Fiqih Muamalat: Hibah bagian 2

E. Beberapa Ketentuan Seputar Hibah

(a) Hibah bersifat lazim (mengikat) apabila barang pemberian telah diterima oleh orang yang diberi hibah dengan seizin si pemberi. [1] al-Fiqh al-Muyassar fi Dhau’ al-Kitab wa as-Sunnah, hlm. 270.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Hibah adalah akad lazim (mengikat), akan tetapi belum mengikat kecuali dengan serah terima barang, tidak sekedar qabul (penerimaan).

Seandainya saya berkata kepadamu, “Aku berikan pena ini kepadamu” lalu engkau berkata, “Saya terima”, namun sampai sekarang pena itu masih di tanganku, maka hibah itu belum mengikat, boleh bagiku untuk membatalkannya, karena sampai sekarang belum sempurna penerimaaanmu.

Jika pena telah saya serahkan kepadamu, ketika itu akadnya sudah mengikat, tidak ada hak khiyar meskipun kita masih di majelis, karena hibah telah mengikat dengan adanya penerimaan dan serah terima. [2]Mudzakkirah Fiqh, 3/103.

Ketika hibah telah mengikat, maka tidak boleh bagi pemberi hibah untuk membatalkan pemberiannya, berdasarkan sabda Nabi ﷺ :

الْعَائِدُ فِيْ هِبَتِهِ كَالْكَلْبِ يَقِيْءُ ثُمَّ يَعُوْدُ فِيْ قَيْئِهِ

“Orang yang menarik kembali hibahnya seperti seekor anjing yang muntah lantas memakan kembali muntahannya tersebut.” [3]HR. Bukhari no. (2622)

Kecuali jika pemberi hibah adalah seorang ayah [4]Adapun seorang ibu maka tidak boleh membatalkan hibah yang telah ia berikan kepada anaknya karena seorang ibu tidak mempunyai hak untuk memiliki harta anaknya. (al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat, hlm. … Continue reading, maka boleh baginya untuk membatalkan pemberian yang telah ia berikan kepada anaknya. [5] Ini adalah pendapat ulama’ madzhab Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, sebagaimana dikuatkan juga oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah , beliau menjelaskan bahwa di … Continue reading Berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas رضي الله عنه bahwa Nabi ﷺ bersabda :

لاَ يَحِلُّ لِلرَّجُلِ أَنْ يُعْطِيَ الْعَطِيَّةَ فَيَرْجِعُ فِيْهَا إِلاَّ الْوَالِدَ فِيْمَا يُعْطِيَ وَلَدَهُ

“Tidak halal jika seseorang memberikan suatu pemberian kemudian menarik lagi pemberiannya, kecuali seorang ayah (yang menarik lagi) apa yang telah dia berikan kepada anaknya.” [6]HR. Abu Dawud no. (3522), Tirmidzi no. (1299), Ibnu Majah no. (2377), dan dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam Irwa’ al-Ghalil, no. (1624).

(b) Apabila seorang ayah atau ibu ingin memberikan hibah kepada anak-anaknya maka wajib untuk menyamakan jumlah hibah yang diberikan, sehingga tidak menimbulkan permusuhan, kebencian, atau putusnya silaturahim. [7] Para ulama’ berbeda pendapat tentang ketentuan adil dalam pemberian hibah, sebagian ulama’ berpendapat bahwa ketentuannya adalah menyamakan jumlah pemberian, misalnya apabila anak laki-laki … Continue reading

Apabila ia mengkhususkan hibah hanya untuk sebagian anak, atau memberikan hibah kepada sebagian anak lebih banyak daripada anak yang lain, maka tidak sah hibah tersebut. [8] Ketentuan adil dalam hibah berbeda dengan ketentuan adil dalam nafkah. Dalam hibah, seorang ayah diharuskan menyamakan jumlah pemberiannnya kepada seluruh anaknya. Adapun nafkah, maka dikaitkan … Continue reading Kecuali jika hal itu disetujui oleh seluruh anaknya maka hibah tersebut sah. [9]  al-Fiqh al-Muyassar fi Dhau’ al-Kitab wa as-Sunnah, hlm. 270. Berdasarkan hadits Nu’man bin Basyir رضي الله عنه :

