Ketika Kematian Disembelih

Ketika Kematian Disembelih

Marilah kita berusaha meningkatkan ketaqwaan kepada Allah ta’ala, dengan ketaqwaan yang sebenar-benarnya; yaitu dengan menjalankan perintah Allah serta menjauhi larangan-Nya.

Kejadian hari kiamat merupakan kumpulan sebuah peristiwa… yang memberikan pelajaran yang amat berharga bagi umat manusia. Di antara peristiwa dahsyat yang memberikan pelajaran sangat mendalam… adalah kejadian disembelihnya kematian.

Sebuah kejadian… yang membangkitkan rasa takut dan khawatir, bahkan mengusik tidur nyenyak orang-orang yang beriman.

Setelah semua penghuni surga masuk ke dalamnya, dan seluruh penghuni tetap neraka menempati tempatnya di neraka jahannam, Allah subhanahu wa ta’ala mendatangkan kematian. Kematian yang saat itu Allah tampilkan dalam bentuk seekor domba, diletakkan-Nya di suatu tempat antara surga dan neraka.

Dalam sebuah hadits sahih yang dituturkan oleh Abu Sa’id al-Khudry radhiyallahu’anhu disebutkan, bahwa Nabi shallallahu’alaihiwasallam bersabda,

“يُؤْتَى بِالْمَوْتِ كَهَيْئَةِ كَبْشٍ أَمْلَحَ، فَيُنَادِي مُنَادٍ :….. ثُمَّ يَقُولُ: “يَا أَهْلَ الْجَنَّةِ خُلُودٌ فَلَا مَوْتَ، وَيَا أَهْلَ النَّارِ خُلُودٌ فَلَا مَوْتَ”.

“(Di hari kiamat kelak) kematian didatangkan dalam bentuk kambing berbulu hitam putih. Seorang penyeru berkata, “Wahai penghuni surga!” maka merekapun menengok dan melihat.

“Tahukah kalian apa ini?”.

“Ya, itu adalah kematian” jawab mereka. Seluruhnya telah melihatnya.

Penyeru kembali berkata, “Wahai penghuni neraka!”, merekapun menengok dan melihat.

“Tahukah kalian apa ini?”

“Ya, itu adalah kematian”. Seluruhnya telah melihatnya.

Lalu kematian tersebut disembelih, seraya si penyeru berkata, “Wahai penghuni surga, (setelah ini) kalian akan kekal dan tidak ada lagi kematian. Wahai penghuni neraka, (setelah ini) kalian pun akan kekal dan tidak ada lagi kematian”. HR. Bukhari dan Muslim.

 

Adapun perasaan mereka setelah kematian tersebut disembelih, telah digambarkan dengan jelas oleh Nabi kita shallallahu’alaihiwasallam dalam hadits Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma berikut,

“فَيَزْدَادُ أَهْلُ الْجَنَّةِ فَرَحًا إِلَى فَرَحِهِمْ، وَيَزْدَادُ أَهْلُ النَّارِ حُزْنًا إِلَى حُزْنِهِمْ”.

“Kegembiraan penghuni surga semakin bertambah setelah sebelumnya mereka telah diliputi kegembiraan. Sebaliknya kesedihan penghuni neraka pun semakin memuncak, setelah sebelumnya mereka sudah dikungkung kesedihan”. HR. Bukhari dan Muslim.

Begitulah sekelumit kejadian penyembelihan kematian di hari kiamat kelak. Di mana peristiwa tersebut merupakan penanda bahwa kematian telah tiada. Ya, kematian telah mati. Tidak ada lagi kematian setelah hari itu.

Yang ada adalah dua warna kehidupan yang amat bertolak belakang. Kehidupan pertama adalah kehidupan para penghuni surga yang diliputi dengan segala jenis kenikmatan yang tiada taranya.  Adapun kehidupan kedua adalah kehidupan para penghuni neraka, yang dikungkung segala bentuk siksa dan azab yang sangat pedih. Masing-masing akan menjalani kehidupan tersebut, tanpa ada batas akhir. Kekal abadi selama – lamanya…

Banyak pelajaran yang bisa kita petik, dari penggalan singkat kejadian alam akhirat di atas. Di antaranya, dengan merenungi hadits-hadits di atas, kita akan lebih termotivasi untuk menyiapkan bekal guna menghadapi peristiwa tersebut.

Kehidupan dunia ini ibarat tempat penyeberangan yang sedang dilalui oleh orang-orang yang hidup di dalamnya. Setiap orang akan melewati dan meninggalkannya, lalu menuju kehidupan yang sesungguhnya.

Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan dunia ini sebagai tempat beramal, sedang akhirat dijadikan-Nya sebagai tempat pembalasan amalan. Maka setiap orang yang beramal, dia akan meraih ganjarannya. Sebaliknya orang yang lalai, niscaya akan menyesali perbuatannya. Hari pembalasan pasti akan datang, dan apa saja yang akan datang adalah sesuatu yang dekat. Maka, janganlah kita tertipu dengan gemerlapnya kehidupan dunia yang sementara ini, sehingga melalaikan dari kehidupan yang sesungguhnya di akhirat nanti.

Saudara-saudaraku kaum muslimin rahimakumullah

Seorang hamba yang salih pernah berpetuah,

“اعْمَلْ لِدُنْيَاك بِقَدْرِ مَقَامِك فِيهَا، وَاعْمَلْ لِآخِرَتِك بِقَدْرِ بَقَائِك فِيهَا“

“Bekerjalah untuk duniamu sesuai jatah waktu tinggalmu di dalamnya. Dan beramallah untuk akhiratmu sesuai jatah waktu tinggalmu di dalamnya.”

Subhanallah…! Sebuah nasihat yang sungguh mencerminkan kedalaman perenungan akan hakekat perbandingan kehidupan di dunia dengan akhirat. Ia sangat memahami betapa jauh lebih bermaknanya kehidupan di akhirat daripada kehidupan di dunia. Dan betapa fananya dunia ini dibandingkan kekalnya alam akhirat kelak..!

Mari kita renungkan. Berapa lamakah jatah waktu hidup kita di dunia? Paling-paling hanya 60-an atau 70-an tahun. Kalau bisa lebih daripada itu tentu sudah sangat istimewa. Seorang yang mencapai usia 100 tahun sungguh luar biasa! Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam telah mengisyaratkan hal itu dalam sabdanya,

“أَعْمَارُ أُمَّتِي مَا بَيْنَ السِّتِّينَ إِلَى السَّبْعِينَ، وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوزُ ذَلِكَ”.

“Umur ummatku antara enampuluh hingga tujuhpuluh tahun. Dan sedikit di antara mereka yang melewati itu.” HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu dan hadits ini dinilai sahih oleh Ibn Hibban, al-Hakim dan adz-Dzahaby.

Itulah jatah hidup kita di dunia.

Bagaimana dengan jatah hidup kita di akhirat? Al-Qur’an al-Karim menegaskan bahwa manusia bakal hidup kekal selamanya di akhirat.

“خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا“.

“Mereka kekal selamanya di dalamnya.”

Maka, pantaskah kita mempertaruhkan kehidupan kita yang hakiki dan abadi di akhirat nanti, demi meraih kesenangan dunia yang fana dan penuh dengan tipuan yang sangat memperdayakan?

Marilah kita menjadi orang yang ‘cerdas’ yang mau berpikir dan merenungi. Bukan orang yang tidak mau menggunakan akal sehat dan pola pikirnya.

Dalam sebuah hadits dijelaskan,

“الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ”.

“Orang yang cerdas ialah orang yang senantiasa mengevaluasi (amal perbuatan) dirinya dan beramal untuk kehidupan setelah kematian.” HR. Tirmidzy dari Syaddad bin Aus radhiyallahu’anhu. At-Tirmidzy menyatakan hadits ini hasan.

 

Dengan merenungkan keterangan di atas, lantas mencermati jalan hidup banyak manusia di muka bumi ini, niscaya mata kita akan terbelalak terheran-terheran. Betapa tidak proporsionalnya bekal kehidupan dunia mereka, dibandingkan dengan bekal kehidupan akhirat mereka. Ada di antara mereka yang telah mempersiapkan bekal dunia yang cukup untuk tujuh keturunan, namun bekal akhiratnya, boro-boro untuk keturunannya, untuk bekal dirinya sendiri saja tidak cukup!

Sudah saatnya kita mengakhiri kelalaian akut itu! Telah tiba masanya kita menyudahi kelengahan parah itu!

Mari kita terus tingkatkan pengetahuan agama kita, dengan membaca, mendengar dan menelaah al-Qur’an dan Sunnah Nabi shallallahu’alaihiwasallam di bawah bimbingan para ulama rabbani.

Mari kita perbaiki ibadah shalat lima waktu kita, yang barangkali masih kerap kita jalankan bukan pada waktunya, dan masih amat jauh pula dari potret kekhusyu’an.

 

Diringkas dari Khutbah Jum’at Ustad Abdullah Zaen, MA dengan sedikit perubahan.

 

Back to top button