Qawa’id Fiqhiyyah: Harus Ada Saling Ridha dalam Akad Jual Beli
A. Makna Kaidah
Kaidah ini menjelaskan bahwa dipersyaratkan adanya saling ridha dalam setiap akad jual beli. Jika tidak ada keridhaan dari pelaku akad maka jual beli tersebut tidak sah. Oleh karena itu, apabila dalam akad terdapat unsur pemaksaan maka jual beli tersebut tidak sah, kecuali jika pemaksaan itu dilakukan dengan alasan yang benar, misalnya jika hakim memaksa seseorang untuk menjual barangnya supaya bisa melunasi hutangnya, maka ketika itu jual belinya sah. [1]Al-Fiqh Al-Muyassar, Hal.214.
Syaikh Khalid Al Musyaiqih berkata, “Setiap akad dipersyaratkan adanya keridhaan secara lahir dan batin, termasuk akad nikah. Apabila seseorang menghadiahkan hartanya kepada orang lain karena malu, maka hadiah itu tidak boleh diterima karena tidak terwujudnya keridhaan secara batin.” [2]Qawa’id Al-‘Aqd, Hal. 13.
Keridhaan merupakan syarat terpenting dalam akad jual beli. Hal itu karena dalil-dalil syar’i secara tegas menyebutkannya, bahkan dalam sebagaian dalil disebutkan pembatasan jual beli dengan persyaratan ini. Darinya dapat kita ketahui pentingnya keridhaan dalam akad jual beli.
B. Dalil Kaidah
Di antara dalil yang menunjukkan eksistensi kaidah ini adalah firman Allah سبحانه و تعالى
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (QS. An Nisaa’ : 29)[3]QS. An Nisaa’ : 29
Sisi pendalilan dari ayat ini:
Dalam ayat ini Allah سبحانه و تعالى melarang orang-orang yang beriman memakan harta sesama mereka dengan cara yang batil, akan tetapi diperbolehkan jual beli dengan syarat saling ridha, ini menunjukkan bahwa jual beli harus dilakukan dengan saling ridha.
Demikian pula sabda Nabi ﷺ :
إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ
“Sesungguhnya jual beli hanyalah dilakukan dengan saling ridha.” (HR. Ibnu Majah no. 2185, dan dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam Irwa’ al-Ghalil 5/125.)[4]HR. Ibnu Majah no. 2185, dan dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam Irwa’ al-Ghalil 5/125.
Sisi pendalilan dari hadits ini:
Nabi ﷺ membatasi jual beli dengan saling ridha, karena kata ( إِنَّمَا ) digunakan untuk pembatasan, ini menunjukkan harus ada keridaan dalam akad jual beli.
Dan sabda Nabi ﷺ :
لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلاَّ بِطِيْبَةٍ مِنْ نَفْسِهِ
“Tidak halal harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan darinya.” (HR. Ibnu Hibban no. 6078, dan dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dam At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah 2/490.)[5]HR. Ibnu Hibban no. 6078, dan dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dam At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah 2/490.
Sisi pendalilan dari hadits ini:
Nabi ﷺ menjelaskan tidak halalnya memanfaatkan harta seorang muslim kecuali dengan kerelaannya, ini menunjukkan dipersyaratkannya ridha dalam setiap transaksi jual beli.
C. Rukun Keridhaan
Para fuqaha’ menjelaskan bahwa ada dua rukun keridhaan, yaitu :
1. Pengetahuan (al-‘ilmu)
Tanpa adanya pengetahuan tidak bisa dihukumi seseorang itu ridha, karena keridhaan adalah implikasi dari adanya pengetahuan. Misalnya, apabila si A adalah seorang penjual barang dan ia tidak memahami bahasa Arab, lalu datang si B menawar barang itu dengan ungkapan bahasa Arab, dan si A menganggukkan kepalanya sedangkan ia tidak memahami apa yang diucapkan oleh si B, maka dalam kasus ini tidak bisa dikatakan bahwa si A ridha dengan jual beli itu, karena tidak adanya unsur pengetahuan yang melatar belakanginya.
2. Adanya keinginan sendiri (al-ikhtiyar).
Seseorang dikatakan ridha jika ia melakukan suatu akad dengan keinginannya sendiri, tanpa paksaan dari pihak lain. Misalnya, jika si A dipaksa oleh si B untuk menjual barangnya, jika tidak bersedia menjualnya maka akan dibunuh, lalu si A menjual barangnya kepada si B, maka jual beli itu tidak sah, karena tidak ada unsur keridhaan, meskipun akad jual beli telah terjadi.
