Tiga Wasiat Nabi Kepada Muadz bin Jabal
TIGA WASIAT NABI KEPADA MU’ADZ BIN JABAL
نْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ قَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ, أَوْصِنِي. قَالَ : اعْبُدِ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، وَاعْدُدْ نَفْسَكَ فِي الْمَوْتَى، وَإِنْ شِئْتَ أَنْبَأْتُكَ بِمَا هُوَ أَمْلَكُ بِكَ مِنْ هَذَا كُلِّهِ. قَالَ: هَذَا، وَأَشَارَ بِيَدِهِ إِلَى لِسَانِهِ
Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu anhu ia berkata, “Wahai Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam berianlah wasiat kepadaku !” Nabi Shalallahu alaihi wa sallam menjawab, “Beribadahlah kepada Allah Shalallahu alaihi wa sallam seolah-olah engkau melihat-Nya. Dan persiapkanlah dirimu menghadapi kematian. Dan jika engkau mau, aku akan memberitahukan kepadamu suatu perkara yang mengendalikan semua itu.” Beliau bersabda, “Ini.” Beliau berisyarat dengan tangannya menunjuk kepada lidah beliau.”
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini adalah hadits yang hasan, diriwayatkan oleh Imam Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman dan Imam Thabrani dalam Mu’jamul Kabir.[1]
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani menghasankan hadits ini dalam Shahih Jamius Shaghir no. 1040. [2]
SYARAH HADITS
Dalam hadits yang mulia ini Nabi Shalallahu alaihi wa sallam memberikan wasiat kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallahu anhu dengan tiga perkara. Tiga perkara tersebut adalah wasiat yang sangat berharga, yang mengarahkan seseorang mukmin untuk meningkatkan dan mengoptimalkan sisi pernghambaan dan peribadahannya kepada Allah Ta’ala. Berikut ini penjelasan singkat dari tiga wasiat Nabi radhiyallahu anhu tersebut.
1. Ihsan dalam Beribadah Kepada Allah Ta’ala.
Ini adalah wasiat pertaama yang disampaikan Nabi kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallahu anhu. Yaitu wasiat untuk beribadah kepada Allah Ta’ala seolah-olah melihat kepada-Nya. Inilah yang disebut dengan ihsan dalam beribadah..Sebagimana disebutkan dalam hadits Jibril, dimana Nabi Shalallahu alaihi wa sallam ditanya tentang ihsan maka beliau menjawab :
أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
“Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah Ta’ala seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.”[3]
Makna Ihsan
Berkaitan dengan makna ihsan, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin mengatakan, “Ihsan (إِحْسَانٌ) adalah masdar dari fi’il (kata kerja) أَحْسَنَ يُحْسِنُ yang bermakna memberikan kebaikan. Dan makna ihsan jika berkaitan dengan hak Allah Ta’ala adalah engkau membangun ibadahmu kepada Allah Ta’ala dengan keikhlasan dan mengikuti contoh Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam. Semakin engkau ikhlas dalam beribadah dan semakin meneladani Nabi-Nya maka engkau semakin berbuat ihsan. Adapun makna ihsan jika berkaitan dengan hak sesama hamba adalah engkau memberikan kebaikan untuk mereka, baik berupa harta, kedudukan, atau selainnya.[4]
Pembagian Ihsan
Para ulama menjelaskan bahwa ihsan terbagi menjadi dua macam. Pertama, ihsan dalam beribadah kepada Allah Shalallahu alaihi wa sallam. Inilah makna ihsan yang dimaksudkan dalam hadits di atas. Yaitu seseorang beribadah dengan merasakan kedekatan Allah Ta’ala kepadanya sehingga mengantarkannya untuk memperbagus ibadahnya tersebut. Kedua, ihsan berkaitan dengan hak-hak sesama makhluk. Yaitu berbuat baik kepada mereka dan menunaikan hak-hak mereka, seperti berbakti kepada kedua orang tua, menyambung silaturahim, memberikan bantuan kepada orang-orang yang membutuhkan. Termasuk juga berbuat baik kepada hewan ketika menyembelihnya.
Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al Fauzan mengatakan, “Perbuatan ihsan secara asal terbagi menjadi dua macam. (Pertama) ihsan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala, inilah maksud ihsan dalam pembahasan ini. (Kedua) Ihsan berkaitan dengan hak-hak sesama makhluk.”[5]
Sebagian ulama’ ada juga yang membagi ihsan manjadi tiga macam, yaitu ihsan dalam beramal, ihsan kepada sesama hamba, dan ihsan dalam hubungan hamba dengan Allah Ta’ala.
