Tinjauan Kritis Terhadap beberapa Pemikiran Imam Al Ghazali

TINJAUAN KRITIS TERHADAP 

BEBERAPA PEMIKIRAN IMAM AL GHAZALI

 

  1. Muqaddimah

Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi asy-Syafi’i yang terkenal dengan Imam Al Ghazali dilahirkan di Thus pada tahun 450 H (1058 M) dan meninggal di Thus pada tahun 505 H (1111 M), adalah seorang filosof dan teolog muslim Persia, yang dikenal di dunia barat pada abad pertengahan dengan Algazel.

Beliau berkuniah Abu Hamid karena salah seorang anaknya bernama Hamid. Gelar beliau al-Ghazali ath-Thusi berkaitan dengan ayahnya yang bekerja sebagai pemintal bulu kambing dan tempat kelahirannya yaitu Ghazalah di Bandar Thus, Khurasan, Persia (Iran). Sedangkan gelar asy-Syafi’i menunjukkan bahwa beliau bermazhab Syafi’i.

Imam Al Ghazali termasuk penulis yang produktif dan banyak menelurkan karya tulis, di antaranya dalam bidang ushuluddin, ushul fiqh, fiqh, mantiq, tashawuf, dan lainnya. Tulisan dan kitab-kitab beliau tersebut cukup banyak tersebar di kalangan kaum muslimin, meskipun di dalamnya banyak terdapat substansi-substansi yang perlu dikoreksi dan diluruskan karena penyelisihannya dari pemahaman yang benar.

Pada tulisan ini, akan sedikit diuraikan beberapa pemikiran dan pemahaman Imam Al Ghazali yang perlu dikritisi, dalam rangka meluruskan kesalahan dan sebagai bentuk nasihat kepada kaum muslimin. Pembahasan ini diangkat dari kitab berjudul Waqafat ma’a Kitab Ihya’ Ulumiddin lil Ghazali karya Sa’d bin Abdirrahman Al Hushain.

  1. Pendapat beliau dalam masalah khalwah[1]

Beliau mengatakan, “Adapun kehidupan berkhalwah, maka di antara faidahnya adalah meninggalkan kesibukan, menguatkan peendengaran dan penglihatan, karena sesungguhnya keduanya  (pendengaran dan penglihatan) adalah saluran menuju ke hati……Dan tidaklah  hal itu bisa sempuna kecuali dengan berkhakwah (menyendiri) di rumah yang gelap. Dan jika tidak ada tempat yang gelap, maka hendaklah ia memasukkan kepalanya ke dalam baju, atau berselimut dengan baju atau sarungnya, maka dalam keadaan ini ia akan mendengar seruan kebenaran dan menyaksikan keagungan rububiyyah Alloh I.” [2]

Beliau berdalil dengan firman Alloh Ta’ala :

يَاأَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ

Hai orang yang berkemul (berselimut). (QS. Al Muddatstsir : 1)

Dan Firman Alloh I :

يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ

Hai orang yang berselimut (Muhammad). (QS. Al Muzzammil : 1)

Tanggapan : Apakah Alloh I menurunkan ayat-ayat tersebut sebagai dasar untuk merealisasikan jenis khalwah semacam itu, ataukah ayat tersebut menjelaskan perintah meninggalkan tempat tidur dalam rangka berda’wah  mengajak ke jalan Alloh I dengan diutusnya Nabi Muhammad r ?

Dan apakah jenis khalwah semacam itu diperintahkan oleh Alloh I dan dicontohkan oleh Rasul-Nya r ?

Beliau juga mengatakan berkaitan dengan khalwah, “Dan hendaklah ia menyendiri di ruangan khusus, dengan mencukupkan diri melaksanakan perkara-perkara yang wajib, dan tidak mengiringi keinginannya untuk membaca Al Qur’an, tidak pula menelaah tafsirnya, tidak pula menulis hadits.” [3]

Tanggapan : Pernahkah Rasulullah, para shahabatnya, dan para imam beribadah kepada Alloh I dengan meninggalkan membaca Al Qur’an, mentadabburinya, dan menyebarkan sunnah ?

