Sudah Datangkah Beritanya ?.

TAFSIR SURAT AL GHASIYAH
بسم الله الرحمن الرحيم
هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ (1) وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ (2) عَامِلَةٌ نَاصِبَةٌ (3) تَصْلَى نَارًا حَامِيَةً (4) تُسْقَى مِنْ عَيْنٍ آنِيَةٍ (5) لَيْسَ لَهُمْ طَعَامٌ إِلَّا مِنْ ضَرِيعٍ (6) لَا يُسْمِنُ وَلَا يُغْنِي مِنْ جُوعٍ (7) وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاعِمَةٌ (8) لِسَعْيِهَا رَاضِيَةٌ (9) فِي جَنَّةٍ عَالِيَةٍ (10) لَا تَسْمَعُ فِيهَا لَاغِيَةً (11) فِيهَا عَيْنٌ جَارِيَةٌ (12) فِيهَا سُرُرٌ مَرْفُوعَةٌ (13) وَأَكْوَابٌ مَوْضُوعَةٌ (14) وَنَمَارِقُ مَصْفُوفَةٌ (15) وَزَرَابِيُّ مَبْثُوثَةٌ (16) أَفَلَا يَنْظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ (17) وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ (18) وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ (19) وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ (20) فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنْتَ مُذَكِّرٌ (21) لَسْتَ عَلَيْهِمْ بِمُصَيْطِرٍ (22) إِلَّا مَنْ تَوَلَّى وَكَفَرَ (23) فَيُعَذِّبُهُ اللَّهُ الْعَذَابَ الْأَكْبَرَ (24) إِنَّ إِلَيْنَا إِيَابَهُمْ (25) ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا حِسَابَهُمْ (26)
.
“1. Sudah datangkah kepadamu berita (Tentang) hari pembalasan?. 2. banyak muka pada hari itu tunduk terhina, 3. bekerja keras lagi kepayahan, 4. memasuki api yang sangat panas (neraka), 5. diberi minum (dengan air) dari sumber yang sangat panas. 6. mereka tiada memperoleh makanan selain dari pohon yang berduri, 7. yang tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan lapar. 8. banyak muka pada hari itu berseri-seri, 9. merasa senang karena usahanya, 10. dalam syurga yang tinggi, 11. tidak kamu dengar di dalamnya Perkataan yang tidak berguna. 12. di dalamnya ada mata air yang mengalir. 13. di dalamnya ada takhta-takhta yang ditinggikan, 14. dan gelas-gelas yang terletak (di dekatnya), 15. dan bantal-bantal sandaran yang tersusun, 16. dan permadani-permadani yang terhampar. 17. Maka Apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana Dia diciptakan, 18. dan langit, bagaimana ia ditinggikan? 19. dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? 20. dan bumi bagaimana ia dihamparkan? 21. Maka berilah peringatan, karena Sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. 22. kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka, 23. tetapi orang yang berpaling dan kafir, 24. Maka Allah akan mengazabnya dengan azab yang besar. 25. Sesungguhnya kepada Kami-lah kembali mereka, 26. kemudian Sesungguhnya kewajiban Kami-lah menghisab mereka.” (al-Ghaasyiyah: 1-26).
Muqaddimah :
Al-Ghasyiyah merupakan salah satu dari nama-nama hari kiamat, karena hari kiamat itu meliputi dan mengenai seluruh manusia. Surat Al-Ghasiyah biasa dibaca oleh Rasulullah sholallahu alaihi wa sallam pada hari jum’at dan hari raya.
Tafsir Ayat 1 : ( هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ)
Sudah datangkah kepadamu berita (Tentang) hari pembalasan ?
Ayatnya yang pertama bersifat sebagai pertanyaan, untuk menambah keyakinan dan perhatian.
betapa hebatnya hari kiamat itu kelak, karena semua orang di hari itu akan diselubungi oleh rasa ketakutan dan kengerian menunggu keputusan nasibnya.
Tafsir Ayat 2 : (وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ )
“Banyak wajah pada hari itu tunduk terhina”. Qatadah berkata: “Yakni dalam keadaan hina.” Ibnu ‘Abbas berkata: “Yang membuat khusyu’ dan mengamalkannya tidak mendatangkan manfaat.
