Akhlaq: Menyambung Silaturahim Bagian #4
عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ , قَالَ: جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – , فقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ! عَلِّمْنِي عَمَلًا يُدْخِلُنِي الجنة؟ قال: ((لئن كنت أقصرت الخطبة؛ لقد أعرضت المسئلة: أعتق النَّسَمَةَ , وفُكَّ الرقبة)) , قال: أليستا واحدة؟! قَالَ: ((لَا؛ عِتْقُ النَّسَمَةِ: أَنْ تَفَرَّدَ بِعِتْقِهَا , وفكُّ الرَّقَبَةِ: أَنْ تُعْطِي فِي ثَمَنِهَا. وَالْمِنْحَةُ الوَكوفُ , وَالْفَيْءُ عَلَى ذِي الرَّحِمِ الْقَاطِعِ , فَإِنْ لم تطقْ ذلك فأطعم الجائع واسقِ الظمآن وأمُر بِالْمَعْرُوفِ وانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ فَإِنْ لَمْ تُطقْ ذلك فَكُفَّ لسانَكَ إلا من خير))
Dari Al Bara bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu berkata:
Pernah datang seorang A’rabi (arab dari kampung) menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ia berkata:
“Wahai Rasulullah beritahukanlah kepadaku mengenai amalan yang dapat memasukkanku ke dalam surga?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Meski pertanyaan kamu singkat, tapi sungguh apa yang anda kemukakan merupakan persoalan yang besar. Jika kamu ingin masuk ke dalam surga, maka) kamu bisa membebaskan budak yang kamu miliki atau kamu bisa membantunya sehingga ia bisa membebaskan diri dari status budak.”
Orang badui itu berkata : “Wahai Rasulullah bukankah keduanya sama?”
Rasulullah menjawab,
“Tidak, itqun nasamah adalah kamu [sendiri] yang membebaskan budak sedangkan fakkur raqabah adalah kamu membantu budak tersebut dalam membebaskan dirinya dari perbudakan (seperti) pemberian unta yang mendatangkan manfaat yang banyak. Demikian pula yang dapat memasukkanmu ke dalam surga adalah mengembalikan (memulihkan kembali) tali silaturrahmi. Jika kamu tidak mampu melaksanakannya, maka perintahkanlah manusia untuk berbuat baik dan cegahlah mereka dari kemungkaran. Jika kamu tidak mampu melakukannya, maka jagalah lidahmu dan janganlah menggunakannya kecuali untuk kebaikan.” (HR. Ahmad 18647) [1]HR. Ahmad 18647
Ini adalah bab yang sangat tinggi nilainya dari pintu-pintu kebaikan, kedudukan yang tinggi dari kedudukan-kedudukan menyambung silaturahim. Dengan seseorang masih tetap memperhatikan dengan baik hubungan silaturahim dengan kerabat yang dholim. Yaitu siapa yang diketahui dari kerabatnya ada yang berbuat dholim baik kepadanya atau kepada orang lain, karena menyambung silaturahim bisa jadi sebagai sebab terhalangnya kedholiman atau memperingan batasan kedholiman dan sebagai pemadam bara api kejelekan dan gangguan. Berbeda dengan memutus hubungan kekerabatan hanya akan menambah kejelekan semakin jelek, menambah gangguan demi gangguan.
Dan menyambung silaturahim dengan kerabat yang dholim berarti mengamalkan Firman Allah ta’ala :
وَلَا تَسْتَوِى ٱلْحَسَنَةُ وَلَا ٱلسَّيِّئَةُ ۚ ٱدْفَعْ بِٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ فَإِذَا ٱلَّذِى بَيْنَكَ وَبَيْنَهُۥ عَدَٰوَةٌ كَأَنَّهُۥ وَلِىٌّ حَمِيمٌ
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (QS. Fussilat : 34) [2]QS. Fussilat : 34
وَعَنْ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – – لَا يَدْخُلُ اَلْجَنَّةَ قَاطِعٌ – يَعْنِي: قَاطِعَ رَحِمٍ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Jubair bin Muth’im radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang memutus silaturahim.” (HR. Bukhari, no. 2984 dan Muslim, no. 2556)
Hadits ini menjelaskan akan besarnya dosa memutuskan hubungan kekerabatan sekaligus menjadi peringatan keras bagi orang-orang yang suka memutuskannya. Dan memutuskan hubungan kekerabatan adalah perbuatan keji dan sangat berbahaya, pelakunya berhak mendapatkan hukuman yang mengerikan di Dunia dan Akhirat. Perbuatan memutus hubungan kekerabatan adalah perbuatan yang wajib mendapatkan kerugian dan hukuman bagi palakunya di Dunia dan Akhirat.
