Qawa’id Fiqhiyyah: Niat dalam Sumpah (Mengkhususkan Lafadz Umum dan Mengumumkan Lafadz Khusus)

Makna Kaidah

Kaidah ini menjelaskan bahwa niat memiliki pengaruh dan peranan dalam sumpah. Apabila seseorang bersumpah dengan lafadz yang umum dan ia meniatkannya dengan sesuatu yang khusus, maka sesungguhnya niatnya itu mengkhususkan lafadz tersebut, dan sumpahnya dihukumi sesuai apa yang ia niatkan. Demikian pula sebaliknya, apabila ia mengucapkan lafadz khusus dan ia meniatkan sesuatu yang bersifat umum maka niat itu menjadikan lafadz khusus tersebut menjadi bermakna umum, dan yang dianggap dan diterapkan adalah apa yang ia niatkan itu. Secara umum kaidah ini terdiri atas dua bagian. [1]Lihat juga pembahasan tentang hal ini dalam al-Wajiz fi Idhah Qawa’id al-Fiqh al-Kulliyyah, Dr. Muhammad Shidqi bin Ahmad bin Muhammad Al Burnu, Cetakan Keempat, Tahun 1416 H/1996 M, Muassasah … Continue reading

Pertama,  peran niat dalam mengkususkan sesuatu yang bersifat umum. Ini adalah perkara yang disepakati oleh para ulama’.

Kedua, peran niat dalam menjadikan sesuatu yang khusus menjadi umum. Ini adalah perkara yang diperselisihkan oleh para ulama’. Ulama’ Malikiyah, Hanabilah, dan sebagain Hanafiyah menetapkannya. Mereka berpendapat bahwa niat berperan dalam menjadikan lafadz khusus menjadi umum, sebagaimana niat juga menjadikan lafadz umum menjadi khusus.

Adapun ulama’ Syafi’iyah dan sebagian Hanafiyah menolak hal tersebut sehingga lafadz kaidah ini menurut mereka adalah

النِّيَّةُ فِي الْيَمِيْنِ تُخَصِّصُ اللَّفْظَ الْعَامَّ وَلاَ تُعَمِّمُ الْخَاصَّ

Contoh Penerapan Kaidah

Di antara contoh aplikatif penerapan kaidah ini adalah sebagai berikut :

  1. Apabila seseorang bersumpah untuk tidak mengajak bicara seorang pun.
    Ketika bersumpah, niatnya adalah tidak berbicara kepada Zaid saja. Jika kemudian ia mengajak bicara kepada seseorang selain Zaid maka ia tidak dianggap melanggar sumpahnya.

    Dalam hal ini, meskipun sumpahnya bersifat umum namun telah dikhususkan dengan niatnya, sedangkan niat dalam sumpah berperan dalam mengkhususkan lafadz yang umum. [2]Lihat al-Wajiz fi Idhah Qawa’id al-Fiqh al-Kulliyyah, Dr. Muhammad Shidqi bin Ahmad bin Muhammad Al Burnu, Cetakan Keempat, Tahun 1416 H/1996 M, Muassasah Ar-Risalah, Beirut, hlm. 153.
  2. Apabila seseorang bersumpah untuk tidak makan daging. Dan ketika bersumpah niatnya adalah tidak makan daging onta saja. Jika kemudian ia makan selain daging onta, seperti daging ayam atau kambing maka ia tidak dianggap melanggar sumpahnya.

    Dalam kasus ini, meskipun sumpahnya bersifat umum namun telah dikhususkan dengan niatnya, sedangkan niat dalam sumpah berperan dalam mengkhususkan lafadz umum menurut kesepakatan para ulama.
  3. Apabila seseorang bersumpah untuk tidak meminum air milik si fulan. Ketika bersumpah niatnya adalah tidak memanfaatkan air tersebut untuk keperluan apapun. Jika kemudian ia memanfaatkan air tersebut selain meminumnya, seperti menggunakannya untuk mandi, mencuci pakaian dan semisalnya, maka berdasarkan kaidah ini ia dihukumi telah melanggar sumpahnya.

    Meskipun lafadz sumpahnya bersifat khusus, yaitu hanya berkaitan dengan minum saja, namun telah menjadi umum dengan niatnya. Di mana niat berpengaruh untuk menjadikan lafadz khusus menjadi bermakna umum. Hal ini sesuai dengan yang dianut dalam madzhab Malikiyah, Hanabilah, dan sebagian Hanafiyah.