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan mengatakan, “Ihsan terdiri atas tiga macam. (Pertama), ihsan dalam beramal, maksudnya adalah membaguskan dan menyempurnakan amalan itu. (Kedua), ihsan kepada orang lain, maksudnya adalah memberikan kenikmatan kepada mereka. (Ketiga), ihsan dalam hubungan seorang hamba dengan Rabbnya. Dan ini adalah tingkatan tertinggi dalam agama. Nabi Shalallahu alaihi wa sallam telah menafsirkannya dengan keberadaan seorang hamba ketika beribadah kepada Allah Ta’ala seolah-olah melihat-Nya, dan jika tidak bisa melihatnya maka sesungguhnya Allah melihtnya. Maknanya adalah bahwa seorang hamba beribadah kepada Allah Ta’ala dengan merasakan kedekatan Allah Ta’ala kepadanya, dan bahwa ia berada di hadapan Allah Ta’ala seolah-olah melihat-Nya. Hal itu akan menimbulkan rasa takut kepada-Nya, mengagungkan-Nya, mengantarkan ketulusan dalam ibadah, memperbagus,dan menyempurnakanya.[6]
Rukun Ihsan
Para ulama juga menjelaskan bahwa ihsan [7] mempunyai satu rukun, yaitu beribadah kepada Allah Ta’ala seolah-oleah melihat-Nya, dan jika tidak bisa melihatnya seseorang meyakini bahwa Allah Ta’ala melihatnya.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata, “Ihsan mempunyai satu rukun. Yaitu engkau beribadah kepada Allah Ta’ala seolah-olah melihat-Nya. Jika engkau tidak dapat melihat-Nya maka sesungguhnya Ia melihatmu.”[8]
Keutamaan Ihsan
Sesungguhnya Allah Ta’ala telah memerintahkan kepada hambanya dalam banyak ayat untuk berbuat ihsan. Dan telah datang penyebutan perbuatan ihsan dalam banyak ayat dalam Al Qur’an. Adakalanya digandengakan dengan keimanan[9]. Adakalanya digandengkan dengan keislaman[10]. Dan adakalanya digandengkan dengan ketakwaan[11]. Semuanya itu menunjukkan keutamaan ihsan dan keagungan pahalanya di sisi Allah Ta’ala.[12]
Jika kita mencermati ayat-ayat Al Qur’an, kita akan mendapati banyak sekali dalil yang menunjukkan keutamaan bagi orang yang berbuat ihsan. Di antaranya adalah sebagai berikut :
Allah Ta’ala menyertai orang-orang yang berbuat ihsan. Sebagaiman firman-Nya :
إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُمْ مُحْسِنُونَ
Sesungguhnya Allah beserta orang-oerang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan. (QS. An Nahl : 128).
Allah Ta’ala mencintai orang-orang yang berbuat ihsan.
Sebagaimana firman-Nya :
وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Dan berbuat baiklah, karena seungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al Baqarah : 195).
Orang yang berbuat ihsan dijanjikan surga dan melihat kepada wajah Allah Ta’ala.
Ini termasuk keutamaan terbesar yang akan diraih oleh orang yang berbuat ihsan. Allah Ta’ala berfirman :
لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ
Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. (QS. Yunus : 26).
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di berkata, “Maksud ayat ini adalah, bahwa orang-orang yang berbuat ihsan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala, dengan cara mendekatkan diri kepada-Nya, dan tulus dalam ibadah tersebut. Demikian pula, melaksanakan ibadah sesuai kemampuan mereka. Dan berbuat baik kepada hamba-hamba Allah Ta’ala sesuai kemampuan mereka dengan ucapan, perbuatan, harta, badan, amar ma’ruf nahi munkar, mengajari orang-orang yang jahil, menasihati orang-orang yang menyimpang, dan bentuk-bentuk perbuatan ihsan lainnya. Maka mereka (dijanjikan) mendapatkan al-husna, yaitu surga yang sempurna kebaikannya. Dan juga mendapatkan ziyadah (tambahan), yaitu melihat kepada wajah Allah Ta’ala, mendengar firman-Nya, kemenangan dengan ridha-Nya, dan kesenangan dengan kedekatan kepada-Nya.”[13]
- Mempersiapkan diri untuk Menghadapi Kematian
Ini adalah wasiat Nabi Shalallahu alaihi wa sallam yang kedua kepada shahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu dalam hadits di atas. Yaitu wasiat untuk mengingat kematian dan mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Kematian adalah termasuk ketentuan dan taqdir Allah Ta’ala yang pasti akan menghampiri setiap jiwa. Bagaimanapun seseorang menghindar darinya, kematian tetap akan mendatanginya.