أَعْطَانِي أَبِيْ عَطِيَّةً، فَقالَتْ عَمْرَةُ بِنْتُ رَوَاحَةَ: لَا أَرْضَى حتَّى تُشْهِدَ رَسوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَتَى رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: إِنِّي أَعْطَيْتُ ابْنِي مِنْ عَمْرَةَ بنْتِ رَوَاحَةَ عَطِيَّةً، فَأَمَرَتْنِي أنْ أُشْهِدَكَ يَا رَسُوْلَ اللَّهِ، قالَ : « أَعْطَيْتَ سَائِرَ وَلَدِكَ مِثْلَ هَذَا؟ »، قَالَ : لَا، قَالَ : « فَاتَّقُوْا اللَّهَ وَاعْدِلُوْا بَيْنَ أَوْلَادِكُمْ ».

“Ayahku pernah memberikan suatu pemberian kepadaku, kemudian ‘Amrah binti Rawahah berkata, “Aku tidak suka sampai engkau minta persaksian kepada Rasulullah ﷺ. Kemudian ayahku pergi menemui Rasulullah ﷺ seraya berkata, “Sesungguhnya aku telah memberikan suatu pemberian kepada anakku dari ‘Amrah binti Rawahah, lalu dia menyuruhku untuk minta persaksian kepadamu wahai Rasulullah. Kemudian Rasulullah bertanya, “Apakah seluruh anakmu engkau beri pemberian yang sama?” Ia menjawab, “Tidak.” Lalu Rasulullah bersabda, “Bertakwalah kepada Allah dan berbuat adillah kepada anak-anakmu.” [10]HR. Bukhari no. (2587) dan Muslim no. (1623).

Adapun memberikan hibah kepada ahli waris selain anak, maka tidak dipersyaratkan adanya kesamaan jumlah, karena hukum asalnya seseorang diperbolehkan memberikan hibah dengan harta mana saja yang ia miliki dan kepada siapa saja yang ia inginkan. Dan hal itu tidak bisa dikiaskan dengan pemberian kepada anak karena hubungan orang tua dengan anaknya tidak seperti hubungannya dengan ahli waris lainnya. Maka diperbolehkan seseorang memberikan hibah kepada ibunya saja dan tidak memberikan hibah kepada ayahnya. Atau memberikan hibah kepada salah seorang saudaranya dan tidak kepada saudara lainnya. Namun jika dikhawatirkan timbulnya madharat berupa munculnya kebencian atau semisalnya, maka hendaknya diantisipasi, misalnya dengan merahasiakan pemberian itu atau semisalnya. [11] Sebagian ulama’ berpendapat harus berbuat adil dalam memberikan hibah kepada ahli waris, misalnya jika seseorang memiliki ibu dan ayah maka tidak boleh memberi hibah kepada ibunya saja, namun … Continue reading

(c) Apabila seseorang terlanjur memberikan hibah kepada sebagian anak lebih banyak daripada anak yang lain.

Maka ada dua alternatif yang bisa ia lakukan untuk memperbaiki hibah tersebut,

Pertama : membatalkan hibah,

Kedua : Memberikan tambahan kepada anak yang menerima hibah lebih sedikit sehingga mendapatkan jumlah yang sama dengan anak lainnya. [12]Lihat al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat, hlm. 264.

(d) Apabila seseorang memberikan hibah kepada orang lain karena sebab tertentu kemudian diketahui ternyata sebab itu tidak ada maka boleh baginya untuk membatalkan hibah tersebut.

Misalnya seseorang memberikan kitab kepada orang lain yang dikira seorang penuntut ilmu, setelah itu diketahui ternyata orang itu bukan penuntut ilmu, maka boleh bagi si pemberi membatalkan hibahnya. [13]Ibid, hlm. 266.