Penafian dalam sabda Nabi : “Tidak akan masuk surga orang yang memutus silaturahim.” Maksudnya adalah orang yang memutus hubungan kekerabatan bisa kekal di Neraka jka dia meyakini bolehnya perbuatan ini. Namun bisa jadi maksudnya adalah pelaku pemutus hubungan kekerabatan tidak akan masuk Surga terlebih dahulu tapi harus di akhirkan dibandingkan dengan yg lainnya dari para pemburu kebaikan, penjaga ketaatan dan dari mereka yang menjauhi kemaksiatan dan dosa. Inipun jika pelaku pemutus hubungan kekerabatan melakukan hal ini karena menyepelekan, meremehkan atau menganggap sempit perkara ini.
Atau bisa jadi maksudnya hadits adalah orang yang memutuskan hubungan kekerabatan akan melewati masa disiksa dahulu sebelum masuk Surga. Karena para pelaku maksiat selain syirik dan kufur perkara mereka pada hari Kiamat dibawah kehendak Allah. Jika Allah mau akan mengadzabnya dan jika Allah mau akan mengampuninya. Dan jika mereka disiksa dahulu berarti mereka tidak kekal di dalam Neraka karena yang kekal disana hanyalah orang-orang musyrikin dan kafir.
أَخْبَرَنَا أَبُو أَيُّوبَ سُلَيْمَانُ مَوْلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ قَالَ: جَاءَنَا أَبُو هُرَيْرَةَ عَشِيَّةَ الْخَمِيسِ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ فَقَالَ: أُحَرِّجُ عَلَى كُلِّ قَاطِعِ رَحِمٍ لَمَا قَامَ مِنْ عِنْدِنَا، فَلَمْ يَقُمْ أَحَدٌ حَتَّى قَالَ ثَلاَثًا، فَأَتَى فَتًى عَمَّةً لَهُ قَدْ صَرَمَهَا مُنْذُ سَنَتَيْنِ، فَدَخَلَ عَلَيْهَا، فَقَالَتْ لَهُ: يَا ابْنَ أَخِي، مَا جَاءَ بِكَ؟ قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ كَذَا وَكَذَا، قَالَتِ: ارْجِعْ إِلَيْهِ فَسَلْهُ: لِمَ قَالَ ذَاكَ؟ قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: إِنَّ أَعْمَالَ بَنِي آدَمَ تُعْرَضُ عَلَى اللهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَشِيَّةَ كُلِّ خَمِيسٍ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ، فَلاَ يَقْبَلُ عَمَلَ قَاطِعِ رَحِمٍ.
Abu Ayyub Sulaiman, maula ‘Utsman bin ‘Affan, berkata, “Abu Hurairah datang kepada kami pada Kamis malam, malam Jum’at. Dia berkata, ‘Setiap individu yang memutuskan hubungan kekerabatan adalah terbatas ketika dia meninggalkan kami. Maka tidak ada yang berdiri seorangpun sampai dia mengatakan itu tiga kali. Kemudian seorang pemuda pergi ke salah satu bibi dari pihak ayah yang dengannya dia memutuskan hubungan dua tahun sebelumnya. Dia pergi kepadanya dan dia bertanya, ‘Keponakan! Apa yang membawamu kesini?’ Dia menjawab, ‘Saya mendengar Abu Hurairah mengatakan ini dan itu.’ Dia berkata, ‘Kembalilah padanya dan tanyakan mengapa dia mengatakan itu.’ Abu Hurairah berkata, ‘Aku mendengar Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, berkata, “Perbuatan anak-anak Adam diperlihatkan di hadapan Allah ta’ala setiap Kamis malam, malam Jum’at. Dan Allah tidak akan menerima amalannya orang yang memutus hubungan kekerabatan.” (HR. Bukhori di kitab Adabul Mufrad 61) [3]HR. Bukhori di kitab Adabul Mufrad 61
Abu Hurairah tidak menyukai di waktu itu yaitu Kamis malam dimana amalan anak cucu Adam diperlihatkan kepada Allah lalu masih ada diantara mereka yang duduk itu yang memutuskan hubungan kekerabatan. Beliau berkeinginan agar orang-orang yang hadir saat itu untuk meninggalkan memutus hubungan kekerabatan. Oleh karena itu berdirilah seseorang lalu bertaubat dan mendatangi bibinya yang telah ia putus hubungan kekerabatannya selama dua tahun.
Telah tetap dalam shohih Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
تُفْتَحُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ يَوْمَ الاثْنَيْنِ وَيَوْمَ الْخَمِيسِ فَيُغْفَرُ لِكُلِّ عَبْدٍ لاَ يُشْرِكُ بِاللهِ شَيْئًا إِلاَّ رَجُلاً كَانَتْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ شَحْنَاءُ، فَيُقَالُ: أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا، أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا، أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا.
“Pintu-pintu Surga dibuka pada hari Senin dan Kamis. Maka semua hamba yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun akan diampuni dosa-dosanya, kecuali seseorang yang antara dia dan saudaranya terjadi permusuhan. Lalu dikatakan, ‘Tundalah pengampunan terhadap kedua orang ini sampai keduanya berdamai, tundalah pengampunan terhadap kedua orang ini sampai keduanya berdamai, tundalah pengam-punan terhadap kedua orang ini sampai keduanya berdamai.”