D. Syarat yang Harus Terpenuhi dalam Keridhaan
Ada beberapa persyaratan yang harus terpenuhi terkait keridhaan kedua belah pihak dalam akad jual beli:
1. Keridhaan itu bukan pada perkara yang haram.
Jika saling ridha terjadi dalam perkara yang haram maka keridhaan itu tidak dianggap, karena dalam hal ini yang dijadikan ukuran adalah ketentuan syari’at, bukan keridhaan para pelaku akad. Misalnya jika si penjual dan pembeli bersepakat untuk jual beli sesama emas dengan ukuran yang berbeda, maka jual beli itu tidak diperbolehkan meskipun kedua belah puhak saling ridha, karena itu termasuk praktik riba. Demikian pula jika terjadi kesepakatan untuk jual beli barang yang tidak dimiliki oleh si penjual maka ini tidak diperbolehkan, meskipun kedua belah pihak saling ridha.
2. Keridhaan itu tidak meniadakan tujuan mendasar akad.
Jika keridhaan itu dalam hal meniadakan tujuan mendasar akad maka akad tersebut tidak sah. Misalnya dalam akad jual beli si penjual berkata, “Saya jual barang ini kepada anda, dengan syarat anda tidak boleh menjualnya kembali”, dan si pembeli menyetujui syarat itu. Maka jual beli tersebut tidak sah meskipun kedua belah pihak saling ridha dengan persyaratan tersebut, karena meniadakan tujuan mendasar akad jual beli, di mana di antara tujuan mendasar dari jual beli adalah bahwa si pembeli setelah membeli barang itu ia berhak melakukan tasharruf (tindakan) terhadap barang, baik dengan menjualnya, menyewakannya, menghadiahkannya, dan semisalnya.
3. Tidak ada sebab syar’i yang membolehkan ditiadakannya keridhaan.
Apabila ada sebab syar’i yang membolehkan ditiadakannya keridhaan, maka keridhaan itu tidak dianggap. Misalnya apabila seseorang memiliki hutang dan ia sengaja menunda-nunda pelunasan hutangnya tanpa alasan yang benar, ketika itu boleh bagi hakim untuk memaksanya menjual sebagian barangnya, atau bisa juga hakim yang menjualkan barang itu untuknya untuk melunasi hutang tersebut, meskipun pemilik barang tidak ridha dengan penjualan itu, namun jual beli tersebut sah karena adanya sebab syar’i yang membolehkan ditiadakannya keridhaan. Demikian pula dalam kasus ihtikar (penimbunan barang), apabila seseorang menimbun barang dengan tujuan supaya harga barang itu semakin naik, sedangkan barang tersebut sangat dibutuhkan oleh masyarakat, maka pemerintah atau hakim boleh memaksanya untuk menjual barang yang ditimbun itu, atau dijualkan untuknya meskipun si pemilik tidak ridha, ketika itu keridhaannya tidak dianggap karena adanya sebab syar’i yang membolehkan diabaikannya keridhaan tersebut.
E. Pengaruh Keridhaan dalam Akad Jual Beli
Keridhaan memiliki pengaruh dalam akad jual beli ditinjau dari dua segi :
Pertama : Dari sisi objek apakah yang dikenakan akad
Maka jual beli itu sah pada objek yang saling diridhai oleh penjual dan pembeli secara zhahir untuk dikenakan akad. Apabila jual beli itu terjadi antara dua orang sedangkan salah satunya melakukan tauriyah (menyembunyikan maksud sebenarnya di dalam hati dan mengungkapkan lafadz yang mengesankan makna yeng berbeda dengan yang ia maksudkan) maka maksud yang disembunyikan itu tidak memberikan pengaruh. [6]Di antara kaidah yang penting dalam permasalahan ini adalah bahwa hukum dalam muamalat antara dua belah pihak dilihat dari sisi zhohir (lahiriahnya), adapun yang disembunyikan dalam hati maka itu … Continue reading
Misalnya apabila si A menyatakan kepemilikian tanah sebagai warisan dari orang tuanya, lalu si B menyangkalnya dan mengatakan bahwa tanah itu miliknya karena selama ini ia yang mengelolanya. Ketika si A diminta mendatangkan bukti kepemilikan ternyata ia tidak bisa mendatangkan. Lalu ketika si B diminta bersumpah bahwa tanah itu miliknya, maka ia memakai sepatu warisan ayahnya seraya berkata, “Demi Allah, sesungguhnya apa yang ada di bawah kakiku adalah milikku warisan dari ayahku.” Di sini, orang yang mendengar sumpah mengira bahwa yang ia maksudkan itu adalah tanah. Jika ternyata si B memaksudkan sepatunya, maka itu tidak berguna, dan ia dianggap telah bersumpah bahwa tanah itu adalah miliknya.
Oleh karena itu, dalam jual beli apabila salah satu pihak menyampaikan pernyataan yang mengesankan kepada pihak lain suatu makna yang berbeda dengan apa yang ia maksudkan, maka hal itu tidak bermanfaat. Bahkan dalam jual beli harus disebutkan maksudnya secara jujur dan disampaikan dengan jelas, karena jual beli sah sesuai dengan apa yang diridhai oleh kedua belah pihak secara zhohir.