(e) Diperbolehkan hibah mu’allaqah (bersyarat).

Misalnya seseorang mengatakan, “Jika si fulan datang maka aku akan memberikan hadiah kepadamu.” atau “Jika turun hujan maka aku akan memberi hadiah kepadamu.” [14]Lihat al-Fiqh al-Muyassar fi Dhau’ al-Kitab wa as-Sunnah, hlm. 270.

(f) Diperbolehkan menghibahkan piutang kepada orang yang berhutang, sehingga hutang itu dianggap lunas. [15] Hibah piutang ini tetap sah meskipun orang yang berhutang tidak menerimanya, karena hal itu sekedar pengguguran tanggungan sehingga tidak dipersyaratkan adanya qabul (penerimaan). (al-Fiqh … Continue reading

Misalnya Zaid berhutang kepada Ahmad uang sejumlah Rp. 1.000.000, selang beberapa waktu kemudian Ahmad menghibahkan piutangnya itu kepada Zaid, maka itu diperbolehkan, dan hutangnya dianggap lunas.

(g) Tidak sepatutnya menolak hadiah dan pemberian meskipun jumlahnya sedikit. [16] al-Fiqh al-Muyassar fi Dhau’ al-Kitab wa as-Sunnah, hlm. 270.

Dan disunnahkan untuk membalas hadiah tersebut, sebagaimana hal itu biasa dilakukan oleh Nabi ﷺ.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ:  كَانَ رَسُوْلُ اللَّهِ ﷺ يَقْبَلُ الْهَدِيَّةَ ويُثِيْبُ عَلَيْهَا.

Dari ‘Aisyah رضي الله عنها berkata, “Rasulullah ﷺ biasa menerima hadiah dan membalasnya.” [17] HR. Bukhari no. (2585).

(h) Diperbolehkan memberikan hibah berupa sesuatu yang majhul (tidak jelas) atau ma’dum (belum ada), karena hibah sekedar pemberian tanpa ada imbalan sehingga ketidak jelasan di dalamnya tidak akan menimbulkan madharat. [18]Jika orang yang diberi hibah benar-benar mendapatkan barang yang dihibahkan maka ia mendapatkan keuntungan, namun jika ternyata tidak mendapatkannya ia juga tidak mengalami kerugian. Sehingga hibah … Continue reading

Oleh karena itu, apabila seseorang menghibahkan hewan ternak yang kabur, atau anak hewan yang masih di perut induknya maka itu diperbolehkan, meskipun barang yang dihibahkan tidak jelas. [19] Lihat as-Syarh al-Mumti’ 11/66-68.

(i) Pada prinsipnya haram bagi seseorang untuk minta pemberian harta dari orang lain kecuali dalam kondisi darurat.

Berdasarkan sabda Nabi ﷺ:

مَنْ سَأَلَ اَلنَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا، فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ

“Barangsiapa meminta-minta harta kepada orang lain untuk memperkaya diri, maka hakekatnya ia hanyalah meminta bara api, terserah kepadanya apakah ia akan mengumpulkan sedikit atau memperbanyaknya.” [20]HR. Muslim no. (1041).

Dan beliau ﷺ bersabda :

لَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَيْسَ فِي وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ

“Seseorang senantiasa meminta-minta kepada orang lain sehingga ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan tidak ada sekerat daging pun di wajahnya.” [21]HR. Bukhari no. (1474) dan Muslim no. (1040).

(j) Apabila seseorang menghibahkan suatu barang kepada orang lain, namun orang yang diberi belum menerima barang tersebut sampai pemberi hibah meninggal dunia, maka ketika itu hibahnya batal, dan barang tersebut menjadi hak ahli waris dari si pemberi hibah. [22]Ini adalah pendapat ulama’ madzhab Hanafiyah dan Syafi’iyah. Adapun ulama’ madzhab Malikiyah berpendapat bahwa hibah tersebut tetap sah dan dihukumi sebagai wasiat. (al-Fiqh al-Muyassar Qism … Continue reading

Hal ini karena hibah tersebut tidak terpenuhi syaratnya yaitu tidak ada qabul (penerimaan) dari orang yang diberi hibah. [23]Minhaj al-Muslim, hlm. 334.