Allah Ta’ala berfirman :
كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ الْمَوْتِ
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. (QS. Al baqarah : 185).
Dan Allah Ta’ala berfirman :
إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُم مَّيِّتُونَ
Sesungguhnya engkau (Nabi Muhammad) akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula). (QS. Az Zumar : 30).
Dan Allah Ta’ala berfirman :
أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِكُكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ
Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu dia dalam benteng yang tinggi lagi kokoh. (QS. An Nisaa’ : 78).
Imam Ibnu Katsir ketika menjelaskan ayat ini mengatakan, “Maksudnya adalah bahwa setiap orang akan menemui kematian. Itu adalah suatu hal yang pasti. Dan tidak ada seorang pun yang akan selamat darinya. Sama saja apakah ia ikut serta dalam jihad ataukah tidak. Sesungguhnya setiap orang memiliki ajal yang telah ditetapkan dan kedudukan yang telah ditentukan.”[14]
- Pentingnya Mengingat Kematian
Sebagai seorang yang beriman sudah selayaknya kita memperbanyak mengingat kematian dan menyiapkan bekal untuk menghadapinya. Karena dengan mengingat kematian, seseorang akan terdorong untuk bersemangat melaksanakan amal ketaatan sebagai bekal di kehidupan yang abadi di akhirat nanti. Nabi Shalallahu alaihi wa sallam bersabda dalam hadits Abu Hurairah :
أَكْثِرُوْا ذِكْرَ هادم اللَّذَّاتِ
“Perbanyaklah mengingat pemutus kenikmatan (yaitu kematian).” [15]
Dalam hadits lain, Nabi Shalallahu alaihi wa sallam menjelaskan bahwa orang yang banyak mengingat kematian dan mempersiapkan bekal untuk kehidupan setelahnya adalah orang yang pandai. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu anhu bahwa ada seorang laki-laki dari kalangan Anshar yang bertanya kepada Nabi Shalallahu alaihi wa sallam tentang orang mukmin manakah yang paling cerdas, maka beliau menjawab :
أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا وَأَحْسَنُهُمْ لِمَا بَعْدَهُ اسْتِعْدَادًا، أُولَئِكَ أَكْيَاسٌ
“Orang yang paling banyak mengingat mati dan paling baik persiapannya untuk kehidupan setelah mati. Mereka itulah orang-orang yang cerdas.” [16]
- Manfaat Mengingat Kematian
Banyak manfaat yang akan didapatkan seseorang jika ia memperbanyak mengingat kematian, diantaranya adalah :
- Mendorong untuk lebih mengutamakan kehidupan akhirat daripada kehidupan dunia. Demikian pula hal itu akan mengantarkannya untuk bersikap qana’ah (merasa cukup) terhadap perbendaharaan dunia. Karena ia memahami bahwa kehidupan akhirat adalah kehidupan yang kekal abadi, sedangkan kehidupan dunia adlaha kehidupan yang fana. Allah Shalallahu alaihi wa sallam berfirman :
وَالْآَخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى
Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal. (QS. Al A’laa : 17).
- Menjadikan seseorang merasa ringan dalam menghadapi musibah yang menimpanya. Hal ini sebagaimana sabda Nabi Shalallahu alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah :
أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ : الْمَوْتَ , فَإِنَّهُ لَمْ يَذْكُرْهُ أَحَدٌ فِيْ ضِيْقٍ مِنَ الْعَيْشِ إِلاَّ وَسَّعَهُ عَلَيْهِ, وَلاَ ذَكَرَهُ فِيْ سَعَةٍ إِلاَّ ضَيَّقَهَا عَلَيْهِ
“Perbanyaklah mengingat pemutus kenikmatan, yaitu kematian. Karena sesungguhnya tidaklah seseorang mengingatnya di waktu sempit kehidupannya, kecuali (mengingat kematian) itu melonggarkan kesempitan hidup atasnya. Dan tidaklah seseorang mengingatnya di waktu lapang (kehidupannya), kecuali (mengingat kematian) itu menyempitkan keluasan hidup atasnya.[17]
- Mendorongnya untuk bersemangat dalam beribadah. Hal ini karena ia memahami bahwa adanya kehidupan dan kematian adalah untuk menguji siapakah yang lebih baik amalnya.