Wajah dari orang-orang yang telah merasa bersalah di masa hidupnya yang lampau. Muka waktu itu tak dapat diangkat, malahan tunduk merasa hina.
Tafsir Ayat 3 : ( عَامِلَةٌ نَاصِبَةٌ)
“ Bekerja keras lagi kepayahan” : yakni telah mengerjakan amal yang sangat banyak sehingga menuai kepayahan, dan pada hari kiamat kelak dia akan dicampakkan ke dalam neraka yang menyala-nyala.
Imam al-Bukhari meriwayatkan mengenai (“Bekerja keras lagi kepayahan”), Ibnu ‘Abbas mengatakan: “Yaitu orang-orang Nasrani.” Dan dari ‘Ikrimah dan as-Suddi: “Yakni bekerja keras di dunia dengan berbagai macam maksiat sehingga merasakan kepayahan di dalam neraka dengan adzab dan kebinasaan.”
Orang-orang ini di kala hidupnya di dunia dahulu, bekerja keras siang dan malam, berpayah lelah menghabiskan tenaga mengejar kemewahan dunia, mengumpul harta, mengumpul kekayaan; namun faedah yang didapatnya untuk akhirat tidak ada sama sekali.
Berapa banyak orang bekerja keras, berpayah lelah mempertahankan kedudukan, kekayaan dan berbagai kemegahan dalam dunia. Padahal yang dikejar hanyalah suatu fatamorgana belaka. Setelah semuanya dicurahkan ajal pun datang. Tidak ada yang ia bawa kecuali lapisan kain kafan, tidak punya bekal amal yang ia bawa, karena waktunya hanya untuk mencari bekal di dunia dan melupakan bekal untuk negeri akhirat.
Tafsir Ayat 4 : ( تَصْلَى نَارًا حَامِيَةً)
“ Mereka memasuki api yang sangat panas”, Ibnu ‘Abbas, al-Hasan, dan Qatadah mengatakan: “Yakni, benar-benar sangat panas.
Segala kerja keras berletih payah lelah itu hanyalah untuk menyalakan api neraka yang akan membakar diri.
Tafsir Ayat 5 : (تُسْقَى مِنْ عَيْنٍ آنِيَةٍ)
“Diberi minum dari sumber yang sangat panas”, maksudnya : panas dan didihannya telah sampai pada puncaknya. Demikian yang dikemukakan oleh Ibnu ‘Abbas, Mujahid, al-Hasan dan as-Suddi.
Di dunia ini pun ada orang yang merasakan demikian. Air yang diminum terasa duri.” Atau laksana orang meminum air laut, tambah diminum tambah haus. Kepuasan tidak ada, haus tidak lepas. Sebab yang dicari bukan obat penawar, melainkan racun.
Pengalaman di dunia ini pun akan dirasakan sampai ke akhirat. Air yang disangka akan melepaskan dahaga itu ternyata adalah timbul dari mata-air yang selalu menggelegak, sehingga kalau diminum, perutlah yang akan hancur.
Tafsir Ayat 6 : (لَيْسَ لَهُمْ طَعَامٌ إِلَّا مِنْ ضَرِيعٍ)
“Mereka tidak memperoleh makanan selain dari pohon yang berduri”. Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas: “Yaitu pohon dari neraka.” Sedangkan Sa’id bin Jubair mengemukakan: “Yakni pohon zaqqum.” Mujahid mengatakan: “Adl-Dlarii’” berarti sebuah tumbuhan yang diberi nama “asy-Syibraq”, yang oleh penduduk Hijaz diberi nama adl-Dlarii’ jika sudah mengering. Dan pohon tersebut beracun.”
Yang menyangkut dalam rongkongan, dikeluarkan kembali susah, ditelan ke dalam tak mau turun ke perut.
Itulah jenisnya azab dan siksaan. Dan itu hanyalah kelanjutan saja dari kesia-siaan selama hidup di dunia. Di dunia mencari minuman yang kelak akan jadi duri dan makanan yang kelak hanya akan menambah kurus dan sengsara.
Tafsir Ayat 7 : (لَا يُسْمِنُ وَلَا يُغْنِي مِنْ جُوعٍ )
“Yang tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan rasa lapar”. yakni dengannya tujuan tidak akan dapat tercapai dan tidak juga bahaya dapat dihindari.
