Fiqih: Lima Hadits Shalat Jama’ah dan Penjelasannya

Hadits Pertama : Fadhilah Shalat Jama’ah

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا – أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: « صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ وَ لَهُمَا عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: « بِخَمْسٍ وَعِشْرِينَ جُزْءًا » وَ كَذَا لِلْبُخَارِيِّ: عَنْ أَبِي سَعِيدٍ، وَ قَالَ: « دَرَجَةً »

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, Rasulullah ﷺ bersabda :

“Shalat jama’ah 27 derajat lebih baik dibandingkan dengan shalat sendirian.” (Muttafaq ‘alaih) 

Dalam hadits lain yang juga riwayat Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah (tertulis) : “… 25 bagian …”. Begitu juga riwayat Bukhari, dari Abu Sa’id, Nabi ﷺ bersabda : “… derajat.”

Tentang Perbedaan Riwayat Hadits :

Ada banyak riwayat yang menyebutkan bahwa keutamaan shalat jama’ah adalah 25 derajat dibandingkan dengan shalat sendirian. Riwayat ini berasal dari banyak sahabat Nabi ﷺ, seperti : Anas bin Malik, ‘Aisyah, Shuhaib, Mu’adz, ‘Abdullah bin Zaid, Zaid bin Tsabit, radhiyallahu ‘anhum.

Imam Tirmidzi mengatakan :

عَامَّةُ مَنْ رَوَاهُ قَالُوا خَمْسًا وَعِشْرِينَ إلَّا ابْنَ عُمَرَ فَقَالَ سَبْعَةً وَعِشْرِينَ وَلَهُ رِوَايَةٌ فِيهَا خَمْسًا وَعِشْرِينَ

“Kebanyakan yang meriwayatkan hadits tentang keutamaan shalat jama’ah ; mereka mengatakan “25 derajat”, kecuali Ibnu ‘Umar, beliau mengatakan “27 derajat”. Bahkan Ibnu ‘Umar juga mempunyai riwayat yang di dalamnya ada keterangan “25 derajat”.

Beberapa Pendapat Ulama Memahami Hadits-hadits yang Berbeda Tentang Derajat Shalat Jama’ah

  • Pada awalnya Nabi ﷺ mengatakan “25 derajat”, kemudian “27 derajat”.
  • 27 derajat untuk yang shalat berjama’ah di masjid, sedangkan 25 derajat untuk yang shalat berjama’ah di selain masjid.
  • 27 derajat untuk yang jauh dari masjid, dan 25 derajat untuk yang dekat.

Semua keterangan ini berdasarkan perkataan Al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam kitab Fathul Bari. (Kitab Subulus Salam)

Beberapa Faedah Shalat Berjama’ah

  1. Memperlihatkan syi’ar agama Islam dan kekuatan umat Islam.
  2. Saling mengenal antar penduduk di suatu pemukiman.
  3. Memberi pengajaran kepada orang-orang yang kurang ilmunya.
  4. Memberi semangat kepada orang-orang yang malas.
  5. Membantu orang-orang yang lemah dan kekurangan. (Dari kitab ‘Minhatul ‘Allam, Dr. ‘Abdullah Al-Fauzan)

Hadits ke Dua : Hukum Shalat Berjama’ah

Dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda :

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ فَيُحْتَطَبَ، ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلَاةِ فَيُؤَذَّنَ لَهَا، ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا فَيَؤُمَّ النَّاسَ، ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ لَا يَشْهَدُونَ الصَّلَاةَ، فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ يَعْلَمُ أَحَدُهُمْ أَنَّهُ يَجِدُ عَرْقًا سَمِينًا أَوْ مِرْمَاتَيْنِ حَسَنَتَيْنِ لَشَهِدَ الْعِشَاءَ

“Demi Allah yang jiwaku di tangan Nya ; sungguh aku berencana memerintahkan mengumpulkan kayu bakar, kemudian aku memerintahkan untuk shalat, lalu adzan. Kemudian aku memerintahkan seseorang untuk mengimami manusia. Kemudian aku datangi laki-laki yang tidak shalat berjama’ah, lalu aku bakar rumah-rumah mereka.

Demi Allah yang jiwaku di tangan Nya ; seandainya seorang di antara kalian mengetahui bahwa dirinya akan mendapatkan sepotong daging atau dua anak panah yang bagus; pasti dia mendatangi shalat Isya’.” (Muttafaq ‘Alaihi, lafazh dari Imam Bukhari)

Beberapa Pendapat Ulama Tentang Hukum Shalat Berjama’ah

  1. Shalat berjama’ah fardhu ‘ain (wajib kepada setiap muslim).
    Yang berpendapat demikian adalah Imam ‘Atha’, Al-Auza’i, Ahmad, Abu Tsaur, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Mundzir, Ibnu Hibban.
  1. Shalat berjama’ah fardhu kifayah.
    Yang berpendapat seperti ini adalah mayoritas ulama mazhab Syafi’i generasi awal, dan banyak dari ulama mazhab Hanafi dan Maliki.
  1. Shalat berjama’ah sunnah muakkad.
    Yang berpendapat seperti ini adalah Imam Abu Hanifah.