    Adapun menurut ulama Syafi’iyah dan sebagian Hanafiyah, orang tersebut tidak dihukumi melanggar sumpah kecuali apabila minum dari air itu. Dan tidak dihukumi melanggar sumpahnya jika ia memanfaatkan untuk keperluan lain seperti mandi, mencuci pakaian, memasak makanan, dan semisalnya. Karena menurut pendapat kedua ini, niat tidak berperan dalam menjadikan lafadz khusus menjadi umum di dalam sumpah. [3] Lihat al-Wajiz fi Idhah Qawa’id al-Fiqh al-Kulliyyah, Dr. Muhammad Shidqi bin Ahmad bin Muhammad Al Burnu, Cetakan Keempat, Tahun 1416 H/1996 M, Muassasah Ar-Risalah, Beirut, hlm. 153.
  4. Apabila seseorang bersumpah untuk tidak menemui beberapa orang di rumah mereka. Ketika bersumpah ia berniat untuk menjauhi orang-orang tersebut dan tidak menemui mereka di mana saja. Jika kemudian ia menemui orang-orang tersebut di suatu tempat selain rumah mereka, maka berdasarkan kaidah ini ia telah melanggar sumpahnya.

    Meskipun lafadz sumpah tersebut bersifat khusus namun telah menjadi umum dengan niatnya. Inilah yang ditetapkan dalam madzhab Malikiyah, Hanabilah, dan sebagian Hanafiyah.

    Adapun menurut madzhab Syafi’iyah dan sebagian Hanafiyah, orang tersebut tidaklah melanggar sumpahnya kecuali jika menemui orang-orang tersebut di rumah mereka secara khusus, dan tidak dihukumi melanggar sumpahnya kalau ia menemui mereka di tempat lain karena niat tidak berperan dalam menjadikan lafadz khusus menjadi umum di dalam sumpah. [4] Lihat al-Mufasshal fi al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, Dr. Ya’qub bin Abdul Wahhab al-Bahisin, Cet. II, Tahun 1432 H/2011 M, Dar at-Tadmuriyyah, Riyadh,Hlm. 187.

Demikian pembahasan singkat kaidah ini semoga bermanfaat bagi kaum muslimin dan semakin membuka wawasan kita tentang kaidah-kaidah fiqih dalam agama kita yang mulia ini. [5]Diangkat dari kitab al-Mumti’ fi al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, Dr. Musallam bin Muhammad bin Majid ad-Dausriy, Cetakan Pertama, Tahun 1428 H/2007 M, Dar Zidni, Riyadh, Hlm. 91-94.

Wallahu a’lam bisshowab.

Disusun oleh Ustadz Abu Muslim Nurwan Darmawan, B.A., حفظه الله تعالى

Artikel Ilmiyah AlUkhuwah.Com

Referensi

Referensi
1 Lihat juga pembahasan tentang hal ini dalam al-Wajiz fi Idhah Qawa’id al-Fiqh al-Kulliyyah, Dr. Muhammad Shidqi bin Ahmad bin Muhammad Al Burnu, Cetakan Keempat, Tahun 1416 H/1996 M, Muassasah Ar-Risalah, Beirut, hlm. 152-153.
2 Lihat al-Wajiz fi Idhah Qawa’id al-Fiqh al-Kulliyyah, Dr. Muhammad Shidqi bin Ahmad bin Muhammad Al Burnu, Cetakan Keempat, Tahun 1416 H/1996 M, Muassasah Ar-Risalah, Beirut, hlm. 153.
3  Lihat al-Wajiz fi Idhah Qawa’id al-Fiqh al-Kulliyyah, Dr. Muhammad Shidqi bin Ahmad bin Muhammad Al Burnu, Cetakan Keempat, Tahun 1416 H/1996 M, Muassasah Ar-Risalah, Beirut, hlm. 153.
4  Lihat al-Mufasshal fi al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, Dr. Ya’qub bin Abdul Wahhab al-Bahisin, Cet. II, Tahun 1432 H/2011 M, Dar at-Tadmuriyyah, Riyadh,Hlm. 187.
5 Diangkat dari kitab al-Mumti’ fi al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, Dr. Musallam bin Muhammad bin Majid ad-Dausriy, Cetakan Pertama, Tahun 1428 H/2007 M, Dar Zidni, Riyadh, Hlm. 91-94.
Back to top button