beliau berkata : “Seperti orang yang sholat malam tanpa putus dan seperti orang yang berpuasa tanpa berbuka”. (HR. Bukhari 6007 dan Muslim 2982)
Al Armalah adalah wanita yang tidak memiliki suami, baik karena tidak menikah, ditinggal wafat atau diceraikan. Ada juga yang mengatakan bahwa Al Armalah adalah wanita yang ditinggal wafat suaminya dan terkadang wanita ini memiliki anak.
Disebut Armalah karena berasal dari kata Al Irmaal yang artinya adalah kefakiran. Dan wafatnya orang yang menafkahi dan menanggung keperluan dia adalah suaminya. Sehingga jika wanita ini memiliki anak dari sang suaminya maka dia akan menjadi fakir karena hajatnya sekarang lebih besar. Dia harus menghidupi dirinya sendiri dan anak-anaknya. Oleh karena itu, dijadikanlah bab hadits ini dikalangan sebagian ulama dengan judul : “Orang yang menanggung janda dan anak yatim”.
Sabda beliau : “… Seperti orang yang berjihad di jalan Allah”. Dalam hadits ini terdapat penjelasan bahwa perkara ini termasuk jihad yang besar.
Sabda beliau : “Seperti orang yang sholat malam tanpa putus dan seperti orang yang berpuasa tanpa berbuka”. Dalam hadits ini terdapat keutamaan yang besar bagi orang yang mau menanggung janda dan anak yatim. Baginya adalah seperti derajat orang yang puasa seharian dan sholat semalaman.
Berkata Ibnu Baththol rahimahullahu ta’ala :
“Barangsiapa yang lemah dari berjihad di jalan Allah, sholat malam dan berpuasa maka hendaknya dia mengamalkan hadits ini. Hendaknya dia menyantuni para janda, anak-anak yatim dan orang-orang miskin agar kelak dibangkitkan diantara barisan para Mujahidin dijalan Allah pada hari Kiamat. Walaupun tanpa harus mengikuti jejak yang berbahaya itu, atau ikut berinfaq atau bertemu dengan musuh dan melawannya. Atau agar dikumpulkan digolongkan orang-orang yang puasa dan sholat sehingga mendapatkan derajat mereka, padahal dirinya makan di siang hari dan tidur di malam harinya. Maka selayaknya bagi seorang Mukmin untuk bersungguh-sungguh terhadap barang perniagaan yang tidak akan merugi ini. Menanggung janda dan orang-orang miskin dengan berharap wajah Allah dan mendapatkan keuntungan dari perniagaannya ini derajat orang-orang yang shalat dan puasa tanpa harus berlelah-lelah dan terasa capek. Dan demikian itu adalah karunia Allah yang Allah berikan kepada siapapun yang Allah kehendaki “. (Syarah Shahih Al Bukhari 9/218)
Cara melunakkan hati yang keras
ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲْ ﻫُﺮَﻳْﺮَﺓَ ﺃَﻥَّ ﺭَﺟُﻠًﺎ ﺷَﻜَﺎ ﺇِﻟَﻰ ﺭَﺳُﻮْﻝِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻗَﺴْﻮَﺓَ ﻗَﻠْﺒِﻪِ، ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻟَﻪُ : ﺍﻣْﺴَﺢْ ﺭَﺃْﺱَ ﺍﻟْﻴَﺘِﻴْﻢِ ﻭَأَﻃْﻌِﻢِ ﺍﻟْﻤِﺴْﻜِﻴْﻦَ.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau berkata : Pernah datang seseorang kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengadu soal kerasnya hatinya. Lalu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Usaplah kepala anak yatim dan berilah makan orang-orang miskin”. (HR. Ahmad no. 9006 dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani rahimahullahu ta’ala)
Mengusap kepala anak yatim sebagai bentuk berlemah lembut kepadanya dan menyayanginya. Dan memberi makan kepadanya tidak akan memberikan pengaruh pada dirinya atasnya dengan semata-mata makanan itu. Hal itu hanya sebagai sebab untuk melepaskan diri dari kerasnya hati.
Di dalam hadits ini pula terdapat petunjuk bagi orang yang diuji dengan penyakit akhlak yang jelek bahwa obatnya adalah melakukan kebalikan dari akhlak jelek tadi. Orang yang sombong diobati dengan sifat tawadhu’, orang yang pelit diobati dengan sifat dermawan dan orang yang keras hatinya diobati dengan berlemah-lembut dan menyayangi.
Bersambung insyaallah…
Referensi :
Kitab Ahaditsul Akhlaq karya Syaikh Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin Al Badr hafidzahullahu ta’ala, halaman 112-116.
Diterjemahkan oleh Ahmad Imron Al Fanghony
Referensi
1 | HR. Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, no. 135. Hadits ini shahih sebagaimana dikatakan dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 800 |
---|