Tafsir Ayat 8 : (وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاعِمَةٌ )
“Banyak wajah pada hari itu”. Setelah Allah menceritakan keadaan orang-orang yang sengsara, maka Dia selanjutnya menceritakan orang-orang yang bahagia, “Banyak wajah pada hari itu” yakni pada hari kiamat, “Berseri-seri” artinya orang-orang yang menerima kenikmatan itu dapat dikenali. Hal itu diperoleh karena usahanya.
Tidak ada satu pun rangkaian ancaman kepada kita, melainkan selalu diiringi dengan ayat-ayat yang mengandung janji mulia dan gembira. Demikian juga sebaliknya, tidak ada ayat-ayat yang dimulai dengan janji gembira, melainkan diiringi dibelakangnya dengan janji ancaman bagi yang durhaka. Demikian itu ialah supaya kita selalu berharap kepada Allah di samping takut akan azab-Nya, dan selalu takut akan azab-Nya di samping kita menaruh harapan.”
Demikianlah yang selalu kita temui dalam rentetan ayat Al qur’an, sebagai yang kita dapati Surat Al-Ghasyiyah ini. Sesudah sejak ayat 1 sampai 7 berisi gambaran kengerian hari kiamat, kemudian diulaslah dengan berita gembira untuk orang yang taat kepada Allah di masa hidupnya.
Tafsir Ayat 9 : (لِسَعْيِهَا رَاضِيَةٌ)
“Merasa senang karena usahanya”. Sufyan mengatakan: “Yakni telah menyukai / meridhai amal perbuatannya.”
Nikmat tidak terhingga yang dirasai kelak di akhirat itu tidak lain dari karena melihat bekas usaha, bekal amal yang diperbuat semasa hidup di dunia dulu. Karena hidupnya yang pendek hanya sebentar semasa di dunia itu telah diisinya untuk bekal di akhirat.
Tafsir Ayat 10 : ( فِي جَنَّةٍ عَالِيَةٍ)
“Dalam surga yang tinggi”. yakni yang sangat tinggi, penuh kemegahan, di dalam kamar-kamar mereka merasa aman.
Baik disebut tinggi karena tempatnya, ataupun tinggi karena yang duduk di sana hanyalah orang-orang yang ditinggikan Allah kedudukannya karena amalnya.
Tafsir Ayat 11 : (لَا تَسْمَعُ فِيهَا لَاغِيَةً)
“Tidak kamu dengar di dalamnya perkataan yang tidak berguna”. Maksudnya di dalam surga menjadi tempat tinggal mereka itu engkau tidak akan mendengarkan ucapan yang tidak membawa manfaat.
Bersihnya suatu tempat daripada perkataan-perkataan yang sia-sia, cacian, gunjingan, melampiaskan rasa dengki dan hasad, membicarakan keburukan orang lain dan memfitnah, adalah salah satu yang menyebabkan dunia ini jadi neraka bagi hidup kita.
Kalau tiap hari yang kita dengar hanya kata-kata celaan, membicarakan keburukan orang lain, penuh kedengkian, jiwa kita rasa tersiksa. Maka dalam syurga itu kelak kata-kata demikian tidak akan kita dengar lagi. Yang akan kita dengar hanyalah ucapan tasbih dan tahmid, sanjung dan puji kepada Allah Ta’ala. Bersihnya suasana syurga itu dari kata sia-sia, itulah keistimewaan syurga, yang tidak akan didapat dalam dunia ini.
Bandingkanlah itu dengan suasana dalam istana raja-raja yang indah permai, cukup lengkap dengan pelayan. Kelihatan di luar istana itu yang gemilang, namun suasana di dalamnya kerapkali sebagai neraka. Karena di sanalah berlaku segala iri-hati, fitnah memfitnah, mengambil muka dan rasa takut akan tersingkir dari kedudukan.
Tafsir Ayat 12 : (فِيهَا عَيْنٌ جَارِيَةٌ )
“ Di dalamnya ada mata air yang mengalir”. yakni mengalir, Dan kalimat itu nakirah dalam redaksinya. Dan yang dimaksud bukan hanya satu mata air, melainkan hal itu merupakan jenis, yaitu bahwa di dalamnya terdapat banyak mata air yang mengalir.