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
Dialah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. (QS. Al Mulk : 1).
- Ulama’ Salaf dalam Mengingat Kematian
Para ulama’ terdahulu dari kalangan shahabat, tabi’i, dan tabi’ut tabi’in sangat memperhatikan dalam mengingat kematian. Sangat antusias dalam mengambil pelajaran darinya. Sangat mengharapkan husnul khatimah dan sangat khawatir dari su’ul khatimah.
Disebutkan dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa apabila ia melihat ada seseorang yang memikul jenazah, maka ia mengatakan, “Berangkatlah menuju kepada Rabbmu, sesungguhnya kami juga akan segera menyertaimu.”[18]
Dan Al A’masy berkata, “ Dahulu kami menghadiri jenazah, maka kami tidak tahu kepada siapa kami memberikan ta’ziah karena kesedihan telah meliputi semua orang.”[19]
- Menjaga Lisan
Ini adalah wasiat terakhir beliau kepada shahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu. Yaitu wasiat untuk menjaga lisan. Tidak diragukan bahwa setiap tindakan dan perbuatan manusia tidak pernah lepas dari pengawasan Allah Ta’ala. Termasuk di dalamnya setiap perkataan yang diucapkan seorang hamba dengan lisannya. Adakalanya apa yang ia ucapkan itu mengantarkan kepada kebaikan dan pahala baginya. Dan adakalanya justru menjerumuskannya kepada kemaksiatan dan dosa. Maka wasiat Nabi Shalallahu alaihi wa sallam tersebut adalah wasiat yang sangat penting dan berharga, yang memberikan arahan supaya setiap hamba menjaga lisannya, dan tidak menggunakannya untuk mengucapkan sesuatu kecuali dalam perkara-perkara kebaikan. Bahkan menjaga lisan itu termasuk perkara pokok dan menentukan keselamatan dan kecelakaan seseorang sebagaimana penjelasan beliau dalam hadits tersebut.
- Wajibnya Menjaga Lisan
Allah Ta’ala telah menyebutkan dalam Al Qur’an bahwa ucapan manusia, yang baik maupun yang buruk semuanya dicatat. Dan manusia akan mempertanggngjawabkan apa yang ia ucapkan tersebut. Allah Ta’ala berfirman :
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. (QS. Qaaf : 18).
Dan Allah Ta’ala berfirman :
سَنَكْتُبُ مَا قَالُواْ
Kami akan mencatat perkataan mereka. (QS. Ali ‘Imran : 181).
Adakalanya seseorang mengucapkan suatu perkataan yang dianggapnya seseutu yang remeh tapi ternyata itu adalah suatu hal yang besar di sisi Allah Ta’ala. Dan adakalanya ia mengucapakan suatu perkatan yang dianggap tidak berbahaya tapi ternyata menyebabkanya terjerumus ke dalam api neraka.
Allah Ta’ala berfirman :
وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُمْ مَا لَيْسَ لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمٌ
Dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga., dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar. (QS. An Nuur : 15).
Demikian pula Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam bersabda dalam hadits Abu Hurairah :
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيهَا يَهْوِى بِهَا فِى النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ
“Sesungguhnya ada seorang hamba yang berbicara dengan suatu perkataan yang tidak dipikirkan bahayanya terlebih dahulu, sehingga membuatnya masuk ke dalam neraka dengan jarak yang lebih jauh dari pada jarak antara timur dan barat.”[20]
Maka wajib bagi setiap muslim untuk menjaga lisannya supaya senantiasa berbicara dalam kebaikan, dan menjauhi perkataan-perkataaan keji, dusta, dan perkataan maksiat lainnya karena sadar atau tidak hal itu akan mengantarkannya pada kecelakaan dan kebinasaannya. Demikian pula di antara konsekuensi keimanan seseorang adalah ia mengucapkan perkataan yang baik atau jika tidak maka diam.[21]
- Beberapa Penyakit Lisan
Banyak sekali penyimpangan dan kemaksiatan yang terjadi karena ucapan lisan seseorang. Berikut ini sekedar beberapa contoh darinya :
- Berbicara sesuatu yang tidak ada manfaatnya.
