Fatwa Ulama: Hukum Menggambar Makhluk Bernyawa
Fadhilatu Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin رَحِمَهُ اللهُ ditanya ,
Apa hukum menggambar makluk bernyawa ?
Beliau menjawab,
Menggambar (makhluk bernyawa) ada beberapa macam :
Macam pertama : Menggambar sesuatu yang memiliki bayangan dan jasad dalam bentuk manusia atau binatang (yaitu membuat patung atau semisalnya yang berbentuk manusia atau binatang-pen). Ini diharamkan meskipun seseorang melakukannya sekedar bermain-main dan tidak bermaksud menyerupai ciptaan Allah ﷻ, karena menyerupai ciptaan Allah ﷻ tidak dipersyaratkan niat, meskipun ia membuatnya dengan tujuan supaya anaknya tenang bermain dengannya.
Jika ada yang berkata, “Bukankah yang diharamkan itu membuat patung untuk mengingat orang-orang shalih, yang itu merupakan asal usul kesyirikan seperti yang dilakukan oleh kaum Nabi Nuh?” Maka kita jawab, “Sesungguhnya hadits yang berisi laknat bagi para penggambar itu bersifat umum. Adapun jika perbuatan menggambar itu diiringi dengan niat tersebut maka lebih kuat lagi pengharamannya.
Macam kedua : Menggambar makhluk bernyawa tidak berbentuk jasad (menggambar di bidang datar-pen), hanya mewarnai dan melukisnya. Ini diharamkan juga berdasarkan keumuman hadits. Hal itu berdasarkan hadits tentang numruqah (bantal yang digunakan untuk duduk), di mana suatu ketika Nabi ﷺ datang di rumah beliau, ketika hendak masuk beliau melihat sebuah bantal bergambar makhluk bernyawa, maka beliau tidak jadi masuk dan merasa terganggu dengannya, nampak ketidak sukaan di wajah beliau ﷺ. Maka Aisyah -radhiyallahu ‘anha- berkata, “Dosa apa yang telah aku lakukan wahai Rasulullah ﷺ?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya pembuat gambar-gambar ini diadzab, dikatakan kepada mereka, “Hidupkanlah apa yang kalian ciptakan.”
Maka menggambar dengan mewarnai semisal dengan menggambar sesuatu berjasad (membuat patung-pen) menurut pendapat yang shahih. Adapun sabda beliau dalam shahih Bukhari, “Kecuali gambar di pakaian”, apabila riwayat ini shahih maka yang dimaksudkan dengan pengecualian adalah gambar yang diperbolehkan seperti pepohonan dan semisalnya, supaya bersesuaian dengan hadits-hadits lainnya.
Macam ketiga : Sekedar mengambil gambar dengan cahaya tertentu (dengan kamera atau semisalnya-pen) tanpa merubah ataupun memperbaiki gambar yang diambil tersebut. Ini diperselisihkan oleh para ulama’ di masa sekarang dalam dua pendapat :
Pendapat pertama : Itu termasuk kategori gambar, jika demikian maka gerakan pelakunya dianggap menggambar karena jika ia tidak menggerakkan alatnya tentulah gambar itu tercetak di kertas, dan kita sepakat bahwa yang tercetak itu adalah gambar, maka gerakan pelakunya termasuk kategori menggambar dan masuk dalam keumuman (larangan).
Pendapat kedua : Itu tidak termasuk menggambar, karena yang dimaksud dengan menggambar adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang yang menggambar, sedangkan orang tersebut hakikatnya tidak menggambar, hanya sekedar mengambil gambar dengan alatnya. Sedangkan pembentukan gambar tersebut adalah perbuatan Allah ﷻ. Misalnya, jika engkau masukkan suatu kitab di alat fotokopi lalu keluar dari alat tersebut, maka bentuk huruf-huruf yang muncul dari kitab yang pertama bukanlah berasal dari orang yang menjalankan alat fotokopi, dengan bukti bahwa orang yang menjalankan alat itu ada kalanya seorang yang buta huruf, tidak memahami tulisan sama sekali, atau bahkan yang orang buta. Pendapat inilah yang lebih dekat (dengan kebenaran), karena pengambil gambar tidak dianggap pembuat gambar, perancang gambar, tidak pula menyerupai ciptaan Allah ﷻ, tidaklah demikian.
Sumber : Majmu’ Al Fatawa Wa Rasail Fadhilatu Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Dikumpulkan oleh Syaikh Fahd bin Nashir As Sulaiman, Cetakan Tahun 1413 H, Daru Tsurayya lin Nasyr, II/258-260.
Disusun oleh Ustadz Abu Muslim Nurwan Darmawan, B.A.
Artikel Alukhuwah.Com