Fiqih: Apakah Tidur Membatalkan Wudhu ?
Pembahasan Pertama
Pembatal-pembatal Wudhu yang Disepakati Ulama
Hal-hal yang membatalkan wudhu ada yang disepakati ulama dan ada yang tidak disepakati. Contoh yang disepakati ulama adalah keluarnya sesuatu dari dubur maupun qubul dalam kondisi normal.
Disebutkan di dalam kitab Bidayatul Mujtahid :
اتَّفَقُوا فِي هَذَا الْبَابِ عَلَى انْتِقَاضِ الْوُضُوءِ مِنَ الْبَوْلِ وَالْغَائِطِ وَالرِّيحِ وَالْمَذْيِ وَالْوَدْيِ لِصِحَّةِ الْآثَارِ فِي ذَلِكَ إِذَا كَانَ خُرُوجُهَا عَلَى وَجْهِ الصِّحَّةِ
“Ahli Fiqih sepakat tentang batalnya wudhu disebabkan buang air kecil, buang air besar, kentut, keluarnya cairan yang bernama madzi, dan wadi ; karena riwayat-riwayat tentang hal itu shahih. Jika keluarnya benda-benda tersebut dalam kondisi normal.”
Artinya jika ada seseorang yang karena organ dalam tubuhnya tidak normal ; sehingga tidak bisa menahan air kencing yang keluar setiap saat, maka dia termasuk yang dikecualikan, sehingga wudhunya tidak batal.
Pembahasan ke Dua
Perbedaan Pendapat Ulama
Masalah ini termasuk masalah Fiqih yang cukup rumit. Sampai-sampai Al-‘Allamah Muhammad bin Isma’il As-Shan’ani di dalam kitabnya Subulus Salam mengatakan bahwa ada delapan pendapat ulama :
- Tidur membatalkan wudhu secara mutlak. Artinya menurut pendapat ini ; meskipun tidur hanya sebentar, dalam posisi duduk maka wudhunya batal.
- Tidur tidak membatalkan wudhu sama sekali.
- Tidur yang tidak membatalkan wudhu adalah sekedar dua kali gerakan kepala ke bawah atau samping karena mengantuk.
- Tidur yang tidak membatalkan wudhu adalah tidur dalam posisi duduk, dalam posisi pantat di atas lantai atau kursi atau semisalnya. Karena menurut pendapat ini yang dipandang bukan tidurnya. Akan tetapi posisi tidurnya.
- Tidur yang tidak membatalkan wudhu adalah tidur dalam posisi seperti gerakan shalat. Sehingga menurut pendapat ini ; tidur dalam posisi berdiri, sujud, atau ruku’, duduk di antara dua sujud ; tidak membatalkan wudhu.
- Tidur yang tidak membatalkan wudhu adalah tidur dalam posisi sujud dan ruku’ saja.
- Tidur yang membatalkan wudhu adalah tidur yang terjadi ketika orang masih shalat. Sehingga menurut pendapat ini ; orang yang shalat lalu tertidur maka wudhunya tidak batal.
- Tidur yang membatalkan wudhu adalah tidur yang sangat lelap dan dalam waktu yang lama.
Pembahasan ke Tiga
Sebab Perbedaan Pendapat Ahli Fiqih
Menurut Imam Ibnu Rusyd yang menyebabkan perbedaan pendapat ini adalah perbedaan hadits-hadits yang ada dalam masalah ini. Di satu sisi ada hadits yang sekilas dipahami bahwa tidur tidak membatalkan wudhu sama sekali. Dan di sisi lain ada hadits yang sekilas bisa dipahami bahwa tidur membatalkan wudhu secara mutlak.
Contoh hadits yang bisa dipahami bahwa tidur tidak membatalkan wudhu adalah yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas ; diceritakan bahwa Nabi tidak wudhu lagi setelah tidur. Begitu juga riwayat yang shahih tentang para sahabat Nabi yang tertidur di masjid setelah shalat, karena menunggu shalat berikutnya. Kemudian setelah iqamat dikumandangkan mereka langsung shalat tanpa wudhu lagi.