Dan beliau mengatakan, “Ketahuilah bahwa orang yang masih dalam tahapan awal[4], hendaklah tidak menyibukkan dirinya dengan menikah. Karena hal itu adalah perkara yang menyibukkannya dan menghalanginya dari menempuh perjalanan (suluk). Demikian pula hal itu akan mengantarkannya untuk berkasih sayang dengan isterinya. Dan barangsiapa berkasih sayang dengan selain Alloh I, maka akan melalaikannya dari Alloh I. Janganlah ia tertipu dengan keberadaan Rasulullah r yang mempunyai banyak isteri. Karena beliau adalah orang yang hatinya tidak tersibukkan dari mengingat Alloh I dengan seluruh yang ada di dunia. Maka tidaklah bisa dikiaskan antara malaikat dengan tukang besi……..Oleh karena itulah Abu Sulaiman ad-Darani berkata, “Barangsiapa yang menikah maka ia telah cenderung kepada dunia.” [5]

Tanggapan : Lihatlah pertentangan perkataan tersebut dengan firman Alloh Ta’ala :

وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا

            Dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. (QS. Al A’raaf : 189).

Demikian pula bertentangan dengan perintah Rasulullah Sholallahu alaihi wa sallam kepada ummatnya :

مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ ، لِأَنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ

            Barangsiapa di antara kalian yang mempunyai kemampuan maka hendaklah ia menikah karena hal itu bisa menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. (HR. Bukhari Muslim).

  1. Pendapat Imam Al Ghazali berkaitan dengan Al Qur’an
  • Ta’wil Bathiniyah

Para pengikut thariqah shufiyah berpendapat seperti yang menjadi pendapat kaum batiniyah secara umum, yaitu membagi ilmu syar’i menjadi ilmu yang bersifat lahir dan ilmu yang bersifat batin, atau ilmu thariqah (jalan) dan ilmu hakikat. Dan Imam Al Ghazali termasuk pemandu mereka dalam masalah ini, sebagaimana kenyataan yang ada, di manaa beliau telah mambuka pintu ajaran tashawuf kepada para pengikut yang datang setelahnya. Dan juga memudahkan sarana untuk menjadikan ajaran ini nampak, padahal sebelumnya ajaran ini tersembunyi, tidak terang-terangan, dan penuh kewaspadaan di bawah aqidah dan ibadah Islam yang murni.

Berikut ini contoh penafsiran Imam Al Ghazali terhadap beberapa ayat Al Qur’an :

Alloh Ta’ala berfirman :

فَاخْلَعْ نَعْلَيْكَ

Maka tanggalkanlah kedua terompahmu. (QS. Thaahaa : 12)

Imam Al Ghazali menafsirkan “menanggalkan kedua terompah” pada firman Alloh I tersebut dengan mengatakan, “Bahkan aku mengatakan bahwa Musa memahami perintah untuk menanggalkan kedua terompah, yang maksudnya adalah menanggalkan kedua alam. Maka Musa melaksanakan perintah secara lahir dengan menanggalkan terompah dan secara batin dengan menanggalkan kedua alam.” [6]

Ibnu Taimiyah -meninggal tahun 728 H- mengomentari tafsiran tersebut dengan mengatakan, “Ini adalah kebiasaan ahli takwil, ahli falsafah….shabiah dan orang-orang yang mengikuti mereka dari kalangan qaramithah, bathiniyah, serta pengikut aliran tasawuf.” [7] Beliau juga mengatakan, “Dan dari sisi inilah orang-orang yang menyimpang dari kalangan ahlul hulul, ahlul wihdah, dan ahlul ittihad[8].” [9]