(k) Tidak boleh menerima hibah berupa harta yang haram secara dzatnya, yaitu harta yang diperoleh dengan tanpa keridhaan, seperti hasil pencurian, perampasan, dan semisalnya.

Adapun harta yang haram ditinjau dari cara mendapatkannya, yaitu didapatkan dengan keridhaan tetapi dengan cara yang haram, seperti hasil riba, suap, penjualan alat musik dan semisalnya, maka boleh menerima hibah dari harta tersebut. [24] Seseorang yang menghasilkan harta haram dari sisi cara mendapatkannya, seperti hasil riba, suap, penjualan alat musik, penjualan khamr dan semisalnya maka ia berdosa. Adapun orang lain yang … Continue reading

Karena Nabi ﷺ pernah membeli makanan dari seorang Yahudi untuk keluarga beliau, [25]HR. Bukhari no. (79) dan Muslim no. (1226). dan beliau pernah memakan kambing yang dihadiahkan oleh seorang wanita Yahudi di Khaibar [26]HR. Bukhari no. (241) dan Muslim no. (1721)., sedangkan telah maklum bahwa kebanyakan kaum Yahudi bermuamalah dengan riba. [27] Lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitabi at-Tauhid 2/352.

(l) Wadah dari barang pemberian menjadi milik orang yang diberi dan tidak perlu dikembalikan jika memang itulah ‘urf (kebiasaan) yang berjalan di tengah-tengah masyarakat setempat.

Namun jika tidak ada ketentuannya dalam ‘urf maka hendaknya wadah tersebut dikembalikan. [28]Al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat, hlm. 270.

(m) Diperbolehkan bagi seorang ayah untuk mengambil dan memiliki harta anaknya.

Berdasarkan hadits Jabir bin ‘Abdillah رضي الله عنه:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ رَجُلًا قَالَ : يَا رَسُوْلَ اللَّهِ إِنَّ لِي مَالًا وَوَلَدًا وَإِنَّ أَبِي يُرِيْدُ أَنْ يَجْتَاحَ مَالِي، فَقَالَ : « أَنْتَ وَمَالُكَ لأَبِيكَ ». 

Dari Jabir bin ‘Abdillah, sesungguhnya seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki harta dan anak, namun ayahku ingin mengambil hartaku.” Maka Rasulullah bersabda, “Engkau dan hartamu adalah milik ayahmu.” [29]HR. Ibnu Majah no. (2291) dan dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam Irwa’ al-Ghalil no. (838)

Namun ada beberapa syarat untuk diperbolehkannya seorang ayah mengambil harta anaknya [30]Sang ayah tidak boleh melakukan tindakan terhadap harta anaknya dengan menjual, menyewakan, menghibahkan atau semisalnya, dengan dalih bahwa harta tersebut miliknya sebelum ia benar-benar menguasai … Continue reading:

1. Hal itu tidak menimbulkan madharat bagi si anak.

Jika menimbulkan madharat maka tidak diperbolehkan, misalnya mengambil selimut yang dipakai anak untuk melawan hawa dingin sedangkan si anak tidak punya selimut lainnya, atau mengambil makanannya sedangkan ia tidak memiliki makanan lainnya. [31]Lihat Fatawa Islamiyyah 4/108.

2. Harta yang diambil tidak terkait dengan kebutuhan si anak.

Jika harta itu terkait dengan kebutuhan si anak maka tidak boleh bagi sang ayah mengambilnya. Misalnya si anak memiliki kendaraan yang dipakai beraktivitas sehari-hari sedangkan ia tidak mampu membeli kendaraan lainnya maka tidak boleh bagi sang ayah mengambil kendaraan itu. [32]Ibid.