Mata-air yang selalu mengalir, atau sungai-sungai yang selalu mengalir, dapatlah menjelaskan dalam ingatan kita betapa subur, betapa damai, betapa sejuk tempat di sana. Tempat yang tidak mengenal kepanasan musim panas (summer) dan kedinginan musim sejuk (winter) sebagai kita rasakan di dunia ini.
Konon khabarnya, menurut uraian sejarah ahli-ahli arsitektur Arab di zaman jayanya di Andalusia atau Isfahan, di Damaskus atau di Fez, di Baghdad atau di Cairo, yang menimbulkan ilham bagi ahli-ahli bangunan Arabis yang terkenal membuat air-mancur di tengah lapangan rumah ialah ayat-ayat semacam ini di dalam Al-Qur’an. Sehingga betapa pun hebatnya musim panas, namun air memancur (fountain) di tengah pekarangan rumah itu membawakan kesejukan.
Tafsir Ayat 13 : (فِيهَا سُرُرٌ مَرْفُوعَةٌ )
“Di dalamnya ada tahta-tahta yang ditinggikan”. Yakni tinggi penuh dengan kenikmatan, banyak permadaninya, dengan tiang-tiang tinggi yang di atasnya terdapat bidadari-bidadari. Mereka berkata: “Jika wali Allah ingin duduk di atas tahta-tahta yang tinggi tersebut, maka tahta-tahta itu akan bergerak merendah untuknya.
Di atas tempat-tempat peraduan itulah mereka duduk berbaring melepas lelah dari kepayahan hidup di waktu di dunia.
Tafsir Ayat 14 : (وَأَكْوَابٌ مَوْضُوعَةٌ )
“Dan gelas-gelas yang terletak didekatnya”. Yakni berjana-bejana untuk minum selalu tersedia, yang menunggu siapa saja yang hendak meminumnya, dengan dilayani oleh pelayannya.
“Dan piala-piala yang sedia terletak.” (ayat 14), sehingga tinggal meminum saja. Kadang-kadang datang pelayan-pelayan remaja mengisi piala itu bila telah habis isinya. (Lihat kembali Surat 76, Al-Insan: 19 Juzu’ 29).
Tafsir Ayat 15 : (وَنَمَارِقُ مَصْفُوفَةٌ)
“Dan bantal-bantal sandaran yang tersusun”. Ibnu ‘Abbas mengatakan: “An-Namaariq berarti bantal-bantal.”
Tafsir Ayat 16 : (وَزَرَابِيُّ مَبْثُوثَةٌ)
“Dan permadani-permadani yang terhampar”. Ibnu ‘Abbas mengatakan: “Az-zaraabiyyu berarti hamparan.” Demikian juga dikatakan oleh adl-Dlahhak dan beberapa ulama lainnya. Dan makna mabtsuutsah berarti disini dan disana bagi orang yang hendak duduk di atasnya.
Bantal tersusun, permadani terbentang, piala beredar, peraduan tertinggi, alangkah nikmatnya.
Itulah kebalikan perkhabaran tentang siksaan neraka, karena kesia-siaan hidup. Yaitu nikmat syurga karena bekas usaha hidup yang tidak sia-sia di zaman lampau.
Tafsir Ayat 17 : (أَفَلَا يَنْظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ)
Setelah kita dibawa mengingat keadaan hari akhirat yang pasti akan kita tempuh itu, baik siksaan neraka yang ngeri, atau nikmat syurga karena amal, kita dibawa kembali ke dalam hidup yang kita hadapi sekarang. Oleh karena yang terlebih dahulu mendapat seruan Ilahi ini ialah bangsa Arab, disuruhlah mereka memperhatikan alam yang ada di sekeliling mereka. Yang paling dekat dari hidup mereka waktu itu ialah unta. Maka datanglah ayat: “Apakah mereka tidak memandang kepada unta, bagaimana dia telah dijadikan.” (ayat 17).
Allah berfirman seraya memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk melihat kepada makhluk ciptaan-Nya yang menunjukkan kekuasaan dan keagungan-Nya: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan?”. Sesungguhnya ia merupakan ciptaan yang sangat menakjubkan dan susunan tubuhnya sangat mengherankan, dimana unta itu mempunyai kekuatan yang sangat dasyat. Namun demikian, ia sangat lentur untuk dijadikan sebagai sarana mengangkut beban yang berat dan mengantarkan kusir yang lemah, dagingnya dapat dimakan, dan kulitnya bermanfaat, serta susunya dapat diminum. Mereka diingatkan mengenai hal tersebut, karena mayoritas binatang ternak yang dimiliki masyarakat Arab adalah unta.