Ibnul Jauzi -meninggal tahun 597 H- juga menukil perkataan Imam Al Ghazali, “Yang dimaksudkan dengan bintang-bintang dan bulan (yang dilihat nabi Ibrahim)[10] adalah cahaya-cahaya, yaitu hijab Alloh I, dan bukanlah yang dimaksudkan adalah matahari dan bulan yang sudah ma’ruf.” Maka, Ibnul Jauzi mengomentari perkataan ini dengan mengatakan, “Ini termasuk jenis perkataan orang-orang bathiniyah.” [11]

Demikian pula, Alloh Ta’ala berfirman :

فَإِنْ آَنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ

Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. (QS. An Nisaa’ : 6)

Imam Al Ghazali menafsirkan firman Alloh I tersebut dengan mengatakan bahwa orang yang sudah cukup bekal ilmunya, hendaklah dibukakan kepadanya hakikat-hakikat ilmu, dan ia naik dari pengetahuan yang sifatnya lahiriyah dan nampak kepada pengetahuan yang sifatnya rinci, tersembunyi, dan batin.” [12]

  • Perbandingan Antara Al Qur’an dan Nyanyian

Imam  Al Ghazali menyebutkan di dalam kitabnya[13] satu bab tentang nyanyian. Beliau berpanjang lebar membicarakan tentang kondisi orang-orang yang menekuninya, dan juga perasaan gembira yang mereka rasakan. Dan beliau menyebutkan dalil-dalil orang yang berpendapat akan haramnya nyanyian, kemudian membantahnya. Dan menyebutkan orang-orang yang berpendapat akan bolehnya nyanyian dan beliu menyetujuinya.

Kemudian beliau menjawab pertanyaan berkaitan dengan hal ini, yaitu pertanyaan, “Jika sudah diketahui bahwa mendengar Al Qur’an jelas memberikan manfaat kepada jiwa, maka mengapakah mereka masih berkumpul untuk mendengarkan nyanyian dari orang-orang yang ahli dalam pembicaraan, bukan mendengar dari para pembaca Al Qur’an ?” Maka Imam Al Ghazali menjawab, “Ketahuilah, sesungguhnya nyanyian lebih memberikan dorongan kepada jiwa daripada Al Qur’an ditinjau dari tujuh sisi[14] :

Sisi pertama : Sesungguhnya tidak semua ayat-ayat Al Qur’an sesuai dengan kondisi orang yang mendengarkannya. Maka orang yang ditimpa kesedihan, rasa rindu, atau penyesalan, dari sisi mana kesesuaian kondisinya dengan firman Alloh Ta’ala:

يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ

Alloh mensyari’atkan begimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu, bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan. (QS. An Nisaa’ : 11)

Dan dari sisi mana kesesuaiannya dengan firman Alloh Ta’ala :

وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ

Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik. (QS. An Nuur ; 4)

Sesungguhnya, yang bisa menggerakkan perasaan di dalam hati adalah hal-hal yang sesuai dengannya.

Sisi kedua : Bahwasanya Al Qur’an telah banyak orang yang menghafalnya, sering didengar, dan sering diresapi di dalam hati. Ketika pertama kali didengar maka pengaruhnya terasa besar di dalam hati. Setelah mendengar kedua kalinya, pengaruhnya lebih kecil. Dan pada kali yang ketiga seolah-olah pengaruhnya menjadi hilang. Berkaitan dengan apa yang kami sebutkan itu, Abu Bakr As Shiddiq telah mengisyaratkan ketika ia melihat beberapa orang arab badui datang mendengarkan Al Qur’an kemudian mereka menangis, maka  ia berkata, “Dahulunya kami juga menangis seperti kalian, akan tetapi sekarang sudah keras hati kami.” Akan tetapi, berulang-ulangnya hati menelaah Al Qur’an mengonsekuensikan kerasnya hati, dan sedikitnya pengaruh yang dirasakan,  disebabkan kebiasaan dan seringnya mendengar Al Qur’an. Di mana, tidak mungkin menurut kebiasaan jika seseorang mendengar satu ayat yang belum pernah didengar sebelumnya lalu ia menangis, dan ia terus-menerus bisa menangis karenanya dalam jangka dua puluh tahun, kemudian setiap kali ia mengulang ia selalu menangis.” [15]

