Qawa’id Fiqhiyyah: Kesulitan Mendatangkan Kemudahan
Kaidah ini termasuk salah satu kaidah fiqih yang sangat penting untuk difahami, dikarenakan seluruh rukhshah dan keringanan yang ada dalam syari’at merupakan implementasi dari kaidah ini. Demikian pula kaidah ini menampakkan kasih sayang Allah ﷻ kepada para hamba-Nya. Di mana Allah ﷻ tidaklah memberikan beban kepada hamba kecuali sesuai dengan batas kemampuannya, tanpa memberatkan dan menyusahkan.
Sangat banyak dalil dari Al Qur’an maupun As-Sunnah yang menjelaskan sisi kemudahan dalam syari’at ini. Baik dari aspek aqidah, ibadah, akhlaq, dan mu’amalah seluruhnya penuh dengan keringanan dan kemudahan. Hal itu karena agama ini datang dari Rabb yang Maha Mengetahui keadaan manusia dan kelemahannya. Maka Allah ﷻ menurunkan syari’at yang sesuai dengan karakter dan kemampuan manusia tersebut.
Makna Kaidah
Kaidah ini menjelaskan bahwa kesulitan yang didapatkan seorang mukallaf ketika melaksanakan beban syari’at, itu menjadi sebab adanya keringanan dan kemudahan, sampai hilang atau berkurang kesulitan tersebut. [1]Lihat Al Mumti’ fi Al Qowa’id Al Fiqhiyyah, Dr. Musallam bin Muhammad bin Majid Ad-Dausari, Dar Zidni, Riyadh, Cetakan Kedua, 1428 H, Hlm. 172. Dengan kata lain, bahwa keberatan dan kesulitan badaniyah yang dialami seorang hamba dalam rangka melaksanakan beban syari’at, hal itu secara syar’i menjadi sebab yang shahih untuk mendapatkan keringanan dalam pelaksanaan beban tersebut, sehingga ia mampu melaksanakannnya sesuai kadar kemampuannya tanpa keberatan dan kesulitan. [2]Lihat Muqorror Al Qowa’id Al Fiqhiyyah, At-Ta’lim ‘an Bu’d Jami’atul Imam Muhammad bin Su’ud Al Islamiyyah, Mustawa Tsani, Halaqoh Ketiga Belas.
Di antara dalil yang menunjukkan eksistensi kaidah ini adalah firman Allah ﷻ :
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al Baqarah : 185).
Dan firman Allah ﷻ :
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al Baqarah : 286)
Demikian pula firman-Nya ﷻ :
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS. Al Hajj : 78)
Dan Allah ﷻ berfirman :
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (QS. At Taghaabun : 16)
Adapun dalil dari As-Sunnah diantaranya dalah sabda Nabi ﷺ :
يَسِّرُوْا وَلاَ تُعَسِّرُوْا وَبَشِّرُوْا وَلاَ تُنَفِّرُوْا
“Berikanlah kemudahan dan jangan mempersulit, berikanlah khabar gembira dan jangan menjadikan orang lari.” (HR. Bukhari no. 68 Muslim no. 1732) [3]HR. Bukhari no. 68 dan Muslim no. 1732
Dan beliau bersabda :
إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّيْنَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ
“Sesungguhnya agama itu mudah, dan tidaklah seseorang memperberat pelaksanaan agama kecuali ia akan kalah.” (HR. Bukhari no. 93) [4]HR. Bukhari no. 93
Demikian pula, ibadah puasa Ramadhan yang hanya dilaksanakan selama sebulan setiap tahun. Dan ibadah haji yang wajib dilaksanakan sekali saja seumur hidup bagi orang yang memiliki kemampuan.
Ibadah-ibadah tersebut berada di puncak kemudahan dan keringanan. Bersama dengan itu, Allah juga ﷻ mensyariatkan beberapa hal yang membantu dan memberikan semangat dalam melaksanakan ibadah-ibadah tersebut. Di antaranya adalah dengan disyariatkannya berjama’ah dalam shalat lima waktu, shalat Jum’at, dan shalat hari raya. Demikian pula pelaksanaan puasa yang dilaksanakan serentak pada bulan Ramadhan. Dan juga, ibadah haji yang dilaksanakan bersama-sama pada bulan Dzulhijjah.
Tidak diragukan lagi bahwa pelaksanaan ibadah secara berjama’ah akan lebih meningkatkan pelaksanaan ibadah tersebut, lebih memberikan semangat, serta lebih mendorong untuk saling berlomba dalam meraih kebaikan. Sebagaimana Allah ﷻ juga telah menyediakan pahala bagi orang yang mau menunaikan ibadah-ibadah tersebut dengan ikhlas dan sesuai tuntunan Nabi-Nya. Baik pahala di dunia maupun di akhirat. Pahala yang tidak bisa diukur besarnya. Itu juga merupakan motivasi terbesar dalam melaksanakan amal kebaikaan dan meninggalkan kejelekan.