Pendapat Imam Nawawi Tentang Hukum Tidak Shalat Berjama’ah

Di dalam kitab Raudhatut Thalibin, Imam Nawawi rahimahullah berkata :

لَا رُخْصَةَ فِي تَرْكِ الْجَمَاعَةِ، سَوَاءً قُلْنَا سُنَّةٌ، أَوْ فَرْضُ كِفَايَةٍ إِلَّا مِنْ عُذْرٍ عَامٍّ أَوْ خَاصٍّ

“Tidak ada keringanan untuk meninggalkan shalat berjama’ah ; sama saja apakah kita katakan hukumnya sunnah atau fardhu kifayah. Kecuali karena suatu alasan yang kuat, yang bersifat umum maupun khusus.”

Hadits ke Tiga : Shalat Isya’ dan Subuh Berjama’ah

Dari Abu Hurairah, dia berkata : Rasulullah ﷺ bersabda :

أَثْقَلُ الصَّلَاةِ عَلَى الْمُنَافِقِينَ: صَلَاةُ الْعِشَاءِ، وَصَلَاةُ الْفَجْرِ، وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا

“Shalat yang paling berat bagi orang-orang munafik adalah shalat ‘Isya’ dan shalat Subuh. Seandainya mereka mengetahui pahala yang sangat besar dari shalat Isya’ dan Subuh berjamaah ; pasti mereka akan mendatangi masjid untuk melakukan kedua shalat itu berjama’ah, meskipun harus merangkak ke masjid.” (Muttafaq ‘Alaihi)

Yang Menyebabkan Shalat Isya’ dan Subuh Berat Dilakukan Orang Munafik di Zaman Nabi ﷺ 

  • Imam Ibnu Daqiq Al-‘Id di dalam kitab Ihkamul Ahkam mengatakan : “Dua shalat ini sangat berat bagi orang-orang munafik karena besarnya dorongan untuk meninggalkan dua shalat tersebut dengan berjama’ah.”
  • Karena shalat isya’ ada di waktu yang nikmat untuk istirahat dan santai. Sedangkan shalat Subuh ada di waktu yang nikmat untuk tidur.
  • Karena shalat ‘Isya’ dan Subuh di zaman Nabi ﷺ ada di waktu yang sangat gelap. Sehingga di waktu tersebut orang-orang munafik tidak bisa melakukan perbuatan riya’ (pamer ibadah) seperti biasanya.

Hadits ke Empat : Orang Buta yang Bertanya Kepada Nabi ﷺ Tentang Hukum Shalat Jama’ah 

Dari Abu Hurairah, dia berkata :

أَتَى النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – رَجُلٌ أَعْمَى فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إنَّهُ لَيْسَ لِي قَائِدٌ يَقُودُنِي إلَى الْمَسْجِدِ، فَرَخَّصَ لَهُ، فَلَمَّا وَلَّى دَعَاهُ، فَقَالَ: هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلَاةِ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَأَجِبْ

“Suatu ketika ada laki-laki buta datang kepada Nabi ﷺ dan berkata : “Wahai Rasulullah, tidak ada orang yang bisa menuntun aku ke masjid”. 

Kemudian Rasulullah ﷺ memberi keringanan kepadanya untuk tidak berjama’ah di masjid. 

Ketika laki-laki buta itu pergi, Nabi ﷺ memanggilnya dan bersabda : “Apakah kamu mendengar adzan ?” Orang itu menjawab : “Iya”. Nabi ﷺ bersabda : “Penuhilah panggilan adzan tersebut !” (HR. Muslim)

Pendapat Imam Syaukani Tentang Hukum Shalat Jama’ah Bagi yang Buta 

Di dalam kitab Nailul Authar Imam Syaukani menjelaskan bahwa ulama sepakat ; kewajiban shalat jama’ah hilang jika ada ‘udzur. Dan salah satu ‘udzur adalah buta dan tidak ada yang menuntunnya ke masjid.

Hal ini berdasarkan firman Allah :

لَيْس على الأعمى حَرَجٌ

“Tidak boleh ada yang memberatkan untuk orang yang buta.”

Kenapa Nabi ﷺ Tetap Memerintah Orang yang Buta ke Masjid ?

Pertama, ada kemungkinan Nabi ﷺ mengetahui bahwa laki-laki buta tersebut sanggup ke masjid meskipun tanpa ada yang menuntunnya.