Tanggapan : Sangat mengherankan, bukankah Imam Al Ghazali telah mengatakan tidak hanya sekali di dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin bahwa Al Qur’an tidaklah usang dengan banyaknya diulang ? Dan bahwa hati tidaklah bosan dengannya ? [16] Dan dari manakah beliau mendatangkan kisah palsu yang dihikayatkan dari Abu Bakar tersebut ? Sedangkan telah diriwayatkan dalam hadits yang shahih dari Aisyah, bahwasanya ia berkata :

إِنَّ أَبَا بَكْرٍ رَجُلٌ رَقِيْقٌ إِذَا قَرَأَ غَلَبَ عَلَيْهِ الْبُكَاءُ

Sesungguhnya Abu Bakar adalah orang yang sangat lembut hatinya, jika ia membaca Al Qur’an maka ia tidak bisa menahan tangisnya.[17]

Ini adalah riwayat yang jelas menunjukkan kedustaan kaum yang menganggap telah sampai pada tingkatan ma’rifah dan wushul, dan mereka lebih mengedepankan nyanyian daripada Al Qur’an, dan berdalil dengan riwayat yang diada-adakan atas nama Abu Bakar.

  1. Pendapat Imam Al Ghazali dalam masalah roja’ dan khauf’.[18]

Imam Al Ghazali menyebutkan beberapa perkataan kaum shufi dan pendapat-pendapat mereka dalam masalah roja’ dan khauf. Di antaranya beliau mengatakan, “Adapun orang yang beramal karena mengharapkan surga dan takut neraka maka dia adalah seorang yang ikhlas jika ditinjau dari bagian yang didapatkannya segera. Jika tidak demikian, maka hakikatnya dia sedang mencari pemenuhan kebutuhan perut dan farji (kemaluan). Dan sesungguhnya yang dituntut sebenarnya bagi orang-orang yang berakal adalah mengharapkan wajah Alloh I semata.[19]

Kemudian beliau menukil perkataan Rabi’ah al-Adawiyah kepada Sufyan ats-Tsauri, “Aku tidaklah menyembah-Nya karena takut dari nerakanya, tidak pula karena menginginkan surganya. Jika seperti itu, tentulah aku termasuk pekerja yang buruk. Akan tetapi aku menyembahnya karena cinta dan rindu kepada-Nya.[20]

Dan perkataan Abu Sulaiman ad-Darani, “Sesungguhnya Alloh mempunyai beberapa hamba yang ketakutan mereka terhadap neraka dan harapan mereka untuk masuk surga tidak menyibukkan mereka dari (mengingat) Alloh I. Maka bagaimanakah seseorang tersibukkan dengan dunia dari (mengingat) Alloh I ?[21]

Beliau juga menceritakan bahwa Isa pernah melewati sekelompok orang yang sedang beribadah, dan mereka bersungguh-sungguh dalam beriobadah. Dan mereka berkata, “Kami takut akan neraka dan kami mengharapka surga.” Maka ia berkata, “Mengapa kalian takut kepada makhluk dan mengharapkan makhluk.”

Kemudian ia melewati sekelompok orang lainnya dan mereka mengatakan, “Kami beribadah karena cinta kepada-Nya dan mengagungkan kebesaran-Nya.” Maka Isa berkata, “Kalian adalah wali-wali Alloh I yang sesungghnya, dan bersama kalian lah aku diperintahkan untuk tinggal.”[22]

Tanggapan : Alloh Ta’ala berfirman dalam menjelaskan tarhib[23] :

فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ

         Peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu. (QS. Al Baqarah : 24).

Dan Alloh Ta’ala berfirman dalam menjelaskan targhib[24] :

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

         Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (QS. Ali ‘Imran : 133).