Kedua : Dari sisi pengaruh yang ditimbulkan oleh akad tersebut.
Oleh karena itu, perkara yang telah sama-sama diridhai oleh pelaku akad semestinya untuk diberlakukan selama tidak ada larangan dalam syari’at. Misalnya, apabila kedua pelaku akad bersepakat untuk ditundanya serah terima barang maka itu termasuk persyaratan yang diperbolehkan dan ketika keduanya telah menyepakati dan sama-sama ridha maka harus ditepati.
F. Cara Mengetahui Keridhaan
Keridhaan dalam akad jual beli dapat diketahui dengan beberapa hal [7]Di antara sarana mengetahui keridhaan adalah dengan ‘urf, misalnya apabila seorang tamu dihidangkan makanan maka itu menunjukkan keridhaan dan izin pemilik rumah bahwa makanan tersebut boleh … Continue reading :
- Dengan adanya lafadz yang jelas menunjukkan keridhaan, yaitu dengan adanya lafadz ijab [8]Ijab adalah lafadz yang diucapkan oleh si penjual, misalnya ia mengatakan, “Saya jual barang ini.”
dan qabul [9]Qabul adalah lafadz yang diucapkan oleh si pembeli, misalnya ia mengucapkan, “Saya beli barang ini.” dalam akad jual beli tersebut. Apabila telah terjadi akad jual beli, berupa ijab dan qabul, maka itu menunjukkan adanya keridhaan antara kedua belah pihak. [10]Tentu saja dipersyaratkan terjadinya akad tersebut tidak karena paksaan, jika terjadi pemaksaan maka akad tersebut tidak sah, kecuali pemaksaan yang dilakukan dengan cara yang haq. - Dengan diamnya seseorang dalam kondisi diperlukan untuk menyampaikan tanggapan. Misalnya si A memiliki sebuah mobil, suatu ketika si B menawarkan mobill itu kepada orang-orang seraya berkata, “Siapa yang mau membeli mobil ini?, Siapa yang mau membeli mobil ini?”, sehingga ada pembeli yang datang dan terjadi akad jual beli mobil itu, semuanya itu diketahui oleh si A dan ia tidak mengingkarinya. Ini menunjukkan bahwa si A ridha dengan penjualan mobil itu, karena jika ia tidak setuju tentulah ia mengingkari penjualan mobilnya.
(Diangkat dari Kitab Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah Al-Muta’alliqoh bi Al-Buyu’, karya Syaikh Prof. Dr. Sulaiman bin Salimillah Ar-Ruhailiy, terbitan Dar Al Mirots An-Nabawiy, Cetakan Pertama, Tahun 1436 H, hal. 112-119, dengan penyesuaian dan tambahan)
Disusun Oleh Abu Muslim Nurwan Darmawan, B.A
Artikel Alukhuwah.Com
Referensi
1 | Al-Fiqh Al-Muyassar, Hal.214. |
---|---|
2 | Qawa’id Al-‘Aqd, Hal. 13. |
3 | QS. An Nisaa’ : 29 |
4 | HR. Ibnu Majah no. 2185, dan dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam Irwa’ al-Ghalil 5/125. |
5 | HR. Ibnu Hibban no. 6078, dan dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dam At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah 2/490. |
6 | Di antara kaidah yang penting dalam permasalahan ini adalah bahwa hukum dalam muamalat antara dua belah pihak dilihat dari sisi zhohir (lahiriahnya), adapun yang disembunyikan dalam hati maka itu tidak berpengaruh. Sebagaimana sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam, يَمِيْنُكُ عَلَى مَا يُصَدِّقُكَ بِهِ صَاحِبُكَ “Sumpahmu sesuai dengan apa yang dibenarkan oleh lawan bicaramu. (HR. Muslim) |
7 | Di antara sarana mengetahui keridhaan adalah dengan ‘urf, misalnya apabila seorang tamu dihidangkan makanan maka itu menunjukkan keridhaan dan izin pemilik rumah bahwa makanan tersebut boleh dimakan, tidak diharusakan tamu untuk meminta izin kepada pemilik rumah untuk memakan dari hidangan itu, karena ketika makanan itu dihidangkan otomatis pemilik rumah telah mengizinkan supaya hidangan itu dimakan, kecuali jika kebiasaan yang ada menunjukkan bahwa tamu tidak boleh memakan hidangan kecuali setelah dipersilahkan oleh pemilik rumah. |
8 | Ijab adalah lafadz yang diucapkan oleh si penjual, misalnya ia mengatakan, “Saya jual barang ini.” |
9 | Qabul adalah lafadz yang diucapkan oleh si pembeli, misalnya ia mengucapkan, “Saya beli barang ini.” |
10 | Tentu saja dipersyaratkan terjadinya akad tersebut tidak karena paksaan, jika terjadi pemaksaan maka akad tersebut tidak sah, kecuali pemaksaan yang dilakukan dengan cara yang haq. |