Fiqih Muamalat: Fiqih Wakaf bagian Pertama
Definisi Wakaf
Wakaf secara bahasa bermakna al-habs (menahan) dan at-tasbil (menyalurkan). [1]al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat, hlm. 247.
Adapun secara istilah wakaf adalah menahan suatu barang [2]Menahan barang di sini dalam artian barang tersebut tidak dijual, tidak dihibahkan, tidak pula diwariskan. (al-Mukhtashar fil al-Mu’amalat, hlm. 247)., dan menyalurkan manfaatnya dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah ﷻ [3]Lihat al-Fiqh al-Muyassar fi Dhau’ al-Kitab wa as-Sunnah, hlm. 267, dan Mudzakkirah Fiqih, hlm. 7..
Misalnya seseorang mewakafkan tanahnya untuk pembangunan masjid, atau mewakafkan rumahnya untuk kepentingan para penuntut ilmu, atau semisalnya.
Secara tinjauan sejarah, wakaf telah dikenal sebelum datangnya Islam. Dalam sejarah Rowawi dan Yunani disebutkan adanya wakaf untuk tuhan-tuhan mereka. Dan di antara wakaf bangsa Arab di zaman jahiliyah adalah pembangunan Ka’bah dan penggalian sumur Zam-Zam oleh suku Quraisy [4]al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat, hlm. 247..
Hukum Wakaf
Wakaf termasuk amalan sunnah yang dianjurkan [5]al-Fiqh al-Muyassar, 6/239., berdasarkan dalil-dalil dari Al Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’.
Di antara dalil dari Al Qur’an, Allah ﷻ berfirman :
إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآَثَارَهُمْ
“Sungguh, Kamilah yang menghidupkan orang-orang yang mati, dan Kamilah yang mencatat apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka (tinggalkan).” (QS. Yasin : 12) [6]QS. Yasin : 12
Syaikh Prof. Dr. Khalid bin ‘Ali Al-Musyaiqih berkata, “Di antara bekas yang ditinggalkan oleh orang yang telah wafat adalah wakaf.” [7]al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat, hlm. 247.
Demikian pula, secara umum wakaf termasuk dalam bentuk tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, sebagaimana firman Allah ﷻ:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (QS. Al Maaidah : 2) [8]QS. Al Maaidah : 2
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Apabila seseorang mewakafkan tanahnya untuk kepentingan masjid maka itu termasuk bentuk kebaikan.” [9]Mudzakkirah Fiqh, 3/9.
Adapun dalil dari As-Sunnah, di antaranya hadits ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu’anhuma, ia berkata :
أَصَابَ عُمَرُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ، فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَأْمِرُهُ فِيهَا، فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالاً أَنْفَسَ عِنْدِي مِنْهُ فَمَا تَأْمُرُنِي فِيْهِ، فَقَالَ : « إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يُبَاعُ أَصْلُهَا وَلاَ يُوْهَبُ وَلاَ يُوْرَثُ » قَالَ : فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ فِي الْفُقَرَاءِ وَفِي الْقُرْبَى وَفِي الرِّقَابِ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَالضَّعِيْفِ، لاَ جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ أَوْ يُطْعِمَ صَدِيقًا غَيْرَ مُتَحَوِّلٍ فِيْهِ
“Umar radhiyallahu’anhu pernah memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian ia pergi menemui Rasulullah ﷺ meminta nasihat beliau perihal tanah itu. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, aku belum pernah mendapatkan harta yang lebih berharga daripada tanah itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah ﷺ menjawab, “Jika engkau mau, tahanlah asal (tanah itu), dan engkau sedekahkan (manfaatnya), akan tetapi tidak dijual, tidak dihibahkan, dan tidak diwariskan.”