Maka, bagaimanakan seseorang bisa disebut sebagai orang yang mengagungkan Alloh Ta’ala, sedangkan ia mendengar firman Alloh I tersebut, kemudian ia tidak mau memperhatikan ancaman yang menjadikan seseorang takut dari-Nya. Dan tidak pula mengharapkan kenikmatan yang telah Alloh I janjikan ?

Apakah ia berkeyakinan bahwa ia lebih dicintai Alloh I dan lebih dekat kepada-Nya daripada para Nabi, yang mana mereka telah dipuji Alloh I dalam firman-Nya :

وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا

            Mereka berdo’a kepada kami dengan harap dan cemas. (QS. Al Anbiyaa’ : 90).

Dan apakah ia menganggap bahwa ia lebih dicintai Alloh Ta’ala daripada para malaikat. Di mana Alloh I telah berfirman tentang para malaikat :

يَخَافُونَ رَبَّهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ

            Mereka takut kepda Tuhan mereka yang di atas mereka. (QS. An Nahl : 50).

Bukankah pengagungan bahkan seluruh pengagungan, demikian pula takwa dan seluruh maknanya adalah seseorang takut akan hal-hal yang menjadi ancaman Alloh, dan seseorang mengharapkan kenikmatan yang telah dijanjikan Alloh I.

Tidakkah ia mendengar firman Alloh Ta’ala :

ذَلِكَ يُخَوِّفُ اللَّهُ بِهِ عِبَادَهُ يَا عِبَادِ فَاتَّقُونِ

            Demikianlah Alloh mempertakuti hamba-hamba-Nya dengan adzab itu. Maka bertakwalah kepada-Ku hai hamba-hamba-Ku. (QS. Az Zumar :16).

Tidakkah ia mengetahui bahwa ketidak takutan seseorang akan ancaman Alloh Ta’ala termasuk sifat orang-orang yang melampaui batas, sebagaimana firman Alloh I :

وَنُخَوِّفُهُمْ فَمَا يَزِيدُهُمْ إِلَّا طُغْيَانًا كَبِيرًا

            Dan kami menakut-nakuti mereka, tetapi yang demikian itu hanyalah menambah besar besar kedurhakaan mereka. (QS. Al Israa’ : 60).

Dan sifat thughyan (melampai batas) ini telah menimpa kaum shufi dengan penyimpangan mereka dari sunnah RasulullahSholallahu alaihi wa sallam , dan menganggap remeh pahala dan siksaan di sisi Alloh I. Mereka menganggap  bahwa apabila seseorang takut akan neraka dan adzab Alloh I berarti  ia telah takut kepada selain Alloh I, dan bahwasannya hal itu termasuk kategori kesyirikan. Dalam hal ini, mereka lupa akan perintah Alloh I :

وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا

            Dan berdo’alah kepada-Nya dengan rasa takut dan harapan. (QS. Al A’raaf : 56)

Dengan demikian, mereka tidak meminta surga kepada Alloh I dan tidak pula berlindung dari neraka karena menganggap bahwa hal itu adalah tingkatan ridha kepada Alloh I.

Dan dengarlah apa yang dikatakan al-Qusyairi –seorang tokoh shufi dan termasuk peletak pokok-pokok ajaran shufiyah- yang diriwayatkan dari perkataan Abu Sulaiamn ad-Darani, “Yang dimaksud dengan ridha adalah engkau tidak meminta surga kepada Alloh I, dan tidak memohon perlindungan dari neraka.” [25]