3. Sang ayah adalah seorang muslim.

Maka tidak boleh seorang kafir mengambil harta anaknya yang muslim. [33]Lihat al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat, hlm. 269.

4. Sang ayah statusnya adalah seorang yang merdeka.

Jika ia seorang budak maka tidak boleh mengambil harta anaknya karena harta itu akan berpindah menjadi milik tuannya, sebab seorang budak dan harta yang ia miliki hakikatnya adalah milik tuannya. [34]Ibid, hlm. 268.

5. Tidak memberikan harta yang diambil itu kepada anak yang lain.

Karena orang tua tidak boleh melebihkan pemberian kepada sebagian anaknya, demikian pula hal itu bisa menimbulkan kebencian dan permusuhan antar sesama anak. [35]Lihat Fatawa Islamiyyah 4/108-109.

6. Adanya kebutuhan sang ayah untuk mengambil harta anaknya.

Misalnya sang ayah membutuhkan biaya untuk mencukupi nafkah, membayar biaya sewa, atau semisalnya. Adapun jika tidak memiliki kebutuhan maka tidak boleh baginya untuk mengambil harta si anak. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ :

إِنَّ أَوْلَادَكُمْ هِبَةُ اللهِ لَكُمْ، يَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ إِنَاثًا وَيَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ الذُّكُورَ، وَأَوْلَادُكُمْ وَأَمْوَالُهُمْ لَكُمْ إِذَا احْتَجْتُمْ إِلَيْهَا

“Sesungguhnya anak-anak kalian adalah pemberian Allah untuk kalian, sebagaimana firman Allah, “Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki.” Mereka dan harta mereka adalah hak kalian jika kalian membutuhkannya.” [36] HR. Hakim 2/284 dan Baihaqi 7/480 dan dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam Silsilah al-Ahadits as-Shahihah no. (2564).

7. Harta yang diambil adalah harta yang nampak, bukan harta yang masih dalam tanggungan seperti piutang atau semisalnya.

Oleh karena itu seorang ayah tidak berhak menggugurkan piutang anaknya yang menjadi tanggungan orang lain.

8. Sang ayah tidak mengambil harta anaknya ketika si anak dalam keadaan sakit keras yang mengantarkan kepada kematiannya, karena ketika itu harta si anak telah menjadi hak ahli warisnya, dan hanya sepertiga harta yang menjadi hak anak tersebut.

Demikian pula supaya tidak menimbulkan madharat kepada ahli waris si anak dengan berkurangnya harta warisan. [37]Lihat al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat, hlm. 269.

9. Ketika mengambil harta anaknya, sang ayah tidak dalam keadaan sakit keras yang mengantarkan kepada kematiannya.

Karena ketika itu harta yang ia miliki akan berpindah kepada ahli warisnya, sehingga jika ia mengambil harta salah seorang anak berarti ia memberikan manfaat kepada anak lainnya dengan merugikan anak yang diambil hartanya tersebut. [38]Ibid.