Ibnu Umar berkata, ”Umar menyedekahkan (hasil pengelolaan tanahnya) kepada orang-orang fakir, karib kerabat, hamba sahaya, orang yang berperang di jalan Allah ﷻ, musafir yang kehabisan bekal, dan orang yang lemah. Pengelolanya boleh makan darinya dengan sewajarnya atau diberikan kepada temannya, serta tidak boleh dikomersialkan.” (HR. Bukhari no. (2737) dan Muslim no. (1633).) [10]HR. Bukhari no. (2737) dan Muslim no. (1633).
Imam Tirmidzi ketika menjelaskan hadits ini berkata, “Pengamalan hadits inilah yang dipegang oleh para ahli ilmu dari kalangan shahabat Nabi ﷺ dan selainnya, saya tidak mengetahui perselisihan dari seorang pun dari ulama’ terdahulu tentang hal tersebut.
Para Khulafa’ur Rasyidin dan selainnya dari kalangan shahabat pun telah mewakafkan hartanya, itu telah masyhur dan tidak ada yang mengingkarinya seorang pun, maka itu telah menjadi ijma’. [11]Al Mughni, 8/184.
Demikian pula Rasulullah ﷺ bersabda :
إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلا مِنْ ثَلاثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ
“Apabila anak Adam meninggal dunia maka amalannya terputus kecuali tiga perkara : shadaqah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau anak shalih yang mendo’akannya.” (HR. Muslim no. (1631).)[12]HR. Muslim no. (1631).
Yang dimaksud dengan shadaqah jariyah dalam hadits ini adalah wakaf. [13]al-Fiqh al-Muyassar fi Dhau’ al-Kitab wa as-Sunnah, hlm. 267.
Para ulama’ juga telah bersepakat tentang disyari’atkannya wakaf. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnu Hubairah rahimahullahu, “Para ulama’ telah bersepakat tentang diperbolehkannya wakaf.” [14]Al-Ifshah, 2/52.
Demikian pula, wakaf itu selaras dengan nazhar (pertimbangan akal), karena seseorang membutuhkan pahala setelah kematiannya, itu bisa didapatkan dengan mewakafkan hartanya, karena wakaf termasuk shadaqah jariyah yang pahalanya tetap mengalir setelah kematian seseorang. [15]al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat, hlm. 248.
Rukun-rukun Wakaf
Ada empat rukun wakaf [16]Lihat al-Fiqh al-Muyassar, 6/242.:
- Al Waqif, yaitu orang yang mewakafkan.
- Al Mauquf, yaitu barang yang diwakafkan.
- Al Mauquf ‘alaihi, yaitu pihak yang menerima wakaf.
- As-Shighah, yaitu lafadz yang digunakan dalam akad wakaf.
Bersambung insyaa Allah …
Disusun oleh Ustadz Abu Muslim Nurwan Darmawan, B.A., حفظه الله تعالى
Artikel Alukhuwah.Com
Referensi
1, 4, 7 | al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat, hlm. 247. |
---|---|
2 | Menahan barang di sini dalam artian barang tersebut tidak dijual, tidak dihibahkan, tidak pula diwariskan. (al-Mukhtashar fil al-Mu’amalat, hlm. 247). |
3 | Lihat al-Fiqh al-Muyassar fi Dhau’ al-Kitab wa as-Sunnah, hlm. 267, dan Mudzakkirah Fiqih, hlm. 7. |
5 | al-Fiqh al-Muyassar, 6/239. |
6 | QS. Yasin : 12 |
8 | QS. Al Maaidah : 2 |
9 | Mudzakkirah Fiqh, 3/9. |
10 | HR. Bukhari no. (2737) dan Muslim no. (1633). |
11 | Al Mughni, 8/184. |
12 | HR. Muslim no. (1631). |
13 | al-Fiqh al-Muyassar fi Dhau’ al-Kitab wa as-Sunnah, hlm. 267. |
14 | Al-Ifshah, 2/52. |
15 | al-Mukhtashar fi al-Mu’amalat, hlm. 248. |
16 | Lihat al-Fiqh al-Muyassar, 6/242. |