  1. Nukilan Imam Al Ghazali dari Kisah Tokoh-Tokoh Tasawuf

Diantaranya, beliau mengatakan, “Dan diriwayatkan bahwa Abu Turab an-Nakhsyabi, suatu ketika ia merasa kagum terhadap seorang pengikut thariqah tashawuf. Maka ia mendekatinya dan menyediakan keperluannya, sedangkan orang tersebut tetap sibuk dalam ritual ibadahnya. Maka Abu Turab berkata kepadanya, “Seandainya engkau melihat Abu Yazid !” Maka orang itu menjawab, “Celakalah engkau, apa yang aku butuhkan dari Abu Yazid? Aku telah melihat Alloh ta’ala maka aku tidak butuh kepada Abu Yazid.” Berkata Abu Turab, “Maka bergoncanglah perasaanku, dan aku pun tidak bisa menguasai jiwaku, lalu aku pun berkata kepadanya, “Celakalah engkau, engkau telah terpedaya dengan Alloh I. Kalau lah engkau melihat Abu Yazid sekali saja, maka itu lebih bermanfaat bagimu daripada melihat Alloh I tujuh puluh kali !” [26]

Tanggapan : Perkataan yang buruk ini tidak perlu lagi untuk dikomentari, kecuali kita hanya berlindung kepada Alloh I dari penyimpangan setelah datangnya petunjuk. Namun demikian, Al Ghazali tidak mengingkari perkataan tersebut, demikian pula cerita-cerita lainnya dari tokoh shufi. Di mana, beliau mengatakan, “Ini adalah bagian awal dari perjalanan mereka, sekecil-kecil kedudukan mereka, dan semulia-mulia fenomena dari kalangan orang orang yang bertakwa dari manusia.” [27]

Imam al-Ghazali juga menceritakan dari Ibnu al-Kuraibi bahwa ia berkata, “Aku datang di suatu tempat, maka aku dikenal ditempat itu sebagai seorang yang shalih. Maka hatiku menjadi gundah. Lalu aku masuk ke kamar mandi dan aku melihat sehelai baju yang mewah. Maka aku mencurinya dan aku memakainya. Lalu aku pakai pakaianku yang penuh tambalan di atas baju tersebut kemudian aku keluar. Aku pun berjalan pelan-pelan. Orang-orang pun menemuiku dan melepaskan baju luarku. lalu mereka mengambil pakaian yang mewah itu lalu mereka menampar dan menyakitiku dengan pukulan. Mulai saat itu aku dikenal sebagai seorang pencuri barang-barang yang tertinggal di kamar mandi. Dengan kasus itu lah jiwaku menjadi tenang.” [28]

Tanggapan : Perkara ini menyelisihi syariat Alloh Idan sunnah Nabi-Nya. Karena pencurian termasuk salah satu di antara dosa-dosa besar. Di mana pencurian telah digandengkan penyebutannya dengan zina yang diharamkan Alloh I atas orang-orang beriman laki-laki maupun perempuan. Alloh Ta’ala berfirman :

وَلَا يَسْرِقْنَ وَلَا يَزْنِينَ

          Tidak akan mencuri dan tidak akan berzina. (QS. Al Mumtahanah : 12)

Dan Alloh Ta’ala berfirman :

وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ

            Dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin. ( QS. An Nuur : 3)

  1. Tauhid Imam Al Ghazali dan Tauhid Al Hallaj[29]

            Para ulama telah mengingkari pendapat Imam Al Ghazali yang membagi tauhid menjadi empat, yaitu :

  • Tingkatan pertama : Seorang insan mengucapkan kalimat “laa ilaaha illallah” dengan lisannya namun hatinya lalai darinya atau mengingkarinya, seperti tauhid orang-orang munafik.[30]

Tanggapan : Telah maklum bahwa kemunafikan bukanlah satu tingkatan dari tauhid menurut para ulama’ salaf, bahkan itu termasuk setinggi-tinggi tingkatan kekufuran, dan kelalaian itu berbeda dengan pengingkaran.

  • Tingkatan kedua : Seseorang membenarkan makna kalimat ini dengan hatinya sebagaimana umumnya kaum muslimin membenarkannya. Ini adalah keyakinan orang-orang awam. [31]
  • Tingkatan ketiga : Seseorang menyaksikan (alam semesta) dengan jalan penyingkapan melalui wasilah cahaya dari Alloh I. Ini adalah tingkatan orang-orang yang didekatkan kepada-Nya. Yaitu dengan melihat benda-benda yang banyak, disertai keyakinan bahwa semuanya itu muncul dari satu Dzat Yang Maha Mulia.