Nabi Shalallahu alaihi wa sallam bersabda dalam hadits Abu Hurairah :
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ
“Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat”[22]
- Berbicara keji, suka mencela, mencaci, dan melaknat. Sebagian orang terbiasa mengungkapkan perkataan laknat, baik kepada orang lain, binatang, tempat-tempat, dan semisalnya. Sehingga ucapan laknat itu seolah-olah suatu kata yang paling mudah diucapkannya. Ini adalah kebiasaan yang terlarang. Sebagaimana sabda Nabi Shalallahu alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu Mas’ud :
لَيْسَ الْمُؤْمِنُ بِالطَّعَّانِ وَلَا اللَّعَّانِ وَلَا الْفَاحِشِ وَلَا الْبَذِيءِ
“Seorang mukmin bukanlah orang yang suka mencela, melaknat, berperangai buruk, dan mengucapkan ucapan yang kotor.” [23]
- Banyak bercanda dan bersenda gurau. Ini termasuk kebiasaan yang hendaknya dijauhi, karena benyak bercanda akan menimbulkan hilangnya kewibawaan. Dan juga bisa memunculkan kedengkian dan dendam. Adapun sedikit bercanda maka diperbolehkan, karena hal itu menunjukkan keceriaan dan kegembiraan. Sebagaimana Nabi Shalallahu alaihi wa sallam juga pernah bercanda, namun beliau tidak berkata kecuali berupa kebenaran.[24]
- Mengolok-olok manusia, merendahkan, dan mencari-carai kesalahan mereka. Hal ini telah diancam dalam firman Allah :
وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ
Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela.(QS. Al Humazah : 1).
- Ghibah dan namimah. Ghibah adalah menyebutkan perkara yang dibenci seseorang tanpa sepengetahuannya. Adapun namimah adalah menukil suatu perkataan dalam rangka membuat kerusakan dan perpecahan di antara manusia. Tentang larangan ghibah di antaranya disebutkan dalam firman Allah :
وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ
Dan janganlah sebagian menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara memakan daging asaudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. (QS. Al Hujuraat : 49)
Adapun larangan dari perbuatan namimah diantaranya disebutkan dalam hadits Ibnu ‘Abbas:
.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ مَرَّ النَّبِىُّ بِحَائِطٍ مِنْ حِيْطَانِ الْمَدِينَةِ أَوْ مَكَّةَ ، فَسَمِعَ صَوْتَ إِنْسَانَيْنِ يُعَذَّبَانِ فِيْ قُبُوْرِهِمَا ، فَقَالَ النَّبِىُّ : يُعَذَّبَانِ ، وَمَا يُعَذَّبَانِ فِى كَبِيرٍ. ثُمَّ قَالَ : بَلَى ، كَانَ أَحَدُهُمَا لاَ يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ وَكَانَ الآخَرُ يَمْشِى بِالنَّمِيمَةِ
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhu ia berkata, “Suatu ketika Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam melewati sebuah kebun di Madinah atau Mekah, lalu beliau mendengar suara dua orang yang sedang disiksa dalam kuburnya. Maka beliau bersabda, “Keduanya sedang disiksa dan tidaklah keduanya disiksa karena masalah yang sulit untuk ditinggalkan”. Kemudian beliau kembali bersabda, “Memang masalah mereka adalah dosa besar. Orang yang pertama tidak menjaga diri dari percikan air kencingnya, sedangkan orang kedua suka melakukan namimah” [25]
- Menjaga Lisan Mendapat Jaminan Surga
Dalam hadits yang shahih Rasulullah telah memberikan jaminan surga bagi orang yang mampu mengendalikan lisannya. Ini merupakan keutamaan yang besar bagi orang yang mampu menjaga lisannya dan menggunakannya dalam kebaikan dan ketaatan kepada Allah Ta’ala semata. Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam bersabda :
,
مَنْ يَضْمَنْ لِي مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ
Siapa yang menjamin untukku apa yang ada di antara dua rahangnya dan apa yang ada di antara dua kakinya, niscaya aku menjamin surga baginya.[26]
Demikian pembahasan singkat dari hadits yang mulia ini. Tentang tiga wasiat Nabi Shalallahu alaihi wa sallam kepada shahabat Mu’adz bin Jabal. Semoga kita bisa melaksanakan tiga wasiat tersebut. Dan semoga Allah senantiasa membimbing kita kepada jalan yang diridhai-Nya. Amin.