Unta adalah binatang yang paling dekat kepada hidup orang Arab dari zaman ke zaman, sejak tanah itu didiami manusia. Itulah binatang serba-guna. Binatang pengangkut dalam perjalanan yang jauh. Binatang peluku sawah ataupun penimba air dari sumur yang dalam. Binatang yang juga jadi makanan mereka. Bulunya pun dapat dicukur untuk dijadikan benang pakaian.
Badan binatang itu besar, kekuatannya luar biasa dan tahan menempuh panas terik di padang pasir luas itu. Tahan lapar dan tahan haus. Di samping itu makanannya pun tidak sukar. Rumput-rumput padang pasir yang tidak akan dapat dimakan binatang lain, bagi unta itulah makanannya biasa, walaupun berduri.
Dan sangat patuhnya kepada manusia; disuruh berhenti, dia berhenti. Disuruh duduk dia duduk, disuruh berdiri dia pun tegak. Kadang-kadang bertambah malam hari, bertambag gontai dan tetap dia berjalan, mengangguk-angguk dengan tenangnya dalam perjalanan jauh di padang pasir itu.
Kadang-kadang mereka berjalan dari Selatan ke Utara, dari Yaman menuju Syam, melalui Hijaz, ataupun Nejd. Di waktu malam yang jadi pedoman ialah bintang di langit. Karena langit di suasana padang pasir itu jarang sekali diliputi awan di waktu malam. Maka janganlah mereka tersesat menuju negeri jauh di bawah naungan bintang-bintang itu. Lalu datanglah ayat seterusnya:
Syuraih al-Qadhi mengatakan: “Marilah keluar bersama kami sehingga kita dapat melihat unta, bagaimana ia diciptakan, juga melihat langit bagaimana ia ditinggikan.”
Tafsir Ayat 18 : (وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ)
Maksudnya, Allah meninggikan langit dari bumi. Dan yang demikian itu merupakan pengangkatan yang sangat agung. Sebagaimana difirmankan Allah: (“Maka apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikitpun.” (Qaaf: 6)
Dalam mengiringkan atau mengendarai unta sambil berjalan malam itu, selalulah mereka ditudungi langit. Dan terasalah hubungan diri mereka dengan langit yang tinggi itu, sebab ada bintangnya. Umpama bintang-bintang itu tidak menghiasi langit, niscaya sesatlah jalan mereka. Maka setelah memandang langit dan bintang-bintangnya itu disuruhlah pula memperhatikan bagaimana langit itu diangkatkan ke atas, dihiasi indah. Sebagai unta tadi pula, siapa yang mengangkatkan itu.
Tafsir Ayat 19 : (وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ)
“Dan gunung-gunung bagaimana ia ditinggikan.”) artinya, menjadikannya tertancap kuat sehingga benar-benar kokoh dan tangguh agar bumi beserta penghuninya tidak menjadi goyang. Dan di dalamnya diberikan berbagai manfaat dan juga barang tambang.
Biasa perjalanan kafilah ( Jauh ) dilakukan malam hari dan berhenti kelak pagi hari sepenggalah matahari naik, sebelum terik panas. Biasanya berlindunglah mereka ke kaki gunung-gunung batu terjal yang keras, terjadi dari batu granit itu. Di sana mereka berhenti menunggu matahari condong ke Barat dan panas mulai menurun. Dapatlah dikatakan kalau tidaklah ada gunung-gunung tempat berlindung kepanasan itu, yang kadang-kadang mempunyai gua-gua tempat berteduh, akan sengsaralah mereka kena tekanan cahaya matahari. Maka disuruh pulalah mereka memandang kembali, bagaimana gunung itu dijadikan pancang atau pasak dari bumi ini. Alangkah hebat dan dahsyatnya muka bumi ini disapu angin, jika tidak ada gunung yang runtuh karena deru angin.
Tafsir Ayat 20 : (وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ)
“Dan bumi, bagaimana ia dihamparkan.”) maksudnya, bagaimana bumi itu dibentangkan, dihamparkan dan dipanjangkan.