Maka, orang yang menyaksikan adalah orang yang bertauhid, yaitu ia tidak menyaksikannya kecuali (bersumber) dari satu perbuatan……dan tidak melihat satu pun perbuatan secara hakikat kecuali (bersumber) dari yang satu. [32]

  • Tingkatan keempat : Seseorang tidak melihat apa yang ada ini kecuali semuanya itu hakikatnya adalah satu. Ini adalah yang disaksikan oleh shiddiqin. Orang-orang pengikut tasawuf menamainya dengan fana’ dalam tauhid. Inilah puncak tertinggi di dalam tauhid.” [33]

Tanggapan : Di sini kita sampaikan satu pertanyaan, yaitu di manakah letak tauhid yang diserukan oleh Rasulullah r dan para Nabi lainnya di antara empat tingakatan tauhid yang disebutkan tersebut, mengapa tidak ada bagiannya di sana ?

Dan benarkah bahwa puncak tertinggi di dalam tauhid diwujudkan dengan melihat segala apa yang ada sebagai sesuatu yang hakikatnya satu ? Apakah yang dimaksudkan satu tersebut adalah Alloh I? Jika demikian, maka ini adalah pemahaman wihdatul wujud.[34]

Dan Imam Al Ghazali telah mengisyaratkan hal itu[35] ketika beliau mengatakan dalam kitab Misykatul Anwar, “Maka ‘laa ilaaha illallah’ adalah tauhidnya orang-orang awam, dan ‘laa huwa illa huwa’ adalah tauhidnya orang-orang khusus.” [36]

Dan ketika Imam Al Ghazali menyebutkan tingkatan keempat dari tauhid tersebut, beliau mengatakan, “Jika engkau bertanya, “Bagaimana bisa tergambar seseorang tidak melihat kecuali satu, sedangkan ia melihat langit, bumi, seluruh benda-benda yang bisa diindera, dan itu adalah benda-benda yang sangat banyak, maka bagaimana bisa dikatakan yang banyak tersebut sebagai sesuatu yang satu ?”

Maka beliau menjawab pertanyaan tersebut dengan membuat permisalan yang mengherankan, dan tidak terbayang bahwa itu muncul dari seorang yang alim terhadap syariat Alloh I, yang mengembalikan perkara ketika terjadinya perselisihan kepada nash-nash wahyu dari Alloh I. Beliau menjawab pertanyaan tersebut dengan menagatakan, “Hal itu semisal diri seorang insan, ia bisa dikatakan banyak jika ditinjau dari ruhnya, jasadnya, anggota badannya, urat-uratnya, tulang-tulangnya, dan juga lambungnya. Dan ditinjau dari sisi lainnya, ia juga bisa dikatakan sebagai sesuatu yang satu. Betapa banyak orang yang melihat orang lain, namun tidak terlintas di dalam benaknya tentang banyaknya usus orang itu, urat-uratnya, anggota badannya, rincian ruh dan jasadnya, demikian pula anggota tubuhnya yang laian. Maka demikian pula segala sesuatu yang ada ini dari Al Khaliq (Yang Maha Pencipta) dan seluruh makhluk mempunyai sisi penyaksian yang banyak dan beraneka ragam. Maka ditinjau dari satu sisi semuanya itu bisa dikatakan sebagai sesuatu yang satu, dan ditinjau dari sisi lainnya bisa dikatakan sebagai sesuatu yang banyak, sebagiannya lebih bayak dari sebagian yang lain.“ [37]

Maka, makna dari perkataan Imam Al Ghazali tersebut adalah bahwa puncak tertinggi tauhid adalah wihdatul wujud dan bersatunya Al Khaliq (Yang Maha Pencipta) dengan makhluk-Nya.