Kedua, shalat jama’ah yang wajib didatangi orang yang buta hanya shalat jama’ah yang dipimpin oleh Nabi. (Dari kitab ‘Subulus Salam’ dan ‘Nailul Authar’)

Hadits ke Lima : Alasan yang Dibenarkan untuk Tidak Berjama’ah di Masjid 

Dari Ibnu ‘Abbas, dari Nabi ﷺ beliau bersabda :

مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِ فَلَا صَلَاةَ لَهُ إلَّا مِنْ عُذْرٍ

“Siapa yang mendengar adzan, lalu tidak ke masjid untuk shalat ; maka tidak ada shalat untuknya kecuali karena ‘udzur.”

(HR. Ibnu Majah, Daruquthni, Ibnu Hibban, Hakim. Sanadnya sesuai dengan syarat Imam Muslim. Akan tetapi sebagian ahli hadits membenarkan bahwa hadits ini adalah ‘mauquf’)

Ahli Hadits yang Menyatakan Hadits Ini ‘Mauquf’

  1. Imam Ahmad, berdasarkan keterangan dari Al-Hafizh Ibnu Rajab.
  2. Imam Al-Baihaqi. (Dari kitab ‘Minhatul ‘Allam’)

Beberapa Hadits yang Menguatkan 

  • Riwayat Thabrani, dari Abu Musa Al-Asy’ari :

           مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يُجِبْ مِنْ غَيْرِ ضَرَرٍ وَلَا عُذْرٍ فَلَا صَلَاةَ لَهُ

“Siapa yang mendengar adzan, lalu tidak ke masjid tanpa ada bahaya dan tanpa ada alasan yang benar ; maka tidak ada shalat untuknya.”

  • Riwayat Abu Dawud, dari Ibnu ‘Abbas ; hadits yang isinya sama, dengan tambahan keterangan bahwa salah satu alasan yang dibenarkan tidak berjama’ah adalah kondisi yang menakutkan dan sakit yang cukup parah. (Dari kitab Subulus Salam)

Jawaban Untuk yang Menganggap Jama’ah Sebagai Syarat Sah 

Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa shalat jama’ah adalah syarat sah shalat, berdalil dengan hadits di atas. Salah satunya adalah Imam Ibnu Hazm rahimahullah.

Pendapat ini tidak kuat karena ;

Hadits yang dijadikan dalil ; derajatnya diperselisihkan apakah hadits tersebut marfu’ atau mauquf (salah satu jenis hadits dha’if). Bahkan seandainya kita anggao sebagai hadits yang marfu’ ; hadits ini bertentangan dengan hadits shahih yang disepakati Bukhari dan Muslim yang berisi tentang keutamaan shalat jama’ah dibandingkan dengan shalat sendirian. (Dari kitab ‘Minhatul ‘Allam’)

Beberapa Alasan Boleh Tidak Berjama’ah di Masjid

Yang berkaitan dengan keadaan sekitar :

  1. Hujan yang sangat lebat.
  2. Bejek yang sangat parah.
  3. Angin yang sangat kencang.
  4. Hawa yang sangat panas.
  5. Hawa yang sangat dingin.

Yang berkaitan dengan keadaan seseorang :

  1. Sakit yang menyulitkan seseorang ke masjid.
  2. Mengkhawatirkan keselamatan dirinya.
  3. Mengkhawatirkan keselamatan hartanya.
  4. Dirinya sedang menahan kencing atau buang air besar. Maka tidak masalah baginya tidak berjama’ah ke masjid untuk menyelesaikan hajatnya.
  5. Dirinya dalam keadaan yang sangat lapar atau haus dan makanan sudah siap. Maka dia boleh makan beberapa suap meskipun terlambat berjama’ah di masjid.
  6. Dirinya telah merencanakan safar bersama rombongan. Dan jika dia ke masjid maka akan ditinggal rombongan safarnya.
  7. Dia sebelumnya makan bawang mentah sehingga mulutnya sangat bau dan tidak memungkinkan untuk menghilangkan bau mulutnya saat itu.
  8. Gempa bumi. 
  9. Dia sedang menjaga dan menunggu orang yang sakit.
  10.  Dia sedang sibuk belajar ilmu syar’i di suatu majelis. (Kitab : Raudhatut Thalibin, Imam Nawawi dan I’lamul Anam, syaikh Nurudin ‘Itr)

Referensi :

  1. Ma’alimus Sunan
  2. Syarh Shahih Muslim
  3. Subulus Salam Al-Mushilah Ila Bulughil Maram, karya syaikh As-Shan’ani.
  4. I’lamul Anam Syarh Bulugh Al-Maram, karya syaikh Nuruddin ‘Itr.
  5. Ibanatul Ahkam Syarh Bulugh Al-Maram, karya syaikh 
  6. Tuhfatul Kiram Syarh Bulugh Al-Maram, karya syaikh Muhammad Luqman. Dan lain-lain

Wallahu a’lam

Disusun oleh Ustadz Fajri Nur Setyawan, Lc

Artikel Alukhuwah.Com

Check Also
Close
Back to top button