Dengan demikian Allah mengingatkan orang Arab Badui untuk menjadikan bukti dari apa yang mereka saksikan, yaitu unta yang ia naiki, langit yang berada di atas kepalanya, gunung-gunung yang berada di hadapan mereka, dan bumi yang berada di bawahnya, yang semuanya menunjukkan kekuasaan Pencipta semua itu, dan bahwasannya Dia adalah Rabb Yang Mahaagung, Pencipta, Raja, dan Pengendali. Dan Dia adalah Ilah yang tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali hanya Dia.
Dan perjalanan itu dilakukan di muka bumi, beratap langit, berpasak gunung berkendaraan dan alat pengangkutan unta. Semuanya terjadi di muka bumi. Maka dengan sendirinya, sebagai renungan terakhir bumi itu untuk kita anak manusia ini hidup.
Disuruh memandang, atau merenungkan. Bukan semata-mata melihat dengan mata, melainkan membawa apa yang terlihat oleh mata ke dalam alam fikiran dan difikirkan; itulah yang disebut memandang.
Maka berkatalah Zamakhsyari dalam tafsirnya: “Arti ayat-ayat menyuruh memandang ini, ialah supaya mereka saksikan demikian besar qudrat iradat khaliq pencipta alam ini, yang manusia hanya tinggal memakainya saja.
Kalau semuanya ini sudah dipandang dan direnungkannya, niscaya tidak lagi dia akan mengingkari kekuasaan Allah untuk membangkitkan kembali manusia pada hari nanti, yang dinamai Hari Kiamat.
Pandanglah ini semua, perhatikanlah. Agar kian lama akan kian dekatlah kamu kepada Allah dan bertambah dalamlah iman tumbuh dalam hatimu.
Sesudah manusia itu sendiri disuruh memandang dan memperhatikan alam kelilingnya yang begitu rapat dengan kehidupannya sehari-hari…
Kembalilah peringatan kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam bahwa di samping manusia itu disuruh memperhatikan sendiri, mereka pun wajib diberi pula peringatan.
Tafsir Ayat 21 : (فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنْتَ مُذَكِّرٌ)
“Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka.” maksudnya berikanlah peringatan, hai Muhammad, kepada manusia, mengenai apa yang engkau diutus dengannya kepada mereka.
Selalulah berikan peringatan. Sadarkan fikiran mereka, bangkitkan perhatian mereka. “Karena sesungguhnya engkau lain tidak adalah seorang pemberi ingat. Memberi ingat itulah tugasmu. Untuk itulah engkau aku pilih menjadi utusan-Ku ke dunia ini. Janganlah berhenti dan bekerjalah terus. “Bukankah engkau orang yang dapat memaksa atas mereka.
Tafsir Ayat 22 : (لَسْتَ عَلَيْهِمْ بِمُصَيْطِرٍ)
Oleh karena itu Dia berfirman (Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka.”) Ibnu ‘Abbas, Muhahid, dan lain-lain mengatakan: “(Maknanya) lasta ‘alaiHim bi jabbaar [dan kamu sekali-sekali bukanlah pemaksa terhadap mereka] yakni kamu tidak bisa menciptakan keimanan di dalam hati mereka.”
Tafsir Ayat 23 : (إِلَّا مَنْ تَوَلَّى وَكَفَرَ)
“Tetapi orang yang berpaling dan kafir.”) maksudnya, berpaling dari amal perbuatan dengan seluruh sendinya dan kufur terhadap kebenaran dengan seluruh perbuatan dan lisannya
Tafsir Ayat 24 : (فَيُعَذِّبُهُ اللَّهُ الْعَذَابَ الْأَكْبَرَ)
“Maka Allah akan mengadzabnya dengan adzab yang besar”.
Tafsir Ayat 25 : (إِنَّ إِلَيْنَا إِيَابَهُمْ)
“Sesungguhnya kepada Kami-lah kembali mereka”. Yakni tempat kembali mereka.
Tafsir Ayat 26 : (ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا حِسَابَهُمْ)
“ Kemudian sesungguhnya kewajiban Kami-lah menghisab mereka”. Maksudnya, Kami yang akan menghisab amal perbuatan mereka dan memberikan balasan atas semuanya itu. Jika baik, maka akan diberi balasan baik, dan jika buruk, maka akan diberi balasan yang buruk pula.
Sumber : Diringkas dari Tafsir Ibnu Katsir.