Artikel Fiqih Muamalah Bab Hibah

Disusun oleh Ustadz Abu Muslim Nurwan Darmawan, B.A., حفظه الله تعالى

Artikel Alukhuwah.Com

Referensi

Referensi
1, 16  al-Fiqh al-Muyassar fi Dhau’ al-Kitab wa as-Sunnah, hlm. 270.
2 Mudzakkirah Fiqh, 3/103.
3 HR. Bukhari no. (2622)
4 Adapun seorang ibu maka tidak boleh membatalkan hibah yang telah ia berikan kepada anaknya karena seorang ibu tidak mempunyai hak untuk memiliki harta anaknya. (al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat, hlm. 265).
5  Ini adalah pendapat ulama’ madzhab Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, sebagaimana dikuatkan juga oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah , beliau menjelaskan bahwa di antara yang menguatkan pendapat ini adalah keberadaan seorang ayah yang boleh memiliki harta yang dimiliki anaknya sesuai keinginannya, maka sekedar membatalkan pemberiannya itu lebih utama lagi untuk diperbolehkan. Namun, dipersyaratkan untuk bolehnya seorang ayah membatalkan hibah untuk anaknya tersebut bahwa barang hibah masih dalam kepemilikan sang anak dan tidak terkait dengan hak orang lain, adapun jika sudah keluar dari kepemilikannya atau terkait dengan hak orang lain, misalnya sudah dijadikan barang jamian, maka sang ayah tidak bisa membatalkan pemberiannya. Demikian pula dipersyaratkan pembatalan tersebut tidak berkonsekuensi melebihkan sebagian anak atas sebagian yang lain dalam pemberian, misalnya seorang ayah memberikan hibah kepada setiap anaknya uang sebesar Rp. 10.000.000, kemudian ia membatalkan hibah yang telah ia berikan kepada salah seorang anaknya, maka itu tidak diperbolehkan karena berakibat melebihkan sebagian anak atas sebagian yang lain dalam pemberian. Adapun ulama’ madzhab Hanafiyah berpendapat tidak bolehnya seorang ayah membatalkan hibah yang telah ia berikan kepada anaknya. (al-Fiqh al-Muyassar Qism al-Mu’amalat, hlm. 265, dan Mudzakkirah Fiqih 3/104-105).
6 HR. Abu Dawud no. (3522), Tirmidzi no. (1299), Ibnu Majah no. (2377), dan dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam Irwa’ al-Ghalil, no. (1624).
7  Para ulama’ berbeda pendapat tentang ketentuan adil dalam pemberian hibah, sebagian ulama’ berpendapat bahwa ketentuannya adalah menyamakan jumlah pemberian, misalnya apabila anak laki-laki diberi hibah berupa uang sejumlah Rp. 1.000.000 maka anak perempuan juga diberi sejumlah itu. Namun sebagian ulama’ lainnya berpendapat bahwa ketentuan adil adalah memberikan kepada setiap orang sesuai dengan haknya masing-masing, maka anak laki-laki berhak mendapatkan pemberian lebih daripada anak perempuan sebagaimana dalam pembagian warisan, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan. Pendapat kedua inilah yang dikuatkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah, di antara alasan yang beliau sebutkan adalah bahwa ketika seorang ayah meninggal maka bagian warisan anak perempuan lebih sedikit daripada bagian anak laki-laki padahal ketika itu si anak perempuan sudah tidak memiliki ayah yang menanggungnya, maka ketika ayahnya masih hidup lebih utama lagi untuk mendapatkan lebih sedikit karena masih ada ayah yang menanggungnya. (Lihat Mudzakkirah Fiqih 3/105).
8  Ketentuan adil dalam hibah berbeda dengan ketentuan adil dalam nafkah. Dalam hibah, seorang ayah diharuskan menyamakan jumlah pemberiannnya kepada seluruh anaknya. Adapun nafkah, maka dikaitkan dengan kadar kecukupan masing-masing anak. Misalnya jika seorang ayah memiliki dua orang anak, anak pertama ketika berbuka puasa merasa cukup dengan memakan sebuah roti, sedangkan anak kedua tercukupi dengan memakan dua buah roti, ketika itu tidak diharuskan bagi sang ayah untuk memberikan harga sebuah roti kepada anak pertama, karena masing-masing telah diberikan sesuai kecukupannya masing-masing. Demikian pula jika seorang ayah memiliki anak laki-laki dan anak perempuan, si anak laki-laki membutuhkan peci, sedangkan anak perempuan membutuhkan perhiasan, jika sang ayah membelikan peci untuk anak-laki-laki seharga Rp. 10.000, dan membelikan perhiasan untuk anak perempuan seharga Rp. 200.000, maka tidak berarti ia harus memberikan kepada anak laki-laki selish harganya yaitu Rp. 190.000, karena masing-masing telah diberikan sesuai kebutuhannya. (Lihat Mudzakkirah Fiqih 3/105-106).