  1. Penutup

Di akhir pembahasan ini, setelah kami menyebutkan beberapa pendapat dan pemikiran Imam Al Ghazali yang dinukil dari kitab-kitab beliau sendiri, demikian pula dari kitab-kitab yang menjelaskan biografi beliau, maka perlu kami sampaikan bahwa telah disebutkan khabar tentang ruju’ (taubat) beliau dari kesalahan-kesalahan tersebut. Dan di akhir-akhir kehidupannya, beliau menyibukkan diri dengan menekuni hadits dan ilmu-ilmunya. Sampai-sampai disebutkan bahwa beliau meninggal sedangkan kitab Shahih Bukhari berada di atas dadanya. Sebagaimana disebutkan oelh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -semoga Alloh I mengampuni kita dan mengampuni mereka semuanya. Wallahu a’lam. Semoga shalawat dan salam tercurah kepada Nabi Muhammad dan para shahabat.

 

Ustad Nurwan Darmawan

 

[1] Khlwah adalah menyendiri dalam rangka mendekatkan diri kepada Alloh I.(Pen)

[2] al-Ihyaa’ (3/76).

[3] al-Ihyaa’ (3/19).

[4] Maksudnya masih dalam tahapan awal dalam menempuh thariqah tashawwuf. (Pen)

[5] al-Ihyaa’ (3/110).

[6] Misykah al-Anwar, hlm. 30.

[7] Majmu’ Fatawa (6/180).

[8] Maksudnya adalah orang-orang yang berkeyakinan bersatunya Rabb dengan makhluqnya. (Pen)

[9] Dar-u at-Ta’arudh al-‘Aql wa an-Naql (1/318).

[10] Sebagaimana disebutkan dalam QS. Al An’aam : 77-78. (Pen)

[11] Talbis Iblis, hlm. 166.

[12] Mizan al-‘Amal, hlm. 111.

[13] Yaitu kitab Ihya’ ‘Ulumuddin. (Pen)

[14] Di sini kami hanya menyebutkan dua sisi yang disebutkan Imam Al Ghazali karena terbatasnya tempat. (Pen)

[15] al-Ihyaa’ (2/299).

[16] al-Ihyaa’ (1/272-289).

[17] HR. Al-Bukhari (1/162, 165, 167)  dalam Kitab al-Adzan.

[18] Roja’ maknanya mengaharpkan pahala dan surge Alloh, sedangkan khauf maknanya takut dari adzab dan neraka Alloh I. (Pen)

[19] al-Ihyaa’ (4/381).

[20] al-Ihyaa’ (4/310).

[21] Idem.

[22] al-Arba’in min Ushul ad-Diin (192).

[23] Tarhib adalah hal-hal yang menyebabkan seseorang takut akan ancaman dan siksaan Alloh I. (Pen)

[24] Targhib adalah hal-hal yang menyebabkan seseorang bersemangat untuk mendapatkan pahala dan kenikmatan yang dijanjikan Alloh I. (Pen)

[25] ar-Risalah al-Qasyiriyah (90).

[26] al-Ihyaa’ (4/356) Bab Hikayatu al-Muhibbin wa Aqwaluhum wa Mukasyafatuhum.

[27] al-Ihyaa’ (4/357).

[28] al-Ihyaa’ (4/358).

[29] Al Hallaj adalah tokoh pemahaman wihdatul wujud (bersatunya Rabb dengan makhluknya). (Pen)

[30] Al-Ihyaa’ (4/245).

[31] Al-Ihyaa’ (4/245).

[32] Idem.

[33] Idem.

[34] Yaitu pemahaman bersatunya Rabb dengan makhluknya. (Pen)

[35] Yaitu pemahaman wihdatul wujud. (Pen)

[36] Misykah al-Anwar (19/20).

[37] Al-Ihyaa’ (4/246-247).

Check Also
Close
Back to top button