Sedangkan contoh hadits yang sekilas dipahami sebaliknya, salah satunya adalah hadits yang diriwayatkan Shafwan bin ‘Assal ; bahwa Nabi menyebutkan tidur dalam satu rangkaian pembatal wudhu seperti buang air besar maupun buang air kecil.
Pembahasan ke Empat
Pendapat yang Dipilih Jumhur (Mayoritas Ulama)
Mayoritas ulama memilih pendapat ; tidur yang membatalkan wudhu adalah tidur dalam waktu yang lama. Sedangkan tidur dalam waktu yang sebentar tidak membatalkan wudhu.
Yang adalah hal ini mayoritas ulama menggunakan metode “jam’ul adillah” yaitu menggabungkan semua dalil. Dan yang seperti ini lebih utama dibandingkan metode “tarjih” yaitu memilih salah satu dalil dan “tidak menggunakan” dalil yang dianggap lemah.
Pembahasan ke Lima
Pendapat Imam Syafi’i
Imam Syafi’i berpendapat orang yang tidur wudhunya tidak batal jika dia tidur dalam posisi duduk. Pendapat ini tidak kalah kuatnya dengan pendapat mayoritas ulama.
Pendapat ini didukung beberapa hadits. Misalnya hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Beliau menceritakan :
كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – عَلَى عَهْدِهِ – يَنْتَظِرُونَ الْعِشَاءَ حَتَّى تَخْفِقَ رُؤُوسُهُمْ، ثُمَّ يُصَلُّونَ وَ لَا يَتَوَضَّئُونَ. أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ, وَصَحَّحَهُ الدَّارَقُطْنِيُّ. وَأَصْلُهُ فِي مُسْلِمٍ.
Dari Anas bin Malik رضي الله عنه , dia berkata: “Dahulu, para sahabat Rasulullah di zamanya, mereka biasa menunggu shalat ‘Isya’ sampai kepala mereka tertunduk-tunduk (karena mengantuk). Kemudian mereka melaksanakan shalat ‘Isya’ dan tidak wudhu lagi.” (HR. Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Daruquthni. Dan hadits tersebut sumbernya ada di dalam ‘Shahih Muslim’)
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah juga memilih pendapat yang mirip dengan pendapat ini.Imam Ibnu Qudamah di dalam kitab ‘Al-Kafy’, menjelaskan bahwa : Tidur dalam posisi duduk dan tidak bersandar dalam waktu yang tidak lama ; tidak membatalkan wudhu. Karena tidur yang seperti ini sangat sulit dihindari, terutama bagi mereka yang sedang menunggu dilaksanakannya shalat.
Kesimpulan
Dari delapan pendapat yang disebutkan As-Shan’ani yang dipandang lebih kuat adalah pendapat mayoritas dan pendapat Imam Syafi’i. Imam Al-Khatthabi di dalam kitabnya Ma’alimus Sunan Syarh Sunan Abi Dawud juga memilih pendapat Imam Syafi’i. Alasannya karena seandainya tidur dalam posisi duduk membatalkan wudhu pasti tidak dilakukan para sahabat Nabi.
Dan kenyataannya ini terjadi di zaman sahabat Nabi, ketika mereka di masjid menunggu dilaksanakannya shalat berikutnya. Sehingga hal ini merupakan dalil yang kuat, dan mendukung pendapat Imam Syafi’i.
Wallahu a’lam
Sumber :
- Kitab Bidayatul Mujtahid dan Nihayatul Muqtashid
- Subulus Salam Al-Mushilah Ila Bulughil Maram
- Ma’alimus Sunan Syarh Sunan Abi Dawud
- Al-Kafi Fi Fiqhi Al-Imam Ahmad bin Hanbal
Fajri Nur Seyawan, Lc