Jika permusuhan ini terjadi dengan keumuman kaum Muslimin, lalu bagaimana jika permusuhan ini terjadi dengan orang yang masih memiliki hubungan kekerabatan?? Tentu permasalahannya lebih besar lagi.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّهُ قَالَ: احْفَظُوا أَنْسَابَكُمْ تَصَلُوا أَرْحَامَكُمْ، فَإِنَّهُ لاَ بُعْدَ بِالرَّحِمِ إِذَا قَرُبَتْ، وَإِنْ كَانَتْ بَعِيدَةً، وَلاَ قُرْبَ بِهَا إِذَا بَعُدَتْ، وَإِنْ كَانَتْ قَرِيبَةً، وَكُلُّ رَحِمٍ آتِيَةٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَمَامَ صَاحِبِهَا، تَشْهَدُ لَهُ بِصِلَةٍ إِنْ كَانَ وَصَلَهَا، وَعَلَيْهِ بِقَطِيعَةٍ إِنْ كَانَ قَطَعَهَا.
Dari Ibnu Abbas rodhiyaallahu ’anhuma, bahwasanya beliau berkata : “Jagalah nasab-nasab kalian, sambunglah hubungan kekerabatan kalian, karena sesungguhnya tidak ada kekerabatan yang jauh jika telah disambung meskipun jauh (tempat tinggalnya). Sebaliknya tidak ada kekerabatan yang dekat jika telah di putus sekalipun jaraknya (tempat tinggalnya) dekat. Setiap rahim akan datang pada hari Kiamat didepan pemiliknya, dia akan bersaksi jika pelakunya telah menyambung silaturahim dan akan bersaksi pula jika pemiliknya telah memutus hubungan silaturahim.” (HR. Bukhari di kitab Adabul Mufrad 73) [4]HR. Bukhari di kitab Adabul Mufrad 73
Menyambung silaturahim itu hukumnya wajib dan hal itu tidak akan bisa sempurna kecuali seseorang mengetahui nasabnya. Dan jika sesuatu tidak sempurna kecuali dengan sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain ini juga menjadi wajib. Jika seseorang tidak mengetahui siapa kerabat dan yang masih memiliki hubungan kekerabatan, lalu bagaimana seseorang bisa menjalin hubungan kekerabatan dengan mereka??
Oleh karena itu wajib bagi para ayah untuk memiliki perhatian yang besar terhadap nasab yang nantinya harus diajarkan kepada anak-anaknya.
Perkataan Ibu Abbas radhiyaallahu ‘anhuma : “Sesungguhnya tidak ada kekerabatan yang jauh jika telah disambung meskipun jauh (tempat tinggalnya). Sebaliknya tidak ada kekerabatan yang dekat jika telah di putus sekalipun jarak (tempat tinggalnya) dekat…”
Maksudnya adalah walaupun tempat tinggal jauh namun jika hubungan kekerabatan itu terjalin maka akan terasa dekat. Sebagaimana dikatakan bahwa terkadang yang terasa jauh adalah hati, namun jika hati merasa dekat, merasa memiliki maka sekalipun jarak jauh namun tetap terasa dekat.
Oleh karena itu bagi seseorang yang dengan kerabat-kerabatnya berjauhan jarak maka hendaknya jalinan kekerabatan itu tetap dijaga maka dengan ini jarak yang memisahkan itu tidak akan terasa. Sebaliknya bagi seseorang yang dengan kerabat-kerabatnya dekat namun jika hubungan kekerabatan tidak terjalin dengan baik makan akan terasa jauh sekali.
Perkataan Ibu Abbas rodhiyaallahu ‘anhuma : “Setiap rahim akan datang pada hari Kiamat didepan pemiliknya, dia akan bersaksi jika pelakunya telah menyambung silaturahim dan akan bersaksi pula jika pemiliknya telah memutus hubungan silaturahim.”
Maksudnya adalah bahwa rahim pada hari Kiamat akan menjadi saksi yang menolong pemiliknya atau akan menjadi saksi yang akan memberatkan pemiliknya. Jika pemiliknya menyambung silaturahim maka rahim akan bersaksi dan diapun akan ridho karena Allah akan menyambung orang yang menyambungnya. Sebaliknya jika pemiliknya adalah orang yang memutuskan hubungan kekerabatan maka rahim tidak akan ridho karena Allah juga akan memutus siapa yang memutuskannya. Dan sungguh Allah akan memberikan hal itu sebagaimana penjelasan yang sudah berlalu.
Referensi :
Kitab Ahaditsul Akhlaq karya Syaikh Abdurrozzaq bin Abdil Muhsin Al Badr hafidzohullahu ta’ala halaman 78-81.
Diringkas oleh Ustadz Ahmad Imron Al Fanghony
Artikel Alukhuwah.Com