Contoh Penerapan Kaidah
Telah kita fahami bahwa syari’at agama Islam penuh dengan kemudahan dan keringanan dalam seluruh aspeknya, baik dari sisi aqidah, ibadah, amaupun mu’amalat. Bersama dengan itu, jika seseorang mempunyai udzur yang menyebabkannya tidak mampu atau kesulitan dalam melaksanakan beban-beban syari’at, maka Allah ﷻ telah memberikan keringanan kepadanya sesuai dengan kedaaan dan kondisi orang yang bersangkutan. Hal itu sangatlah nampak dengan beberapa contoh berikut :
- Seseorang yang sedang sakit, jika tidak mampu melaksanakan shalat dengan berdiri maka diperbolehkan shalat dengan duduk. Jika tidak mampu shalat dengan duduk maka sholat dengan berbaring, dan cukup berisyarat ketika ruku’ dan sujud.
- Seseorang diwajibkan untuk bersuci (thaharah) dengan menggunakan air. Namun, jika tidak mampu menggunakan air karena sakit atau tidak menemukan air maka diperbolehkan tayammum.
- Seorang musafir yang sedang menanggung beratnya perjalanan diperbolehkan baginya untuk tidak berpuasa, diperbolehkan untuk menjama’ dan mengqashar shalat, serta diperbolehkan mengusap khuf selama tiga hari.
- Orang yang sakit atau sedang bepergian jauh (safar) tetap dicatat mendapatkan pahala dari amal-amal kebaikan yang biasa ia kerjakan ketika dalam keadaan sehat dan tidak bepergian.
- Jika pakaian atau badan seseorang terkena sedikit darah maka dimaafkan, dan tidak harus mencucinya.
- Bolehnya istijmar (membersihkan najis dengan batu atau semisalnya) sebagai pengganti dari istinja’ (membersihkan najis dengan air), meskipun dijumpai adanya air.
- Syari’at memberikan ketentuan terkait hewan kucing yang sering berkeliaran di sekitar manusia sebagai hewan yang suci (bukan najis). Seandainya binatang tersebut najis tentulah menjadikan kesulitan dan kesempitan bagi manusia.
Sebagaimana sabda Nabi ﷺ :
إَنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ إِنَّهَا مِنَ الطَّوَافِيْنَ عَلَيْكُمْ وَالطَّوَّافَاتِ
Sesungguhnya kucing itu tidak najis. Sesungguhnya ia termasuk binatang yang selalu berkeliaran di sekitar kalian. (HR. Abu Dawud no. 75, Tirmidzi no. 92, Ibnu Majah No. 367. Dan dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani –rahimahullah– dalam Irwa’ul Ghalil no. 173.) [5]HR. Abu Dawud no. 75, Tirmidzi no. 92, Ibnu Majah No. 367. Dan dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani –rahimahullah– dalam Irwa’ul Ghalil no. 173.
- Dimaafkannya terkena tanah jalanan yang diperkirakan bercampur dengan najis. Jika memang benar ada najisnya maka dimaafkan dari najis yang sedikit.
- Jika pakaian seseorang terkena kencing bayi laki-laki yang belum makan makanan tambahan selain ASI, maka cukup membasahi pakaian tersebut dengan air dan tidak perlu dicuci.
- Penjelasan para ahli ilmu bahwa hukum asal segala sesuatu adalah suci, kecuali jika diketahui secara pasti tentang kenajisannya. Dan hukum asal segala makanan adalah halal dikonsumsi, kecuali jika diketahui secara pasti tentang keharamannya.
Sesungguhnya implementasi kaidah ini sangat banyak dan sangatlah luas, semoga contoh-contoh di atas sudah cukup mewakili untuk menunjukkan urgensi kaidah yang mulia ini.
Wallahu a’lam bisshowab.
Disusun oleh Ustadz Abu Muslim Nurwan Darmawan, B.A., حفظه الله تعالى
Artikel Ilmiyah AlUkhuwah.Com
Referensi
1 | Lihat Al Mumti’ fi Al Qowa’id Al Fiqhiyyah, Dr. Musallam bin Muhammad bin Majid Ad-Dausari, Dar Zidni, Riyadh, Cetakan Kedua, 1428 H, Hlm. 172. |
---|---|
2 | Lihat Muqorror Al Qowa’id Al Fiqhiyyah, At-Ta’lim ‘an Bu’d Jami’atul Imam Muhammad bin Su’ud Al Islamiyyah, Mustawa Tsani, Halaqoh Ketiga Belas. |
3 | HR. Bukhari no. 68 dan Muslim no. 1732 |
4 | HR. Bukhari no. 93 |
5 | HR. Abu Dawud no. 75, Tirmidzi no. 92, Ibnu Majah No. 367. Dan dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani –rahimahullah– dalam Irwa’ul Ghalil no. 173. |