Ustadz Nurwan Darmawan
[1] Lihat Silsilah al-Ahadits as-Shahihah, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Tahun 1415 H/1995 M, Maktabah al-Ma’arif li an-Nasyr wa at-Tauzi’, Riyadh, III/462.
[2] Lihat Shahih al-Jami’ as-Shaghir wa Ziyadatihi, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, Cet. III, Tahun 1408 H/1988 M, al-Maktab al-Islami, Beirut, Hlm. 238.
[3] HR. Muslim no. 1, 8 dari ‘Umar bin Khathab.
[4] Syarh al-Arba’in an-Nawawiyyah, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Cet. III, Tahun 1425 H/2004 M, Dar ats-Tsurayya li an-Nasyr, Unaizah, Hlm. 64.
[5] Hushul al-Ma’mul bi Syarh Tsalatsati al-Ushul, Syaikh ‘Abdullah bin Shalih al-Fauzan, Cet. I, Tahun 1420 H/1999 M, Maktabah ar-Rusyd li an-Nasyr wa at-Tauzi,. Riyadh, hlm. 138.
[6] al-Khuthab al-Mimbariyyah fi al-Munasabat as-Syar’iyyah, Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan, Cet. I, Tahun 1413 H/1993 M, Maktabah al-Ma’arif li an-Nasyr wa at-Tauzi’, Riyadh, I/233-234.
[7] Yaitu ihsan dalam beribadah kepada Allah r.
[8] Hushul al-Ma’mul bi Syarh Tsalatsati al-Ushul, Syaikh ‘Abdullah bin Shalih al-Fauzan, Cet. I, Tahun 1420 H/1999 M, Maktabah ar-Rusyd li an-Nasyr wa at-Tauzi,. Riyadh, hlm. 138-139.
[9] Di antaranya dalam QS. Al Maaidah : 93.
[10] Di antaranya dalam QS. Al Baqarah : 112.
[11] Di antaranya dalam QS. An Nahl : 128.
[12] Lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, Imam Zainuddin Abu al-Farj Abdurrahman bin Syihabuddin, Cet. I, Tahun 1429 H/2008 M, Dar Ibn Katsir, Beirut, Hlm. 102.
[13] Taisir al-Karim ar-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Cet. I, Tahun 1423 H/202 M, Muassasah ar-Risalah, Beirut, Hlm. 362.
[14] Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Imam ‘Imaduddin Abu al-Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir al-Qurasyi ad-Dimasyqi, Cet. Ke-5, Tahun 1421 H/2001 M, Jum’iyyah Ihya’ at-Turats al-Islamiy, Kuwait, I/722.
[15] HR. at-Tirmidzi no. 2307 dan Ibnu Hibban no. 2992. Dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah no. 3434.
[16] HR. Ibnu Majah no. 4259. Dihasankan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam Silsilah al-Ahadits as-Shahihah no. 1384
[17] HR. ath-Thabarani dan al-Hakim. Lihat Shahih al-Jami’ as-Shaghir no. 1222, dan Shohih at-Targhib, no. 3333.
[18] MinAkhlaqi as-Salaf, Ahmad Farid, Tahun 1412 H/1991 M, Dar al-Aqidah, al-Qahirah, Hlm. 26.
[19] Idem.
[20] HR. Muslim no. 2988 dari Abu Hurairah.
[21] Sebagaiman disebutkan dalam HR. Al-Bukhari no. 6018 dan Muslim no. 47 dari Abu Hurairah.
[22] HR. Tirmidzi no. 2317, Ibnu Majah no. 3976. Dishahihkan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 5911.
[23] HR. at-Tirmizi no. 1977. Dishahihkan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi no. 1977.
[24] Lihat al-Khuthab al-Mimbariyyah fi al-Munasabat as-Syar’iyyah, Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan, Cet. I, Tahun 1413 H/1993 M, Maktabah al-Ma’arif li an-Nasyr wa at-Tauzi’, Riyadh, II/319.
[25] HR. al-Bukhari no. 213 dari Ibnu ‘Abbas.
[26] HR. al-Bukhari no. 6474 dan Tirmidzi no. 2408.