9   al-Fiqh al-Muyassar fi Dhau’ al-Kitab wa as-Sunnah, hlm. 270.
10 HR. Bukhari no. (2587) dan Muslim no. (1623).
11  Sebagian ulama’ berpendapat harus berbuat adil dalam memberikan hibah kepada ahli waris, misalnya jika seseorang memiliki ibu dan ayah maka tidak boleh memberi hibah kepada ibunya saja, namun harus memberikan pula kepada ayah sesuai kadar bagian masing-masing dalam ketentuan warisan. (Lihat Mudzakkirah Fiqh, 3/106-107).
12 Lihat al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat, hlm. 264.
13 Ibid, hlm. 266.
14 Lihat al-Fiqh al-Muyassar fi Dhau’ al-Kitab wa as-Sunnah, hlm. 270.
15  Hibah piutang ini tetap sah meskipun orang yang berhutang tidak menerimanya, karena hal itu sekedar pengguguran tanggungan sehingga tidak dipersyaratkan adanya qabul (penerimaan). (al-Fiqh al-Muyassar Qism al-Mu’amalat, hlm. 263).
17  HR. Bukhari no. (2585).
18 Jika orang yang diberi hibah benar-benar mendapatkan barang yang dihibahkan maka ia mendapatkan keuntungan, namun jika ternyata tidak mendapatkannya ia juga tidak mengalami kerugian. Sehingga hibah yang majhul atau ma’dum tidak menimbulkan madharat bagi penerima hibah. (Lihat as-Syarh al-Mumti’ 11/68).
19  Lihat as-Syarh al-Mumti’ 11/66-68.
20 HR. Muslim no. (1041).
21 HR. Bukhari no. (1474) dan Muslim no. (1040).
22 Ini adalah pendapat ulama’ madzhab Hanafiyah dan Syafi’iyah. Adapun ulama’ madzhab Malikiyah berpendapat bahwa hibah tersebut tetap sah dan dihukumi sebagai wasiat. (al-Fiqh al-Muyassar Qism al-Mu’amalat, hlm. 264).
23 Minhaj al-Muslim, hlm. 334.
24  Seseorang yang menghasilkan harta haram dari sisi cara mendapatkannya, seperti hasil riba, suap, penjualan alat musik, penjualan khamr dan semisalnya maka ia berdosa. Adapun orang lain yang mengambil harta tersebut darinya dengan cara yang mubah seperti hibah, warisan, dan semisalnya maka diperbolehkan. (Lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitabi at-Tauhid 2/352 dan al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat, hlm. 267).
25 HR. Bukhari no. (79) dan Muslim no. (1226).
26 HR. Bukhari no. (241) dan Muslim no. (1721).
27  Lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitabi at-Tauhid 2/352.
28 Al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat, hlm. 270.
29 HR. Ibnu Majah no. (2291) dan dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam Irwa’ al-Ghalil no. (838)
30 Sang ayah tidak boleh melakukan tindakan terhadap harta anaknya dengan menjual, menyewakan, menghibahkan atau semisalnya, dengan dalih bahwa harta tersebut miliknya sebelum ia benar-benar menguasai (mengambil) harta yang ia inginkan tersebut dari si anak. Misalnya jika si anak memiliki sebuah kendaraan, tidak boleh bagi sang ayah menjual kendaraan tersebut dengan dalih bahwa harta itu adalah miliknya sebelum ia benar-benar mengambil dan membawa kendaraan tersebut. (Lihat al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat, hlm. 269).
31 Lihat Fatawa Islamiyyah 4/108.
32, 38 Ibid.
33, 37 Lihat al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat, hlm. 269.
34 Ibid, hlm. 268.
35 Lihat Fatawa Islamiyyah 4/108-109.
36  HR. Hakim 2/284 dan Baihaqi 7/480 dan dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam Silsilah al-Ahadits as-Shahihah no. (2564).
Back to top button